Laporan Hak Asasi Manusia 2022

RINGKASAN EKSEKUTIF

Indonesia adalah negara demokrasi multipartai. Pada tahun 2019 Joko Widodo (dikenal secara populer dengan sebutan Jokowi) memenangkan masa jabatan kedua selama lima tahun sebagai presiden. Para pemilih juga memilih anggota baru untuk Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD), serta Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Pengamat di dalam negeri maupun internasional menganggap pemilu tersebut telah berlangsung secara bebas dan adil.

Polri bertanggung jawab atas keamanan dalam negeri dan melapor secara langsung kepada presiden. Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang juga bertanggung jawab secara langsung kepada presiden bertanggung jawab atas pertahanan eksternal dan memerangi separatisme, dan dalam kondisi tertentu dapat memberikan dukungan operasional kepada kepolisian, seperti dalam hal operasi konter-terorisme, menjaga ketertiban umum, dan menangani konflik di tengah masyarakat. Pemerintah sipil memegang kendali atas angkatan bersenjata dan kepolisian. Telah muncul laporan bahwa anggota kedua lembaga tersebut telah melakukan pelanggaran.

Permasalahan signifikan di bidang hak asasi manusia termasuk laporan yang kredibel tentang terjadinya: pembunuhan ekstra-yudisial atau sewenang-wenang oleh militer dan penegak hukum; penyiksaan oleh polisi; kondisi penjara yang keras dan membahayakan jiwa; penangkapan atau penahanan secara sewenang-wenang; tahanan politik; permasalahan serius terkait independensi peradilan; pelanggaran serius dalam konflik di Provinsi Papua, Papua Tengah, Papua Pegunungan, Papua Selatan, dan Papua Barat (wilayah Papua), termasuk kematian secara melanggar hukum atau penganiayaan, penyiksaan dan penganiayaan fisik terhadap warga sipil; pembatasan yang serius terhadap kebebasan menyatakan pendapat dan terhadap media, termasuk penangkapan yang tidak sah atau penuntutan terhadap jurnalis, penyensoran, dan penggunaan ketentuan pidana tentang pencemaran nama baik; pembatasan serius terhadap kebebasan internet; pembatasan serius terhadap kebebasan berkumpul secara damai dan kebebasan berserikat; tindak pidana korupsi yang serius oleh pemerintah; kurangnya investigasi dan pertanggungjawaban atas kekerasan berbasis gender; praktik perlukaan/pemotongan genetalia perempuan; kejahatan dengan menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang diarahkan terhadap anggota kelompok minoritas ras, etnis, dan agama; kejahatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap orang-orang lesbian, gay, biseksual, transgender, queer, atau interseks; dan peraturan di Provinsi Aceh yang mengkriminalisasi tindakan seksual sesama jenis atas dasar persetujuan bersama antara orang dewasa.

Walau pemerintah telah mengambil langkah-langkah untuk menyelidiki dan menuntut beberapa pejabat yang telah melakukan pelanggaran hak asasi manusia dan terlibat dalam korupsi, kekebalan hukum untuk pelanggaran hak asasi manusia dan korupsi yang telah terjadi di masa lampau maupun yang baru saja dilakukan  tetap menjadi sumber keprihatinan yang signifikan.

Konflik bersenjata antara aparat pemerintah dan kelompok separatis terus berlanjut di wilayah Papua. Terdapat sejumlah banyak laporan pelanggaran terhadap warga sipil termasuk pembunuhan ekstra-yudisial atau sewenang-wenang, kekerasan fisik, dan perusakan harta benda. Pemerintah telah menyelidiki dan menuntut beberapa tindakan tersebut, namun masyarakat masih melaporkan adanya kekebalan hukum yang dimiliki oleh pelaku. Konflik tersebut menyebabkan ribuan warga mengungsi. Di luar wilayah Papua, banyak laporan tentang pelaku tak dikenal yang menggunakan pelecehan dan intimidasi digital terhadap aktivis HAM dan akademisi yang mengkritik pejabat pemerintah, membicarakan korupsi pemerintah, atau meliput hal-hal yang menyangkut konflik di wilayah Papua.

Bagian 1. Penghormatan Terhadap Nyawa Manusia

  1. Penghilangan Nyawa Secara Sewenang-wenang dan Pembunuhan Secara Melanggar Hukum atau Atas Dasar Politik

Terdapat banyak laporan bahwa aparat keamanan telah melakukan pembunuhan secara sewenang-wenang atau secara melanggar hukum. Banyak dari laporan ini terkait dengan operasi aparat keamanan terhadap pemberontak terhadap kelompok separatis bersenjata di wilayah Papua (lihat bagian 1.g.).

Dalam kasus-kasus dugaan pembunuhan ekstra-yudisial oleh pejabat pemerintah, polisi dan militer seringkali tidak melakukan penyelidikan dan ketika mereka melakukan penyelidikan, mereka tidak mengungkapkan temuan dari hasil investigasi internal tersebut. Pernyataan resmi terkait tuduhan kekerasan terkadang bertentangan dengan laporan lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan tidak dapat diaksesnya tempat terjadinya kekerasan menyebabkan fakta untuk sulit dikonfirmasi.

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS, sebuah lembaga swadaya masyarakat), mencatat terjadinya 16 kematian dalam 50 kasus dugaan penyiksaan dan penganiayaan lain oleh aparat keamanan yang diselidiki oleh organisasi tersebut dari bulan Mei 2021 hingga bulan Juni 2022.

Pada tanggal 12 Agustus, Inspektur Jenderal Ferdy Sambo, mantan Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) pada Kepolisian Republik Indonesia (Polri)  mengaku kepada pihak berwenang bahwa dia mendalangi persekongkolan untuk membunuh ajudannya, Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabara, dan menutupi pembunuhan itu sebagai sebuah baku tembak. Otopsi Yosua mengungkap bukti penyiksaan dan luka tembak eksekusi. Walau alasan pembunuhan 8 Juli tersebut masih tidak jelas, beberapa media melaporkan bahwa Yosua berencana untuk membocorkan dugaan kegiatan ilegal Sambo, termasuk menjalankan jaringan perjudian. Investigasi internal kepolisian diperluas hingga mencakup hampir empat puluh anggota polisi dan dua orang jenderal berbintang satu dan dua. Namun demikian, LSM dan akademisi meragukan bahwa penyelidikan akan mengungkap semua kegiatan ilegal Sambo, yang mereka yakini direstui oleh para pejabat di tingkat yang lebih tinggi.

KontraS menduga polisi menggunakan kekuatan berlebihan setidaknya dalam 118 kejadian. Pada bulan Oktober, polisi menembakkan setidaknya 11 putaran gas air mata ke arah penonton di Stadion Kanjuruhan sebagai bentuk pengendalian massa setelah sebuah pertandingan sepak bola, telah menyebabkan kecelakaan fatal yang mengakibatkan 135 kematian, termasuk 43 anak. Akibatnya, enam tersangka ditangkap (termasuk tiga petugas polisi), 10 petugas polisi diberhentikan, dan 18 lainnya dalam penyelidikan.

  1. Hilangnya Orang

Pemerintah dan LSM melaporkan sedikitnya perkembangan dalam penyelidikan menyangkut orang-orang yang telah hilang, termasuk penghilangan yang terjadi selama pendudukan Timor-Leste oleh Indonesia. Berbagai LSM melaporkan sedikit kemajuan dalam upaya untuk menuntut para pihak yang bertanggung jawab atas penghilangan tersebut dan mencatat banyak pejabat yang diduga terlibat dalam penghilangan tetap memiliki jabatan di pemerintahan (lihat bagian 1.c.).

  1. Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat, dan Pelanggaran Terkait Lainnya

Konstitusi melarang praktik-praktik semacam itu. Undang-undang mengkriminalisasi penggunaan kekerasan atau paksaan oleh pejabat untuk mendapatkan pengakuan, tetapi tidak ada undang-undang yang menentukan atau mendefinisikan “penyiksaan”. Undang-undang lain, seperti tentang perlindungan saksi dan korban, memuat ketentuan anti penyiksaan. Pejabat pemerintah diancam setinggi-tingginya empat tahun hukuman penjara jika mereka menggunakan kekerasan atau kekuatan secara tidak sah.

Berbagai LSM telah banyak melaporkan tentang adanya polisi dan aparat keamanan yang menggunakan kekuatan berlebihan selama penahanan dan interogasi, dengan beberapa kasus diantaranya mengakibatkan kematian (lihat bagian 1.a.).

Polri dan TNI umumnya mengikuti prosedur dalam menangani dugaan penyiksaan. Semua calon anggota kepolisian menjalani pelatihan tentang penggunaan kekuatan yang proporsional dan standar hak asasi manusia. Dalam kasus-kasus dugaan penyiksaan dan penganiayaan lainnya, polisi dan militer biasanya melakukan penyelidikan tetapi seringkali tidak mengungkapkan secara terbuka baik fakta maupun temuan dari hasil penyelidikan internal tersebut. Pernyataan resmi terkait tuduhan kekerasan terkadang bertentangan dengan laporan LSM, dan seringkali sulit diaksesnya tempat dimana kekerasan tersebut terjadi membuat konfirmasi fakta menjadi sulit. LSM dan pengamat lainnya mengkritik hukuman penjara singkat yang sering dijatuhkan oleh pengadilan militer dalam kasus penganiayaan yang melibatkan warga sipil atau tindakan tentara yang tidak sedang bertugas.

KontraS melaporkan 677 orang cedera akibat dugaan penyiksaan dan kekerasan lainnya oleh aparat keamanan antara bulan Juli 2021 dan bulan Juni 2022.

Pada tanggal 20 September, empat petugas kepolisian diduga menyiksa Yulius Yatu di rumahnya, sehari setelah dia menggunakan WhatsApp untuk secara terbuka mengkritik penanganan oleh polisi atas demonstrasi yang baru saja terjadi mengenai kenaikan harga BBM di Maluku Utara. Menurut laporan resmi korban, empat orang datang ke rumahnya, memeriksa identitasnya, menyeretnya ke Polres Halmahera Utara, dan secara terus menerus memukul dan mencekik dirinya hingga pingsan. KontraS dan LBH mendesak Polda Maluku Utara untuk mengusut kasus tersebut dan menuntut pencopotan Kapolres Halmahera Utara. Kompol M Arinta Fauzi mengatakan, pihaknya berjanji akan mengusut dugaan penganiayaan tersebut, meski hingga Oktober kasus tersebut belum juga tuntas.

Provinsi Aceh memiliki kewenangan khusus untuk menerapkan hukum syariah. Pihak berwenang di provinsi tersebut melakukan hukuman cambuk di depan umum untuk pelanggaran ketentuan syariah dalam kasus pelecehan seksual, perjudian, perzinahan, konsumsi alkohol, dan hubungan seksual di luar nikah. Hubungan seksual sesama jenis merupakan tindak pidana di Aceh, yang dapat dihukum dengan hukuman cambuk; tidak tercatat dilakukannya hukuman atas pelanggaran ini selama tahun yang bersangkutan. Hukum Syariah seharusnya tidak diterapkan terhadap non-Muslim, orang asing, atau Muslim yang bukan penduduk Aceh; namun terkadang hal tersebut dilakukan. Non-Muslim di Aceh terkadang memilih hukuman berdasarkan syariah karena lebih cepat dan lebih murah daripada proses hukum sekuler. Pada bulan Februari, misalnya, media melaporkan tiga orang yang dinyatakan bersalah atas tindakan memfasilitasi perjudian secara online dipaksa untuk memilih antara dicambuk atau membayar uang tunai yang nilainya setara dengan satu pon (0,454 kg) emas.

Hukuman cambuk terus terjadi di depan khalayak umum meskipun terdapat keputusan Gubernur Aceh tahun 2018 bahwa hukuman cambuk hanya boleh dilakukan di lingkungan penjara. Orang yang dijatuhi hukuman cambuk dapat dikenakan hingga 100 cambukan untuk setiap kejahatan yang mereka lakukan, tergantung pada jenis kejahatan dan lama pidana kurungan yang telah dijalani.

Kekebalan hukum yang dinikmati aparat keamanan tetap menjadi masalah. anggota Tim Mawar yang merupakan bagian dari pasukan khusus Angkatan Darat, yang terlibat dalam penculikan, penyiksaan, dan pembunuhan mahasiswa pada tahun 1997-1998, tetap menjabat sebagai pejabat tinggi di pemerintahan meskipun telah dihukum dan menjalani hukuman penjara karena keterlibatan mereka dalam tindak pidana tersebut. Beberapa dari mereka yang terlibat dalam pelanggaran masa lalu juga mendapat kenaikan pangkat atau diberi penghargaan dan tanda jasa.

Pada bulan September, pengadilan HAM ad hoc memulai persidangan mantan perwira Angkatan Darat yang dituduh melakukan kejahatan kemanusiaan dalam penembakan yang menewaskan lima orang, termasuk empat remaja, di Paniai, Provinsi Papua, pada tahun 2014. Namun demikian para LSM mengkritik pemerintah karena menunjuk hanya satu terdakwa dalam kasus tersebut, walau sebuah penyelidikan Komnas HAM mengindikasikan adanya tersangka-tersangka lain. Menurut laporan media para anggota keluarga korban menolak untuk menghadiri sidang awal. Para hakim menemukan bukti pelanggaran berat hak asasi manusia namun memutuskan bahwa terdakwa tidak bertanggung jawab dan tidak dapat dimintai pertanggungjawaban. Pada bulan Desember dia dibebaskan dari semua tuduhan.

Investigasi internal yang dilakukan oleh aparat keamanan seringkali tidak jelas, sehingga sulit untuk mengetahui unit dan aktor mana yang terlibat, terutama jika terjadi di wilayah Papua. Investigasi internal terkadang dilakukan justru oleh unit yang dituduh melakukan pelanggaran tersebut atau, dalam kasus-kasus yang mendapat sorotan publik, oleh tim yang dikirim dari Markas Besar Polri atau TNI di Jakarta. Kasus-kasus yang melibatkan anggota militer dapat diajukan ke pengadilan militer untuk penuntutan atau, jika menyangkut kepolisian, ke kejaksaan. Sidang-sidang pengadilan seperti ini tidak transparan dan hasilnya tidak selalu diumumkan kepada publik. Korban atau keluarganya dapat mengajukan laporan kepada Komisi Kepolisian Nasional, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, atau Ombudsman Nasional untuk meminta penyelidikan independen terhadap  insiden yang bersangkutan. Kurangnya investigasi dan proses peradilan yang transparan terus menghambat akuntabilitas untuk berbagai kasus di masa lalu yang melibatkan aparat keamanan. Para LSM terus mendesak dilakukannya penyelidikan dan penyelesaian hukum atas kasus-kasus di masa lalu yang melibatkan aparat keamanan dalam tindak pembunuhan, penculikan, dan kekejaman yang terjadi sejak tahun 1965.

Kondisi di Penjara dan Rumah Tahanan

Kondisi di 526 penjara dan pusat penahanan di negara ini sering kali keras dan terkadang mengancam jiwa, terutama dikarenakan kepadatan.

Kondisi Fisik Yang Sarat Kekerasan: Kepadatan merupakan masalah serius, termasuk di rumah detensi imigrasi. Menurut Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, pada bulan September terdapat lebih dari 276.000 narapidana dan tahanan di lapas dan rutan yang pada kenyataannya hanya dirancang untuk menampung maksimal 132.107 orang. Kepadatan menimbulkan masalah kebersihan dan ventilasi. Tingkat kepadatan berbeda-beda di setiap fasilitas. Penjara dengan tingkat keamanan minimum dan menengah seringkali merupakan penjara yang paling penuh sesak; penjara dengan tingkat keamanan maksimum cenderung menampung penghuni dalam jumlah sesuai kapasitas atau dibawahnya.

Berdasarkan undang-undang, penjara seharusnya menahan orang yang dinyatakan bersalah oleh pengadilan, sementara rumah tahanan menahan mereka yang menunggu proses persidangan. Sebagian besar penjara memiliki dua fasilitas di lingkungan yang sama, dimana salah satunya dirancang untuk tahanan yang menunggu persidangan dan satu lagi untuk narapidana yang menjalankan hukuman. Orang-orang yang ditahan di kedua fasilitas tersebut biasanya tidak bercampur. Namun, terkadang petugas menahan tahanan secara bersamaan dengan narapidana karena padatnya fasilitas tersebut.

Menurut undang-undang, anak yang dihukum karena tindak pidana berat menjalani hukuman mereka di penjara anak, walau beberapa anak yang dihukum tetap berada di penjara dewasa meskipun ada upaya untuk mengakhiri praktik ini.

Berdasarkan pengamatan para LSM, kondisi di lapas/rutan untuk perempuan secara signifikan cenderung lebih baik daripada di lapas laki-laki. Akan tetapi, blok-blok sel perempuan di dalam penjara yang menahan narapidana dari kedua jenis kelamin tidak selalu memberikan akses kepada narapidana perempuan ke fasilitas yang diberikan kepada narapidana laki-laki, seperti misalnya akses ke fasilitas olahraga.

Beberapa LSM mencatat bahwa pihak berwenang terkadang tidak memberikan perawatan medis yang memadai kepada narapidana. Aktivis hak asasi manusia menyatakan kurangnya sumber daya sebagai penyebabnya.

Para LSM internasional dan lokal melaporkan bahwa terkadang narapidana tidak memiliki akses ke air minum bersih setiap saat. Terdapat banyak laporan bahwa pemerintah tidak menyediakan makanan yang cukup untuk narapidana, dan anggota keluarga mereka sering membawakan makanan tambahan untuk memenuhi kebutuhan makan para narapidana.

Petugas di rumah tahanan dan penjara seringkali memeras uang dari para narapidana, dan para narapidana melaporkan terjadinya penganiayaan fisik oleh sipir. Narapidana yang mendapat kirimkan uang sering menyuap atau membayar petugas lapas untuk bantuan, makanan, telepon, atau narkoba. Penggunaan dan produksi obat-obatan terlarang di penjara merupakan masalah serius, dimana beberapa jaringan narkoba menjalankan kegiatan kriminal mereka dari dalam penjara.

Pada bulan Maret Komnas HAM mengumumkan bahwa mereka sedang menyelidiki dugaan penyiksaan oleh petugas penjara di Lapas Narkotika Kelas 2A di Yogyakarta. Tuduhan termasuk pemukulan dengan tangan kosong dan menggunakan alat.

Administrasi: Undang-undang memungkinkan narapidana dan tahanan untuk mengajukan pengaduan kepada pihak berwenang tanpa disensor dan untuk meminta dilakukannya penyelidikan terhadap kekurangan-kekurangan yang ada. Pengaduan diajukan ke Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, yang kemudian diselidiki dan dilakukan kajian yudisial independen.

Pemantauan Independen: Beberapa LSM mendapatkan akses ke penjara namun diharuskan untuk terlebih dahulu mendapatkan izin, termasuk persetujuan dari polisi, jaksa agung, pengadilan, Kementerian Dalam Negeri, dan lembaga-lembaga  lainnya. Berbagai LSM melaporkan bahwa petugas jarang mengizinkan pertemuan secara langsung dengan tahanan untuk dilakukannya wawancara. Tidak ada pemantauan independen yang dilakukan secara berkala terhadap penjara.

  1. Penangkapan atau Penahanan Sewenang-wenang

Undang-undang melarang penangkapan dan penahanan sewenang-wenang dan mengatur hak setiap orang untuk mengajukan keberatan terhadap penangkapan atau penahanannya di depan pengadilan. Pemerintah pada umumnya memenuhi ketentuan ini, namun terdapat beberapa kasus dimana hal ini tidak dilakukan.

Prosedur Penangkapan dan Perlakuan Terhadap Tahanan

Aparat keamanan harus menunjukkan surat perintah saat melakukan penangkapan. Terdapat pengecualian terhadap ketentuan ini jika, misalnya, tersangka tertangkap tangan melakukan kejahatan. Undang-undang mengizinkan penyidik untuk menerbitkan surat perintah, namun terkadang pihak berwenang, terutama polisi dari Reserse Kriminal (Reskrim), melakukan penangkapan yang dipertanyakan keabsahannya tanpa surat perintah.

Menurut undang-undang, tersangka atau terdakwa memiliki hak untuk menghubungi keluarga segera setelah ditangkap dan menghubungi penasihat hukum yang mereka pilih di setiap tahapan penyelidikan. Beberapa organisasi bantuan hukum melaporkan banyak kasus di mana mereka kesulitan bertemu dengan tahanan, terutama jika ditemukan atau terdapat tuduhan kekerasan fisik atau kekerasan lainnya selama atau setelah penangkapan ketika akses diberikan.

Petugas pengadilan seharusnya menyediakan penasihat hukum gratis untuk semua orang yang dituntut dengan tindak pidana dengan ancaman hukuman mati atau penjara selama 15 tahun atau lebih, dan bagi terdakwa miskin yang menghadapi ancaman hukuman penjara lima tahun atau lebih. Akan tetapi bantuan hukum seperti itu terbatas, dan nasihat hukum gratis jarang diberikan. Berbagai LSM melaporkan bahwa beberapa oknum polisi dan jaksa memiliki “pengacara yang mereka dikantongi” yang dapat dipanggil sewaktu-waktu untuk memberikan pembelaan pro forma bagi klien mereka.

Tidak ada sistem uang jaminan; namun tahanan dapat meminta penangguhan penahanan, yang dapat diberikan oleh penyidik, penuntut umum, atau hakim. Selain itu, tahanan dapat mengajukan keberatan terhadap penangkapan dan penahanan mereka dengan cara mengajukan permohonan untuk sidang praperadilan. Menurut undang-undang, hakim harus memulai sidang praperadilan dalam waktu tiga hari sejak diterimanya permohonan dan memberikan putusan dalam waktu tujuh hari setelah sidang dimulai. Beberapa advokat enggan untuk meminta penangguhan ini, karena terkadang dokumen yang harus ditandatangani klien mereka sebagai syarat pembebasan mengandung pernyataan yang dapat ditafsirkan sebagai pengakuan bersalah.

Kurangnya sumber daya hukum menimbulkan masalah besar bagi orang-orang yang terlibat dalam sengketa tanah. Telah dilaporkan bahwa pejabat pemerintah daerah dan pemilik tanah besar yang terlibat dalam perampasan tanah terkadang menuduh aktivis masyarakat melakukan tindak kejahatan, dengan harapan bahwa penahanan atau penangkapan mereka dan kurangnya sumber daya hukum dan keuangan yang dimiliki masyarakat akan menghambat upaya untuk melawan perampasan tanah.

Penangkapan Sewenang-wenang: Terdapat sejumlah laporan mengenai penangkapan sewenang-wenang oleh polisi, terutama oleh Badan Reserse Kriminal dan Korps Brigade Mobil (Brimob), yakni sebuah unit taktis kepolisian yang bertugas melawan terorisme, pengendalian huru-hara, dan penegakan hukum berisiko tinggi. Ada banyak laporan media dan LSM tentang polisi yang menahan sementara orang-orang karena mengkritik pemerintah, ikut serta dalam demonstrasi damai, dan kegiatan damai lainnya.

Pada tanggal 22 Februari di Sumatera Selatan, tiga petugas Polres Lubuklinggau Utara menangkap Hermanto (yang tidak memiliki nama belakang) tanpa surat perintah atas dugaan pencurian. Hermanto meninggal dalam tahanan setelah 11 jam ditahan. KontraS melaporkan adanya tanda-tanda kekerasan yang berlebihan selama penangkapan dan penahanan yang dibuktikan dengan kesaksian keluarga tentang luka, memar, dan patah tulang. Kapolres Lubuklinggau Toni Harmanto menyebut empat anggota polisi yang diduga melakukan penyiksaan dan berjanji akan membawa mereka ke pengadilan. Hingga November, para tersangka sedang menunggu persidangan.

Beberapa LSM melaporkan banyak kasus penangkapan sewenang-wenang di seluruh negeri, banyak diantaranya terkait dengan demonstrasi politik dan sengketa tanah, dan banyak yang terjadi di wilayah Papua (lihat bagian 1.g.). Sebagian besar dari mereka yang ditahan dalam kasus seperti ini dibebaskan dalam waktu 24 jam.

Penahanan Pra-Persidangan: Jika seseorang diputus bersalah, masa penahanan pra-persidangan dihitung sebagai hukuman yang dijatuhkan. Namun demikian media melaporkan adanya kasus-kasus di mana tersangka ditahan lebih lama dari yang diperbolehkan berdasarkan undang-undang, terkadang berujung pada pembebasan orang yang telah dinyatakan bersalah karena masa penahanan pra-persidangan sama atau lebih pendek daripada hukuman yang dijatuhkan. Hal ini umumnya terjadi pada kasus tindak pidana ringan dengan hukuman kurang dari satu tahun. Tersangka terorisme diatur berdasarkan aturan khusus. Pemerintah tidak melaporkan jumlah tersangka yang ditahan menunggu persidangan.

  1. Tidak Diberikannya Sidang Terbuka Yang Adil

Undang-undang menetapkan badan peradilan yang independen dan hak atas persidangan terbuka yang adil, namun peradilan tetap sangat korup (lihat bagian 5) dan tunduk pada pengaruh pihak eksternal, termasuk terhadap kepentingan bisnis, politisi, aparat keamanan, dan pejabat pemerintah eksekutif.

Desentralisasi menciptakan kesulitan dalam eksekusi putusan pengadilan, dan terkadang pemerintah daerah mengabaikannya.

Empat pengadilan negeri berwenang untuk mengadili kasus-kasus pelanggaran HAM berat sistemik berdasarkan rekomendasi Komnas HAM. Persidangan kasus-kasus seperti ini jarang terjadi (lihat bagian 1.c., untuk informasi tentang persidangan pertama seperti itu sejak 2005, atas pembunuhan lima orang pada tahun 2014 di Paniai, Provinsi Papua).

Di bawah sistem pengadilan syariah di Aceh, 23 pengadilan agama dan satu pengadilan banding memiliki wewenang memeriksa kasus. Pengadilan-pengadilan ini biasanya mengadili kasus yang melibatkan orang Muslim dan mendasarkan putusan mereka pada keputusan yang dirumuskan oleh pemerintah daerah dan bukan hukum pidana nasional.

Pada bulan Desember 2021, beberapa LSM menuntut pembebasan LK, seorang individu berusia 14 tahun, yang dijatuhi hukuman delapan tahun penjara setelah ditahan setelah terjadinya sebuah serangan di bulan September 2021 terhadap pos militer di Kisor, Maybrat, Provinsi Papua Barat, yang mengakibatkan kematian empat tentara. Para LSM mengatakan tersangka disiksa selama penahanan dan tidak mendapatkan persidangan yang adil. Polisi diduga menggunakan video yang direkayasa untuk menuntut pengacara tersangka atas tindak pidana penistaan agama dan “menyebabkan kebencian agama dan ras.” Hingga November, kasus LK belum terselesaikan.

Proses Persidangan

Konstitusi menjamin hak atas persidangan yang adil dan terbuka bagi umum, namun korupsi dan pelanggaran di kalangan hakim menghalangi pemenuhan hak ini. Praduga tak bersalah tidak selalu dijaga; beberapa pengadilan, misalnya, menerima pengakuan yang dipaksa sebagai alat bukti. Persidangan tidak selalu tepat waktu; proses pengadilan syariah di Aceh dan beberapa persidangan militer tidak terbuka untuk umum.

Undang-undang memberi hak kepada terdakwa untuk didampingi pengacara sejak penangkapan dan pada setiap tahap penyidikan dan persidangan. Secara hukum, terdakwa yang tidak mampu berhak atas bantuan hukum, walau mereka harus membuktikan bahwa mereka tidak memiliki uang untuk menyewa penasihat hukum pribadi. Namun berbagai LSM melaporkan bahwa terdakwa di banyak daerah di Indonesia tidak mendapatkan akses terhadap bantuan hukum karena kurangnya organisasi bantuan hukum di daerah tersebut. Walau jika organisasi bantuan hukum ada di daerah tersebut, staf mereka seringkali terlalu sedikit jumlahnya untuk mendampingi semua terdakwa yang tidak mampu. Sebagai akibatnya, terdapat banyak kasus di mana terdakwa diadili tanpa pendamping hukum. Terdakwa yang dituntut dengan tindak pidana dengan ancaman hukuman mati atau penjara 15 tahun atau lebih diharuskan memiliki penasihat hukum; namun berbagai LSM melaporkan kasus-kasus di mana penasihat hukum yang diberikan kepada para terdakwa ini memiliki hubungan dengan jaksa penuntut.

Meskipun tersangka memiliki hak untuk mengkonfrontir saksi dan memanggil saksi untuk pembelaan mereka, hakim dapat mengizinkan pernyataan yang diberikan di bawah sumpah (affidavit) jika jarak terlalu jauh atau biaya transportasi saksi ke pengadilan terlalu mahal, sehingga menghilangkan kesempatan pemeriksaan silang. Beberapa pengadilan membatasi penyajian alat bukti oleh tergugat.

Napi dan Tahanan Politik

Sejumlah LSM memperkirakan bahwa hingga bulan September, 14 tahanan politik dari wilayah Papua telah ditahan, baik yang menunggu persidangan maupun yang telah divonis berdasarkan ketentuan pidana makar dan persekongkolan, termasuk dikarenakan menampilkan simbol separatis yang dilarang. Selain itu, tiga tahanan politik Maluku masih mendekam di penjara menurut beberapa LSM.

Menurut Amnesty International, pihak berwajib telah menahan setidaknya 300 orang Papua antara bulan Januari dan September karena ikut serta dalam protes damai; banyak yang dibebaskan tanpa dituntut.

Pada bulan Februari persidangan Victor Yeimo, juru bicara Komite Nasional   Papua Barat (KNPB), dimulai di Jayapura, Provinsi Papua. Ditangkap pada Mei 2021, dia didakwa atas delik permufakatan jahat, penghasutan, dan makar akibat keterlibatannya dalam demonstrasi anti-rasisme dengan kekerasan di Provinsi Papua dan Papua Barat pada tahun 2019. Pengacaranya melaporkan Victor ditangkap tanpa surat perintah dan dipindahkan ke rumah tahanan Korps Brimob tanpa pemberitahuan kepada pengacaranya. Pada bulan Agustus 2021, pengadilan Jayapura menolak permohonan praperadilan yang diajukannya atas penyelewengan-penyelewengan ini. Berbagai LSM menuduhkan bahwa tuntutan terhadap Yeimo adalah upaya tak berdasar untuk membungkam perjuangan damai untuk pemisahan Papua. Persidangan Yeimo masih berlangsung pada bulan September.

Aktivis setempat dan anggota keluarga biasanya diizinkan untuk mengunjungi tahanan politik, tetapi pihak berwenang menahan beberapa tahanan di pulau-pulau yang jauh dari keluarga mereka.

Prosedur Peradilan Perdata dan Pemulihan

Korban pelanggaran hak asasi manusia dapat mengupayakan ganti rugi melalui sistem peradilan perdata, namun korupsi yang meluas dan pengaruh politik menghambat akses korban terhadap keadilan.

Penyitaan Harta Benda dan Restitusi

Undang-undang pertanahan memungkinkan pemerintah untuk mengambil alih tanah untuk kepentingan umum, asalkan pemerintah memberi kompensasi yang layak kepada pemiliknya. Berbagai LSM telah menuduh pemerintah menyalahgunakan wewenangnya untuk mengambil alih atau memfasilitasi pemerolehan swasta atas tanah untuk proyek pembangunan, seringkali tanpa kompensasi yang adil.

Akses dan kepemilikan tanah merupakan sumber utama konflik. Polisi terkadang mengusir mereka yang terlibat dalam sengketa tanah tanpa proses hukum, seringkali memihak badan usaha yang menggugat dan bulan individu atau masyarakat setempat.

Pada bulan Februari aparat kepolisian dalam jumlah besar dikerahkan untuk menangani demonstrasi di Wadas, Jawa Tengah, yang menentang pembangunan Bendungan Bener dan kegiatan pertambangan di komunitas mereka. Media melaporkan ribuan petugas polisi tiba di desa tersebut, memasuki rumah penduduk dan mengintimidasi warga, termasuk menahan anak-anak dan orang tua. Enam puluh tujuh penduduk desa ditahan oleh pihak berwenang; sebagian besar dibebaskan tanpa dakwaan setelah menjalani penahanan singkat. Para aktivis menuduh polisi mencoba mengintimidasi warga desa untuk mengizinkan proyek pembangunan.

Sengketa batas wilayah, terutama di wilayah Kalimantan dan Papua di mana beberapa provinsi baru dibentuk, turut mengakibatkan izin yang tumpang tindih, sengketa kepemilikan tanah, industri ekstraktif yang tidak diawasi, dan korupsi.

 

  1. Campur Tangan Sewenang-wenang atau Melanggar Hukum terhadap Privasi, Keluarga, Rumah, atau Korespondensi

Pada tanggal 6 Desember, DPR dengan suara bulat mengesahkan undang-undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (UU KUHP)  baru yang mengkriminalisasi hubungan seksual di luar nikah dan hidup bersama layaknya suami isteri di luar nikah. Pengaduan hanya dapat diajukan oleh orang tua, pasangan, atau anak dari terdakwa. Pemerintah memiliki waktu dua tahun untuk menyiapkan peraturan pelaksana, yang dapat menentukan bagaimana undang-undang tersebut dilaksanakan dan terhadap siapa saja undang-undang tersebut berlaku. Undang-undang tersebut belum berlaku pada tanggal 31 Desember dan memerlukan hingga tiga tahun untuk berlaku secara efektif.

Undang-undang mensyaratkan adanya surat perintah pengadilan untuk dilakukannya penggeledahan kecuali dalam kasus yang terkait subversi, kejahatan ekonomi, dan korupsi. Pihak berwenang umumnya mematuhi ketentuan ini. Undang-undang juga mengatur penggeledahan tanpa surat perintah jika keadaan “mendesak dan memaksa.” Polisi di berbagai daerah di Indonesia terkadang mengambil tindakan tanpa wewenang atau melanggar privasi individu.

Sejumlah LSM mengklaim bahwa petugas terkadang melakukan pengintaian tanpa surat perintah terhadap individu dan tempat tinggal mereka dan mendengarkan panggilan telepon.

  1. Pelanggaran Terkait Konflik

Wilayah Papua merupakan daerah dimana terdapat gerakan-gerakan separatis yang memperjuangkan pembentukan negara merdeka. Kelompok separatis bersenjata yang paling terkenal adalah Organisasi Papua Merdeka, yang mengaku telah melakukan ratusan serangan terhadap pejabat pemerintah dan warga sipil sejak tahun 1970-an. Pemerintah berusaha untuk menekan gerakan separatis ini terutama melalui keberadaan anggota militer dan polisi dalam jumlah besar, dan melalui status “otonomi khusus” yang diberikan kepada wilayah tersebut pada tahun 2002 dan yang direvisi pada tahun 2021.

Pada tanggal 1 Maret, tiga pelapor khusus PBB mengeluarkan pernyataan bersama yang mengungkapkan kekhawatiran serius terkait memburuknya situasi hak asasi manusia di wilayah Papua. Pernyataan itu menyebutkan pembunuhan seorang perwira tinggi militer pada bulan April 2021 oleh Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat yang mengakibatkan penurunan penghormatan hak asasi manusia, termasuk laporan adanya penghilangan paksa, pembunuhan anak, dan pemindahan paksa sekitar 5.000 orang asli Papua sejak April. Para pelapor khusus meminta pemerintah untuk memberikan akses kemanusiaan tanpa halangan ke wilayah tersebut dan untuk melakukan investigasi menyeluruh dan independen atas pelanggaran untuk memastikan mereka yang bertanggung jawab, termasuk pejabat militer, dimintai pertanggungjawaban.

Pada bulan Juni tanpa persetujuan derah DPR mensahkan undang-undang ,  pembentukan  tiga provinsi baru dari kabupaten-kabupaten yang semula berada di bawah Provinsi Papua. Revisi tersebut juga meningkatkan dukungan anggaran untuk wilayah Papua, namun beberapa pihak mengkritik bahwa ketentuan ini memperkuat kendali pemerintah pusat atas pembangunan. Para analis memandang bahwa pembentukan provinsi-provinsi baru akan mempercepat penerbitan izin untuk penggalian sumber daya alam dan dapat mendorong ketimpangan yang lebih besar, yang mengarah ke peningkatan konflik. Pada saat berlangsungnya demonstrasi yang menentang undang-undang yang diusulkan tersebut pada tanggal 15 Maret, polisi menembak dan membunuh dua pengunjuk rasa Papua dan melukai sedikitnya dua orang lainnya.

Pada bulan Juli sebuah video beredar yang menunjukkan seorang tersangka anggota kelompok bersenjata yang mengeksekusi seorang pria di Kabupaten Pegunungan Bintang di Papua. Terduga anggota kelompok bersenjata tersebut mengklaim bahwa eksekusi tersebut menunjukkan penentangan kelompok tersebut terhadap pembentukan provinsi-provinsi baru oleh pemerintah di wilayah tersebut. Pada bulan setelah disahkannya undang-undang provinsi baru tersebut (Juli) terjadi peningkatan kekerasan sebesar 300 persen di Papua dibandingkan dengan bulan sebelumnya (Mei) menurut Armed Conflict Location and Event Data Project.

Pembunuhan: Pembatasan kegiatan pers independen dan LSM di daerah tersebut, dan terhadap kunjungan penyelidik internasional, membuat sulit untuk menentukan keabsahan laporan atau untuk menetapkan siapa yang bertanggungjawab atas pembunuhan di wilayah Papua. Pemerintah dan kelompok separatis sering memberikan laporan yang saling bertentangan mengenai siapa yang bertanggung jawab atas pembunuhan dan apakah korbannya adalah warga sipil atau kombatan. Armed Conflict Location and Event Data Project, sebuah LSM peneliti internasional, melaporkan 82 kematian di seluruh negeri akibat bentrokan dan kekerasan terhadap warga sipil dari tanggal 1 Januari hingga 16 September; sebagian besar insiden terjadi di wilayah Papua. Organisasi hak asasi manusia KontraS melaporkan setidaknya tujuh kematian di tangan anggota militer dari bulan Januari hingga Agustus. Secara terpisah, Pemantau Hak Asasi Manusia, sebuah LSM yang berbasis di Papua, melaporkan empat kematian warga sipil di tangan pasukan keamanan dan 32 kematian warga sipil di tangan kelompok separatis bersenjata dari Januari hingga Oktober. Pada bulan Juli, sebuah kelompok kriminal bersenjata yang diduga dipimpin oleh Egianus Kogoya menyerang warga sipil di Kabupaten Nduga, Papua, menewaskan 10 orang dan melukai dua lainnya, menurut laporan media dan pemerintah. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia mengutuk serangan itu, dan Amnesti Indonesia menuntut dilakukannya penyelidikan penuh. Selama ini kelompok bersenjata yang sama menyasar pasukan keamanan dan warga sipil, termasuk beberapa serangan terhadap pekerja konstruksi dan pekerja lainnya dalam beberapa tahun terakhir. Beberapa akun media sosial yang mengaku mewakili kelompok bersenjata itu mengancam para pendatang dan warga non-Papua yang menetap di wilayah tersebut.

Pada tanggal 22 Agustus, beberapa perwira dan personil militer setempat dilaporkan membunuh dan memutilasi empat orang Papua di Kabupaten Mimika, Provinsi Papua; keempatnya diduga terlibat dalam perdagangan senjata. Polisi menyatakan salah satu korban juga terkait dengan kelompok pemberontak; keluarga korban membantah klaim tersebut. Presiden memerintahkan militer untuk menyelidiki insiden tersebut. Seorang pimpinan angkatan darat mengatakan kepada pers bahwa para tentara yang terlibat akan dibawa ke pengadilan militer, namun bahwa tindakan tersebut bukan merupakan pelanggaran hak asasi manusia. Hingga bulan Oktober, kasus tersebut belum terselesaikan.

Pada bulan Agustus, presiden menandatangani sebuah keputusan yang membentuk sebuah tim untuk mengupayakan penyelesaian non-yudisial atas  pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu di wilayah Papua, meskipun para aktivis memperingatkan bahwa langkah ini dapat memberikan kekebalan hukum kepada para pelaku. Anggota tim mulai bekerja pada bulan September.

Terdapat berbagai laporan tentang dugaan penggunaan senjata yang tidak mengambil tindakan pencegahan yang memadai untuk menghindari korban sipil. Sebagai contoh, pada Oktober 2021 delapan desa di Provinsi Papua diduga dibom oleh pasukan pemerintah dengan menggunakan mortir yang diperoleh dari luar negeri untuk badan intelijen negara, menurut organisasi Conflict Armed Research yang berbasis di London.

Penganiayaan Fisik, Hukuman, dan Penyiksaan: Organisasi hak asasi manusia dan media melaporkan pasukan keamanan di wilayah Papua seringkali menggunakan kekerasan berlebihan terhadap warga sipil dan menganiaya secara fisik orang-orang yang berada di dalam tahanan.

Kelompok separatis secara terbuka menuntut warga non-pribumi untuk meninggalkan wilayah Papua dan menyasar warga sipil yang dianggap non-pribumi. Kelompok bersenjata menggunakan media sosial untuk mengancam pendatang dari daerah lain di negara ini yang pindah ke beberapa daerah  di Papua. Pada bulan September, postingan di media sosial oleh seseorang yang mengaku mewakili kelompok separatis menuduh anggota Sekretariat Komnas HAM Papua sebagai petugas intelijen dan mengancam akan membunuh mereka jika mereka melakukan perjalanan ke “wilayah” kelompok tersebut.

Meskipun penyelidikan transparan terhadap dugaan pelanggaran oleh pasukan pemerintah jarang dilakukan, pada bulan September Komnas HAM Papua mempublikasikan hasil penyelidikannya terhadap 18 prajurit batalyon infanteri Raider 600/Modang yang diduga menyiksa dua warga sipil di Kabupaten Mappi, Provinsi Papua Selatan, pada bulan Agustus. Komisi tersebut mengatakan bahwa para tentara tersebut menahan paksa Bruno Kimko dan Yohanis Kanggun dan membawa mereka ke pos militer setelah adanya laporan bahwa keduanya melecehkan seorang perempuan setempat dan menyerahkan berkas kasus mereka ke jaksa militer. Menurut tuduhan Secretariat Komnas, sejumlah tentara tersebut menyiksa keduanya selama delapan jam, menyebabkan kematian Kimbo dan menyebabkan luka parah pada Kanggun. Hingga Oktober, tidak satu pun dari 18 anggota tersebut yang didakwa.

Bagian 2. Penghormatan terhadap Kebebasan Sipil

  1. Kebebasan Berekspresi, Termasuk bagi Insan Pers dan Media Lainnya

Konstitusi memberikan kebebasan berekspresi, termasuk bagi anggota pers dan media lainnya. Namun undang-undang memberlakukan berbagai pembatasan dalam pelaksanaannya, termasuk hukuman pidana untuk pencemaran nama baik, ujaran kebencian, penistaan, ungkapan tidak senonoh, dan penyebaran informasi bohong. Terdapat banyak laporan tentang digunakannya ketentuan undang-undang untuk menghalangi kritik terhadap pemerintah. Kebenaran suatu pernyataan dalam hal ini tidak dapat digunakan sebagai pembelaan.

Kebebasan Berekspresi: Undang-undang mengkriminalisasi ucapan yang dianggap mencemarkan nama baik atau reputasi seseorang (lihat Hukum Pencemaran Nama Baik/Fitnah di bawah); menghina suatu agama; menyebarkan ujaran kebencian; menyebarkan informasi palsu; pernyataan cabul; atau mendukung separatisme. Pembaharuan kitab undang-undang hukum pidana yang disahkan oleh DPR pada tanggal 6 Desember mengkriminalisasi penghinaan terhadap lembaga negara dan kritik terhadap presiden dan wakil presiden. Selain itu, siapa pun yang dinyatakan bersalah menyebabkan orang lain kehilangan agamanya dapat dihukum hingga dua tahun penjara. Pemerintah memiliki waktu dua tahun untuk menyiapkan peraturan pelaksananya, yang dapat menentukan bagaimana dan terhadap siapa undang-undang tersebut diterapkan. Kitab undang-undang tersebut belum berlaku pada tanggal 31 Desember dan bisa membutuhkan waktu hingga tiga tahun lagi sebelum menjadi berlaku.

Kejaksaan Agung berwenang untuk memantau karya tulis dan meminta penetapan pengadilan untuk pelarangan suatu karya tulis. Penyebaran ujaran kebencian atau informasi bohong dapat dipidana hingga enam tahun penjara. Ketentuan undang-undang yang mengatur pornografi banyak diterapkan untuk membatasi konten yang dianggap menyinggung norma kesusilaan setempat. Penistaan agama dapat dihukum hingga lima tahun penjara. Namun, kasus penistaan agama biasanya diadili berdasarkan undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik, yang sering digunakan untuk mengatur ucapan online dan mengandung ancaman setinggi-tingginya enam tahun hukuman penjara. Sejumlah LSM menyatakan bahwa undang-undang ini juga sering digunakan untuk menyeret para pihak yang mengungkapkan kritik terhadap pemerintah ke pengadilan.

Pada bulan Juni, enam karyawan Holywings didakwa dengan penistaan agama setelah membuat kampanye iklan yang menawarkan sebotol gin gratis kepada semua laki-laki bernama Muhammad dan perempuan bernama Maria setiap hari Kamis. Menurut laporan media, setidaknya dua organisasi keagamaan telah melaporkan restoran tersebut ke pihak berwenang. Badan usaha tersebut telah mengeluarkan permintaan maaf dan mengklaim manajemen tidak mengetahui perihal upaya promosi tersebut. Jika terbukti bersalah, para karyawan tersebut menghadapi hukuman lima tahun penjara.

Kekerasan dan Pelecehan: Dari bulan Januari hingga September, Aliansi Jurnalis Independen melaporkan 30 kasus kekerasan terhadap jurnalis yang meliputi doxing, penganiayaan fisik, dan intimidasi dan ancaman verbal yang dilakukan oleh berbagai pelaku, termasuk pejabat pemerintah, anggota polisi dan aparat keamanan, anggota ormas, dan anggota masyarakat.

Pada bulan Januari, Pengadilan Negeri Surabaya menjatuhkan hukuman 10 bulan penjara (diturunkan menjadi delapan bulan setelah naik banding) kepada dua polisi yang dinyatakan bersalah menyerang jurnalis Tempo Nurhadi (tanpa nama belakang) pada bulan Maret 2021. Pada bulan Mei, sidang disipliner kepolisian daerah Jawa Timur menjatuhkan 14 hari kurungan terhadap salah satu petugas. Serangan tersebut terjadi setelah wartawan menyelidiki korupsi yang melibatkan pejabat setempat. Kasus tersebut menyajikan putusan bersalah yang jarang dijatuhkan terhadap petugas kepolisian atas penyerangan terhadap jurnalis, namun para LSM mengkritik ringannya hukuman yang dijatuhkan.

Pada bulan Agustus, Wakil Walikota Tidore, Muhammad Sinen, di Maluku Utara dituduh mengintimidasi Nurkholis Lamau, redaktur situs berita Cermat. Sinen meminta Lamau untuk menghapus artikel berjudul “Hirup Debu Batubara Dapat Pahala” karena artikel tersebut menyatakan bahwa polusi dari tambang batubara yang beroperasi di bawah izin yang disetujui oleh wakil walikota bertentangan dengan klaim Sinen mengenai dukungannya terhadap sumber energi yang ramah lingkungan. Keponakan wakil walikota dilaporkan menyerang dan mengancam Lamau di depan keluarganya. Pada tanggal 8 September, Pengadilan Soasiu di Tidore menghukum keponakan wakil walikota satu bulan penjara dengan masa percobaan tiga bulan karena pelanggaran ringan.

Pada bulan September, karyawan perusahaan media Narasi menjadi korban serangan siber yang berupaya mengambil kendali atas akun mereka di Telegram, Instagram, Facebook, dan Twitter. Selama akhir pekan yang sama, para anggota redaksi Narasi menerima ancaman melalui surat yang mengatakan “diam atau mati”. Pada bulan Oktober, Aliansi Jurnalis Independen, Lembaga Bantuan Hukum Pers, dan SAFEnet mengajukan petisi online dengan lebih dari 16.000 tanda tangan ke Kantor Staf Kepresidenan yang menuntut penyelidikan terhadap serangan siber tersebut.

Anggota pers terkadang menghadapi pelecehan dan ancaman saat menyelidiki kasus yang melibatkan pemerintah atau kepolisian. Pada bulan September, dua wartawan diserang oleh tiga pria saat mencari informasi terkait pembunuhan yang dilakukan oleh mantan Kepala Divisi Propam POLRI Irjen Ferdy Sambo. Para penyerang          mengambil ponsel mereka, menghapus gambar dan rekaman, dan menggeledah tas mereka. Pemerintah mengambil tindakan hukum terhadap salah satu penyerang, yang merupakan mantan sopir Sambo, sedangkan keterangan mengenai dua penyerang lainnya tidak diketahui.

Penyensoran atau Pembatasan Konten Terhadap Anggota Pers dan Media Lainnya, Termasuk Media Daring: Pemerintah terkadang menggunakan peraturan daerah dan nasional, termasuk tentang penistaan agama, ujaran kebencian, pencemaran nama baik, informasi palsu, dan separatisme, untuk membatasi media. Memperoleh izin perjalanan ke wilayah Papua sulit bagi jurnalis asing, yang melaporkan terjadinya penundaan atau penolakan birokrasi, yang diklaim dilakukan atas nama keamanan negara.

Sejumlah LSM melaporkan bahwa penyensoran diri oleh jurnalis tentang peraturan sekolah yang kontroversial yang mewajibkan anak perempuan untuk mengenakan jilbab menutupi banyaknya siswi yang mengenakan jilbab hanya karena tekanan sosial. Menurut para LSM, para jurnalis tersebut mengambil langkah tersebut karena khawatir akan dikucilkan secara profesional.

Ketentuan Undang-undang Tentang Pencemaran Nama Baik/Fitnah: Ketentuan pidana tentang pencemaran nama baik melarang pencemaran nama baik dan fitnah, yang dapat dihukum dengan hukuman penjara lima tahun. Para LSM menuduh bahwa beberapa pejabat pemerintah, termasuk dari kepolisian dan pengadilan, secara tebang pilih menggunakan ketentuan pidana pencemaran nama baik untuk mengintimidasi individu dan membatasi kebebasan berekspresi.

Pada bulan Maret Andi Dharmawansyah dijatuhi hukuman enam bulan penjara karena mencemarkan nama baik Andi Suryanto Asapa, mantan Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Sinjai, Provinsi Sulawesi Selatan. Pengadilan Tinggi Makassar menolak kasasi Dharmawansya pada Agustus lalu. Pada Februari 2021, Dharmawansyah memposting tuduhan secara online bahwa Asapa adalah dalang pemotongan dana kompensasi yang ditujukan untuk ahli waris tenaga kesehatan yang meninggal akibat COVID-19.

Misalnya, pada bulan Maret polisi secara resmi menetapkan Fatia Maulidiyanti, koordinator KontraS, dan Haris Azhar, direktur eksekutif Yayasan Lokataru, sebagai tersangka dalam laporan polisi yang diajukan di bulan September 2021 atas pencemaran nama baik oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Pandjaitan, dengan menggunakan ketentuan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Laporan dari Luhut Pandjaitan bermuara dari wawancara Maulidiyanti dengan Azhar yang berlangsung di bulan Agustus 2021 dan diunggah ke YouTube, di mana keduanya membahas laporan LSM bahwa beberapa pejabat pemerintah memiliki kepentingan ekonomi dalam konflik di Papua. Azhar dan Maulidiyanti ditetapkan sebagai tersangka oleh polisi namun tidak didakwa atas suatu tindak pidana hingga Oktober. Mereka menghadapi potensi hukuman empat tahun jika terbukti bersalah atas pencemaran nama baik dan enam tahun jika terbukti bersalah menyebarkan berita bohong.

Keamanan Negara: Pemerintah menggunakan ketentuan hukum yang melarang perjuangan separatisme untuk membatasi kemampuan individu dan media untuk melakukan advokasi secara damai untuk menentukan nasib sendiri atau kemerdekaan di beberapa daerah di negara ini.

Meskipun undang-undang mengizinkan pengibaran bendera yang melambangkan identitas budaya Papua secara umum, peraturan pemerintah yang secara spesifik melarang separatisme secara khusus tidak memperbolehkan pengibaran bendera Bintang Kejora di Papua, bendera Republik Maluku Selatan di Maluku, dan bendera Bulan Sabit dari Gerakan Aceh Merdeka di Aceh.

Dampak Non-Pemerintah: Kelompok Muslim garis keras terkadang mengintimidasi orang-orang yang dianggap mengkritik Islam atau kelompok yang dianggap sesat. Misalnya, hingga November, 37 keluarga Ahmadiyah masih mengungsi di Mataram, Nusa Tenggara Barat, 16 tahun setelah dipaksa meninggalkan kampung Gegerung mereka di Lombok Barat karena ancaman dan kekerasan.

Kebebasan di Internet

Undang-undang mengatur tentang kejahatan online secara luas, termasuk pornografi, perjudian, pemerasan, informasi palsu, ancaman, ujaran kebencian, konten rasis, dan pencemaran nama baik, dan pemerintah telah memperkirakan beberapa individu di pengadilan atas pernyataan mereka di dunia daring. Undang-undang mengandung ancaman hukuman maksimal enam tahun penjara, denda dalam jumlah besar, atau keduanya. Para LSM telah mengkritik ketentuan undang-undang tersebut yang dipandang tidak jelas dan ambigu, yang mereka amati telah disalahgunakan oleh pihak berwenang dan individu pribadi untuk membungkam dan menghukum para pengkritik, yang menyebabkan meningkatnya penyensoran diri oleh jurnalis dan aktivis.

Sejumlah LSM terus melaporkan bahwa pejabat pemerintah telah melakukan penekanan secara langsung terhadap penyedia layanan internet untuk menghambat komunikasi para pihak yang mereka pandang sebagai lawannya. Pada bulan Agustus, SAFEnet, yakni sebuah LSM yang berfokus pada kebebasan internet, mengatakan bahwa pemerintah semakin sering menggunakan kekuasaannya untuk mematikan internet guna membatasi arus informasi yang terbuka. LSM tersebut melaporkan kecurigaan mereka bahwa pemerintah telah membatasi layanan internet 12 kali dari bulan April hingga Mei dan 15 kali pada bulan Juni di wilayah Papua, mengakibatkan tidak dapat digunakannya internet secara efektif. Aktivis hak asasi manusia mengklaim pelambatan tersebut mungkin dirancang untuk mengganggu pelaporan pelanggaran hak asasi manusia oleh pemerintah di Provinsi Papua. Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta memutuskan bahwa pemerintah dapat memblokir akses internet selama terjadinya huru-hara di masyarakat.

Berbagai organisasi hak asasi manusia melaporkan bahwa peretas pro pemerintah sering menggunakan doxing, gangguan pada acara online, dan peretasan akun media sosial untuk mengancam dan mengintimidasi para pengkritik pemerintah. Aktivis juga melaporkan terjadinya “bom makanan”, di mana aplikasi online untuk memesan makanan diretas dan banyak pesanan yang dikirimkan atas nama LSM, jurnalis, dan lainnya ditempatkan dengan pilihan pembayaran tunai di tempat. SAFEnet melaporkan pada tahun 2021 bahwa para aktivis mengalami 193 serangan digital, meningkat 38 persen dari tahun sebelumnya.

LSM dan media melaporkan bahwa kelompok pasukan dunia maya berbayar, yang dalam bahasa sehari-hari disebut “buzzer”, menggunakan bot dan akun media sosial palsu untuk membentuk wacana politik online. Para peneliti melaporkan bahwa para buzzer sering digunakan oleh kelompok pro dan anti-pemerintah. Media melaporkan bahwa pemerintah secara langsung mendanai beberapa kegiatan buzzer.

Selain meminta penyedia layanan internet untuk memblokir akses ke konten yang mengandung “informasi elektronik terlarang”, seperti pornografi, konten keagamaan radikal, pemerasan, “berita hoax”, dan ujaran kebencian, berbagai LSM melaporkan bahwa Kementerian Komunikasi dan Informatika juga terkadang meminta penghapusan konten yang mengkritik pemerintah atau berisi informasi terkait masalah lesbian, gay, biseksual, transgender, queer, atau interseks (LGBTQI+). Pemerintah terkadang melakukan intervensi terhadap media sosial, mesin pencari, toko aplikasi, dan situs web lain untuk menghapus konten yang melanggar norma dan ekstremis serta mencabut izin bagi mereka yang tidak segera memenuhi tuntutan pemerintah. Pada bulan Juli pemerintah memblokir sementara beberapa platform, termasuk PayPal dan Yahoo, dan situs game seperti Counter-Strike, karena gagal memenuhi tenggat waktu untuk bergabung ke dalam sistem lisensi pemerintah.

Pembatasan Kebebasan Akademik dan Acara Budaya

Pemerintah umumnya tidak membatasi acara budaya atau kebebasan akademik namun terkadang mengganggu acara atau kegiatan budaya yang dianggap sensitif atau tidak mencegah kelompok non-pemerintah yang melakukan gangguan tersebut.

Sejumlah LSM melaporkan dijatuhkannya sanksi akademik terhadap beberapa mahasiswa yang dianggap mengkritik pemerintah atau membahas topik yang sensitif dan mengamati bahwa para dosen di perguruan tinggi negeri terkadang menghadapi ancaman pembalasan profesional atas kritik politik terhadap pemerintah atau keterlibatan dalam acara dan penelitian yang berkaitan dengan topik sensitif, seperti konflik di Papua. Universitas dan lembaga akademik lainnya juga terkadang tunduk pada tekanan dari kelompok Islam yang berusaha menghalangi acara dan kegiatan sensitif.

Sebagai contoh, menurut Amnesti Internasional pada bulan Juni polisi memaksa Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran  Jawa Timur membatalkan rencana diskusi publik tentang Papua. Polisi mengatakan mereka khawatir acara tersebut akan menjadi panggung bagi mereka yang mendukung kemerdekaan Papua. Amnesty International menyatakan bahwa tindakan tersebut merupakan pembatasan hak kebebasan berekspresi dan berkumpul.

Lembaga Sensor Film yang diawasi pemerintah menyensor film dalam negeri dan impor atas dasar konten yang dianggap menyinggung suatu agama atau hal lainnya.  Salah satu film yang dilarang termasuk Lightyear keluaran Disney karena menggambarkan hubungan sesama jenis yang dapat melanggar undang-undang pornografi yang melarang perilaku seksual menyimpang.

Komisi Penyiaran Indonesia memiliki kewenangan untuk membatasi konten yang disiarkan di televisi dan radio dan menggunakan kewenangan tersebut untuk membatasi konten yang dianggap menyinggung perasaan. Ketentuan tersebut melarang tayangan program televisi yang menampilkan keintiman fisik seperti berciuman atau berpelukan dan yang mengandung unsur LGBTQI+.

  1. Kebebasan Berkumpul Secara Damai dan Berserikat

Konstitusi maupun undang-undang menjamin kebebasan berkumpul secara damai dan berserikat, namun pemerintah terkadang membatasi kebebasan ini.

Kebebasan Berkumpul Secara Damai

Undang-undang memberikan kebebasan berkumpul, dan di luar wilayah Papua umumnya pemerintah menghormati hak ini. Undang-undang mewajibkan pengunjuk rasa untuk menyerahkan pemberitahuan tertulis kepada polisi tiga hari sebelum demonstrasi yang direncanakan dan polisi harus memberikan tanda terima atas pemberitahuan tertulis tersebut. Tanda terima ini secara de facto berfungsi sebagai izin untuk melangsungkan demonstrasi.

Polisi di wilayah Papua seringkali menolak mengeluarkan tanda terima pemberitahuan demonstrasi, dengan alasan bahwa demonstrasi akan mengandung seruan kemerdekaan, suatu tindakan yang dilarang oleh undang-undang. Surat keputusan kepolisian provinsi Papua melarang pelaksanaan unjuk rasa bagi tujuh organisasi yang dicap pro-kemerdekaan, termasuk Komite Nasional Papua Barat, Gerakan Persatuan Pembebasan untuk Papua Barat (ULMWP), dan Organisasi  Papua Merdeka.

Pada bulan Mei, demonstrasi yang dipicu oleh desas-desus bahwa ada kemungkinan pemilu 2024 akan ditunda dan akan dilakukan perpanjangan masa jabatan Presiden Jokowi menarik ribuan mahasiswa dan pengunjuk rasa lainnya di seluruh negeri. Polisi membalas dengan menggunakan meriam air dan gas air mata.

Pada bulan Juni para pengunjuk rasa yang memprotes undang-undang untuk membentuk provinsi baru di wilayah Papua ditahan; sebagian besar dari mereka dibebaskan tanpa dakwaan berdasarkan laporan yang ada. Berbagai LSM melaporkan bahwa unjuk rasa terkait Papua di seluruh negeri acap kali diganggu oleh polisi dan para pengunjuk rasa ditangkap.

Kebebasan Berserikat

Konstitusi dan undang-undang memberikan kebebasan berserikat, yang pada umumnya dihormati oleh pemerintah. Peraturan tentang pendaftaran organisasi pada umumnya tidak mengandung persyaratan yang memberatkan.

Untuk mendaftar secara resmi, LSM asing harus memiliki nota kesepahaman dengan sebuah kementerian pemerintah. Beberapa organisasi melaporkan kesulitan dalam mendapatkan nota kesepahaman ini dan mengklaim bahwa pemerintah menolak untuk menandatanganinya dengan tujuan menghalangi pendaftaran organisasi-organisasi tersebut; mereka juga menyalahkan birokrasi yang berbelit-belit di Kementerian Hukum dan HAM. Sejumlah LSM asing dapat terus beroperasi di dalam negeri tanpa pendaftaran, namun mereka yang tidak mendaftar tidak dapat bekerja secara langsung dalam program pemerintah. Selain itu, beberapa LSM asing melaporkan pemantauan dan intervensi yang mengganggu kegiatan mereka oleh pihak berwenang meskipun telah terdaftar secara resmi.

Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan melarang beberapa organisasi keagamaan, seperti Front Pembela Islam (organisasi Islam garis keras yang telah melakukan penyerangan terhadap klub malam di masa lalu), karena “tidak terdaftar”. Kementerian mengatakan anggaran dasar organisasi semacam itu harus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, khususnya terkait ideologi nasional Pancasila. Organisasi hak asasi manusia berpendapat bahwa ini adalah pembatasan yang tidak adil atas hak berserikat dan berekspresi.

  1. Kebebasan beragama

Baca Laporan Kebebasan Beragama Internasional Departemen Luar Negeri A.S. di https://www.state.gov/religiousfreedomreport/.

  1. Kebebasan Bergerak dan Hak Meninggalkan Negara

Hukum mengatur kebebasan bergerak di dalam negeri dan umumnya mengizinkan perjalanan ke luar negeri. Hukum memberi militer wewenang yang luas, dalam keadaan darurat, untuk membatasi pergerakan melalui darat, udara, dan laut. Pemerintah tidak menggunakan wewenang ini sepanjang tahun yang bersangkutan.

Pergerakan Dalam Negeri: Pemerintah terus menerapkan hambatan  administratif terhadap perjalanan yang dilakukan oleh anggota LSM, jurnalis, diplomat asing, dan lainnya ke wilayah Papua.

  1. Perlindungan Bagi Pengungsi

Pemerintah telah menjalin kerja sama dengan Komisioner Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR) dan organisasi kemanusiaan lainnya dalam memberikan perlindungan dan bantuan kepada pengungsi, pengungsi yang kembali ke negaranya, atau pencari suaka, serta orang lain yang berkepentingan.

Akses Suaka: Indonesia bukan merupakan negara penandatangan Konvensi Pengungsi PBB 1951 dan tidak mengizinkan para pencari suaka maupun orang-orang yang ditetapkan sebagai pengungsi untuk tinggal secara permanen di Indonesia maupun menjalankan proses naturalisasi.  Pemerintah mengizinkan pengungsi untuk menetap sementara selama menunggu penempatan secara permanen di negara lain. Hukum mengakui peran UNHCR dalam memproses semua penentuan status pengungsi di Indonesia. Peraturan perundang-undangan mengatur proses penanganan pengungsi secara rinci, dengan menguraikan tanggung jawab spesifik para lembaga nasional dan daerah sejak kedatangan pengungsi hingga keberangkatan mereka untuk penempatan di negara lain atau repatriasi. UNHCR melaporkan adanya 12.993 pengungsi dan pencari suaka yang diketahui berada di Indonesia per bulan Agustus. Sebagian besar pengungsi dilaporkan berasal dari Afghanistan. Di bulan Januari para pengungsi Afghanistan berunjuk rasa di depan kantor UNHCR di Surabaya untuk menuntut diberikannya kewarganegaraan atau penempatan di negara lain.

Refoulement: Pada bulan Juli pemerintah membebaskan seorang pria Uyghur yang ditahan atas tuduhan terorisme sejak 2015 dan memprosesnya untuk dideportasi ke China.

Penganiayaan Terhadap Migran dan Pengungsi: Pekerja migran sering menjadi sasaran pemerasan polisi dan diskriminasi sosial.

Muslim Rohingya adalah bagian kecil dari populasi pengungsi dan pencari suaka. Anggota komunitas tersebut mengklaim bahwa mereka sering ditolak untuk mendapatkan perawatan medis yang layak, menduga  pemerintah secara agresif memantau mereka, dan mengatakan mereka menghadapi kesulitan mencari pekerjaan dan pembatasan yang ketat atas kebebasan bergerak mereka. Sebagai contoh, Rohingya yang menikah dengan penduduk setempat tidak diizinkan keluar dari perumahan pengungsi.

Ketenagakerjaan: Pemerintah melarang pengungsi untuk bekerja, meskipun larangan ini tidak ditegakkan secara tegas.

Akses ke Layanan Dasar: Pemerintah tidak melarang pengungsi mengakses pendidikan dasar negeri, meskipun banyak hambatan yang menghalangi pendaftaran cukup banyak anak pengungsi, termasuk sulitnya mendapatkan nomor identifikasi siswa yang dikeluarkan pemerintah. Sejumlah kecil pengungsi mengikuti pelajaran bahasa serta pelajaran lainnya di sekolah swasta yang dikelola oleh pengungsi atau di bawah program yang disponsori oleh LSM. Pengungsi memiliki akses ke layanan kesehatan dasar masyarakat melalui klinik kesehatan setempat, yang disubsidi oleh pemerintah. Namun demikian, perawatan untuk penyakit yang lebih serius atau rawat inap tidak ditanggung. Beberapa pemerintah daerah memberikan vaksin kepada para pengungsi, dan UNHCR mengoordinasikan pengiriman vaksin kepada para pengungsi lain.

  1. Status dan Perlakuan Terhadap Pengungsi Internal

Pemerintah mendata pengungsian yang disebabkan oleh bencana alam dan konflik melalui Badan Nasional Penanggulangan Bencana, meskipun kurangnya pemantauan secara sistematis terhadap kondisi pemulangan dan relokasi permukiman membuatnya sulit untuk secara tepat memperkirakan jumlah total pengungsi internal. Internal Displacement Monitoring Center (Pusat Pemantauan Pengungsian Internal) melaporkan ada 155.000 pengungsi internal akibat bencana dan 73.000 pengungsi akibat konflik dan kekerasan per Desember 2021.

Undang-undang mengharuskan pemerintah untuk “memenuhi hak-hak … pengungsi yang terimbas bencana secara adil dan sesuai dengan standar pelayanan minimum.” Pengungsi di kota dan desa tidak mengalami kekerasan atau dihalangi dalam mendapatkan layanan atau hak dan perlindungan lainnya, namun terkadang kendala ketersediaan sumber daya dan akses memperlambat atau menghambat penyediaan layanan bagi pengungsi, terutama bagi mereka yang melarikan diri ke pedesaan dan hutan untuk menghindari konflik di wilayah Papua.

Pemulangan pengungsi akibat konflik di wilayah Papua berjalan lambat dan sulit. Hingga bulan Agustus, warga yang terlantar akibat balasan militer terhadap serangan tahun 2021 di sebuah pos pemeriksaan tentara di Sorong, Papua Barat, terus menghadapi kesulitan untuk pulang ke rumah atau menyekolahkan anak mereka. Lebih dari 600 anak di daerah tersebut tidak dapat kembali ke sekolah setelah serangan tersebut, menurut laporan para pengungsi dari daerah tersebut.

Bagian 3. Kebebasan Berpartisipasi dalam Proses Politik

 

Pemilu dan Partisipasi Politik

Pemilu Terakhir: Pada tahun 2019 Presiden Jokowi memenangkan masa jabatan lima tahun kedua sebagai presiden. Pemilih juga memilih anggota baru DPR dan DPD, serta DPRD provinsi dan kabupaten/kota. Para pengamat dari dalam negeri maupun di tingkat internasional menganggap pemilu tersebut telah berlangsung secara bebas dan adil.

Pada bulan Oktober, tujuh gubernur, 18 walikota, 76 bupati,  di 101  daerah menjabat dalam kedudukan sebagai penjabat  yang tidak dipilih melalui pemilu. Masa jabatan mereka diperpanjang melalui undang-undang dari bulan September 2021 hingga 2024, pada saat pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, pemilihan DPR, DPD dan DPRD serta pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah akan dilangsungkan.

Partisipasi Perempuan dan Kelompok Minoritas: Tidak ada undang-undang yang membatasi partisipasi perempuan dan anggota kelompok yang secara historis tersisihkan atau minoritas dalam proses politik, dan mereka telah berpartisipasi. Undang-undang tentang Partai Politik mengamanatkan sekurang-kurangnya 30 persen keterwakilan perempuan dalam pendirian dan pembentukan Partai Politik baru serta 30 persen keterwakilan perempuan untuk kursi legislatif; namun, tidak ada denda yang dikenakan jika ketentuan undang-undang tersebut tidak dipenuhi. Pada bulan November, keterwakilan perempuan adalah sebesar 20 persen di DPR.

Bagian 4. Korupsi dan Lemahnya Transparansi dalam Pemerintahan

Undang-undang memberikan hukuman pidana bagi pejabat yang melakukan tindakan korupsi, namun upaya yang telah dilakukan pemerintah untuk menegakkan hukum tidak memadai. Ada banyak laporan terkait tindakan korupsi yang dilakukan oleh pejabat pemerintah selama tahun ini. Terlepas dari penangkapan dan penjatuhan hukuman terhadap banyak pejabat tinggi, termasuk beberapa bupati dan kepala badan usaha milik negara, terdapat persepsi luas bahwa korupsi tetap mewabah. Sejumlah LSM menyatakan bahwa korupsi endemik adalah salah satu penyebab pelanggaran hak asasi manusia, di mana kepentingan ekonomi yang kuat memanfaatkan pejabat pemerintah yang korup untuk mengganggu dan mengintimidasi aktivis dan kelompok yang menghambat bisnis mereka.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Polri, Unit Kejahatan Ekonomi Khusus Kepolisian , serta Kejaksaan Agung dapat melakukan investigasi dan penuntutan terhadap kasus korupsi. Meskipun koordinasi antar berbagai lembaga tersebut terjalin, namun tidak bersifat konsisten dan tidak ada koordinasi dengan angkatan bersenjata. Komisi Pemberantasan Korupsi tidak memiliki wewenang untuk menyelidiki anggota militer, dan mereka juga tidak memiliki kewenangan dalam menangani kasus-kasus di mana kerugian negara bernilai kurang dari satu miliar rupiah (65.000 dolar AS).

Pada bulan April, LSM Indonesia Corruption Watch melaporkan bahwa revisi terhadap Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di tahun 2019 telah melemahkan independensi KPK dan mengakibatkan penurunan dalam penanganan kasus korupsi. Banyak LSM dan aktivis berpendapat bahwa kemampuan Komisi Pemberantasan Korupsi untuk menyelidiki korupsi terbatas karena badan pengawasnya dipilih dan ditunjuk oleh presiden dan karena komisi tersebut merupakan bagian dari cabang eksekutif. Penyidik KPK terkadang dilecehkan, diintimidasi, atau diserang karena pekerjaannya.

Pada bulan Juli, Komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi Lili Pintauli Siregar mengundurkan diri di tengah tuduhan menerima gratifikasi dari suatu Badan Usaha Milik Negara yang bergerak dalam bidang minyak dan gas yaitu Pertamina. Pengunduran dirinya mengakibatkan digugurkannya sidang pelanggaran kode etik, dan tidak ada investigasi lebih lanjut yang dilakukan terhadapnya.

Korupsi: Komisi Pemberantasan Korupsi menyelidiki dan menuntut pejabat yang diduga melakukan korupsi di semua tingkat pemerintahan. Beberapa kasus korupsi tingkat tinggi melibatkan proyek pengadaan atau konstruksi pemerintah skala besar dan melibatkan anggota legislatif, gubernur, bupati, hakim, polisi, dan aparat negeri sipil. Pada awal tahun hingga bulan September, KPK memulihkan kekayaan negara dengan nilai sekitar 352 miliar rupiah (22,7 juta dolar); KPK menginvestigasi 67 perkara, mengajukan 22 penuntutan, dan menyelesaikan 29 perkara yang berujung pada vonis hukuman. Satuan Tugas (Satgas) Tipikor Kejaksaan Agung juga aktif dalam penyidikan dan penuntutan kasus-kasus korupsi tingkat tinggi. Terlepas dari upaya-upaya tersebut, sebagian besar pengamat melihat bahwa korupsi tetap terjadi secara luas.

Pada tanggal 19 September, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melaporkan bahwa hingga tanggal tersebut 310 anggota DPR, 154 walikota dan bupati, serta 22 gubernur terlibat dalam kasus korupsi.

Sebagai contoh, pada bulan Februari lalu, Pengadilan Tipikor Jakarta memutuskan mantan Wakil Ketua DPR Azis Syamusuddin bersalah karena terbukti menyuap pejabat Komisi Pemberantasan Korupsi Stepanus Robin Pattuju dan Maskur Hussain. Pengadilan Tipikor menjatuhkan hukuman penjara 3,5 tahun dan melarang terdakwa mencalonkan diri dan berpartisipasi dalam pemilihan selama empat tahun.

Pada bulan September Komisi Pemberantasan Korupsi mengumumkan bahwa lembaga tersebut sedang menyelidiki Gubernur Provinsi Papua Lukas Enembe atas dugaan korupsi terkait pembangunan gereja di Kabupaten Mimika. Pengadilan membekukan rekening gubernur senilai 71 miliar rupiah (4,62 juta dolar). Tuduhan terhadapnya mencakup penyaluran Dana Otonomi Khusus dalam jumlah besar untuk pembangunan gereja dengan imbalan suap, transfer dana senilai puluhan juta dolar ke kasino di luar negeri, serta penyalahgunaan dana publik lainnya.

Pada tanggal 28 November, Komisi Pemberantasan Korupsi secara resmi mengumumkan Hakim Agung Galzaba Saleh sebagai tersangka. Saleh adalah hakim Mahkamah Agung kedua yang didakwa melakukan tindakan korupsi oleh KPK setelah penangkapan Hakim Agung Sudrajad Dimyati pada 22 September. Saleh diduga menerima suap senilai lebih dari 146.000 dolar untuk mengintervensi kasus perdata terhadap sebuah perusahaan.

Menurut laporan LSM dan media, polisi seringkali meminta suap mulai dari pembayaran kecil dalam kasus lalu lintas hingga jumlah besar dalam penyidikan pidana. Para oknum yang korup terkadang melakukan penggeledahan sewenang-wenang, pencurian, dan pemerasan terhadap para migran Indonesia yang kembali dari luar negeri, terutama migran perempuan.

Suap dan pemerasan memengaruhi penuntutan, putusan bersalah, dan pemidanaan dalam perkara perdata dan pidana. Sejumlah LSM antikorupsi mengindikasikan bahwa berbagai petugas kunci dalam sistem peradilan menerima suap dan membiarkan terjadinya korupsi. Organisasi bantuan hukum melaporkan bahwa kasus-kasus sering berjalan sangat lambat kecuali ada uang suap yang dibayarkan, dan dalam beberapa kasus jaksa menuntut pembayaran dari terdakwa agar penuntutan tidak dilaksanakan dengan semestinya atau untuk menghilangkan kasus.

Bagian 5. Sikap Pemerintah Terhadap Investigasi Internasional dan Non-Pemerintah atas Dugaan Pelanggaran Hak Asasi Manusia

Organisasi hak asasi manusia nasional dan internasional umumnya beroperasi tanpa pembatasan dari pihak  pemerintah, dengan pengecualian di wilayah Papua. Organisasi  nasional maupun internasional tersebut menginvestigasi dan menerbitkan temuan kasus hak asasi manusia dan mengadvokasi peningkatan dan perbaikan kinerja pemerintah dalam menangani isu-isu terkait hak asasi manusia. Perwakilan pemerintah bertemu dengan LSM lokal, menanggapi pertanyaan mereka, dan mengambil beberapa tindakan sebagai tanggapan terhadap keprihatinan LSM.

Perserikatan Bangsa-Bangsa atau Badan Internasional Lainnya: Pemerintah umumnya mengizinkan pejabat PBB untuk memantau situasi hak asasi manusia di Indonesia, kecuali di wilayah Papua. Namun, aparat keamanan dan badan intelijen cenderung mencurigai pengamat HAM asing, terutama mereka yang berada di wilayah Papua, di mana operasi mereka dibatasi. Berbagai LSM terus menekan pemerintah untuk mengizinkan perwakilan Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia mengunjungi wilayah tersebut untuk menilai situasi hak asasi manusia di sana.

Lembaga Hak Asasi Manusia Pemerintah: Banyak lembaga independen menangani masalah hak asasi manusia, termasuk Kantor Ombudsman Nasional, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan, dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Pemerintah tidak diwajibkan untuk melaksanakan rekomendasi mereka dan terkadang menghindari melakukannya. Beberapa lembaga, termasuk Komnas HAM dan Komnas Perempuan dapat merujuk kasus ke polisi atau kejaksaan.

Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh, yang dibentuk untuk menyelidiki pelanggaran HAM yang dilakukan oleh pemerintah dan Gerakan Aceh Merdeka yang beroperasi aktif dari tahun 1976 hingga 2005, telah mengumpulkan pernyataan dari para korban, penyintas, mantan separatis, dan saksi selama periode antara tahun 2016 dan 2020. Hingga bulan September, tidak ada laporan yang telah dirilis ke publik.

Bagian 6. Diskriminasi dan Pelecehan Sosial

Perempuan

Pemerkosaan dan Kekerasan Dalam Rumah Tangga: Undang-undang melarang pemerkosaan, kekerasan dalam rumah tangga, dan bentuk kekerasan seksual atau berbasis gender lainnya. Definisi hukum tentang pemerkosaan hanya mencakup penetrasi organ seksual secara paksa, dan pengajuan kasus mensyaratkan adanya saksi atau bukti pendukung lainnya, seperti visum medis untuk mendukung kesaksian penyintas. Tindakan pemerkosaan dapat dihukum empat hingga 14 tahun penjara dan dikenakan denda yang cukup besar. Pada bulan April, pemerintah memberlakukan Undang-Undang tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), yang memperkuat kerangka hukum untuk menangani kekerasan terhadap perempuan, termasuk memperluas jalur bagi penyintas untuk melaporkan kejahatan kepada pihak berwenang dan mencari keadilan. Undang-undang juga menetapkan berbagai hak yang dimiliki para penyintas kekerasan seksual, termasuk hak untuk menerima perlakuan yang sopan selama penyelidikan dan proses pengadilan, hak atas perlindungan dari tersangka pelaku, dan hak atas layanan restitusi dan rehabilitasi.

Meskipun pemerintah telah memenjarakan beberapa pelaku tindak pemerkosaan dan percobaan pemerkosaan, namun pemerintah masih belum menegakkan hukum secara efektif; hukuman yang dijatuhkan seringkali ringan, dan banyak pemerkosa yang divonis bersalah hanya menerima hukuman yang paling ringan. Pemerkosaan dalam pernikahan bukan merupakan tindak pidana khusus dalam hukum namun tercakup dalam “pemaksaan hubungan seksual” dalam Undang-undang tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT) dan dapat dijatuhi hukuman pidana.

Komnas Perempuan melaporkan telah menerima 3.838 laporan kekerasan terhadap perempuan pada tahun 2021, naik dari 2.300 kasus pada tahun 2020. Angka kenaikan kasus kekerasan tersebut sebagian disebabkan oleh dampak sosial dan ekonomi akibat pandemi COVID-19, serta semakin besarnya keinginan korban untuk melaporkan kejadian. Pada bulan September, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Komnas Perempuan, serta Forum Penyedia Layanan melaporkan bahwa 127.335 perempuan menjadi korban kekerasan pada tahun 2021. Kementerian tersebut menyatakan bahwa kekerasan seksual dan fisik adalah dua pelanggaran yang paling umum. Aktivis masyarakat sipil menggarisbawahi bahwa banyak kasus yang tidak dilaporkan, dan banyak korban tidak melaporkan tindakan kekerasan tersebut karena takut akan stigma sosial, rasa malu, dan kurangnya dukungan dari teman dan keluarga.

Berbagai organisasi masyarakat sipil menjalankan pusat layanan terpadu untuk perempuan dan anak di seluruh 34 provinsi dan sekitar 440 kabupaten, dan memberikan layanan konseling serta dukungan dengan beragam kualitas kepada para korban kekerasan. Pusat layanan provinsi yang lebih besar menyediakan layanan psikososial yang lebih komprehensif. Perempuan yang tinggal di daerah pedesaan atau wilayah yang tidak memiliki pusat seperti itu mengalami kesulitan dalam menerima layanan dukungan, dan beberapa pusat hanya buka selama enam jam sehari, bukan 24 jam seperti yang diwajibkan. Secara nasional, polisi mengoperasikan “ruang krisis khusus” atau “meja perempuan” di mana petugas perempuan menerima laporan dari perempuan dan anak yang selamat dari kekerasan seksual dan perdagangan manusia, dan merupakan tempat di mana penyintas mendapatkan tempat berlindung sementara. Tidak jelas berapa banyak orang yang menggunakan layanan ini.

Perlukaan/Pemotongan Genitalia Perempuan/P2GP (FGM/C): P2GP dilaporkan terjadi secara rutin. Tidak ada data terpercaya terbaru tentang P2GP. Dengan menggunakan data tahun 2013, UNICEF memperkirakan bahwa 49 persen anak perempuan berusia 11 tahun ke bawah mengalami suatu bentuk P2GP, dengan sebagian besar anak perempuan menjalani prosedur tersebut sebelum mereka berusia enam bulan. LSM mencatat bahwa sebagian besar P2GP yang dipraktikkan di negara tersebut akan dikategorikan sebagai P2GP tipe IV UNICEF yang berkategori “tidak terlalu invasif”. Undang-undang nasional yang melarang praktik ini belum pernah digunakan di pengadilan, karena belum pernah ada yang dituntut karena melakukan P2GP. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak terus memimpin upaya resmi untuk mencegah P2GP.

Pelecehan Seksual: Undang-undang yang melarang tindakan tidak senonoh menjadi dasar untuk laporan pidana yang bersumber dari pelecehan seksual dan ditegakkan secara efektif. Pelanggaran dapat dijatuhi hukuman penjara hingga dua tahun delapan bulan dan dikenakan denda dalam jumlah kecil. Undang-undang mengakui dan merinci hukuman untuk berbagai kejahatan, termasuk pelecehan seksual fisik dan nonfisik, kekerasan berbasis gender online, kontrasepsi paksa, pernikahan paksa, eksploitasi seksual, dan kekerasan seksual online. Masyarakat sipil dan LSM melaporkan bahwa pelecehan seksual merupakan masalah di seluruh Indonesia. Pada bulan Februari, Coalition of Safe Public Space merilis survei yang mengindikasikan empat dari lima perempuan di Indonesia mengalami pelecehan seksual di ruang publik.

Hak Reproduksi: Tidak ada laporan tentang terjadinya aborsi paksa atau sterilisasi paksa dari pihak pemerintah yang berwenang.

Sejumlah LSM melaporkan bahwa terjadi stigma sosial dan intimidasi terhadap siswa perempuan yang mengalami menstruasi, dan bahwa siswa perempuan memiliki akses yang tidak memadai terhadap pendidikan menstruasi, produk kebersihan, dan fasilitas kebersihan di sekolah. Kurangnya hal-hal tersebut menghalangi anak perempuan untuk menangani menstruasi dengan tepat, yang seringkali mengakibatkan ketidakhadiran mereka di sekolah selama mereka mengalami menstruasi.

Undang-undang mengakui hak dasar pasangan dan individu untuk menentukan jumlah, jarak, dan waktu kelahiran anak mereka, tetapi berbagai peraturan melemahkan penerapannya secara efektif bagi perempuan. Berdasarkan hukum, pemerintah wajib memberikan informasi dan edukasi tentang kesehatan reproduksi yang tidak bertentangan dengan norma agama atau moral. Berbagai LSM melaporkan bahwa pejabat pemerintah berusaha untuk membatasi penyediaan informasi kesehatan reproduksi terkait dengan kontrasepsi dan layanan lain yang dianggap bertentangan dengan norma agama atau moral.

Walau kondom tersedia secara luas, peraturan yang berlaku mewajibkan perempuan yang sudah menikah untuk meminta izin suami terlebih dahulu jika ingin mendapatkan bentuk kontrasepsi lainnya. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) baru yang telah disetujui melalui suara bulat oleh DPR pada tanggal 6 Desember yang lalu akan menjadikannya ilegal bagi siapa pun selain “petugas yang berwenang” untuk menjelaskan cara menggunakan atau mendapatkan alat kontrasepsi. Pemerintah memiliki waktu dua tahun untuk menyiapkan peraturan pelaksana, yang dapat menentukan bagaimana KUHP itu ditegakkan dan kepada siapa KUHP tersebut diberlakukan. Hingga tanggal 31 Desember KUHP baru tersebut belum berlaku dan bisa membutuhkan waktu hingga tiga tahun lagi sebelum akhirnya diberlakukan.

Berbagai LSM setempat melaporkan bahwa perempuan yang belum menikah mengalami kesulitan untuk mendapatkan alat kontrasepsi melalui sistem pelayanan kesehatan. Media dan LSM melaporkan bahwa mereka menerima stigma, termasuk dari petugas layanan kesehatan yang berulang kali bertanya tentang status perkawinan dan terkadang menolak melayani perempuan yang belum menikah yang hendak melakukan prosedur rutin seperti pap smear.

Berbagai LSM melaporkan bahwa layanan kesehatan reproduksi tidak diberikan secara konsisten kepada para penyintas kekerasan seksual. Mereka melaporkan korban pemerkosaan terkadang mengalami kesulitan mendapatkan kontrasepsi darurat dari penyedia medis.

Menurut data Organisasi Kesehatan Dunia tahun 2017, angka kematian ibu adalah 177 per 100.000 kelahiran hidup, turun dari 184 pada tahun 2016. Kementerian Kesehatan dan LSM mengidentifikasi beberapa faktor yang berkontribusi terhadap tingginya angka kematian ibu, termasuk kurangnya pelatihan untuk bidan dan  dukun bayi, kurangnya akses ke pelayanan obstetri neonatal emergensi dasar dan komprehensif, dan terbatasnya ketersediaan obat-obatan esensial untuk ibu dan bayi baru lahir. Rumah sakit dan puskesmas tidak selalu menangani prosedur yang rumit secara baik, dan kendala keuangan serta terbatasnya ketersediaan tenaga kesehatan yang berkualitas menimbulkan masalah rujukan jika terjadi komplikasi. Status ekonomi, tingkat pendidikan, dan usia perempuan saat menikah juga memengaruhi tingkat kematian ibu.

Diskriminasi: Undang-undang menetapkan status hukum dan hak yang sama bagi perempuan dan laki-laki dalam hukum keluarga, ketenagakerjaan, pertanahan, dan kewarganegaraan, namun tidak memberikan hak waris yang sama kepada janda. Hukum secara umum ditegakkan secara efektif. Namun undang-undang juga menyatakan bahwa pekerjaan perempuan di luar rumah tidak boleh bertentangan dengan perannya dalam meningkatkan kesejahteraan keluarga dan mencerdaskan generasi muda serta menunjuk laki-laki sebagai kepala rumah tangga.

Perceraian merupakan pilihan bagi laki-laki dan perempuan. Banyak perempuan yang bercerai tidak menerima nafkah, karena tidak ada sistem untuk menegakkan pembayaran nafkah tersebut. Undang-undang mewajibkan perempuan yang diceraikan menunggu 40 hari sebelum menikah lagi sedangkan seorang laki-laki dapat segera menikah lagi.

Komnas Perempuan memandang banyak peraturan dan kebijakan daerah yang diskriminatif. Ini termasuk “undang-undang kesusilaan” dan peraturan anti-prostitusi.

Pada bulan Oktober, Kementerian Pendidikan mengeluarkan peraturan baru tentang seragam sekolah negeri yang menekankan kebebasan siswa untuk memilih apakah akan memakai atau tidak memakai jilbab. Sebelum keluarnya peraturan bulan Oktober, semakin banyak sekolah dan pemerintah daerah yang memaksa anak perempuan untuk mengenakan jilbab di sekolah. Pada bulan Agustus media melaporkan seorang siswi di Bantul, Yogyakarta, dipaksa memakai jilbab, membuatnya trauma dan menyebabkan depresi. Laporan bulan Maret oleh Human Rights Watch menyebutkan terjadinya tekanan sosial yang meluas dan intensif bagi perempuan untuk mengenakan jilbab di sekolah dan kantor pemerintah, selain adanya ketentuan dalam peraturan resmi. Perempuan mengalami diskriminasi di tempat kerja, baik dalam perekrutan maupun dalam mendapatkan kompensasi yang adil (lihat bagian 7.d.).

Kekerasan dan Diskriminasi Ras atau Etnis Sistemik

Peraturan perundang-undangan memuat ketentuan yang secara khusus ditujukan untuk menghapus diskriminasi ras dan etnis, memberikan hukuman pidana bagi individu yang melakukan diskriminasi atas dasar etnis/ras, serta penguatan hukuman untuk tindakan kekerasan yang mengandung motivasi ras atau etnis. Pemerintah tidak selalu menegakkan hukum secara efektif. Pejabat publik sering berbicara tentang pentingnya toleransi dan keragaman di negara multi-etnis, tetapi praktik diskriminatif sering dibiarkan berlangsung. Undang-undang mendefinisikan ujaran kebencian sebagai penyebaran kebencian terhadap suatu ras, suku, agama, atau golongan. Pemerintah umumnya menerapkan undang-undang ujaran kebencian dalam kasus-kasus yang berkaitan dengan ras.

LSM melaporkan bahwa orang-orang keturunan Melanesia, terutama dari wilayah Papua, menghadapi diskriminasi yang meluas di seluruh negeri. Orang keturunan Melanesia sering menghadapi pelecehan oleh polisi. Pada bulan Januari, seorang guru di Jember, Jawa Timur, dihukum karena menggunakan bahasa yang menghina seorang siswa dari etnis Papua.

Aktivis Papua menekankan bahwa meskipun wilayah Papua kaya akan sumber daya alam, penduduk lokal Melanesia secara historis tidak sepenuhnya mendapat manfaat dari sumber daya tersebut dan sebagian besar ekonomi di daerah tersebut telah lama dikendalikan oleh orang non-Melanesia. Badan Pusat Statistik melaporkan bahwa pada tahun 2021 provinsi di wilayah Papua memiliki Indeks Pembangunan Manusia terendah dan tingkat kemiskinan tertinggi diantara 34 provinsi di Indonesia. Pada tahun 2021 DPR memperpanjang status otonomi khusus untuk provinsi Papua dan Papua Barat, yang mencakup peningkatan alokasi dana pemerintah ke Papua setiap tahun dari 2 menjadi 2,25 persen dari anggaran nasional yang dimaksudkan untuk mengatasi ketimpangan ini. Para pihak oposisi terhadap kebijakan ini mengklaim bahwa manfaat ekonomi dari peningkatan ini akan menguntungkan penduduk non-Melanesia secara disproporsional. Pada bulan Juni, DPR  membagi Provinsi Papua menjadi tiga provinsi tambahan. Pemerintah mengklaim ini akan mempercepat pembangunan dan meningkatkan penyampaian layanan publik di wilayah tersebut.

Masyarakat Asli

Pemerintah memandang sebagian besar warga sebagai “asli” namun mengakui keberadaan beberapa “komunitas terpencil” dan hak mereka untuk berpartisipasi penuh dalam kehidupan politik dan sosial. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara memperkirakan antara 50 hingga 70 juta orang adat berada di negara ini. Komunitas ini termasuk suku Dayak Kalimantan, keluarga yang hidup sebagai pengembara laut, dan 312 kelompok adat yang diakui secara resmi di Papua. Orang-orang pribumi, terutama yang berasal dari wilayah Papua, mengalami diskriminasi.

Ada sedikit peningkatan dalam hal hak tanah adat orang pribumi, dan akses ke tanah leluhur tetap menjadi sumber utama ketegangan di seluruh negeri. Pemerintah, seringkali melalui kolusi dengan unit militer dan polisi setempat, gagal mencegah perusahaan merambah tanah kelompok masyarakat adat. Pejabat pemerintah pusat dan daerah juga diduga telah meminta suap dari perusahaan pertambangan dan perkebunan dengan imbalan akses ke lahan yang merugikan kelompok adat.

Kegiatan penambangan dan penebangan, banyak di antaranya bersifat ilegal, menimbulkan masalah sosial, ekonomi, dan hukum yang signifikan bagi masyarakat adat. Penduduk Melanesia di Papua menyebut rasisme dan diskriminasi sebagai penyebab kekerasan dan ketimpangan ekonomi di wilayah tersebut.

Berbagai LSM melaporkan bahwa pada tahun 2021, hanya sekitar 220 dari 42.471 mil persegi yang diusulkan benar-benar telah diserahkan kepada kelompok pribumi setempat, dengan pemerintah menempati 927 mil persegi tanah ini. Hibah tanah hutan adat (hutan adat) ini secara khusus diperuntukkan bagi kelompok masyarakat adat. Namun demikian, perusahaan besar dan pemerintah terus menggusur individu dari tanah leluhur. Berbagai LSM melaporkan bahwa aparat keamanan dan polisi terkadang terlibat dalam perselisihan antara perusahaan dan masyarakat adat, dimana mereka seringkali berpihak pada kepentingan pengusaha.

Amnesty International melaporkan bahwa pada tahun 2021, 44 pembela hak adat dan aktivis lingkungan ditangkap, diserang secara fisik, dan diintimidasi. Menurut LSM AMAN, hingga bulan September terdapat 13 kasus tanah adat yang dialokasikan oleh pemerintah untuk tujuan lain, yang berimbas pada lebih dari 103.000 orang. Berbagai LSM melaporkan adanya upaya sistematis untuk merongrong hak-hak masyarakat adat.

Pada tahun 2021 pemerintah Papua Barat mencabut 12 izin yang dimiliki oleh perusahaan yang mengoperasikan perkebunan kelapa sawit di provinsi tersebut setelah bekerja sama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi dan LSM EcoNusa. Hingga bulan September, status tanah seluas 1.034 mil persegi itu masih belum terselesaikan, sehingga terbuka untuk perambahan dan eksploitasi ilegal, menurut para LSM.

Pada tahun 2021 petugas keamanan dari PT Toba Pulp Lestari bentrok dengan ribuan warga di Kabupaten Toba, Sumatera Utara, yang memprotes aktivitas perusahaan di atas tanah yang mereka klaim sebagai tanah adat. Pada bulan Agustus, polisi menerobos barikade yang didirikan oleh pengunjuk rasa dan melepaskan tembakan menggunakan peluru karet.

Anak-anak

Pencatatan Kelahiran: Kewarganegaraan diperoleh melalui kewarganegaraan orang tua. Jika kewarganegaraan orang tua tidak dapat ditentukan, atau orang tua tidak memiliki kewarganegaraan, kewarganegaraan dapat diperoleh atas dasar kelahiran di wilayah negara ini.

Undang-undang melarang dipungutnya biaya untuk memperoleh dokumen identitas hukum yang dikeluarkan oleh kantor catatan sipil. Namun demikian, berbagai LSM melaporkan bahwa di beberapa kabupaten pemerintah daerah tidak memberikan akta kelahiran secara gratis.

Pendidikan: Meskipun konstitusi menyatakan bahwa pemerintah harus menyediakan pendidikan gratis hingga kelas sembilan, kewajiban tersebut tidak mencakup biaya yang diperlukan untuk buku sekolah, seragam, transportasi, dan biaya non-pendidikan lainnya. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, yang menaungi sekolah negeri dan swasta, dan Kementerian Agama yang membawahi sekolah Islam dan madrasah, memberlakukan sebuah sistem yang memberikan bantuan keuangan kepada siswa dari keluarga berpenghasilan rendah untuk kebutuhan pendidikan mereka.

Meskipun demikian, tingkat kemiskinan yang tinggi secara nasional membuat pendidikan tidak terjangkau bagi banyak anak.

Menurut Laporan Profil Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Tahun 2020, sekitar 10,3 juta anak usia lima hingga 17 tahun tidak bersekolah dan 3,03 juta anak putus sekolah.

Pelecehan Anak: Undang-undang melarang pelecehan anak, tetapi berbagai LSM mengkritik lambatnya tanggapan polisi terhadap laporan-laporan tersebut. Undang-undang juga memuat ketentuan mengenai eksploitasi ekonomi dan seksual terhadap anak-anak.

Pernikahan Anak, Pernikahan Dini, dan Pernikahan Paksa: Usia pernikahan minimum untuk perempuan dan pria adalah 19 tahun. Pengecualian terhadap persyaratan usia minimum diperbolehkan melalui persetujuan pengadilan. Pengadilan secara resmi mengizinkan lebih dari 59.000 pernikahan anak dengan persetujuan orang tua pada tahun 2021.

Badan Pusat Statistik melaporkan pada tahun 2018 sekitar 11 persen anak perempuan di Indonesia menikah sebelum usia 18 tahun. Provinsi dengan angka pernikahan dini tertinggi antara lain adalah Sulawesi Barat, Kalimantan Tengah, Sulawesi Tenggara, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Barat. Pendorong utama pernikahan dini adalah kemiskinan, tradisi budaya, norma agama, dan kurangnya pendidikan kesehatan reproduksi seksual. Komisi Nasional Hak Perempuan melaporkan bahwa beberapa dari pernikahan anak ini melibatkan korban pelecehan seksual yang menikah dengan pelakunya.

Pada bulan April, Pengadilan Tinggi Bandung menjatuhkan hukuman mati kepada mantan ustadz dan pendiri pesantren, Heru Wirawan, yang dihukum karena memperkosa 13 siswi antara tahun 2016 dan 2021. Pada bulan Juli, media melaporkan seorang penyintas pemerkosaan berusia 14 tahun di sebuah sekolah agama di Tuban, Jawa Timur, melahirkan seorang anak setelah dipaksa menikah dengan pemerkosanya. Orang tua korban sepakat untuk mensahkan perkawinan di bawah umur, dengan anak seorang tokoh masyarakat setempat, melalui dispensasi perkawinan. Terdakwa diduga telah mempersiapkan korban untuk dilecehkan selama lebih dari setahun saat dia tinggal di sekolah tersebut.

Pengurangan jumlah perkawinan anak merupakan salah satu sasaran yang ditetapkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024. Pemerintah bertujuan untuk mengurangi pernikahan anak menjadi 8,7 persen dari semua pernikahan pada tahun 2024.

Eksploitasi Seksual terhadap Anak: Undang-undang melarang seks konsensual di luar nikah dengan anak perempuan di bawah 15 tahun. Undang-undang tidak mengatur kegiatan heteroseksual antara perempuan dan anak laki-laki, tetapi melarang tindakan seksual sesama jenis antara orang dewasa dan anak di bawah umur.

Undang-undang melarang eksploitasi seksual komersial anak-anak dan penggunaan anak dalam kegiatan terlarang dan ketentuan ini dilaksanakan. Undang-undang juga melarang pornografi anak dan menetapkan hukuman maksimal 12 tahun penjara dan denda yang cukup besar terhadap tindak pidana memproduksi atau memperdagangkan pornografi anak.

Menurut data tahun 2016, yang merupakan data terbaru dari Kementerian Sosial, terdapat 56.000 pekerja seks di bawah umur di negara ini. UNICEF memperkirakan bahwa secara nasional 40.000 hingga 70.000 anak menjadi korban eksploitasi seksual, dan 30 persen pekerja seks komersial perempuan adalah anak.

Anak Terlantar: Data Kementerian Sosial per Desember 2020 memperkirakan ada 67.368 anak jalanan di Tanah Air. Pemerintah terus mendanai tempat penampungan yang dikelola oleh LSM lokal dan membiayai pendidikan beberapa anak jalanan.

Anak Yang Diurus Negara: Kementerian Sosial melaporkan bahwa pada tahun 2019 terdapat 183.104 anak yang terdaftar dalam sistem Data Terpadu Kesejahteraan Sosial, 106.406 di antaranya tinggal di 4.864 lembaga kesejahteraan anak, sedangkan 76.698 berada dalam penempatan keluarga.

Antisemitisme

Populasi Yahudi di Indonesia sangat kecil, diperkirakan berjumlah sekitar 200 orang. Tidak ada laporan antisemitisme yang signifikan, namun penelitian dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan tingginya sentimen antisemitisme, seringkali dikaitkan dengan sentimen anti-Israel yang kuat.

Tindak Pidana Perdagangan Orang

Baca Laporan Perdagangan Orang dari Departemen Luar Negeri di https://www.state.gov/trafficking-in-persons-report/.

Tindakan Kekerasan, Kriminalisasi, dan Pelanggaran Lainnya Berdasarkan Orientasi Seksual, Identitas atau Ekspresi Gender, atau Karakteristik Jenis Kelamin

Kriminalisasi: Tidak ada hukum nasional yang mengkriminalisasi perilaku seksual sesama jenis antara orang dewasa. Namun demikian, LSM melaporkan beberapa kasus di mana undang-undang yang tidak jelas terkait dengan pornografi dan fasilitasi prostitusi digunakan untuk mengkriminalisasi individu LGBTQI+. Berbagai LSM melaporkan banyak peraturan daerah yang mendefinisikan perilaku seksual sesama jenis sebagai bentuk penyimpangan seksual. Hukum Syariah Aceh memperlakukan perilaku seksual sesama jenis sebagai bersifat ilegal dan dapat dihukum dengan maksimal 100 cambukan, denda yang cukup besar, atau hukuman penjara 100 bulan. Menurut kepala lembaga syariah Aceh, disyaratkan bahwa harus ada setidaknya empat saksi yang melihat hubungan seksual sesama jenis dilakukan agar pelaku dapat dituntut.  LSM melaporkan bahwa ketakutan akan tuntutan di bawah syariah Aceh terkadang menyebabkan aktivis LGBTQI+ melarikan diri dari provinsi tersebut, terkadang untuk selamanya.

Pada bulan September pengadilan militer di Jakarta memecat lima tentara dan menghukum mereka karena melakukan hubungan seks sesama jenis. Dua di antara mereka dijatuhi hukuman enam bulan penjara, sedangkan tiga lainnya dijatuhi hukuman lima bulan penjara. Majelis hakim menyatakan bahwa aktivitas seksual sesama jenis berbahaya bagi pelaksanaan tugas dan bertentangan dengan norma agama dan kesusilaan.

Kekerasan Terhadap LGBTQI+: Korupsi di kepolisian, bias, dan kekerasan menyebabkan orang LGBTQI+ menghindari urusan dengan polisi. Petugas sering mengabaikan laporan resmi yang diajukan oleh korban dan orang yang terimbas, termasuk menolak untuk menyelidiki perundungan (bullying) yang disasarkan pada orang LGBTQI+. Dalam kasus-kasus kriminal yang melibatkan korban LGBTQI+, polisi menyelidiki kasus dengan cukup baik. Menurut laporan media dan LSM, pihak berwenang di daerah melecehkan orang-orang transgender, termasuk memaksa mereka untuk mematuhi standar perilaku budaya yang dikaitkan dengan jenis kelamin biologis mereka atau membayar suap setelah ditahan. Dalam banyak kasus, pejabat gagal melindungi orang-orang LGBTQI+ dari pelecehan sosial.

Diskriminasi: Undang-undang anti-diskriminasi tidak melindungi individu LGBTQI+, dan diskriminasi terhadap individu LGBTQI+ terus berlanjut. Orang transgender menghadapi diskriminasi dalam pekerjaan dan akses ke layanan publik dan perawatan kesehatan. Sejumlah LSM mendokumentasikan penolakan pejabat pemerintah untuk mengeluarkan kartu identitas bagi para transgender.

Pada tanggal 13 Mei, seorang pejabat dari Kementerian Kesehatan mencirikan homoseksual dan biseksual sebagai orang dengan gangguan mental. Pada bulan Juli, Wakil Gubernur Jakarta Ahmad Riza Patria memperingatkan tentang “kecenderungan LGBT” setelah melihat suatu peragaan busana, dimana komentar tersebut dianggap bersifat diskriminatif oleh beberapa kelompok masyarakat sipil.

Pada bulan Desember Anwar Abbas, Wakil Ketua Majelis Ulama Indonesia, mengatakan kepada pers bahwa gagasan LGBTQI+ mengancam nilai-nilai agama dan budaya negara. Ketua Ikatan Alumni Timur Tengah Indonesia KH Muhyiddin Junaidi mengatakan, “LGBT adalah penyakit jiwa yang harus diobati, karena sangat berbahaya bagi kelangsungan hidup umat manusia.” Anggota DPR Nasyirul Falah Amru menyatakan sebagai bangsa yang memegang teguh Pancasila, negara tidak bisa menerima gerakan “LGBT”. Sementara itu, tagar #UsirLGBTDariIndonesia muncul di Twitter.

Praktik Medis Atau Psikologis yang Dilakukan Secara Paksa Yang Disasarkan Pada Para Individu LGBTQI+: Tidak ada undang-undang atau peraturan yang melarang atau membatasi apa yang disebut praktik terapi konversi. Menurut para aktivis, individu transgender terkadang menjadi sasaran “terapi” seperti praktik pengusiran setan, kamp keagamaan, dan praktik traumatis lainnya. Keluarga sering memasukkan anak LGBTQI+ di bawah umur untuk menjalani terapi, mengurung mereka di rumah, atau memaksa mereka untuk menikah dengan lawan jenis.

Para LSM mengkritik suatu peraturan yang berlaku di kota Bogor, Jawa Barat, yang bertujuan untuk “merehabilitasi” mereka yang dianggap menderita perilaku seksual yang tidak normal. Para LSM mengatakan bahwa peraturan tersebut melanggar hak dan menargetkan komunitas minoritas seksual dan gender.

Adanya Gender Yang Diakui Hukum: Mengganti keterangan jenis kelamin pada dokumen hukum dapat dilakukan namun dengan syarat telah dilakukannya intervensi medis termasuk pembedahan, yang disahkan melalui penetapan pengadilan, terlepas dari apakah pembedahan diinginkan oleh individu tersebut.

Pembatasan Kebebasan Berekspresi, Berserikat, atau Berkumpul Secara Damai: Beberapa kelompok advokasi LGBTQI+ melaporkan bahwa ketika mereka mencoba mendaftarkan organisasi mereka, mereka tidak dapat menyatakan secara eksplisit bahwa mereka adalah kelompok advokasi LGBTQI+ pada surat pendaftaran mereka. Terdapat beberapa LSM LGBTQI+ yang melakukan kegiatan namun mereka sering harus mengadakan acara publik secara diam-diam karena izin atau persetujuan yang disyaratkan untuk menyelenggarakan acara resmi sulit untuk diperoleh atau mereka ditekan oleh polisi untuk tidak mengadakan acara semacam itu untuk menghindari “keresahan sosial”. Pemerintah pusat belum mengambil tindakan untuk mengatasi peraturan daerah yang mengkriminalisasi kelompok LGBTQI+ meskipun mereka tidak selaras dengan peraturan perundang-undangan nasional, menurut para LSM.

Memproduksi media yang menggambarkan perilaku seksual sesama jenis secara suka sama suka – yang didefinisikan secara tidak jelas dan umum dalam undang-undang – dapat dituntut sebagai tindak pidana. Hukumannya termasuk denda yang cukup tinggi dan hukuman penjara dari enam bulan hingga 15 tahun, dengan hukuman yang lebih berat untuk kejahatan yang melibatkan anak di bawah umur. Berbagai LSM melaporkan bahwa Kementerian Komunikasi dan Informatika terkadang meminta penghapusan informasi yang terkait dengan masalah LGBTQI+ dari situs-situs di internet. Lembaga pemerintah telah menyensor film dalam negeri maupun film impor yang menyajikan hubungan sesama jenis dan melarang program televisi memuat konten LGBTQI+.

Pada bulan Agustus, influencer media sosial Dimas Adipati di Makassar dijatuhi hukuman 18 bulan penjara (diturunkan menjadi 12 bulan dalam proses banding) karena mengunggah konten terkait LGBTQI+ di media sosial.

Penyandang Disabilitas

Penyandang disabilitas tidak dapat mengakses pendidikan, layanan kesehatan, bangunan umum, dan transportasi secara setara dengan warga lain. Undang-undang mengharuskan disediakannya aksesibilitas ke fasilitas publik bagi penyandang disabilitas. Ketentuan undang-undang ini berlaku untuk pendidikan, pekerjaan, layanan kesehatan, transportasi, dan layanan negara lainnya tetapi jarang ditegakkan. Ketentuan undang-undang hak disabilitas yang komprehensif memberlakukan sanksi pidana bagi pelanggar hak-hak penyandang disabilitas. Penyandang disabilitas secara tidak proporsional terimbas oleh krisis COVID-19. Mereka mengalami kesulitan dalam mengakses informasi tentang pandemi dan strategi kesehatan masyarakat terkait virus dan menerima perawatan kesehatan dari penyedia layanan.

Tidak ada data kredible  tentang akses anak-anak penyandang disabilitas terhadap pendidikan, namun para pengamat mengobservasi  bahwa tingkat kehadiran mereka lebih rendah daripada anak-anak lainnya.

Meskipun ada larangan pemerintah, sejumlah LSM melaporkan bahwa terkadang keluarga, dukun, dan staf di rumah sakit jiwa memasung penyandang disabilitas psikososial, terkadang selama bertahun-tahun. Pemerintah terus memprioritaskan penghapusan praktik ini. Kementerian Sosial melaporkan penurunan tajam pada tahun 2021, memperkirakan bahwa lebih dari 4.700 orang dengan gangguan psikososial telah dibebaskan pada tahun tersebut.

Kekerasan atau Diskriminasi Sosial Lainnya

Stigmatisasi dan diskriminasi terhadap orang dengan HIV atau AIDS sering terjadi, meskipun ada upaya pemerintah untuk mendorong toleransi. Toleransi masyarakat sangat beragam dan ketakutan akan adanya reaksi dari golongan konservatif agama sering mengakibatkan lemahnya upaya pencegahan. Hambatan sosial bagi masyarakat untuk mengakses obat antiretroviral dan harganya yang tinggi membuat obat ini tidak terjangkau oleh banyak orang. Orang dengan HIV atau AIDS dilaporkan terus mengalami diskriminasi di dunia kerja. Kolaborasi yang lebih erat antara Kementerian Kesehatan dan organisasi masyarakat sipil meningkatkan jangkauan kampanye kesadaran pemerintah, namun, beberapa klinik menolak memberikan layanan kepada orang dengan HIV atau AIDS.

Individu yang dicurigai menggunakan ilmu hitam sering menjadi sasaran kekerasan. Pada tahun 2021 beberapa narapidana di Merauke, Papua, membunuh dua narapidana lain dari suku  Marind yang dituduh menggunakan sihir untuk mengutuk narapidana lain.

Bagian 7. Hak Pekerja

  1. Kebebasan Berserikat dan Hak untuk melakukan Perundingan secara Kolektif

Undang-undang, dengan pembatasan-pembatasan tertentu, menetapkan hak pekerja untuk bergabung dengan serikat pekerja independen, melakukan pemogokan yang sah, dan berunding secara kolektif. Undang-undang melarang diskriminasi anti serikat pekerja.

Para pekerja di sektor swasta berdasarkan undang-undang memiliki hak yang luas untuk berserikat dan membentuk dan bergabung dengan serikat pekerja pilihan mereka tanpa harus memerlukan izin terlebih dahulu atau harus tunduk pada persyaratan yang terlalu ketat. Undang-undang menetapkan batasan-batasan dalam berserikat di kalangan pekerja sektor publik. Aparat Sipil Negara hanya dapat membentuk perkumpulan pegawai dengan pembatasan terhadap beberapa hak tertentu, seperti hak mogok. Karyawan badan usaha milik negara dapat membentuk serikat pekerja, namun karena pemerintah memperlakukan sebagian besar perusahaan tersebut sebagai entitas kepentingan nasional yang esensial, maka hak mogok mereka dibatasi.

Undang-undang menetapkan bahwa 10 pekerja atau lebih memiliki hak untuk membentuk serikat pekerja, dengan keanggotaan terbuka untuk semua pekerja, terlepas dari afiliasi politik, agama, etnis, atau jenis kelamin. Kementerian Tenaga Kerja mencatat, namun bukan memberikan persetujuan, pembentukan serikat, federasi, atau konfederasi, dan memberikannya nomor pendaftaran.

Ketentuan hukum memungkinkan pemerintah untuk mengajukan permohonan ke pengadilan untuk membubarkan serikat pekerja jika bertentangan dengan konstitusi atau ideologi nasional Pancasila, yang meliputi prinsip-prinsip ketuhanan yang maha esa, keadilan, persatuan, demokrasi, dan keadilan sosial. Pihak berwenang dapat memaksa serikat untuk dibubarkan jika pemimpin atau anggotanya, atas nama serikat, melakukan kejahatan terhadap keamanan negara, dan mereka dapat dikenakan hukuman penjara minimal lima tahun. Setelah serikat pekerja dibubarkan, para pemimpin dan anggotanya tidak boleh membentuk serikat pekerja lain setidaknya selama tiga tahun. Organisasi Buruh Internasional tetap khawatir bahwa pembubaran serikat pekerja dapat bersifat disproporsional terhadap beratnya pelanggaran.

Ketentuan hukum memuat beberapa pembatasan terhadap perundingan kolektif, termasuk persyaratan bahwa sebuah atau beberapa serikat pekerja harus mewakili lebih dari 50 persen tenaga kerja perusahaan atau menerima suara lebih dari 50 persen dari semua pekerja di dalamnya untuk dapat merundingkan perjanjian kerja bersama. Pekerja dan pemberi kerja memiliki waktu 30 hari untuk menyusun perjanjian kerja bersama. Perjanjian tersebut memiliki masa berlaku dua tahun. yang dapat diperpanjang oleh para pihak untuk jangka waktu satu tahun. Para serikat pekerja memandang bahwa ketentuan perundang-undangan tersebut memungkinkan pengusaha untuk menghambat negosiasi perjanjian kerja bersama dengan konsekuensi hukum yang rendah.

Hak mogok dibatasi secara hukum. Menurut undang-undang, pekerja harus memberikan pemberitahuan tertulis yang mencakup lokasi serta waktu mulai dan berakhirnya aksi mogok tersebut kepada pihak berwenang dan pemberi kerja tujuh hari sebelumnya agar aksi mogok dianggap sah. Sebelum melakukan aksi mogok, pekerja harus melakukan mediasi dengan pemberi kerja dan kemudian melanjutkan dengan mediator pemerintah, yang jika tidak dilakukan akan menimbulkan risiko bahwa aksi mogok yang direncanakan akan dinyatakan ilegal. Dalam hal terjadi aksi mogok yang tidak sah, pemberi kerja dapat membuat dua permintaan tertulis dalam jangka waktu tujuh hari agar pekerja kembali bekerja. Pekerja yang tidak kembali bekerja setelah permintaan tersebut dianggap mengundurkan diri.

Semua aksi mogok yang berlangsung di “perusahaan yang melayani kepentingan masyarakat umum atau di perusahaan yang kegiatannya akan membahayakan keselamatan jiwa manusia jika dihentikan” dianggap ilegal. Peraturan yang berlaku tidak menentukan jenis perusahaan yang tunduk pada ketentuan ini, sehingga keputusan ada pada diskresi pemerintah. Keputusan presiden dan menteri memungkinkan perusahaan atau kawasan industri untuk meminta bantuan dari polisi dan militer jika terjadi gangguan atau ancaman terhadap “obyek vital nasional” di wilayah kerjanya. Organisasi Buruh Internasional melaporkan bahwa definisi peraturan tentang “obyek vital nasional” memberlakukan pembatasan yang terlalu luas pada aktivitas serikat pekerja yang sah, termasuk di zona pemrosesan ekspor. Para aktivis hak asasi manusia dan serikat pekerja menuduh bahwa pemerintah terus menetapkan perusahaan dan kawasan ekonomi sebagai “obyek vital nasional” untuk membenarkan penggunaan aparat keamanan untuk membatasi kegiatan mogok.

Pemerintah tidak selalu secara efektif menegakkan ketentuan hukum yang melindungi kebebasan berserikat atau mencegah diskriminasi anti serikat pekerja. Kasus-kasus diskriminasi anti serikat pekerja bergerak sangat lambat melalui sistem peradilan. Suap dan korupsi di badan peradilan dalam kasus-kasus sengketa kerja terus berlanjut, dan serikat pekerja mengklaim bahwa pengadilan jarang menetapkan putusan yang menguntungkan pekerja, bahkan dalam kasus-kasus dimana Kementerian Tenaga Kerja mengeluarkan rekomendasi yang berpihak pada pekerja. Meskipun pekerja-pekerja tersebut terkadang menerima uang pesangon atau kompensasi lainnya, mereka jarang dipekerjakan kembali. Pihak berwenang memanfaatkan beberapa delik pidana untuk menuntut anggota serikat buruh di pengadilan karena tindakan mogok mereka, seperti dakwaan “menghasut tindakan yang dapat dihukum” atau melakukan “tindakan yang tidak menyenangkan,” yang mengkriminalisasi berbagai tindakan.

Hukuman atas pelanggaran terhadap undang-undang yang melindungi kebebasan berserikat dan hak untuk membuat perjanjian kerja bersama adalah hukuman penjara dan denda, dan umumnya sebanding dengan kejahatan serupa. Namun, hukuman tersebut jarang dijatuhkan terhadap pelaku pelanggaran. Dinas Tenaga Kerja daerah bertanggung jawab atas penegakan hukum termasuk di zona promosi ekspor. Penegakan perjanjian kerja bersama bervariasi tergantung kemampuan dan kepentingan masing-masing pemerintah daerah.

Beberapa praktik yang lazim dilakukan menggerogoti kebebasan berserikat. Bentuk intimidasi anti serikat pekerja yang paling sering dilakukan adalah pemecatan, pemindahan, atau pengajuan tuntutan pidana yang tidak memiliki dasar. Serikat pekerja mengklaim bahwa pemberi kerja biasanya memindahkan tempat tugas pemimpin buruh yang dianggap bermasalah. Aktivis buruh mengklaim bahwa perusahaan merekayasa pembentukan beberapa serikat, termasuk serikat “kuning” (dikendalikan oleh pemberi kerja), untuk melemahkan serikat yang didirikan secara sah. Beberapa pemberi kerja mengancam karyawan yang berkomunikasi dengan pengurus serikat. Perusahaan sering menggugat pemimpin serikat pekerja atas kerugian yang diderita akibat pemogokan.

Banyak pemogokan tanpa izin atau pemogokan “liar” terjadi setelah kegagalan untuk menyelesaikan keluhan jangka panjang atau ketika pemberi kerja menolak untuk mengakui keberadaan serikat pekerja. Berbagai serikat pekerja melaporkan bahwa pengusaha juga menggunakan proses birokrasi yang harus dilalui untuk penyelenggaraan mogok secara sah untuk menghalangi pelaksanaan hak mogok serikat pekerja. Serikat pekerja mencatat bahwa lambannya pengusaha dalam menegosiasikan perjanjian kerja bersama berkontribusi pada aktivitas pemogokan dan tindakan hukum yang diambil terhadap anggota serikat jika negosiasi kesepakatan gagal.

Undang-undang menghilangkan pembatasan terhadap perekrutan tenaga kerja alih daya (outsource) dan memungkinkan penggunaan tenaga kerja kontrak yang lebih banyak, dibandingkan sebelum undang-undang tersebut disahkan. Berdasarkan undang-undang ini, outsourcing tenaga kerja kontrak dapat dilakukan untuk setiap kegiatan usaha tanpa batasan. Perusahaan penyedia tenaga kerja, bukan perusahaan pengguna, sepenuhnya bertanggung jawab atas kondisi kerja dan upah pekerja kontrak. Perusahaan pengguna dapat mengambil pekerja kontrak dari beberapa perusahaan outsourcing, sehingga pekerja tidak mungkin melakukan tawar-menawar secara kolektif di tempat kerja.

Undang-undang memberikan batasan yang tidak jelas untuk penggunaan kontrak jangka waktu tertentu. Misalnya, kontrak jangka waktu tertentu dapat digunakan untuk pekerjaan apa pun yang bersifat sementara atau dapat diselesaikan dalam “waktu yang tidak terlalu lama”. Peraturan pelaksanaan juga memperpanjang durasi maksimal kontrak tetap dari tiga menjadi 10 tahun. Pedoman yang terlalu luas ini mempersulit upaya untuk memastikan bahwa ancaman pembaruan kontrak tidak digunakan untuk menghambat kebebasan berserikat dan perundingan bersama.

  1. Larangan Kerja Paksa atau Kerja Wajib

Undang-undang melarang segala bentuk kerja paksa atau kerja wajib, menetapkan hukuman penjara dan denda, namun pemerintah tidak menegakkannya secara efektif.

Untuk mencegah kerja paksa terhadap pekerja Indonesia di luar negeri, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Indonesia mendaftarkan para pekerja migran dan keluarganya dalam program jaminan sosial nasional, memungkinkan pihak berwenang untuk menuntut tersangka yang terlibat dalam perekrutan dan penempatan pekerja secara ilegal, dan membatasi peran agen perekrutan dan penempatan swasta dengan mencabut wewenang mereka untuk mendapatkan dokumen perjalanan bagi pekerja migran. Instansi pemerintah dapat menangguhkan izin agen perekrutan atas praktik perekrutan dan penandatanganan kontrak melalui pemaksaan atau penipuan, pengiriman pekerja migran ke negara tujuan yang tidak diizinkan, pemalsuan dokumen, perekrutan pekerja di bawah umur, pemungutan biaya ilegal (seperti meminta pembayaran beberapa bulan gaji pekerja), dan pelanggaran-pelanggaran lainnya.

Pemerintah melanjutkan moratorium pengiriman pekerja rumah tangga ke negara-negara tertentu di mana warga negaranya menjadi sasaran kerja paksa. Beberapa pengamat mencatat bahwa moratorium ini berujung pada meningkatnya jumlah pekerja yang mencari jasa calo ilegal dan agen penempatan untuk memfasilitasi perjalanan mereka, sehingga meningkatkan kerentanan mereka terhadap perdagangan manusia. Pemerintah menegaskan moratorium semacam itu diperlukan sampai negara penerima menjamin perlindungan terhadap pelecehan dan eksploitasi pekerja migran dari Indonesia.

Pada tanggal 13 Juli, duta besar Indonesia untuk Malaysia mengumumkan moratorium sementara pengiriman pekerja migran ke negara tersebut, dengan pertimbangan bahwa Malaysia tidak mematuhi ketentuan nota kesepahaman yang ditandatangani pada bulan April yang dirancang untuk melindungi pekerja dan mencegah perdagangan manusia. Dalam jangka waktu beberapa hari, Menteri Tenaga Kerja Ida Fauziyah mengumumkan penangguhan akan dicabut pada 1 Agustus, mengutip kesepakatan untuk menyelaraskan praktik rekrutmen antara kedua negara menggunakan sistem online tunggal.

Pemerintah tidak secara efektif menegakkan Undang-Undang Tindak Pidana Perdagangan Orang. Terdapat laporan yang dapat dipercaya bahwa terjadi kerja paksa, termasuk kerja paksa dan kerja wajib terhadap anak (lihat bagian 7.c.). Kerja paksa juga terjadi diantara pekerja di lingkungan rumah tangga, pertambangan, manufaktur, penangkapan dan pengolahan ikan, konstruksi, dan pertanian dan perkebunan. Pada tanggal 1 September, Indonesian Ocean Justice Initiative menerbitkan sebuah laporan tentang pekerja migran, yang menyimpulkan bahwa kerangka hukum tidak cukup untuk melindungi  pekerja migran pelaut perikanan, menemukan bahwa agen perekrutan dan penempatan yang tidak bertanggung jawab menempatkan mereka dalam situasi kerja paksa, dan upaya penegakan hukum serta mekanisme pengaduan tidak memadai.

Pada bulan November Pengadilan Negeri Stabat menyatakan empat terdakwa bersalah atas penyiksaan hingga tewas terhadap dua orang yang diperdagangkan untuk bekerja di perkebunan kelapa sawit di Sumatera Utara, dan empat terdakwa lainnya bersalah atas tindakan pidana perdagangan orang. Para korban dikurung di kandang milik Terbit Rencana, Bupati Langkat, yang ditemukan Januari lalu tak lama setelah KPK menangkap Bupati Terbit Rencana karena korupsi. Selama lebih dari 10 tahun, puluhan korban dikurung di dalam kandang di lahan itu dan dipaksa bekerja di perkebunan kelapa sawitnya, diduga sebagai bagian dari program rehabilitasi narkoba tidak resmi. Polda Sumut menetapkan Rencana sebagai tersangka dalam penyidikan namun hingga November belum menerapkan delik pidana terhadapnya. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia merekomendasikan polisi dan militer menyelidiki lebih lanjut dugaan peran anggota kepolisian dan militer dalam pelanggaran-pelanggaran.

Baca juga Laporan Perdagangan Orang dari Departemen Luar Negeri Amerika Serikat di https://www.state.gov/trafficking-in-persons-report/.

  1. Larangan Pekerja Anak dan Usia Minimum untuk Bekerja

Baca Temuan Departemen Tenaga Kerja Amerika Serikat tentang Bentuk-Bentuk Terburuk Pemekerjaan Anak di https://www.dol.gov/agencies/ilab/resources/reports/child-labor/findings.

  1. Diskriminasi Sehubungan dengan Pekerjaan dan Jabatan

Undang-undang melarang diskriminasi dalam pemberian kerja dan tempat kerja yang dilakukan berdasarkan ras, etnis, agama, jenis kelamin, asal kebangsaan, dan disabilitas, namun tidak secara khusus berkenaan dengan orientasi seksual atau identitas gender, usia, warna kulit, bahasa, atau HIV atau status penyakit menular lainnya. Tidak ada batasan hukum terhadap perempuan dalam pekerjaan termasuk membatasi jam kerja, pekerjaan, atau tugas.

Pemerintah tidak menegakkan ketentuan hukum ini secara efektif. Hukuman yang terkandung di dalamnya sepadan dengan pelanggaran undang-undang serupa, namun jarang diterapkan terhadap pelanggar. Menurut sejumlah LSM, perlindungan anti-diskriminasi tidak selalu dipatuhi oleh pengusaha atau pemerintah. Kelompok hak asasi manusia melaporkan beberapa kementerian pemerintah melakukan diskriminasi terhadap perempuan hamil, penyandang disabilitas, individu LGBTQI+, dan orang HIV-positif dalam perekrutan.

Buruh migran dan penyandang disabilitas biasanya menghadapi diskriminasi dalam pekerjaan dan seringkali dipekerjakan hanya untuk pekerjaan tingkat rendah.

Beberapa aktivis mengatakan bahwa di bidang manufaktur, pemberi kerja menempatkan perempuan di pekerjaan tingkat rendah dengan gaji kecil. Pekerjaan yang secara historis diasosiasikan dengan perempuan terus diremehkan dan tidak diatur secara signifikan. Para LSM melaporkan bahwa perlakuan diskriminatif terhadap pekerja rumah tangga masih sering terjadi.

  1. Kondisi Kerja yang Dapat Diterima

Peraturan Perundang-Undangan tentang Upah dan Jam Kerja: Upah minimum bervariasi di seluruh negeri karena gubernur memiliki wewenang untuk menetapkan batas upah minimum dan bupati memiliki wewenang untuk menetapkan tingkat upah yang lebih tinggi. Upah minimum di 19 dari 34 provinsi berada di bawah tingkat pendapatan kemiskinan nasional.

Sebagian besar pekerja tidak tercakup oleh peraturan upah minimum. Peraturan pemerintah mengecualikan pemberi kerja di sektor-sektor tertentu, termasuk usaha kecil dan menengah dan industri padat karya seperti tekstil, dari persyaratan upah minimum. Pedoman pengupahan mendasarkan upah minimum pada kondisi ekonomi, dengan paritas daya beli, tingkat penyerapan tenaga kerja, dan variabel kunci upah median dalam perhitungannya. Peraturan pelaksana mengharuskan sektor-sektor yang dikecualikan dari aturan upah minimum untuk membayar pekerja setidaknya 50 persen dari rata-rata konsumsi publik atau 25 persen di atas tingkat kemiskinan provinsi mereka dan memastikan bahwa pekerja paruh waktu berhak menerima upah per jam.

Untuk sektor-sektor tertentu, tarif lembur untuk bekerja lebih dari 40 jam kerja dalam seminggu adalah 1,5 kali tarif normal per jam untuk jam pertama dan dua kali tarif per jam untuk jam lembur tambahan, dengan maksimal empat jam lembur per hari dan maksimal 18 jam per minggu. Undang-undang mengizinkan usaha-usaha tertentu yang membutuhkan karyawan sementara untuk dikecualikan dari ketentuan jam kerja 40 jam seminggu. Menurut peraturan pelaksana yang dikeluarkan di bulan Februari terkait ketentuan ini, sektor-sektor yang dikecualikan dari 40 jam kerja seminggu termasuk, namun tidak terbatas pada, energi dan sumber daya alam, pertambangan, gas alam dan minyak bumi, agribisnis, dan perikanan.

Keselamatan dan Kesehatan Kerja: Undang-undang mewajibkan pengusaha untuk menyediakan tempat kerja yang aman dan sehat dan memperlakukan pekerja dengan bermartabat dan memberikan standar yang sesuai untuk industri utama. Para inspektur tidak secara aktif mengidentifikasi kondisi tidak aman karena kemampuan mereka untuk melakukan inspeksi dihambat oleh rendahnya sumber daya dan pelatihan. Pemerintah berupaya untuk menciptakan lembaga terpisah untuk melakukan inspeksi keselamatan dan kesehatan kerja dan meningkatkan kapasitas pengawasnya. Pekerja dapat menarik diri dari situasi yang membahayakan kesehatan atau keselamatan tanpa risiko kehilangan pekerjaan mereka.

Pekerja pertanian perkebunan sering bekerja berjam-jam tanpa tunjangan asuransi kesehatan yang diamanatkan pemerintah. Mereka tidak diberi peralatan keselamatan yang memadai dan pelatihan tentang keamanan dalam penggunaan pestisida. Sebagian besar operator perkebunan membayar pekerja berdasarkan volume panen, yang mengakibatkan beberapa pekerja menerima upah di bawah upah minimum dan jam kerja diperpanjang untuk memenuhi target volume. Pekerja panggilan/musiman tidak dilindungi peraturan tentang upah, jam kerja, dan keselamatan dan kesehatan kerja.

Tidak ada estimasi nasional tentang kematian atau cedera di tempat kerja. Serikat pekerja terus mendesak pemerintah, terutama Kementerian Tenaga Kerja, untuk berbuat lebih banyak  dalam mengatasi catatan keselamatan kerja yang buruk dan lemahnya penegakan peraturan kesehatan dan keselamatan, khususnya di sektor konstruksi. Pemerintah telah memberikan panduan kepada dunia usaha untuk mengatasi COVID-19.

Upah, Jam Kerja, dan Pelaksanaan K3: Pihak berwenang memberlakukan peraturan ketenagakerjaan, termasuk peraturan upah minimum, hanya untuk sekitar 43 persen pekerja di sektor formal. Pejabat daerah dari Dinas Tenaga Kerja bertanggung jawab untuk menegakkan peraturan upah minimum, jam kerja, dan keselamatan dan kesehatan kerja. Hukuman atas pelanggaran peraturan tersebut adalah denda dan hukuman penjara (untuk pelanggaran undang-undang upah minimum), yang pada umumnya sepadan dengan kejahatan serupa. Penegakan oleh pemerintah tidak memadai, terutama terhadap perusahaan kecil, dan pengawasan terhadap standar ketenagakerjaan tidak ditegakkan sepenuhnya dan hukuman jarang dijatuhkan terhadap pelanggar. Petugas di tingkat provinsi dan kabupaten seringkali tidak memiliki keahlian teknis yang diperlukan untuk menegakkan hukum ketenagakerjaan secara efektif. Para inspektur memiliki wewenang untuk melakukan inspeksi mendadak dan dapat menerapkan sanksi di sektor formal. Jumlah inspektur yang dipekerjakan oleh Kementerian Tenaga Kerja tidak memadai untuk menegakkan kepatuhan.

Sektor Informal: Pekerja di sektor informal (diperkirakan 57 persen dari angkatan kerja) tidak mendapatkan perlindungan atau tunjangan yang sama dengan pekerja di sektor formal, antara lain karena mereka tidak memiliki kontrak kerja resmi yang dapat diperiksa oleh pengawas ketenagakerjaan. Undang-undang tidak mewajibkan pemberi kerja untuk memberikan upah minimum, asuransi kesehatan, kebebasan berserikat, delapan jam kerja sehari, satu hari istirahat mingguan, waktu libur, atau kondisi kerja yang aman bagi pekerja rumah tangga.