Laporan Kebebasan Beragama Internasional 2013

RINGKASAN EKSEKUTIF

Undang-undang dasar menjamin kebebasan beragama, akan tetapi sejumlah perundangan dan kebijakan membatasi kebebasan tersebut. Secara umum pemerintah menghormati hak para pemeluk enam agama yang diakui secara resmi untuk beribadat dengan bebas sesuai dengan kepercayaannya. Pemerintah tidak secara konsisten memberikan perlindungan yang sama kepada kelompok-kelompok agama lainnya atau kepada kelompok yang termasuk di dalam enam agama resmi yang dianggap oleh para pemuka agama daerah atau nasional memiliki pemahaman menyimpang atau menodai agama. Pemerintah menghukum orang yang membuat pernyataan lisan atau tulisan yang dianggap menodai. Terkadang pemerintah gagal untuk mencegah kekerasan, pelecehan, dan diskriminasi terhadap individu berdasarkan keyakinan agama mereka. Para pejabat pemerintah, termasuk yang berada ditingkat daerah, melakukan diskriminasi terhadap para pengikut kelompok agama yang dianggap sebagai minoritas lokal akibat tekanan dari kelompok-kelompok lainnya. Para pejabat kabinet membuat pernyataan terbuka yang menghimbau para penganut dari kelompok-kelompok agama tertentu untuk berpindah agama dan memberikan dukungan kepada kelompok-kelompok pelaku kekerasan. Ada sejumlah laporan bahwa Menteri Agama hadir menyaksikan perpindahan agama yang kontroversial dari sejumlah anggota komunitas Muslim Ahmadiyah.

Terdapat sejumlah laporan mengenai pelecehan dan diskriminasi masyarakat yang didasarkan pada afiliasi, keyakinan dan praktik agama. Pelecehan-pelecehan tersebut terkadang melibatkan insiden kekerasan berkelompok dan hal ini lebih umum terjadi di provinsi-provinsi dan kabupaten-kabupaten yang menerapkan peraturan-peraturan yang bersifat diskriminatif. Walau kekerasan tersebut terkadang timbul akibat masalah sektarian, seringkali hal ini juga terkait dengan ketimpangan politik dan ekonomi.

Pemerintah AS telah berdiskusi mengenai kebebasan beragama dengan para pemimpin pemerintahan dan masyarakat sipil. Kedubes dan perwakilan-perwakilan lainnya, melalui upaya-upaya diplomasi publik (outreach), termasuk melalui media massa, kegiatan-kegiatan dialog terbuka, pertukaran pemuda, dan program-program pendidikan, mengusung pesan mengenai penghargaan terhadap keragaman dan toleransi beragama kepada puluhan juta rakyat yang ada di seluruh negeri.

Bagian I. Demografi Agama

Pemerintah AS memperkirakan jumlah keseluruhan penduduk sebanyak 251,2 juta jiwa (perkiraan bulan Juli 2013). Sekitar 87 persen dari jumlah penduduk tercatat beragama Islam, tujuh persen beragama Protestan, tiga persen beragama Katolik Roma, dan 1,5 persen beragama Hindu. Pengikut dari kelompok kelompok agama lainnya (agama Buddha, aliran-aliran kepercayaan pribumi tradisional, Konghucu, dan aliran-aliran agama Kristen lainnya) dan orang-orang yang tidak memberikan jawaban terhadap pertanyaan sensus tahun 2010 sekitar 1,25 persen dari keseluruhan penduduk.

Populasi Muslim di dalam negeri sebagian besar adalah Suni. Dari 207 juta penduduk yang beragama Islam, diperkirakan satu juta hingga tiga juta diantaranya adalah Syiah. Juga banyak terdapat kelompok-kelompok Muslim yang lebih kecil, termasuk sekitar 200-400 ribu anggota Komunitas Muslim Ahmadiyah.

Diperkirakan 20 juta orang penduduk, utamanya yang berada di Jawa, Kalimantan, dan Papua, menganut berbagai sistem kepercayaan tradisional, yang sering disebut sebagai Aliran Kepercayaan. Diperkirakan di seluruh nusantara terdapat 400 komunitas Aliran Kepercayaan yang berbeda.  Banyak dari aliran kepercayaan tersebut menggabungkan kepercayaan mereka dengan salah satu agama yang resmi yang diakui oleh pemerintah dan terdaftar sebagai bagian dari agama yang diakui tersebut.

Di negara ini terdapat populasi beragama Sikh dalam jumlah kecil, diperkirakan antara 10.000 orang hingga 15.000 penganutnya sebagian besar bermukim di Medan dan Jakarta. Terdapat komunitas Yahudi dalam jumlah yang sangat kecil di Jakarta, Manado, dan Surabaya. Komunitas Baha’i melaporkan jumlah pengikut sebanyak ribuan, akan tetapi belum tersedia angka yang dapat dipercaya. Falun Dafa (atau Falun Gong), yang menganggap dirinya sebagai organisasi spiritual dan bukan sebagai agama, mengaku memiliki beberapa ribuan pengikut, akan tetapi tidak ada angka yang spesifik. Jumlah penduduk yang ateis juga tidak diketahui secara pasti, tetapi kelompok Ateis Indonesia mengaku memiliki lebih dari 500 orang anggota. Provinsi Bali sebagian besar penduduknya beragama Hindu, dan di provinsi Papua, Papua Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Sulawesi Utara sebagian besar penduduknya beragama Kristen Protestan.

Bagian II. Status Penghargaan Pemerintah terhadap Kebebasan Beragama

Kerangka kerja Hukum/Kebijakan

Undang-undang dasar melindungi kebebasan beragama, tetapi sejumlah undang-undang, kebijakan, dan peraturan daerah membatasi kebebasan beragama bagi para pengikut kelompok-kelompok agama minoritas.  Undang-undang dasar menyepakati “setiap orang berhak untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya” dan menyatakan “ Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa.” Sila pertama dari ideologi nasional bangsa, Pancasila, juga menyatakan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Para abdi negara harus bersumpah setia kepada bangsa dan kepada ideologi Pancasila dan organisasi-organisasi masyarakat sipil juga diwajibkan untuk menjunjung Pancasila.

Kementerian Agama, berdasarkan undang-undang, memberikan status resmi kepada enam kelompok agama:  Islam, Katolik, Protestan, Buddha, Hindu dan Konghucu.  Walaupun kelompok-kelompok yang tidak diakui memiliki hak untuk membangun tempat peribadatan, memperoleh kartu tanda penduduk, mencatatkan pernikahan dan kelahiran, kelompok tersebut dapat menemui kendala-kendala administratif dalam pelaksanaannya. Tantangan-tantangan ini membuat para perorangan menemui kesulitan dalam mencari pekerjaan atau mendaftarkan anak-anak mereka untuk bersekolah. Dalam pendaftaran kartu tanda penduduk, saat ini dianggap sah untuk diterima apabila kolom agama dibiarkan kosong. Walaupun begitu,  para perorangan melaporkan bahwa mereka mendapatkan kendala dalam pelaksanaannya.

Pemerintah mengizinkan praktik sistem kepercayaan tradisional, atau Aliran Kepercayaan, sebagai manifestasi budaya selain agama. Kelompok-kelompokAliran Kepercayaan bisa tercatat di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada tingkat kabupaten atau provinsi, dan para pihak otoritas daerah umumnya menghormati hak-hak mereka untuk menjalankan kepercayaannya.

Pemerintah melarang dakwah yang dilakukan oleh komunitas Ahmadiyah dan juga melarang tindakan main hakim sendiri terhadap kelompok tersebut. Akan tetapi, pemerintah tidak menegakkan hal yang terakhir secara konsisten. Pelanggaran terhadap pelarangan dakwah dapat diberi hukuman maksimum lima-tahun penjara atas dakwaan penodaan agama. Pelarangan ini tidak menghalangi jemaah Muslim Ahmadiyah untuk beribadat atau terus mempraktikkan agamanya didalam komunitas mereka. Sejumlah undang-undang tingkat provinsi dan daerah secara lebih jauh membatasi praktik yang dilakukan oleh para Muslim Ahmadiyah.

Undang-undang melarang penyebaran informasi yang dirancang untuk menyebarkan kebencian atau perselisihan di antara orang dan/atau kelompok masyarakat tertentu atas dasar etnis, agama, atau ras. Undang-undang memberikan hukuman maksimum lima tahun penjara untuk penghasutan kebencian.

Pemerintah memiliki kekuatan untuk menetapkan batasan atas kebebasan beragama yang didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan keamanan.  Pelanggaran atas batasan-batasan tersebut dapat didakwa sebagai penodaan, yang dikenakan hukuman maksimum selama lima tahun penjara.

Pemerintah mewajibkan kelompok –kelompok agama yang diakui untuk tunduk kepada arahan-arahan yang diberikan oleh Kementerian Agama dan arahan-arahan kementerian lainnya, dalam hal seperti pembangunan rumah ibadat, bantuan luar negeri kepada institusi-institusi agama di dalam negeri dan penyebarluasan agama.

Berdasarkan sebuah surat keputusan bersama kementerian, kelompok-kelompok agama yang ingin membangun rumah ibadat wajib untuk memperoleh tandatangan dari sedikitnya 90 orang anggota kelompok tersebut dan dari 60 orang masyarakat sekitar yang berbeda agama yang menyatakan bahwa mereka mendukung pembangunan tersebut. Keputusan tersebut juga mewajibkan adanya persetujuan dari kantor urusan agama daerah, Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB). FKUB yang dibentuk oleh pemerintah berada di tingkat kabupaten dan terdiri dari para pemuka agama yang berasal dari enam agama yang resmi diakui. Mereka bertanggungjawab untuk menengahi konflik-konflik antar agama.

Panduan hukum mengharuskan organisasi-organisasi keagamaan dalam negeri untuk mendapat persetujuan dari Kementerian Agama dalam menerima pendanaan dari donor-donor luar negeri dan melarang kegiatan dakwah yang ditujukan kepada para anggota dari kelompok-kelompok agama yang diakui dalam situasi apapun.

Perubahan agama anak di bawah umur ke agama yang lainnya melalui “tipu daya” dan/atau “kebohongan,” istilah yang dapat digunakan secara mudah, adalah kejahatan yang dapat diancam hukuman maksimum lima tahun penjara.

Aceh tetap satu-satunya provinsi yang diberi hak oleh Negara melalui perundang-undangan nasional untuk menerapkan syariah (hukum Islam). Undang-undang tersebut mengizinkan penerapan dan peraturan syariah, dan memperluas yurisdiksi pengadilan agama untuk menangani kasus-kasus transaksi ekonomi dan pidana. Syariah tingkat provinsi mempidanakan individu yang bersentuhan dengan lawan jenis yang belum menikah, tidak ada hubungan keluarga dan melarang konsumsi alkohol serta perjudian. NonMuslim dikecualikan secara khusus.

Hukuman bagi pelanggaran berat syariah dapat berupa hukuman cambuk rotan. Orang yang menerima hukuman cambuk di Aceh meggunakan pakaian lengkap, terkadang menggunakan beberapa lapis pakaian. Juga ada peraturan-peraturan yang secara efektif membatasi kekerasan yang bisa digunakan saat pencambukan.

Walaupun tidak secara khusus digolongkan sebagai syariah, banyak pemerintahan daerah di luar Aceh yang berusaha untuk menerapkan peraturan-peraturan berbasis syariah. Organisasi-organisasi non-pemerintah (ORNOP) memperkirakan 50 hingga 60 pemerintahan daerah di seluruh negeri telah mengadopsi peraturan-peraturan yang berbasis  syariah.  Peraturan-peraturan tersebut tidak ditegakkan secara merata. Warga non-muslim umumnya dikecualikan dari peraturan-peraturan yang berkaitan dengan pemantauan agama, seperti peraturan yang mewajibkan perempuan untuk mengenakan hijab. Akan tetapi, ada sejumlah peraturan berbasis syariah yang tidak mengecualikan non-muslim. Sebagai contoh, peraturan daerah yang mewajibkan para perempuan yang berada di luar rumah setelah jam tertentu untuk ditemani oleh suaminya atau oleh seorangmuhrim (saudara pria yang tidak bisa dinikahi oleh perempuan tersebut) yang diterapkan kepada semua penduduk, tanpa memandang afiliasi agamanya. Sejumlah peraturan daerah juga memandatkan para pejabat terpilih, pelajar, pegawai negeri sipil, dan perorangan yang ingin mendapatkan surat nikah, yang beragama Islam agar dapat membaca Al-Qur’an dalam bahasa Arab dan melarang warga Muslim untuk mengkonsumsi alkohol dan berjudi. Sejumlah peraturan lainnya melarang penjualan makanan dan minuman di siang hari sepanjang bulan Ramadan dan mewajibkan pembayaran zakat, atau derma, bagi warga Muslim.

Para aktivis hak-hak sipil menegaskan bahwa peraturan-peraturan berbasis syariah melanggar undang-undang dasar dan menghimbau pemerintah untuk menggunakan kekuasaan hukum konstitusionalnya untuk mencabut atau mengkaji-ulang peraturan-peraturan tersebut.

Undang-undang memperbolehkan seorang pria Muslim untuk memiliki hingga empat orang istri, jika dia mampu untuk menyokong setiap istrinya dengan setara. Bagi pria yang ingin mengawini istri ke-dua, ke-tiga, atau ke-empat, pria tersebut harus memperoleh izin dari pengadilan dan dengan sepengetahuan dari istri pertama; akan tetapi dalam praktiknya kondisi-kondisi yang dimaksud tidak selalu diwajibkan. Banyak perempuan yang dilaporkan mengalami tekanan sosial yang memaksa mereka untuk memberikan izin bagi perkawinan-perkawinan tambahan. Kelompok-kelompok perempuan Muslimah masih terbelah pendapatnya mengenai apakah sistem tersebut membutuhkan revisi atau tidak.  Mahkamah Konstitusi yang menjunjung hak istri pertama dalam menolak permintaan suaminya untuk menikahi istri tambahan, memutuskan bahwa pembatasan berpoligami dalam undang-undang perkawinan tidak melanggar undang-undang dasar ataupun rukun Islam dan diperlukan untuk melindungi hak-hak perempuan. Sejumlah anggota kelompok Islam melihat hal ini sebagai pembatasan  kebebasan beragama mereka.

Undang-undang perkawinan menyatakan bahwa poligami merupakan hal ilegal bagi para pegawai negeri sipil, kecuali dalam situasi-situasi terbatas. Peraturan-peraturan pemerintah mengharuskan para pegawai negeri sipil pria untuk memperoleh izin dari pejabat pemerintah dan istri pertama mereka sebelum menikahi istri ke-dua, ke-tiga, atau ke-empat, dan melarang pegawai negeri sipil perempuan untuk menjadi istri ke-dua, ke-tiga, atau ke-empat.

Sejumlah provinsi menolak penerapan undang-undang pornografi dengan dasar bahwa undang-undang tersebut membatasi ekspresi agama dan budaya, yang pada akhirnya memaksa warga negara untuk menuruti tafsiran tradisi Islam yang konservatif. Gubernur Bali menyatakan bahwa undang-undang tersebut tidak sesuai dengan tarian dan adat Hindu tradisional.  Undang-undang tersebut mengkriminalkan aksi-aksi dan citra pornografis, mendefinisikan pornografi sebagai “bahan-bahan seksual buatan manusia dalam bentuk guratan, sketsa, ilustrasi, fotografi, teks, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, puisi, percakapan, dan isyarat.” Undang-undang tersebut juga mengkriminalkan pertunjukan-pertunjukan terbuka yang dapat “memancing hasrat seksual”. Undang-undang tersebut juga sepertinya mengharamkan busana tradisonal yang dipakai di banyak daerah.

Pelajaran agama untuk salah satu dari enam agama resmi secara hukum wajib diberikan apabila diminta oleh salah seorang siswa.

Khotbah agama dapat diperbolehkan jika khotbah tersebut ditujukan kepada anggota yang berasal dari kelompok agama yang sama dan tidak diniatkan untuk memurtadkan orang-orang yang berasal dari kelompok-kelompok agama lainnya.

Penerbitan bahan-bahan agama atau penggunaan simbol-simbol agama diperbolehkan; akan tetapi, pemerintah melarang penyebaran bahan-bahan tersebut kepada orang yang tidak menganut agama dari kelompok yang melakukan penyebaran bahan-bahan tersebut.

Kelompok-kelompok agama dan organisasi-organisasi sosial harus memperoleh izin untuk melaksanakan konser-konser keagamaan atau acara-acara terbuka lainnya. Pemerintah biasanya memberikan izin tanpa prasangka kecuali jika ada kekhawatiran bahwa kegiatan tersebut akan menimbulkan penolakan yang kuat dari para anggota kelompok agama lainnya yang ada di wilayah tersebut.

Para pekerja keagamaan berwarganegara asing harus memperoleh visa pekerja keagamaan, dan organisasi-organisasi keagamaan yang berasal dari luar negeri harus mendapatkan izin dari Kementerian Agama saat memberikan bantuan dalam jenis apapun (pemberian barang dan jasa, personel, atau finansial) kepada kelompok-kelompok agama setempat.

Pelaksanaan oleh Pemerintah

Ada sejumlah laporan mengenai pengurungan dan penahanan terhadap penganut kepercayaan, permaksaan untuk berpindah agama, pemindahmukiman paksa, dan perusakan serta penghalangan pendirian tempat-tempat ibadat. Negara ini memiliki tradisi yang panjang dalam pruralisme agama tetapi tindakan-tindakan pejabat telah membatasi kebebasan beragama. Beberapa Menteri di kabinet membuat pernyataan terbuka yang mengimbau para penganut kelompok-kelompok agama tertentu untuk berpindah agama dan membemrikan dukungan kepada kelompok-kelompok pelaku kekerasan itu, hal tersebut telah memperkokoh batasan-batasan tersebut.

Para pejabat pemerintah telah membatasi hak-hak para pengikut agama-agama minoritas untuk beribadat dengan bebas. Tafsiran yang luas dari surat keputusan bersama kementerian membatasi aktivitas-aktivitas tertentu Muslim Ahmadiyah dan peraturan-peraturan daerah dan gubernur terkait telah mengakibatkan kurangnya hak untuk beribadat bagi sejumlah jemaah Ahmadiyah di Jawa Barat.  Kelompok-kelompok Islam yang menggunakan kekerasan seperti Front Pembela Islam (FPI) telah mendesak para pejabat pemerintah daerah untuk membatasi kebebasan beribadat yang agaknya dipertukarkan dengan kerukunan sosial masyarakat.

Kementerian Dalam Negeri memiliki kekuasaan untuk mengkaji-ulang dan mencabut peraturan-peraturan daerah yang tidak sesuai dengan perundangan nasional. Antara bulan Januari dan September, kementerian tersebut telah mengkaji 2.005 peraturan-peraturan daerah dan menemukan sekitar 178 peraturan yang tidak sejalan dengan perundangan nasional. Seorang jurubicara kementerian melaporkan bahwa sebagian dari peraturan itu telah dicabut karena peraturan-peraturan tersebut melanggar kebebasan beragama, akan tetapi  tidak dapat memberikan angka yang pasti.

Organisasi-organisasi non-pemerintah membuat laporan mengenai berlanjutnya pelanggaran dalam hal kebebasan beragama yang dilakukan oleh pemerintah sepanjang tahun ini. Setara Institute, sebuah organisasi non-pemerintah yang berbasis di Indonesia yang melakukan pendampingan dan penelitian mengenai kebebasan beragama dan berpolitik, melaporkan 70 kasus pelanggaran  kebebasan beragama yang dilakukan oleh pemerintah antara bulan Januari dan Juni. Setara Institute mencatat  absen-nya tindakan aparat keamanan merupakan kategori pelanggaran  yang paling sering dilakukan oleh para aparat negara selama periode tersebut, sedangkan penutupan rumah ibadah oleh pemerintah merupakan kategori pelanggaran nomor dua yang paling sering dilakukan oleh  para aparat negara.

Ada sekitar delapan orang yang ditahan terkait masalah keagamaan  selama tahun ini. Pihak berwenang menahan mereka dalam kondisi yang sama dengan para narapidana lainnya di fasilitas-fasilitas pemerintah. Pada bulan Januari Pengadilan Tinggi Bandung di Jawa Barat menambah masa hukuman kepada Sebastian Joe menjadi lima tahun.  untuk kasus penodaan agama pada bulan November 2012. Pengadilan menemukan bahwa sejumlah tulisan yang dibuat oleh Joe di Facebook “telah mengganggu dan menodai ajaran-ajaran Islam.”

Hukuman-hukuman dalam kasus-kasus kekerasan yang timbul akibat intoleransi agama seringkali tidak sepadan dengan kejahatannya, dan para pegiat  kebebasan beragama telah menyuarakan kekhawatiran mereka bahwa hukuman-hukuman ringan tersebut akan membuat kelompok garis keras yang beringas akan menjadi lebih berani, karena mereka melihat bahwa hukuman yang ringan tersebut merupakan bentuk persetujuan pemerintah secara diam-diam atas tindakan mereka.

Pada bulan Januari dan Februari, pengadilan Surabaya menghukum lima orang tersangka   delapan bulan hingga empat tahun penjara atas peran mereka dalam serangan terhadap  komunitas Syiah di Sampang, Jawa Timur,   Agustus 2012, yang menyebabkan dua orang warga Syiah tewas dan lusinan rumah hangus terbakar, serta 300 orang mengungsi. Pada bulan April Pengadilan Surabaya memvonis bebas Rois Al-Hukama, tersangka pimpinan kelompok penyerang, menyatakan bahwa tidak ada saksi yang melihat pemimpin Suni itu ikut serta dalam penyerangan tersebut.

Pada bulan Juni para pejabat pemerintah memukimkan kembali secara paksa 162 orang penganut  Syiah asal  Sampang dari stadion tempat mereka tinggal sejak serangan tahun 2012. Para pejabat memindahkan kelompok tersebut sejauh kira-kira 112 kilometer ke suatu blok rumah susun di Sidoarjo, Jawa Timur. Kementerian Dalam Negeri menyebutkan faktor   keamanan merupakan alasan utama atas pemindahmukiman paksa tersebut.

Setelah pemindahmukiman tersebut, Presiden Yudhoyono bertemu dengan sejumlah pejabat pemerintahan, para pemuka agama, dan kuasa  hukum komunitas Syiah. Berdasarkan diskusi selama pertemuan tersebut, rektor Universitas Islam Negeri di Surabaya memimpin pembentukan forum rekonsiliasi yang bertujuan untuk menyelesaikan konflik tersebut dan menjamin pemulangan masyarakat pengungsi untuk kembali ke rumah-rumah mereka di Sampang. Di penghujung tahun, kelompok pengungsi tersebut masih tinggal di Sidoarjo.

Juga terdapat sejumlah kasus pemaksaan untuk berpindah agama yang dilakukan oleh pemerintah. Pada bulan Mei, Menteri Agama menghadiri suatu acara perpindahan agama 20 orang anggota komunitas Muslim Ahmadiyah di Tasikmalaya, Jawa Barat, yang secara terbuka mengikrarkan komitmen mereka untuk mengikuti ajaran Islam Suni. Pengamat yang mengkritik peran pemerintah dalam perpindahan agama tersebut mengungkapkan bahwa para pelaku perpindahan agama tersebut sepertinya merasa tertekan akibat rasa takut bahwa mereka harus pindah dari rumah-rumah mereka karena polisi akan gagal untuk melindungi mereka dari kelompok garis keras yang beringas yang menyerang rumah-rumah dan mesjid-mesjid milik anggota Ahmadiyah. Sejumlah pegiat toleransi beragama juga menunjukkan adanya motivasi ekonomi di belakang dukungan para pejabat daerah dalam permaksaan untuk berpindah agama tersebut, di mana pemerintah daerah menerima anggaran dari pemerintah pusat dan juga pemerintah provinsi untuk mendorong para anggota Komunitas Muslim Ahmadiyah agar memeluk Islam Suni.

Pada Bulan April, Rahmat Effendi, Walikota Bekasi, Jawa Barat, memerintahkan para anggota Satpol PP Bekasi untuk menyegel Mesjid Al-Misbah milik Ahmadiyah setelah sejumlah anggota FPI menyatakan bahwa mereka akan membuka kantor di lingkungan yang sama dengan mesjid tersebut. Pada saat Satpol PP menyegel masjid tersebut, 30 orang jemaah  Ahmadiyah tetap tinggal di dalam masjid untuk memprotes keputusan Walikota, yang   merujuk sebuah keputusan gubernur yang membatasi hak warga Ahmadiyah untuk beribadat. Setelah lebih dari sebulan berada di dalam masjid, para anggota jamaah Ahmadiyah tersebut  kemudian keluar. Jemaah tersebut kemudian mengajukan tuntutan hukum yang melawan penyegelan itu dan meminta Mahkamah Agung untuk mengkaji-ulang keputusan gubernur tersebut. Di penghujung tahun, masjid tersebut masih tetap tersegel dan tidak ada keputusan di dalam perkara pengadilan.

Pada bulan Maret, sejumlah pegawai dari pemerintah daerah membuldoser Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Setu di Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Pembongkaran ini menyusul protes yang dilakukan oleh FPI dan perintah dari Bupati Bekasi, Neneng Hasnah Yasin.  Bupati menyebutkan bahwa pelanggaran zona peruntukan merupakan alasan beliau memerintahkan pembongkaran tersebut.

Walikota Kupang di Nusa Tenggara Timur juga mengutip peraturan-peraturan peruntukan wilayah ketika beliau memerintahkan penghentian pembangunan Mesjid Nur Musafir yang dilakukan oleh warga Suni pada tahun 2011, setelah kelompok-kelompok Kristen setempat menyerukan adanya penyelidikan terhadap proses perolehan izin masjid tersebut.  Walaupun demikian, pada bulan Juni walikota mengumumkan tidak ada penolakan dari masyarakat sekitar dan meminta pengurus masjid untuk memenuhi semua persyaratan administrasi sebelum melanjutkan pekerjaan pembangunan. Di penghujung tahun pembangunan belum juga dilanjutkan.

Pada bulan Januari seorang anggota FPI diadili dengan tuduhan merusak sebuah masjid Ahmadiyah pada bulan Oktober 2012. Hakim ketua tidak mengizinkan saksi-saksi Ahmadiyah untuk bersumpah di atas Al-Quran. Awalnya sang hakim memanggil para saksi untuk bersumpah menggunakan Al-Quran karena di dalam kartu tanda penduduk mereka tercatat bahwa agamanya adalah Islam. Sang hakim, walaupun demikian, memerintahkan para saksi untuk mengambil sumpah sekuler yang diikuti dengan teriakan-teriakan protes dari para anggota FPI yang memenuhi ruang sidang untuk menunjukkan dukungan mereka bagi para rekan mereka. FPI dan sejumlah menteri telah secara terbuka menyatakan mereka tidak mengakui para pengikut keyakinan Ahmadiyah sebagai Muslim.

Polisi tampak bertindak bersama-sama dengan FPI dan kelompok-kelompok yang sama pada peritiwa-peristiwa lainnya. Pada bulan Juni, FPI mencoba menghentikan dialog Muslim-Kristen yang diadakan di Surabaya. Saat kedatangan FPI, polisi yang berjaga di lokasi memerintahkan penghentian dialog dan menahan penyelenggara acara. Polisi mengatakan bahwa acara tersebut tidak memiliki izin.

Pada bulan Oktober Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi merujuk FPI sebagai “aset nasional” dan menghimbau para pejabat pemerintah daerah untuk mencari cara-cara membangun dalam bekerja dengan kelompok tersebut. Dalam pernyataan terbuka, Fauzi menyarankan agar kelompok tersebut sebaiknya dilibatkan dalam penyelenggaraan perayaan-perayaan hari besar.

Para penganut Animisme, Baha’i, praktisi Aliran Kepercayaan, dan para anggota kelompok-kelompok agama minoritas menemui kesulitan dalam mendaftarkan kelahiran dan perkawinan mereka, meskipun ada peraturan yang secara khusus mengizinkan adanya pengakuan secara resmi terhadap perkawinan anggota Aliran Kepercayaan. Menurut sejumlah perwakilan masyarakat Aliran Kepercayaan,  para penganutnya terkadang kesulitan untuk mencari kesempatan pekerjaan atau pendidikan karena kosongnya kolom agama di dalam kartu tanda penduduk (KTP) mereka.

Sebuah kelompok yang terdiri dari 116 orang Muslim Ahmadiyah yang hidup sebagai pengungsi di Mataram, Nusa Tenggara Barat, melaporkan bahwa pemerintah daerah menolak untuk mengeluarkan KTP bagi mereka atau akta kelahiran bagi anak-anak mereka, yang akibatnya menghalangi akses mereka terhadap layanan-layanan pemerintah. Tidak seperti tahun-tahun sebelumnya, walaupun demikian, kelompok tersebut melaporkan bahwa para pejabat pemerintah daerah telah mengizinkan anak-anak mereka untuk bersekolah.

Dalam praktiknya, pasangan yang dihalangi untuk mendaftarkan perkawinan mereka atau kelahiran anak mereka terkadang berpindah agama ke salah satu kelompok agama yang diakui atau secara keliru menganggap diri mereka sebagai bagian dari salah satu kelompok agama yang diakui tersebut. Mereka yang memilih untuk tidak mendaftarkan perkawinan atau kelahiran mereka menghadapi risiko kesulitan di masa yang akan datang, seperti ketidakmampuan untuk memperoleh akta kelahiran bagi anak-anak mereka, yang diperlukan untuk pendaftaran sekolah, beasiswa, dan pekerjaan di pemerintahan.

Pasangan berbeda agama juga terus menghadapi rintangan untuk menikah dan tercatat secara resmi. Sebagai dampaknya, sejumlah pasangan pergi ke luar negeri untuk menikah dan kemudian mencatatkan perkawinan mereka di KBRI. Walaupun merupakan bagian dari kelompok agama yang diakui, umat Hindu menyatakan bahwa mereka seringkali harus melakukan perjalanan jauh untuk mencatatkan perkawinan mereka, karena di kebanyakan daerah pedesaan, pemerintah setempat tidak dapat atau tidak bersedia memproses pencatatan tersebut.

Kelompok-kelompok hak asasi manusia masih sesekali menerima laporan mengenai sejumlah pejabat catatan sipil yang menolak pembuatan KTP yang diajukan oleh para anggota kelompok-kelompok agama yang tidak diakui atau minoritas. Walaupun peraturan-peraturan catatan sipil mengizinkan kolom agama untuk dibiarkan kosong atau memilih pilihan “lainnya”, penerbitan kartu tanda penduduk yang bersifat terdesentralisasi memungkinkan adanya sejumlah daerah yang tidak menaati peraturan-peraturan ini. Sejumlah anggota kelompok agama yang tidak diakui menemukan bahwa lebih mudah bagi mereka untuk mendaftar dengan agama selain agama mereka sendiri dan diberikan KTP yang mencerminkan agama mereka secara tidak akurat. Sebagai contoh, sejumlah penganut animisme menerima KTP yang mencantumkan Islam sebagai agama mereka. Banyak penganut agama Sikh yang tercatat sebagai Hindu di KTP serta akta perkawinan mereka. Demikian juga, sejumlah penganut agama Yahudi tercatat sebagai Kristen atau Muslim. Sejumlah penduduk yang tidak memiliki KTP menemui kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan. Beberapa organisasi nonpemerintah dan kelompok-kelompok pegiat  agama terus berupaya untuk mendesak pemerintah agar menghapus kolom agama dari KTP, tetapi tidak memperoleh kemajuan.

Kelompok-kelompok Kristen menyatakan para pekerja keagamaan yang berasal dari luar negeri memperoleh kemudahan untuk mendapatkan atau memperpanjang visa. Walaupun demikian, persyaratan untuk visa pekerja keagamaan lebih berat dari golongan-golongan visa lainnya. Permohonan visa tersebut memerlukan persetujuan dari kantor-kantor daerah dan juga kantor-kantor pusat yang berada di bawah Kementerian Agama dan mengungkapkan jumlah penganut agama tersebut di dalam masyarakat. Para pemohon harus membuktikan bahwa mereka akan menjabat di posisi tersebut tidak lebih dari dua tahun sebelum kemudian digantikan oleh warga negara setempat. Orang asing yang mendapatkan visa pekerja keagamaan bekerja relatif tanpa gangguan dan dapat melakukan perjalanan secara bebas ke seluruh pelosok negeri.

Kegagalan Pemerintah

Pemerintah gagal untuk mengambil tindakan yang memadai terkait dengan diskriminasi, pembatasan, dan serangan yang terus terjadi terhadap kelompok agama.

Pada bulan Mei, para kelompok garis keras menyerang desa Tenjowaringin Jawa Barat yang sebagian besar warganya adalah penganut Ahmadiyah, menyusul pembacaan Al-Quran yang dilakukan oleh para anggota komunitas Muslim Ahmadiyah yang berasal seluruh wilayah. Menjelang acara tersebut, jemaah
Ahmadiyah berkoordinasi secara erat dengan pihak kepolisian untuk memperoleh jaminan bahwa akan ada pengamanan yang memadai bagi acara tersebut. Ketika sekelompok garis keras yang berjumlah sekitar 250 orang yang berasal dari Tasikmalaya tiba di tengah malam, polisi hanya menyaksikan ketika mereka merusak sebuah masjid, satu sekolah, dan 29 rumah.

Terkadang polisi gagal untuk mencegah atau melakukan penyelidikan secara memadai terhadap kejadian-kejadian di mana para kelompok militan dan gerombolan perusuh di seluruh negeri melakukan penyerangan, perusakan, penutupan paksa, atau pencegahan pembangunan rumah-rumah ibadat, sekolah-sekolah agama, dan rumah-rumah kelompok Muslim yang dianggap tidak ortodoks.

Pemerintah tidak mengambil tindakan nyata untuk menegakkan keputusan Mahkamah Agung yang mengizinkan pembukaan kembali Gereja Kristen Indonesia (GKI) Yasmin di Bogor dan Gereja HKBP Filadelfia di Bekasi.

Bagian III. Status Penghargaan Masyarakat terhadap Kebebasan Beragama

Terdapat sejumlah laporan mengenai pelecehan dan diskriminasi masyarakat yang didasarkan pada afiliasi, keyakinan, dan praktik agama.  Banyak insiden kekerasan masyarakat yang terjadi karena masalah sektarian, tetapi mengandung aspek agama dan juga sekuler.

Kelompok-kelompok agama seperti FPI, dan juga cabang-cabang daerah Majelis Ulama Indonesia (MUI), seringkali berhasil membatasi hak-hak kelompok agama minoritas melalui serangan dan intimidasi terkoordinasi. Sekelompok orang yang tidak  jelas afiliasi-nya dengan kelompok manapun juga ikut terlibat dalam tindak kekerasan dan diskriminasi berdasarkan agama.  Setara Institute melaporkan adanya 90 perkara antara bulan Januari dan Juni di mana para aparat nonpemerintah melakukan pelecehan atau diskriminasi terhadap kelompok-kelompok agama minoritas. Menurut laporan tersebut, dua provinsi yang memiliki tingkat kekerasan agama paling tinggi adalah Jawa Barat dan Jawa Timur.

Pada tanggal 11 September, sejumlah massa penganut Suni menyerang Pesantren Darussholihin, di Puger, Jawa Timur, dan memporakporanakan sebuah masjid serta membakar 41 sepeda motor. Setelah serangan tersebut, orang-orang yang memiliki hubungan dengan pesantren itu melancarkan serangan balasan dan menewaskan salah seorang perusak. Polisi menyatakan 20 orang dari kedua belah pihak sebagai tersangka di dalam insiden tersebut. Ini adalah serangan kedua atas pesanteren tersebut setelah MUI setempat mengeluarkan fatwa yang menyatakan bahwa ajaran Habib Ali, kepala sekolah pesantren itu, adalah ajaran Syiah. Sebelumnya MUI tingkat provinsi Jawa Timur telah mengeluarkan fatwa yang menyebut Syiah adalah sekte yang menyimpang.

Diskriminasi masyarakat terhadap Muslim Ahmadiyah tersebar dengan luas, terutama di Jawa Barat. Pada bulan Juli, seorang kepala sekolah di Cianjur, Jawa Barat, mengeluarkan 10 orang murid sekolah dasar pengikut Ahmadiyah dan memecat dua orang guru setelah adanya keluhan dari sejumlah orang tua siswa yang menyatakan kedua orang guru tersebut adalah pengikut Ahmadiyah. Sang kepala sekolah menyatakan bahwa kekhawatiran keamanan merupakan alasan di balik keputusannya.

Bagian IV. Kebijakan Pemerintah AS

Kedutaan Besar AS di Jakarta, Konsulat Jenderal di Surabaya, dan Perwakilan Amerika Medan secara rutin terlibat dengan semua tingkat pemerintahan di dalam masalah-masalah yang berhubungan dengan kebebasan beragama yang khusus dan berbicara secara terbuka mengenai pentingnya toleransi beragama dan perlunya melindungi para kaum minoritas dari tindakan-tindakan kekerasan. Staf kedubes pada semua lapis tingkatan sering bertemu dengan para pemuka agama, para pejabat organisasi-organisasi sosial Muslim, dan para pembela hak asasi manusia untuk menjelaskan kebijakan AS dalam mendukung kebebasan beragama, membahas toleransi agama, dan mendorong penghargaan terhadap agama. Para pejabat kedubes juga bertemu dengan para anggota kelompok-kelompok agama minoritas yang merupakan korban serangan beringas atau yang mendapati rumah ibadat atau fasilitas-fasilitas pelatihan mereka ditutup dengan paksa.

Staf kedubes tampil dalam sejumlah program televisi yang disiarkan secara nasional untuk membahas tema-tema yang terkait dengan toleransi agama dan keberagaman. Alumni dari program-program pertukaran pelajar yang didanai oleh pemerintah AS sering tampil dengan staf kedubes untuk memberikan pandangan langsung mengenai pengalaman mereka di Amerika Serikat. Kegiatan-kegiatan outreach ini membawa pesan mengenai toleransi sosial kepada puluhan juta orang pemirsa.

Selama Bulan Ramadan staf kedubes mengadakan sejumlah acara yang fokus pada toleransi agama. Para anggota staf kedubes warga negara Amerika yang beragama Islam melakukan diskusi tentang kebebasan beragama di Amerika  Serikat dengan sejumlah media cetak dan media daring. Media-media daring dan tradisional meliput sejumlah acara buka puasa yang dijamu oleh Duta Besar dan Wakil Duta Besar selama bulan tersebut. Personel kedubes dan konsulat jenderal memimpin diskusi-diskusi dan memberi sejumlah paparan di lebih dari 60 lokasi di seluruh penjuru negeri. Melalui program ini, ribuan siswa sekolah menengah atas dan mahasiswa universitas memperoleh sejumlah pesan tentang keragaman dan toleransi agama.

Pada bulan April, duta besar menjamu para pemuka agama minoritas di kediamannya untuk berdiskusi tentang kebebasan beragama. Kedubes menggunakan sejumlah outlet media sosial untuk berbagi informasi mengenai pertemuan tersebut.

Pada bulan Oktober, Wakil Asisten Menteri Luar Negeri AS untuk Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Buruh yang datang berkunjung menjadi tuan rumah sebuah acara makan siang dengan para perwakilan dari komunitas Muslim Ahmadiyah, Gereja GKI Yasmin, dan anggota-anggota masyarakat sipil lainnya. Kelompok ini berdiskusi mengenai masalah-masalah intoleransi agama di dalam negeri dan perlunya perlindungan bagi kelompok-kelompok minoritas. Kedubes, konjen, dan pos perwakilan juga mendorong pluralisme dan toleransi melalui pertukaran belajar dan program masyarakat sipil lainnya.

Kedubes, konjen, dan pos perwakilan juga mendorong pluralisme dan toleransi melalui pertukaran belajar dan program masyarakat sipil lainnya.