PIDATO
DAVID R. STILWELL, ASISTEN MENTERI LUAR NEGERI
BIRO ASIA TIMUR DAN PASIFIK
CENTRE FOR STRATEGIC AND INTERNATIONAL STUDIES (VIRTUAL)
14 JULI 2020
Pidato sebagaimana yang dipersiapkan
PENGANTAR
Terima kasih, Greg. Saya merasa terhormat bisa bergabung dengan Anda. Saya memuji CSIS karena secara teratur mempertemukan para pemikir terkemuka tentang Indo-Pasifik dan Laut China Selatan pada khususnya. Upaya Anda adalah sumber daya yang tak ternilai bagi kita semua.
Ini adalah diskusi yang penting dan tepat pada waktunya. Sementara dunia sedang fokus melawan COVID-19 selama beberapa bulan terakhir, Republik Rakyat China (RRC) telah melipatgandakan kampanyenya guna memaksakan tatanan might makes right (yang kuat yang benar) di Laut China Selatan. Beijing berupaya menggerogoti hak berdaulat negara-negara pesisir lainnya dan menghalangi akses mereka terhadap sumber daya lepas pantai – sumber daya yang dimiliki negara-negara tersebut, bukan China. Beijing menginginkan kekuasaan untuk dirinya sendiri. Mereka ingin menggantikan hukum internasional dengan aturan yang mengancam dan memaksa.
Dalam beberapa bulan terakhir, Beijing telah menenggelamkan kapal penangkap ikan Vietnam, mengirim armada bersenjata untuk mengintimidasi eksplorasi energi lepas pantai Malaysia, dan mengerahkan pasukan angkatan laut untuk mengepung pos-pos terluar Filipina. Beijing telah melakukan militerisasi lebih lanjut di pulau-pulau buatannya di gugus kepulauan Spratly dengan mengerahkan pesawat baru. Mereka telah mengumumkan larangan penangkapan ikan secara sepihak. Mereka telah menyelenggarakan latihan-latihan militer yang mengancam stabilitas di perairan yang diperebutkan di sekitar wilayah yang disengketakan. Mereka semakin sering menggunakan pulau-pulau buatannya sebagai pangkalan untuk operasi intimidasi – guna membatasi akses negara-negara pesisir Asia Tenggara terhadap ladang minyak, gas, dan penangkapan ikan lepas pantai.
Kita semua tahu mengapa ini penting. Dengan mengklaim “kedaulatan yang tidak bisa diganggu gugat” atas wilayah yang lebih besar dari Mediterania dan menginjak-injak hak orang lain, Beijing mengancam tatanan yang ada yang telah memberikan kemakmuran selama beberapa dekade bagi Asia. Tatanan itu didasarkan pada kebebasan dan keterbukaan, gagasan yang ditentang Beijing.
Perdagangan senilai hampir empat triliun dolar AS melintasi Laut China Selatan setiap tahun. Lebih dari satu triliun dolar AS dari nilai itu terkait dengan pasar AS. Laut tersebut merupakan ladang bagi migas lepas pantai yang dapat dipulihkan dan diperkirakan bernilai 2,6 triliun dolar AS. Di sini juga terdapat beberapa wilayah penangkapan ikan terkaya di dunia yang mempekerjakan sekitar 3,7 juta orang di negara-negara pesisir Asia Tenggara.
Sumber daya ini adalah hak ulayat negara-negara Asia Tenggara, sumber kehidupan masyarakat pesisir mereka, dan sumber pencaharian bagi jutaan warga negara mereka. Itu adalah warisan untuk anak cucu masing-masing negara tersebut. Perilaku Beijing adalah serangan terhadap orang-orang Asia Tenggara saat ini, dan dari generasi ke generasi.
PERINGATAN PUTUSAN MAHKAMAH ARBITRASE
Minggu ini menandai peringatan keputusan bersejarah tentang hukum internasional di Laut China Selatan: putusan Mahkamah Arbitrase 2016.
Kasus arbitrase damai ini dibawa – dengan keberanian yang sesungguhnya – oleh Filipina. Dan putusannya bulat: klaim maritim Sembilan-Garis Putus-Putus Bejing tidak memiliki dasar hukum internasional. Mahkamah memenangkan Filipina seutuhnya atas seluruh tuntutan hukumnya.
Sejak itu, Beijing berusaha mendelegitimasi dan mengabaikan putusan itu, meskipun ada kewajiban untuk mematuhinya sebagai salah satu pihak Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS). Beijing suka menampilkan dirinya sebagai juara multilateralisme dan lembaga internasional, tetapi telah mengabaikan putusan tersebut sebagai “tidak lebih dari selembar kertas.”
Hanya orang yang mudah tertipu atau terkooptasi yang masih dapat memuji kepura-puraan Beijing sebagai warga dunia yang baik. Hari ini kita mendengar semakin banyak suara yang terdengar menentang agresivitas dan kesepihakan Beijing.
Bulan lalu kami menyambut baik desakan para Pemimpin ASEAN yang secara jelas menyatakan sengketa Laut China Selatan harus diselesaikan berdasarkan hukum internasional, termasuk UNCLOS.
Dunia yang lebih luas juga angkat bicara dan mengambil tindakan, sebagai pembuktian bahwa tindakan Beijing menimbulkan ancaman terbesar bagi kebebasan maritim di mana pun di muka bumi ini. Masalah Laut China Selatan memiliki kaitan langsung dengan masa depan Samudra Arktik, Samudra Hindia, Laut Mediterania, dan jalur hubungan laut penting lainnya. Hal yang dipertaruhkan di Laut China Selatan berdampak langsung pada setiap negara dan orang yang bergantung pada kebebasan maritim dan kebebasan perdagangan maritim untuk bergerak guna memastikan kemakmuran negara mereka.
KEBIJAKAN AS DI LAUT CHINA SELATAN
Amerika Serikat telah memperkuat pendekatan kami sendiri terhadap Laut China Selatan.
Kebijakan kami adalah untuk memperjuangkan Indo-Pasifik yang bebas dan terbuka di mana semua negara yang majemuk di dalamnya dapat hidup dan makmur dalam keadaan damai. Kebijakan kami menghargai kemajemukan negara-negara tersebut. Kebijakan kami membela kedaulatan, kemerdekaan, dan pluralisme. Indo-Pasifik yang bebas dan terbuka berarti sebuah kawasan di mana negara-negara aman dalam kedaulatan mereka dan setara dalam memanfaatkan semua sumber daya global secara bersama (global commons). Tidak ada kekuatan hegemonik yang mendominasi orang lain atau mengubah perairan internasional menjadi zona eksklusif.
Pendekatan kami dibangun di atas catatan panjang Amerika di Pasifik dalam menjaga perdamaian, menegakkan kebebasan maritim yang selaras dengan hukum internasional, dengan mempertahankan laju perdagangan tanpa hambatan, dan mendukung penyelesaian sengketa secara damai. Ini adalah kepentingan utama dan tetap yang kami miliki bersama dengan banyak sekutu dan mitra kami.
Dalam beberapa tahun terakhir kami telah memperdalam kolaborasi kami di seluruh kawasan ini. Kami telah meningkatkan dukungan pengembangan kapasitas maritim kami untuk mitra Asia Tenggara, menegaskan kembali aliansi, dan mempertahankan kecepatan irama aktivitas militer yang kuat untuk menjaga perdamaian. Hal ini termasuk operasi kebebasan navigasi, di antaranya lima operasi di Laut China Selatan sepanjang tahun ini; operasi kehadiran militer, di antaranya operasi dua kapal induk awal bulan ini; patroli pesawat pembom strategis; serta operasi dan latihan gabungan bersama para sekutu dan mitra kami.
Sejauh ini, Amerika Serikat terus menjadi sumber terbesar investasi komersial di kawasan ini. Perdagangan barang dan jasa kami senilai hampir 300 miliar dolar AS per tahun dengan 650 juta orang di ASEAN membantu memastikan kemakmuran yang terus tumbuh di wilayah yang dinamis tersebut. Negara-negara ASEAN sekarang menghasilkan hampir tiga triliun dolar AS dari PDB tahunan. Standar kehidupan telah meningkat pesat, berkat energi luar biasa ASEAN, dan sistem global yang telah lama mempertahankan stabilitas, keamanan, dan kemakmuran.
Kemarin, Menlu Pompeo mengumumkan langkah penting untuk memperkuat kebijakan kami, dan untuk berdiri teguh bersama para mitra Asia Tenggara kami dalam membela hak-hak berdaulat mereka. Menlu mengeluarkan pernyataan kebijakan tentang klaim maritim di Laut China Selatan, pada kesempatan peringatan putusan arbitrase 2016. Sejak putusan itu, kami telah mengatakan bahwa itu adalah “final dan mengikat secara hukum” pada kedua belah pihak, China dan Filipina. Pengumuman berikut ini tersebar lebih jauh, untuk memperjelas: RRC tidak berhak untuk menggertak negara-negara Asia Tenggara demi sumber daya lepas pantai mereka.
Secara spesifik, Menlu AS Pompeo mengatakan tiga hal utama:
Pertama, RRC tidak memiliki klaim maritim yang sah berhadapan dengan Filipina atas wilayah perairan yang ditentukan oleh Mahkamah Arbitrase untuk termasuk dalam Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Filipina atau di batas landas kontinennya. Di dalam wilayah-wilayah itu, tindakan intimidasi Beijing terhadap penangkapan ikan dan pengembangan energi lepas pantai Filipina adalah melanggar hukum, sama halnya dengan tindakan sepihak RRC untuk mengeksploitasi sumber daya tersebut. RRC juga tidak memiliki klaim secara hukum atas Mischief Reef atau Second Thomas Shoal, yang keduanya berada di dalam yurisdiksi Filipina.
Kedua, karena Beijing telah gagal membuktikan klaim maritim yang sah dan koheren di Laut China Selatan, Amerika Serikat menolak semua klaim RRC atas wilayah perairan teritorial laut sejauh 12 mil laut dari pulau-pulau di gugus Kepulauan Spratly. . Ini berarti Amerika Serikat menolak semua klaim maritim di wilayah perairan sekitar Vanguard Bank (Vietnam), Luconia Shoal (Malaysia), perarian ZEE Brunei, dan Natuna Besar (Indonesia). Setiap tindakan RRC mengganggu pengembangan perikanan dan hidrokarbon negara-negara lain di wilayah-wilayah perairan ini ataupun melakukan tindakan serupa secara sepihak – tidak dibenarkan secara hukum. Titik.
Ketiga, RRC tidak memiliki klaim teritorial atau maritim yang sah atas James Shoal, di lepas pantai Malaysia. Yang ini perlu dianalisis sejenak. James Shoal adalah unsur bawah laut sekitar 20 meter di bawah permukaan laut. Jaraknya hanya 50 mil laut dari Malaysia – dan lebih dari 1.000 mil laut dari daratan China. Namun Beijing mengklaimnya sebagai “titik paling selatan China”! Klaim ini tidak masuk akal – tampaknya berasal dari kekeliruan atlas kuno Inggris dan kesalahan penerjemahan selanjutnya, yang menyebutkan gagasan bahwa beting bawah air tersebut sebenarnya adalah gundukan pasir di atas ombak. Tetapi tidak demikian. Namun propaganda Beijing menggembar-gemborkan bahwa James Shoal sebagai wilayah RRC dan kapal-kapal Angkatan Laut Tentara Pembebasan Rakyat (People’s Liberation Army/PLA) China ditempatkan di sana untuk mengadakan upacara pengambilan sumpah yang terlihat seperti unjuk kekuatan. Hukum internasional jelas: Tidak ada yang berhak atas unsur bawah laut. James Shoal bukan dan tidak pernah menjadi wilayah China, Beijing juga tidak dapat menuntut hak maritim yang sah dari klaim palsu tersebut.
Dalam semua kasus ini, Amerika Serikat mendukung para sekutu dan mitra Asia Tenggara kami dalam menegakkan hak-hak berdaulat mereka, dan dengan seluruh dunia yang taat hukum dalam mempertahankan kebebasan di laut. Seperti yang dikatakan oleh Menlu AS, dunia tidak dapat – dan tidak akan – membiarkan Beijing memperlakukan Laut China Selatan sebagai imperium maritimnya.
STRATEGI PERMAINAN BEIJING
Izinkan saya mengangkat secara singkat empat aspek penting lainnya dari masalah Laut China Selatan: (1) peran perusahaan milik negara Beijing (SOEs); (2) negosiasi antara China dan ASEAN tentang Kode Etik; (3) Tekanan Beijing terhadap “pengembangan bersama” sumber daya Asia
Tenggara; dan (4) Kampanye Beijing untuk mendapatkan kursi di Mahkamah InternasionalHukum Laut (ITLOS).
Pertama, mengenai perusahaan milik negara: Di Laut China Selatan, sebagaimana di tempat lainnya, Beijing telah menggunakan perusahaan milik negara sebagai alat pemaksaan ekonomi dan pelanggaran internasional.
Perusahaan-perusahaan tersebut telah digunakan untuk mengeruk, membangun, dan memiliterisasi benteng pulau buatan RRC di gugus kepulauan Spratly, dan dari sana Beijing sekarang melanggar zona ekonomi eksklusif negara-negara Asia Tenggara. Salah satu kontraktor infrastruktur terkemuka Beijing yang beroperasi di seluruh dunia – China Construction & Communications Corporation, atau CCCC – memimpin pengerukan untuk pangkalan militer Laut China Selatan Beijing, dengan dampak yang sangat merusak lingkungan laut dan stabilitas regional.
Perusahaan-perusahaan milik negara telah digunakan sebagai mesin pendobrak untuk mencoba menegakkan “Sembilan Garis Putus-Putus” Beijing yang melanggar hukum. Perusahaan Minyak Lepas Pantai China, atau CNOOC, menggunakan kapal pengeboran HD-981 raksasa mereka untuk mencoba mengintimidasi Vietnam di lepas pantai kepulauan Paracel pada 2014. Mereka mengatakan bahwa CEO CNOOC menggembar-gemborkan kapal pengeboran itu sebagai “wilayah nasional bergerak.” Implikasi dari pernyataan seperti itu seharusnya memberikan jeda bagi setiap negara yang bergantung pada kebebasan di laut akan terciptanya kemakmuran dan keamanan.
Kapal survei komersial RRC serta kapal-kapal pengeboran lainnya telah dikirim berulang kali ke perairan Asia Tenggara yang, bukan merupakan wilayah sah milik China. Banyak perusahaan pariwisata, telekomunikasi, perikanan, dan perbankan milik RRC berinvestasi dalam berbagai cara sehingga Beijing dapat melancarkan klaim dan gertakan yang tidak berdasarkan hukum.. Armada penangkapan ikan RRC di Laut China Selatan sering beroperasi sebagai milisi maritim di bawah arahan militer China> Mereka melecehkan dan mengintimidasi pihak lain sebagai alat pemaksaan negara yang kejam.
Perusahaan milik negara ini adalah instrumen penyelewengan RRC, dan kami harus menyoroti perilaku mereka yang tidak pantas. Kami juga harus menjelaskan bagaimana perusahaan-perusahaan ini beroperasi di seluruh dunia, termasuk di penjuru Asia Tenggara dan di Amerika Serikat. Dalam masyarakat kami, warga negara berhak mengetahui perbedaan antara perusahaan komersial dan instrumen kekuasaan negara asing. Perusahaan-perusahaan negara ini adalah padanan Perusahaan Hindia Timur pada masa sekarang.
Kedua, pada pembicaraan mengenai Kode Etik: Ada tanda bahaya yang jelas tentang niat Beijing. Selama bertahun-tahun Beijing bersikeras agar negara-negara ASEAN tetap diam dalam proses ini. Laporan pers telah menunjukkan alasannya: Secara tertutup, RRC telah menekan negara-negara ASEAN untuk menerima batasan atas masalah-masalah inti kepentingan nasional.
Ini termasuk batasan dengan negara mana ASEAN dapat bermitra dalam latihan militer dan proyek migas lepas pantai. Beijing juga menekan negara-negara ASEAN untuk memutuskan hubungan dengan negara-negara “luar” dan mengaburkan rujukan terhadap hukum internasional. Ini adalah tuntutan penggertak, bukan tetangga yang ramah. Beijing mungkin telah menarik kembali tenggat tahun 2021 sewenang-wenangnya untuk mengakhiri pembicaraan, tetapi tujuan hegemoniknya masih tetap ada.
Kepentingan AS jelas dipertaruhkan dalam proses Kode Etik, sama halnya dengan semua negara yang menghargai kebebasan di laut. Kode Etik yang dengan cara apa pun melegitimasi reklamasi, militerisasi, atau klaim maritim Beijing yang tak berdasar hukum akan sangat merusak, dan tidak dapat diterima oleh banyak negara. Kami mendesak transparansi yang lebih besar dalam proses Kode Etik untuk memastikan hasil positif yang sepenuhnya konsisten dengan prinsip-prinsip yang termaktub di dalam Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS).
Ketiga, tentang kesepakatan “pengembangan bersama”: RRC berusaha untuk mendominasi sumber daya migas Laut China Selatan. Untuk mencapai hal ini, Beijing sedang melakukan kampanye untuk menghalangi akses negara-negara Asia Tenggara terhadap sumber daya migas yang sangat dibutuhkan kecuali melalui kesepakatan “pengembangan bersama” yang merugikan pihak-pihak kecil – yaitu, pihak nonChina.
Langkah pertama RRC berjalan seperti ini. Dengan mengerahkan pasukan militer secara agresif, milisi maritim, kapal pengeboran minyak yang diarahkan oleh negara, dan sejenisnya, Beijing mencoba untuk meningkatkan risiko bagi perusahaan-perusahaan energi yang ingin beroperasi di Laut China Selatan, dengan harapan mendorong ke luar persaingan asing. Setelah tercapai, Beijing menekan negara-negara lain untuk menerima “pengembangan bersama” dengan perusahaan milik negaranya sendiri, dengan mengatakan “jika Anda ingin mengembangkan sumber daya lepas pantai Anda itu, satu-satunya pilihan Anda adalah melakukannya bersama kami.” Ini adalah taktik ala gengster.
Amerika Serikat mendukung negara-negara dalam memperjuangkan hak dan kepentingan kedaulatan mereka, dan dalam menolak tekanan untuk menerima kesepakatan apa pun di mana RRC menghalalkan caranya untuk mendapatkan bagian dari sumber daya lepas pantai yangtidak berhak mereka klaim.
Keempat, tentang Mahkamah Internasional Hukum Laut: Beijing mengajukan calonnya untuk posisi hakim di mahkamah ini pada pemilihan yang saat ini dijadwalkan pada akhir Agustus/awal September.
Seperti Mahkamah Arbitrase yang memutus kalah Beijing pada 2016, Mahkamah Internasional dibentuk berdasarkan Konvensi PBB tentang Hukum Laut. Memilih seorang pejabat RRC untuk
badan ini seperti mempekerjakan seorang pelaku pembakaran untuk membantu mengelola Dinas Pemadam Kebakaran.
Kami mendesak semua negara yang terlibat dalam pemilihan hakim Mahkamah Internasional yang akan datang agar secara cermat menilai kredensial calon dari RRC dan mempertimbangkan apakah hakim RRC di Mahkamah ini akan membantu atau menghambat hukum maritim internasional. Melihat rekam jejak Beijing, jawabannya seharusnya sudah jelas.
MOMOK GLOBAL GERTAKAN RRC
Di sini, ada pelajaran penting yang tidak hanya berlaku di kawasan Pasifik Barat. Ketika Beijing menggunakan pemaksaan, janji kosong, disinformasi, pelecehan terhadap aturan, diplomasi beriktikad buruk, dan taktik licik lainnya di Laut China Selatan, Beijing sedang merancang strategi yang mereka gunakan di seluruh dunia.
Kami melihatnya di Laut China Timur dan di sekitar Taiwan, di mana Beijing telah memperluas provokasi maritimnya dan serangan mendadak yang mengancam. Kami melihatnya di Himalaya, di mana Beijing baru-baru ini mengambil tindakan agresif di perbatasannya dengan India. Kami melihatnya di sepanjang Sungai Mekong, di mana Beijing telah menggunakan bendungan riam besarnya untuk menahan persediaan air bagi tetangga hilir di Asia Tenggara, yang mengakibatkan kekeringan terburuk dalam catatan sejarah sungai Mekong. Saya mengimbau semua pihak untuk membaca laporan baru-baru ini dari Stimson Center, “Bukti Baru: Bagaimana China Menutup Pintu Air di Sungai Mekong.”
Tetapi modus operasi Beijing yang agresif ini tidak hanya terlihat dalam sengketa lain atas wilayah dan sumber daya alam.
Hal ini juga terlihat di Hong Kong, di mana undang-undang keamanan nasional baru Beijing mengabaikan komitmennya di bawah Deklarasi Bersama China-Inggris tahun 1984 – sebuah perjanjian yang oleh pejabat RRC sekarang dianggap tidak lebih dari sekadar selembar kertas. Persis seperti yang mereka katakan tentang putusan Mahkamah Arbitrase 2016 tentang Laut China Selatan.
Perilaku agresif adalah pendekatan yang umum dilakukan Beijing terhadap organisasi internasional. Ketika isu Laut China Selatan muncul pada pertemuan ASEAN tahun 2010, diplomat tertinggi Beijing menghardik rekanan sejawatnya dari Asia Tenggara: “China adalah negara besar dan negara-negara lain adalah negara kecil, dan itu adalah fakta.” Penghinaan semacam ini membantu menjelaskan pembangkangan Beijing terhadap institusi internasional mulai dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) hingga Interpol, Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dan sebagainya.
Beberapa tahun yang lalu, banyak yang percaya bahwa pelanggaran Beijing di Laut China Selatan sebagian besar merupakan fenomena lokal, semacam euforia terbatas dari kekuatan yang sedang
berkembang agar terlihat di dunia. Hari ini kita tahu bahwa cara-cara neo-imperialis Partai Komunis China bukanlah sebuah kebetulan karena karakternya tetapi merupakan ciri penting pola pikir nasionalis dan Marxis-Leninis. Beijing ingin mendominasi lingkungan terdekatnya – dan pada akhirnya memaksakan kehendak dan aturannya pada lingkungan Anda juga, di mana pun Anda berada.
Anda mungkin saja seorang mahasiswa di Australia, penerbit buku di Eropa, atau manajer umum waralaba NBA di Houston. Anda mungkin bekerja untuk jaringan hotel internasional, perusahaan mobil Jerman, atau maskapai penerbangan AS. Anda mungkin saja seorang pelanggan jaringan 5G di Inggris – atau di mana pun di dunia. Di mana pun Anda berada, Beijing semakin ingin mengklaim, memaksa, dan mengendalikan. Karena sifat dasarnya, mereka tidak dapat menerima dunia yang pluralistis dengan kebebasan memilih dan hati nurani yang fundamental.
Dengan demikian, Laut China Selatan, bukan hal yang dikecualikan tetapi lebih merupakan pertanda dan ancaman bagaimana Partai Komunis China akan berupaya untuk bertindak – kecuali jika menghadapi tekanan balik. Jadi adalah hal yang baik melihat semakin banyak negara yang menentang pelanggaran Beijing di berbagai bidang termasuk Laut China Selatan.
Di Perserikatan Bangsa-Bangsa, serangkaian pernyataan resmi oleh negara-negara pesisir Asia Tenggara menunjukkan tekad yang jelas untuk menegakkan hukum internasional dan menolak tekanan untuk menerima klaim Beijing yang tak berlandaskan hukum. Negara-negara ini termasuk Vietnam, Indonesia, dan Malaysia dalam beberapa bulan terakhir saja.
Demikian juga, Amerika Serikat dan negara-negara lainnya telah menyampaikan keprihatinan untuk pertama kalinya di Dewan Keamanan dan Majelis Umum PBB atas tindakan RRC yang berbahaya di Laut China Selatan.
Australia, Inggris, Prancis, Jerman, dan India baru-baru ini mengeluarkan pernyataan keprihatinan yang belum pernah terjadi sebelumnya atas aktivitas Beijing di Laut China Selatan yang membahayakan stabilitas regional dan hukum internasional. Sementara itu, kami melihat koordinasi pertahanan dan keamanan baru yang menjanjikan di antara para sekutu dan mitra dari Australia hingga Asia Tenggara, Jepang, dan India.
Seperti disebutkan, bulan lalu, para Pemimpin ASEAN bersikeras bahwa sengketa Laut China Selatan harus diselesaikan berdasarkan hukum internasional, termasuk Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS).
Saya akan menutup dengan mengutip pernyataan yang dikeluarkan Filipina hari Minggu lalu pada peringatan empat tahun putusan Mahkamah Arbitrase. “Kasus arbitrase yang diprakarsai dan secara mencengangkan dimenangi oleh Republik Filipina melawan Republik Rakyat China merupakan kontribusi yang memiliki arti penting dan konsekuensi besar bagi penyelesaian damai perselisihan di
Laut China Selatan dan bagi perdamaian dan stabilitas kawasan pada skala besar. . . . . Putusan mahkamah arbitrase 12 Juli 2016 menjadi simbol kemenangan, tidak hanya untuk Filipina, tetapi untuk seluruh komunitas negara-negara yang taat hukum secara konsisten. ”
Dari pihak kami, Amerika Serikat bertekad untuk melindungi kepentingan vital kami serta kepentingan sekutu dan para sahabat kami. Kami sedang membangun kemampuan militer kami. Kami waspada. Kami berlatih dan menjalankan operasi di mana pun hukum internasional mengizinkannya. Kami memperkuat hubungan dengan sahabat-sahabat kami. Kami siap membantu meningkatkan kemampuan militer negara-negara yang bersangkutan.. Kami mendukung upaya diplomatik multilateral untuk menentang tindakan pelanggaran batas wilayah oleh RRC. Dan kami menyediakan opsi-opsi ekonomi untuk menggarisbawahi bahwa negara-negara tidak perlu bergantung pada prakarsa dari Beijing yang pada dasarnya bersifat predator.
Komunitas negara-negara yang taat hukum tentu akan berdiri bersama. Untuk Laut China Selatan, Indo-Pasifik, serta dunia yang bebas dan terbuka.
Terima kasih banyak atas waktu Anda. Saya akan menjawab pertanyaan Anda.
###
Terjemahan ini disediakan sebagai sarana bantuan dan hanya sumber asli berbahasa Inggris yang dianggap sahih.