RINGKASAN EKSEKUTIF
Undang-Undang Dasar (UUD) menjamin kebebasan beragama dan hak untuk menjalankan ibadah sesuai dengan kepercayaan masing-masing, namun warga negara harus menerima pembatasan yang diatur oleh hukum dengan dalih untuk melindungi hak orang lain dan demi memenuhi “tuntutan keadilan berdasarkan pertimbangan moralitas, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam masyarakat yang demokratis.” Bulan Desember lalu, GubernurJakarta yang beragama Kristen dituntut dengan pasal penistaan agama karena dilaporkan telah menghina Al-Qur’an. Pada bulan April, pihak berwenang di provinsi NAD untuk pertama kalinya melaksanakan hukum syariah terhadap warga non-Muslim. Menurut keterangan aparat setempat, wanita beragama Kristen yang menerima hukuman cambuk tersebut lebih memilih dihukum dengan hukum syariah daripada hukuman pidana biasa yang bisa berupa denda uang atau penjara fisik, meskipun hukum syariah hanya berlaku bagi para warga Muslim di Aceh saja. Para pengikut Ahmadiyah kerap melaporkan adanya insiden penahanan, pemaksaan untuk berpindah agama, pengusiran dengan paksa, tindakan diskriminasi, serta penutupan tempat ibadah. Pemerintah melarang organisasi Gafatar dan menahan tiga orang pimpinannya atas tuduhan penistaan dan makar. Laporan menyebutkan adanya keterlibatan oknum aparat keamanan dalam pengusiran sekitar 8.000 anggota Gafatar. Banyak kelompok agama di luar enam agama yang mengaku mendapatkan kesulitan dalam mencantumkan agama mereka di KTP. Pemerintah telah mengambil langkah-langkah guna menangani permasalahan seputar agama yang telah lama ada, seperti pengusiran para pengikut Ahmadiyah di Pulau Bangka dan pengerusakan wihara Buddha di Tanjung Balai, namun tidak semuanya dapat terselesaikan. Untuk beberapa kasus, pemerintah dan kepolisian di tingkat daerah seperti tunduk pada tuntutan ormas seperti Front Pembela Islam (FPI), Forum Umat Islam (FUI), Front Jihad Islam (FJI), dan Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), yang dilabeli sebagai “kelompok intoleran” oleh masyarakat lokal, dalam menutup rumah ibadah milik kelompok agama minoritas dengan alasan melanggar izin atau melanggar hak kepemilikan. Pemerintah baik di tingkat nasional maupun lokal dilaporkan terkadang gagal dalam mencegah atau menangani tindakan intimidasi dan diskriminasi terhadap para individu berdasarkan agama kepercayaannya. Beberapa pejabat yang terpilih dan dilantik baik di tingkat pemerintah pusat maupun di daerah dengan mayoritas penduduk beragama Islam berasal dari kelompok agama minoritas. Begitu pula dengan politikus yang berasal dari kelompok agama minoritas juga terpilih untuk mewakili daerah berpenduduk mayoritas beragama Islam. Sebagian pemerintah daerah memberlakukan peraturan dan ketentuan yang membatasi kebebasan beragama bagi penganut agama minoritas maupun mayoritas.
Adanya laporan tentang dua serangan terhadap gereja yang terinspirasi oleh ISIS, dan menurut pihak keamanan serangan tersebut dilakukan oleh “lone wolf” atau merupakan aksi perseorangan. Satu serangan menewaskan seorang anak, sedangkan satu aksi lainnya berupa penyerangan terhadap pendeta dengan menggunakan pisau. Seorang tak dikenal dilaporkan melemparkan bom molotov ke wihara Buddha pada bulan November. Terkait sebagian besar kasus penyerangan terhadap fasilitas keagamaan atau tokoh agama, pemerintah telah menahan pihak-pihak yang terlibat, dan bersama masyarakat mengutuk tindak penyerangan dan meminta perlindungan untuk kaum agama minoritas. Organisasi masyarakat madani, termasuk organisasi-organisasi keagamaan, berupaya melawan pesan-pesan dan ideologi intoleran serta terus mengkampanyekan keberagaman dan sikap toleran terhadap kelompok agama minoritas. Namun, para “kelompok intoleran” terus berupaya mencegah berlangsungnya acara-acara keagamaan, secara ilegal menutup rumah ibadah, dan menyebarluaskan materi-materi yang berisikan sikap intoleransi. Kaum Muslim Syiah dan pengikut Kristen melaporkan adanya ancaman kekerasan dan intimidasi saat mereka berkumpul di tempat umum, atau mencoba kembali ke kampung halamannya untuk merayakan hari raya keagamaan.
Pemerintah AS melakukan pembicaraan tingkat tinggi terkait kebebasan beragama, baik dengan unsur pemerintah maupun tokoh-tokoh masyarakat sipil, serta secara terbuka menentang tindak diskriminasi dan kekerasan yang mengatasanamakan agama. Dalam kunjungannya ke Indonesia pada bulan Oktober lalu, Duta Besar Khusus (U.S. Ambassador at Large) Amerika Serikat (AS) Bidang Kebebasan Beragama Internasional mendiskusikan kebebasan beragama dengan pejabat-pejabat dari berbagai institusi pemerintah, para pimpinan masyarakat sipil, dan perwakilan berbagai kelompok keagamaan di Jakarta, Banda Aceh, Bali, dan Surabaya. Para pejabat kedubes dan konsulat AS mencermati isu-isu khusus, termasuk aksi-aksi yang menentang kelompok agama minoritas, penutupan tempat ibadah, akses untuk organisasi keagamaan luar negeri, aksi penahanan dengan tuduhan penistaan dan penodaan agama, pentingnya toleransi dan supremasi hukum, penerapan hukum syariah kepada warga non-Muslim, serta persyaratan untuk pencantuman identitas agama di KTP. Dengan dukungan dari pemerintah AS dan Indonesia, sebuah organisasi nirlaba mencetuskan pembentukan Indonesia-U.S. Council on Religion and Pluralism yang terdiri dari para tokoh masyarakat sipil dan keagamaan, akademisi, serta para ahli dengan tujuan mempromosikan dialog lintas-agama dan toleransi serta memerangi ekstremisme dengan kekerasan. Kedubes dan konsulat menyiarkan pesan tentang penghormatan untuk keberagaman dan toleransi beragama kepada puluhan juta rakyat di seluruh negeri melalui upaya sosialisasi, termasuk mengadakan acara, wawancara di media massa, prakarsa media sosial, acara diskusi publik dan secara digital, pertukaran antar remaja, serta program pendidikan.
Bagian I. Demografi Agama
Pemerintah AS memperkirakan jumlah total penduduk Indonesia mencapai 258,3 juta jiwa (perkiraan bulan Juli 2016). Menurut sensus penduduk tahun 2010, sekitar 87 persen dari total penduduk beragama Islam, tujuh (7) persen beragama Kristen Protestan, tiga (3) persen beragama Katolik, dan 1,5 persen beragama Hindu dan 1,25 persen dari total keseluruhan jumlah penduduk merupakan pengikut kelompok kelompok agama lainnya (agama Buddha, aliran-aliran kepercayaan, Kong Hu Cu, dan aliran-aliran agama Kristen lainnya) dan orang-orang yang tidak memberikan jawaban terhadap pertanyaan pada saat dilakukannya sensus.
Populasi Muslim di dalam negeri sebagian besar adalah Sunni. Diperkirakan satu juta hingga tiga juta diantaranya adalah Syiah. Banyak terdapat kelompok-kelompok Muslim yang lebih kecil, termasuk sekitar 200-400 ribu pengikut Ahmadiyah.
Diperkirakan 20 juta orang penduduk, terutama yang tinggal di pulau Jawa, Kalimantan, dan Papua, merupakan penghayat berbagai aliran kepercayaan tradisional, yang sering disebut sebagai Aliran Kepercayaan. Diperkirakan terdapat 400 komunitas Aliran Kepercayaan yang berbeda tersebar di seluruh negeri. Banyak anggota kelompok ini memasukkan unsur Islam, Hindu, dan Buddha, sehingga mempersulit dalam menentukan jumlah pasti dari para pengikutnya.
Di negara ini terdapat populasi pengikut agama Sikh dalam jumlah kecil, sekitar 10.000-15.000 orang dan sebagian besar bermukim di Medan dan Jakarta. Terdapat komunitas Yahudi dalam jumlah yang sangat kecil di Jakarta, Manado, Jayapura, dan tempat-tempat lainnya. Komunitas Baha’i dan Falun Dafa (atau Falun Gong) dilaporkan memliki ribuan pengikut, namun angka pasti nya tidak diketahui. Jumlah penganut Atheis juga tidak diketahui, tetapi kelompok AtheisIndonesia menyatakan bahwa anggota mereka lebih dari 500 orang.
Provinsi Bali sebagian besar penduduknya beragama Hindu, dan di provinsi Papua, Papua Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Sulawesi Utara sebagian besar penduduknya beragama Kristen.
Bagian II. Status Penghargaan Pemerintah terhadap Kebebasan Beragama
Kerangka kerja Hukum/Kebijakan
Undang-undang dasar menjamin hak memilih dan melaksanakan agama sesuai kepercayaannya dan secara khusus menyatakan bahwa kebebasan beragama adalah hak asasi manusia yang tidak boleh dilanggar. Undang-Undang Dasar menyatakan,”Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa” dan menjamin hak warga negara untuk untuk beribadah menurut agama dan kepercayaannya masing-masing. Undang-undang melarang masyarakat untuk melaksanakan hak-hak yang dilaksanakan dengan cara-cara yang dapat melanggar hak orang lain, menyalahi standar moral umum dan nilai-nilai agama, atau yang membahayakan keamanan atau ketertiban umum.
Kementerian Agama memberikan status resmi kepada enam kelompok agama: Islam, Katolik, Protestan, Buddha, Hindu dan Konghucu. Undang-undang melarang pernyataan atau kegiatan di ruang publik yang secara sengaja menghina atau menodai salah satu dari enam agama yang diakui, atau dimaksudkan untuk mencegah seseorang menganut ajaran agama yang diakui. Undang-undang juga menyatakan bahwa jika terjadi penodaan terhadap enam agama resmi, maka Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Kemenag, dan Kejaksaan Agung wajib terlebih dahulu memperingatkan individu yang terkait sebelum melanjutkan ke tahap penuntutan. Undang-undang melarang penyebaran informasi yang ditujukan untuk menyebarkan kebencian atau menghasut perselisihan di antara orang dan/atau kelompok masyarakat tertentu atas dasar etnis, agama, atau ras. Mereka dapat dituntut atas penodaan, Atheisme, atau pernyataan sesat dengan merujuk pada pada ketentuan yang ada atau berdasarkan Undang-undang tentang Pencegahan Penodaan Agamaagama, dengan acaman hukuman penjara hingga lima tahun. Undang-undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) juga melarang penyebaran informasi serupa secara elektronik dengan ancaman hukuman maksimal enam tahun penjara. Kelompok agama di luar enam agama yang diakui dapat mendaftarkan ke pemerintah sebagai persyaratan untuk membangun rumah ibadah, mendaftarkan perkawinan dan kelahiran, serta memperoleh KTP. Undang-undang mengizinkan para penganut kepercayaan di luar enam agama yang diakui untuk mengosongkan kolom agama di KTP mereka.
Organisasi yang mewakili salah satu dari enam agama yang diakui tidak diwajibkan mempunyai sertifikat badan hukum jika didirikan berdasarkan akta notaris dan mendapat persetujuan dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham). Organisasi agama non resmi wajib memperoleh sertifikat badan hukum sebagai organisasi masyarakat sipil (ormas) dari Kemendagri. Kedua kementerian tersebut berkonsultasi terlebih dahulu dengan Kemenag sebelum memberikan status badan hukum kepada organisasi keagamaan. Agar sebuah organisasi dapat diakui sebagai organisasi keagamaan, maka harus memiliki seorang nabi, kitab suci, Tuhan, dan diakui secara internasional. Secara hukum, semua kelompok keagamaan harus terdaftar di pemerintah. Berdasarkan undang-undang, organisasi masyarakat sipil wajib menjunjung tinggi Pancasila, yang mencakup asas kepercayaan terhadap Ketuhanan Yang Maha Esa (meski Buddha dan Hindu juga adalah agama resmi), keadilan, persatuan, demokrasi, serta keadilan sosial. Mereka dilarang melakukan tindakan penistaan atau menyebarkan kebencian dalam hal beragama. Pelanggaran terhadap undang-undang dapat berakibat pencabutan status badan hukum, pembubaran organisasi, serta penahanan terhadap anggotanya berdasarkan undang-undang penistaan agama atau undang-undang lainnya yang berlaku. Komunitas religius adat dapat mendaftar ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) sebagai aliran kepercayaan dan bukan sebagai organisasi keagamaan.
SKB tiga menteri melarang kegiatan dakwah oleh komunitas Muslim Ahmadiyah namun sekaligus juga melarang upaya kekerasan terhadap mereka. Pelanggaran terhadap larangan dakwah ini dapat diancam hukuman maksimal lima tahun penjara dengan tuduhan penistaan agama. Belum ada penganut Ahmadiyah yang dituntut terkait dengan penistaan, namun peraturan-peraturan di tingkat provinsi dan kota/kabupaten menerapkan pelarangan yang lebih ketat terhadap pengikut Ahmadiyah dibandingkan dengan kelompok keagamaan yang diakui. Larangan ini tidak berlaku bagi pengikut Ahmadiyah untuk beribadah atau melaksanakan ajaran agamanya di dalam komunitas mereka sendiri.
Pemerintah mewajibkan kelompok – kelompok agama yang diakui untuk pedoman dan pengarahan yang diberikan oleh Kementerian Agama serta petunjuk dari kementerian lainnya, dalam hal pembangunan rumah ibadah, bantuan luar negeri kepada institusi-institusi agama di dalam negeri dan penyebarluasan agama.
Berdasarkan sebuah surat keputusan bersama kementerian, kelompok-kelompok agama yang ingin membangun rumah ibadah wajib memperoleh tandatangan dari sedikitnya 90 orang anggota kelompok tersebut dan 60 orang masyarakat sekitar yang berbeda agama yang menyatakan bahwa mereka mendukung pembangunan. Keputusan tersebut juga mewajibkan adanya persetujuan dari kantor kementerian agama di daerah dan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB). FKUB yang dibentuk oleh pemerintah berada di tingkat kabupaten dan terdiri dari para pemuka agama yang berasal dari enam agama yang resmi diakui. Mereka bertanggungjawab untuk menengahi konflik-konflik antar agama.
Undang-undang mewajibkan pengajaran agama di sekolah-sekolah negeri. Para siswa berhak meminta pendidikan agama untuk salah satu dari enam agama yang diakui. Mereka diwajibkan mengikuti pendidikan agama sebagai salah satu persyaratan.
Berdasarkan kesepakatan damai tahun 2005 yang mengakhiri konflik separatisme, Provinsi Aceh memiliki hak khusus untuk menerapkan hukum syariah (hukum Islam). Undang-undang mengizinkan penerapan dan peraturan syariah, dan memperluas kewenangan pengadilan agama untuk menangani kasus-kasus transaksi ekonomi dan juga hukum pidana. Peraturan Daerah (Perda) Syariah di tingkat provinsi menetapkan homoseksualitas, judi, konsumsi alkohol, serta berhubungan badan di luar pernikahan untuk penduduk Muslim sebagai tindak pidana. Sebuah peraturan gubernur Aceh melarang para wanita bekerja atau mengunjungi restoran tanpa didampingi pasangan atau kerabat pria setelah melewati pukul 9 malam. Perda yang dikeluarkan oleh Wali kota Banda Aceh melarang wanita bekerja di kedai kopi, warung internet, atau sasana olahraga di atas pukul 10 malam. Wanita Muslimah di Aceh dilarang mengenakan celana ketat di tempat umum dan wajib mengenakan jilbab. Salah satu kabupaten di Aceh melarang wanita duduk mengangkang di atas sepeda motor ketika dibonceng. Sebuah undang-undang hukum pidana yang berlaku di Aceh memberlakukan hukuman cambuk bagi para pelaku homoseksualitas, perzinahan, dan pelanggaran lainnya. Hukuman maksimal untuk pelanggaran hukum syariah antara lain penjara dan cambuk di hadapan publik. Ada ketentuan yang membatasi tingkat kekerasan pada saat melakukan pencambukan.
Banyak pemerintah daerah selain Aceh yang telah memberlakukan peraturan atas dasar pertimbangan agama. Sebagian besar di daerah berpenduduk mayoritas Muslim, meskipun pemerintah daerah yang mayoritas penduduknya non Muslim juga memberlakukan perda atas dasar agama. Sebagian besar perda ini terkait dengan pendidikan agama dan hanya berlaku bagi kelompok agama tertentu. Namun ada sebagian perda yang berdasarkan agama berlaku untuk semua warga. Sebagai contoh, sejumlah perda mewajibkan rumah makan tutup sepanjang jam puasa di bulan Ramadhan, melarang minuman beralkohol, atau memberi amanat untuk pengumpulan zakat. Perda lainnya melarang atau membatasi aktivitas keagamaan penganut agama minoritas, terutama Syiah dan Ahmadiyah.
Undang-undang perkawinan tidak secara eksplisit melarang perkawinan beda agama, namun memiliki pasal yang menyatakan bahwa perkawinan harus dilakukan sesuai ritual dari satu agama yang dimiliki oleh kedua mempelai. Hal ini mengindikasikan bahwa pria dan wanita yang berbeda agama yang ingin menikah akan mengalami kesulitan dalam mencari penghulu yang bersedia mengesahkan upacara perkawinan.
Undang-undang memperbolehkan seorang pria Muslim untuk memiliki hingga empat orang istri, jika dia mampu untuk memberikan nafkah kepada setiap istrinya dengan setara. Bagi pria yang ingin menikahi istri ke-dua, ke-tiga, atau ke-empat, pria tersebut harus memperoleh izin dari pengadilan dan dengan sepengetahuan dari istri pertama; akan tetapi dalam praktiknya kondisi-kondisi yang dimaksud tidak selalu diwajibkan.
Undang-undang perkawinan menyatakan bahwa poligami dilarang bagi para pegawai negeri sipil, kecuali dalam situasi-situasi tertentu. Peraturan-peraturan pemerintah mengharuskan para PNS pria untuk memperoleh izin dari pejabat pemerintah dan istri pertama mereka sebelum menikahi istri ke-dua, ke-tiga, atau ke-empat, dan melarang PNS perempuan untuk menjadi istri ke-dua, ke-tiga, atau ke-empat.
Peraturan mewajibkan pimpinan dari kelompok aliran kepercayaan untuk membuktikan keanggotaan kelompok mereka paling sedikit di tiga kota atau kabupaten untuk mendapatkan pengesahan bagi perkawinan. Ketentuan ini secara efektif menutup peluang bagi para pengikut kelompok kecil tanpa pengaruh geografis yang luas untuk menerima layanan pernikahan dari anggota kelompok kepercayaannya, meski antar kelompok dapat saling membantu dan memfasilitasi perkawinan oleh kelompok dengan tradisi kepercayaan dan ritual yang sama.
Surat keputusan bersama kementrian mewajibkan organisasi keagamaan di dalam negeri memperoleh persetujuan dari Kementerian Agama agar dapat menerima dana dari lembaga donor luar negeri. SKB ini juga melarang pendistribusian catatan dan selebaran keagamaan kepada pemeluk agama lain, serta melarang penganut agama untuk berkunjung dari satu rumah ke rumah lain dengan maksud untuk membuatpenghuni rumah berpindah keyakinan.
Para pekerja keagamaan berkewarganegaraan asing diharuskan memperoleh visa pekerja keagamaan, dan organisasi-organisasi keagamaan yang berasal dari luar negeri harus mendapatkan izin dari Kementerian Agama saat memberikan bantuan dalam jenis apapun (seperti pemberian barang dan jasa, bantuan keangotaan atau finansial) kepada kelompok-kelompok keagamaan di dalam negeri.
Pelaksanaan oleh Pemerintah
Ada sejumlah laporan mengenai penahanan dan penuntutan terkait dengan penistaan dan penghinaan terhadap agama, termasuk kasus Gubernur Jakarta yang dianggap telah menghina Al-Qur’an, dan seorang pria di Jawa Tengah karena dilaporkan telah merobek Al-Qur’an.
Di Provinsi Aceh, pelaksanaan hukuman cambuk di hadapan publik yang dilakukan oleh petugas setempat terhadap pelanggar hukum syariah, termasuk pelaksanaan pertama kalinya untuk warga non-Muslim. Sejumlah laporan menyebutkan adanya upaya paksa dari pemerintah terhadap pengikut Ahmadiyah untuk berpindah keyakinan menjadi Islam Sunni. Pada bulan Januari, anggota komunitas Ahmadiyah di Pulau Bangka mendapat ancaman pengusiran dari pulau tersebut karena tidak bersedia untuk menanggalkan kepercayaannya. Pemerintah membubarkan organisasi Gafatar, dan terdapat laporan mengenai keterlibatan oknum aparat keamanan dalam pengusiran terhadap sekitar 8.000 anggota organisasi tersebut dari rumah mereka. Pemerintah telah mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk menangani permasalahan seputar agama yang telah lama ada, seperti pengusiran para pengikut Ahmadiyah di Pulau Bangka dan pengrusakan wihara Buddha di Tanjung Balai, namun tidak semuanya terselesaikan. Ada kalanya pemerintah daerah dan institusi kepolisian seperti tunduk pada tuntutan “kelompok intoleran” untuk menutup rumah ibadah karena alasan melanggar izin, atau membatasi hak-hak kepemilikan anggota kelompok agama minoritas. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menilai pemerintah baik di tingkat pusat maupun daerah terkadang gagal dalam mencegah atau menangani dengan benar tindak intimidasi dan diskriminasi terhadap individu berdasarkan agamanya. Dikabarkan mereka yang memilih mengosongkan kolom agama di KTP kadang mengalami penolakan saat meminta pelayanan publik.
Setara Institute, sebuah organisasi nirlaba di dalam negeri yang melakukan advokasi dan penelitian terkait kebebasan beragama dan politik, menyatakan bahwa pemerintah pusat telah melakukan upaya guna menegaskan kembali jaminan konstitusional terhadap kebebasan beragama, mempromosikan toleransi, serta mencegah aksi kekerasan bermotif agama. Namun andil pemerintah pusat masih kurang dalam menangani konflik agama di tingkat daerah ataupun konflik di masa silam meskipun mempunyai kewenangan untuk menegakkan putusan pengadilan, mengganti perda yang melanggar konstitusi, atau menegakkan perlindungan konstitusional dan hukum bagi kelompok agama minoritas. Pemerintah daerah secara selektif memaksakan undang-undang penistaan, ketentuan perizinan, serta ketentuan daerah lainnya yang mempengaruhi berbagai kelompok agama. Sebagai contoh, pemerintah daerah menerbitkan perda yang melarang ajaran Ahmadiyah dan Syiah, dan dikabarkan tidak mengupayakan tindakan apa pun saat terjadi ancaman terhadap pengikut kelompok-kelompok ini. Pejabat pemerintah dan aparat kepolisian kadang tidak dapat mencegah “kelompok intoleran” melanggar hak kebebasan beragama milik kelompok lain dan melakukan tindak intimidasi lainnya. Polisi tidak selalu aktif dalam menyelidiki dan mengadili tindak kejahatan para anggota “kelompok intoleran” ini. Saat melantik Kepala Polisi Republik Indonesia (Kapolri) yang baru yakni Jendral Tito Karnavian pada bulan Juni, Presiden Joko Widodo secara terbuka mengharapkan pihak kepolisian dapat melindungi seluruh komunitas agama.
Setara Institute melaporkan 44 kasus pelanggaran kebebasan beragama yang dilakukan oleh pemerintah antara bulan Januari hingga Agustus, dibandingkan dengan 70 kasus di delapan bulan pertama di tahun 2015. Pelanggaran tersebut termasuk penutupan rumah-rumah ibadah serta pernyataan pejabat publik yang memaklumi kekerasan terhadap kaum minoritas, terutama anggota Ahmadiyah dan Gafatar.
Tanggal 12 April, seorang wanita berusia 60 dan beragama Kristen dikenai hukuman cambuk di Aceh karena kedapatan menjual minuman beralkohol, yang ekaligus juga menandakan untuk pertama kalinya seorang non Muslim dijatuhi hukuman di bawah hukum syariah di Aceh. Larangan menjual alkohol merupakan peraturan daerah dan juga perda syariah yang berlaku bagi semua warga provinsi tersebut. Umat Muslim yang melanggar larangan tersebut akan dijatuhi hukuman syariah, sedangkan bagi non Muslim dapat memilih untuk menjalani hukuman syariah atau hukum pidana. Aparat provinsi Aceh yang bertugas menegakkan hukum syariah menyatakan bahwa wanita tersebut memilih dihukum syariah daripada hukum pidana dengan ancaman denda dan penjara. Pihak berwenang mengeluarkan pernyataan kepada publik bahwa hukum syariah tidak berlaku bagi warga non Muslim, orang asing, atau warga Muslim WNI yang bukan merupakan penduduk Aceh. Di bulan Oktober, Pemprov Aceh juga melaksakan hukum cambuk di hadapan publik kepada 13 pria dan wanita karena terbukti melanggar qanun atau hukum jinayat. Mereka terbukti bersalah melakukan khalwat seperti berduaan dan melakukan perbuatan intim seperti menyentuh, memeluk, dan berciuman antara pasangan yang belum menikah. Wakil wali kota Aceh mengatakan bahwa salah satu terpidana wanita berusia 22 tahun yang tengah hamil diberi penangguhan hukuman sampai dia melahirkan.
Kemenag dengan wewenangnya baik di tingkat nasional dan di daerah melakukan “pengembangan” terhadap kelompok keagamaan dan para pengikutnya, termasuk upaya untuk mengganti keyakinan kelompok agama minoritas menjadi Islam Sunni. Di sejumlah kabupaten di Jawa Barat, pemerintah daerah terus berupaya memaksakan atau mendorong pengikut Ahmadiyah untuk mengganti kepercayaan mereka dengan cara menandatangani surat yang pernyataan bahwa mereka meninggalkan kepercayaannya, agar dapat mendaftarkan pernikahan mereka atau mendaftar untuk melaksanakan ibadah Haji.
Pada tanggal 5 Januari, Bupati Bangka Belitung mengeluarkan surat edaran berisi ancaman mengusir 22 keluarga Ahmadiyah dari Pulau Bangka yang telah menjadi tempat tinggal mereka selama puluhan tahun. Bupati tersebut memberi tenggat waktu tertentu kepada mereka untuk kembali ke Islam Sunni atau keluar dari rumah mereka. Bupati tersebut juga menyatakan bahwa para warga Ahmadiyah dianggap telah mengganggu komunitas warga lokal serta mengancam perdamaian dan stabilitas. Menurut pemberitaan di media, anak-anak Ahmadiyah juga menerima ancaman pembunuhan, dan pada tanggal 5 Februari, para warga Ahmadiyah terpaksa meninggalkan rumah mereka. Pemerintah setempat mengatakan keputusan untuk mengusir pada pengikut Ahmadiyah berdasarkan pada hasil rapat dengan FKUB dan berdasarkan pada SKB tiga menteri. Tanggal 10 Februari, Kapolri saat itu, Jendral Badrodin Haiti memerintahkan kepolisian Bangka untuk melindungi para keluarga Ahmadiyah dari aksi pengusiran dari pulau mereka, dan menginstruksikan kepala polisi daerah di seluruh negeri untuk mencegah upaya paksa atau kekerasan terhadap kelompok pengikut Ahmadiyah. Setelah upaya-upaya ini dilaksanakan, pemerintah daerah dan komunitas Ahmadiyah menyatakan bahwa masalah tersebut telah terselesaikan. Sebagian besar pengikut Ahmadiyah memilih pindah ke daerah lain yang memiliki populasi pengikut Ahmadiyah yang lebih besar.
Di tanggal 23 Maret, Kemenag, Kemendagri, dan Kejaksaan Agung menerbitkan keputusan bersama melarang keberadaan Gafatar dan semua kelompok yang terkait dengannya. Keputusan tersebut menegaskan bahwa ajaran Gafatar bertentangan dengan Islam. Pada tanggal 25 Mei, polisi menahan pendiri kelompok tersebut dan dua pimpinan tertinggi Gafatar dengan tuduhan separatisme. Kepolisian menyatakan organisasi tersebut akan dikenakan tuntutan penistaan agama dan juga pemberontakan. Hingga akhir tahun, ketiga tersangka masih menunggu proses peradilan.
Menurut laporan Human Rights Watch bulan Mei, pejabat pemerintah dan petugas keamanan terlibat dalam pengusiran paksa terhadap 7.000 anggota Gafatar dari rumah mereka setelah pemerintah setempat menyatakan Gafatar sebagai organisasi terlarang dan harus menghentikan aktivitasnya. LSM internasional tersebut mengatakan dalam kasus lainnya, aparat keamanan dapat mencegah serangan terhadap anggota Gafatar dengan cara evakuasi paksa dari Kalimantan ke pulau Jawa, kemudian dengan semena-mena menahan, menginterogasi, serta mengancam mereka dengan tuntutan pidana. Anggota Gafatar mengatakan jumlah anggota yang diusir nyaris mencapai 8.000 orang pada akhir tahun dan sebagain besar dari mereka yang dipaksa pindah ke Jawa Tengah dan Jawa Timur tidak bisa memperoleh KTP baru setelah aparat kemanan menyita kartu identitas lama saat mereka berada di tempat pengungsian. Menurut laporan, sebagian dari mereka dipaksa menjalani program edukasi ulang atau “edukasi patriotik” dan wajib untuk diikuti sepanjang hari. Tanggal 19 Januari, sekitar 1.200 anggota Gafatar dipaksa meninggalkan desa mereka di Kabupaten Mempawah, Kalimantan Barat setelah sekelompok massa membakar sembilan rumah mereka.
Di tanggal 14 Juni, polisi menahan delapan orang pengikut Ahmadiyah di Lombok karena mengikuti pengajian Ramadan di masjid Muslim Sunni di desa mereka. Menurut laporan media, polisi menahan mereka “demi keselamatannya sendiri”. Seorang juru bicara Ahmadiyah mengatakan polisi telah meminta para anggota jemaah Ahmadiyah untuk menandatangani surat pernyataan bahwa mereka meninggalkan kepercayaannya. Komunitas Ahmadiyah menolak memberikan tanda tangannya namun setuju untuk tidak berkumpul bersama di satu tempat atau melakukan pengajian Ramadan di masjid umum bersama jemaah Muslim Sunni. Delapan anggota yang ditahan kemudian dibebaskan. Pemerintah desa juga dikabarkan memaksa anggota Ahmadiyah untuk menyerahkan semua buku yang berkaitan dengan ajaran Ahmadiyah dan melarang para juru dakwah kelompok Ahmadiyah dari daerah lain memasuki desa tersebut. Sekitar 200 anggota pengikut Ahmadiyah tetap menempati rumah susun yang sempit di kota Mataram setelah sebuah kelompok mengusir mereka dari desa mereka di Lombok.
Tanggal 29 Juli, sekelompok masa menjarah atau membakar 12 wihara Buddha di Tanjung Balai, Sumatra Utara, setelah seorang wanita penganut Buddha beretnis Tionghoa meminta Masjid Al Maksum mengecilkan volume pengeras suaranya. Presiden Joko Widodo secara terbuka mengecam tindakan tersebut dan menghimbau para pemuka agama di daerah untuk menyuarakan “persatuan dalam keberagaman” serta membangun masyarakat yang toleran. Presiden juga mengutus Kapolri ke kota tersebut untuk mengatasi situasi. Para tokoh daerah dan tokoh nasional lainnya, termasuk Wakil Presiden Jusuf Kalla, menyatakan pentingnya meningkatkan toleransi antar suku dan agama di Sumatra Utara. Pejabat dari lebih dari 20 pemerintah daerah, pemuka agama, dan kepala suku yang mewakili komunitas Muslim dan etnis Tionghoa menandatangani sebuah nota kesepahaman yang berisi komitmen untuk meningkatkan harmoni antar agama dan etnis yang berbeda serta mendukung upaya penegakan hukum terhadap mereka yang mengusik hubungan antar umat beragama. Polisi melaporkan telah menahan 21 pemuda yang terlibat langsung dalam insiden tersebut.
Di bulan Desember Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (akrab dipanggil “Ahok”), yang juga merupakan Gubernur Jakarta beragama Kristen pertama selama lebih dari 50 tahun, dituntut dengan pasal penistaan agama karena dinaggap telah menghina Al-Qur’an saat menyampaikan pidato kampanye di bulan September. Dalam pidatonya tersebut, dia mengatakan kepada para pemirsa yang hadir bahwa memanipulasi ayat Al-Qur’an demi tujuan politik adalah perbuatan yang salah. Pidato tersebut menuai kritik dari FPI, Majelis Ulama Indonesia (MUI), dan organisasi massa Islam lainnya yang kemudian melaporkannya ke pihak kepolisian serta mendesak dilakukan penyelidikan. Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin mengatakan “Biarkan polisi menangani kasus ini dengan tenang, dan umat Islam diminta untuk tidak terprovokasi dan memperkeruh suasana.” Pada tanggal 4 November, sekitar 100.000 sampai 150.000 orang mengikuti aksi protes di Jakarta yang diorganisir oleh FPI dan kelompok lainnya. Mereka menuntut Ahok untuk ditahan atas dasar penistaan. Aksi protes berakhir ricuh mengakibatkan lebih dari 100 orang terluka. Tanggal 16 November, pihak berwenang secara resmi menyatakan Ahok sebagai tersangka. Tanggal 2 Desember, 200.000 hingga 450.000 orang dilaporkan datang ke Jakarta untuk mengikuti aksi protes kedua terhadap sang gubernur. Ahok menyampaikan permohonan maaf namun menolak bahwa dia melakukan penistaan, dan berkata bahwa dia tidak bermaksud menghina Al-Qur’an dan komentarnya tersebut ditujukan kepada para lawan politiknya, bukan Islam.
Tanggal 31 Oktober, kepolisian daerah Jawa Tengah menahan seorang pria dengan tuduhan penistaan karena dilaporkan telah merobek Al-Qur’an. Polisi berkata bahwa pria ini merobek Al-Qur’an milik kekasihnya karena rasa cemburu saat beradu mulut. Pria tersebut dikabarkan berpindah agama menjadi Muslim pada bulan Desember, dan hingga akhir tahun masih menunggu proses peradilan.
Anggota-anggota kelompok agama minoritas terus mencari pengakuan resmi dari pemerintah.
Pada tanggal 26 Juli, pemerintah daerah memutuskan untuk menutup masjid pengikut Ahmadiyah di Sukabumi, Jawa Barat. Menurut pejabat setempat, penutupan tersebut dilakukan untuk menjaga ketertiban umum menyusul adanya keluhan terhadap masjid yang berafiliasi kepada jamaah Ahmadiyah.
Para pimpinan Ahmadiyah di Jawa Timur mengatakan bahwa kepala desa menutup masjid mereka di daerah pedesaan di Tulungagung pada bulan Januari, dengan merujuk pada Surat Keputusan Gubernur Jawa Timur Soekarwo di 2011 yang membekukan aktivitas Ahmadiyah. Para anggota Ahmadiyah mengatakan kepala daerah dimana mereka tinggal dengan dukungan pihak kepolisian setempat, telah salah mengartikan pembekuan (yang seharusnya tidak berlaku untuk aktivitas pribadi) sebagai larangan (yang mengharuskan kelompok tersebut menghentikan aktivitas agamanya secara total). Masjid tersebut tetap ditutup hingga akhir tahun.
Para anggota jamaah Ahmadiyah dikabarkan terus mendapat ancaman dari kelompok-kelompok militan. Sebuah masjid Ahmadiyah di Jakarta Selatan tetap ditutup secara resmi oleh pejabat setempat setelah insiden yang terjadi pada tanggal 25 Juli ketika para anggota FPI memblokir pintu masuk gedung markas dan masjid Ahmadiyah tersebut. Anggota Ahmadiyah mengatakan ketidakpastian hukum antara petugas dan polisi setempat, ancaman kekerasan secara anonim, kurangnya perlindungan polisi, serta ketakutan akan publisitas merupakan penghalang untuk membuka kembali gedung tersebut.
Ada kasus lainnya di mana pemerintah daerah, kadang dengan bantuan kepolisian, menutup tempat ibadah milik kelompok minoritas karena dianggap melanggar izin, setelah adanya protes dari “kelompok intoleran” bahkan meski kelompok minoritas tersebut memiliki izin yang sah. Namun LSM memperkirakan sekitar 85 persen tempat ibadah, yang sebagian besar merupakan masjid Sunni, beroperasi tanpa izin. Banyak tempat ibadah di gedung kantor, mall, rumah pribadi, dan ruko beroperasi tanpa izin. Sebagian tempat ibadah yang berdiri sebelum diberlakukannya peraturan bersama dari kementerian perihal pembangunan rumah ibadah masih diwajibkan untuk memenuhi persyaratan atau berisiko ditutup.
Wali Kota Bandung Ridwan Kamil mengeluarkan keputusan bahwa peristiwa pembubaran ibadah Natal pada 6 Desember oleh “kelompok intoleran” yang diadakan di sebuah gedung pertemuan umum adalah perbuatan melanggar hukum. Dia menuntut kelompok Muslim tersebut, Pembela Ahli Sunnah, untuk mengeluarkan permintaan maaf secara resmi.
Kapolri Tito Karnavian mengatakan fatwa MUI yang melarang umat Muslim untuk mengenakan atribut Natal bukan merupakan hukum negara dan memerintahkan kepolisian untuk menahan para anggota “kelompok intoleran” yang melakukan sweeping untuk memaksakan fatwa tersebut. Kapolri menegur petugas polisi yang menyebarkan selebaran berisi fatwa MUI tersebut namun berkata bahwa polisi tidak akan memberi toleransi pada perusahaan atau pemilik toko yang memaksakan pegawainya untuk mengenakan atribut Natal. Ucapan Kapolri ini muncul setelah adanya laporan terkait dengan anggota FPI, yang didampingi oleh 200 petugas kepolisian, mendatangi pusat-pusat perbelanjaan di Surabaya dan memperingatkan para pemilik toko-toko di sana untuk tidak memerintahkan para pegawai Muslimnya mengenakan atribut Natal seperti topi Sinterklas. Presiden Joko Widodo dan Menteri Agama Saifuddin meminta masyarakat untuk menghormati umat Kristen dan menjaga toleransi antar umat beragama yang beraneka ragam di Indonesia.
Kelompok agama minoritas mengatakan bahwa mereka mengalami kesulitan dalam memenuhi persyaratan izin untuk rumah ibadah baik yang lama maupun izin baru, dan mengatakan bahwa pejabat pemerintah daerah menolak menyetujui izin pembangunan. Salah satu kasus izin pembangunan gereja terus ditangguhkan selama lebih dari 15 tahun. Banyak dari mereka yang tidak dapat memenuhi syarat mendapat tanda tangan pihak luar yang mendukung proses pembangunan dalam jumlah yang diperlukan dan kerap menghadapi protes dari “kelompok intoleran” yang menjadikan upaya mendapatkan izin nyaris mustahil dilakukan. Bahkan meski izin telah diperoleh, sejumlah rumah ibadah dipaksa untuk tutup atau menghentikan proses pembangunannya setelah menghadapi ancaman hukum dan protes dari masyarakat. Sejumlah gereja juga melaporkan adanya “kelompok intoleran” yang memaksa mereka membayar uang keamanan agar dapat terus beroperasi tanpa izin.
Pada tanggal 7 Maret, sekitar 700 pengunjuk rasa yang menyatakan diri sebagai perwakilan Majelis Silaturrahim Umat Islam Bekasi berbondong-bondong mendatangi lokasi gereja Santa Clara di Bekasi untuk memprotes proses pembangunannya. Pihak kepolisian setempat memberikan penjagaan di lokasi tersebut dan secara umum menjaga para pengunjuk rasa agar tetap terkendali. Menteri Agama mengeluarkan keputusan yang meminta agar perselisihan tersebut diselesaikan melalui dialog secara damai, tidak melalui “pemaksaan yang bertujuan merusak kerukunan antar umat beragama”. Proses pembangunan gereja tersebut masih berjalan hingga akhir tahun.
Sebuah komunitas Gereja Kristen Indonesia (GKI) di Bogor, Jawa Barat, terus bergelut menghadapi masalah seputar izin mendirikan bangunan (IMB) setelah ditutup pada tahun 2010 oleh pejabat setempat akibat tekanan dari masyarakat. Ombudsman nasional sebelumnya pernah mencoba meminta Wali Kota Bogor Bima Arya untuk mematuhi putusan Mahkamah Agung yang memenangkan pihak komunitas GKI dalam sengketa dengan pemerintah daerah perihal izin bangunan, namun gagal. Komunitas jemaat tersebut mengadakan ibadah secara rutin di luar Istana Kepresidenan.
Di kawasan timur Indonesia, persyaratan untuk membangun rumah ibadah dengan mengharuskan mendapatkan dukungan dari 90 jamaah dan 60 orang masyarat sekitarnya tidak diberlakukan. Umat Kristen dan Muslim di Bali mengatakan bahwa persyaratan resmi untuk mencantumkan pendukung dalam jumlah tertentu sering diabaikan, karena pemerintah setempat tidak mengeluarkan izin saat persyaratan jumlah telah dipenuhi atau karena para tetangga dipaksa untuk tidak menyetujui. Dalam banyak kasus, keberatan dari kelompok agama mayoritas cukup untuk menghentikan proses pembangunan. Para pimpinan agama yang diakui negara dalam forum antar agama yang didukung oleh pemerintah dikabarkan menemukan cara untuk menghalangi para penghayat aliran kepercayaan untuk membangun rumah ibadah, utamanya dengan menerapkan persyaratan yang ketat. Penghayat aliran kepercayaan mengatakan bahwa mereka khawatir dicap sebagai Atheis bila mereka memutuskan mengambil jalur hukum dalam kasus seperti ini. Kelompok agama minoritas lainnya seperti Ahmadiyah, Syiah dan Kristen menghadapi masalah bahkan saat meminta izin untuk pindah ke lokasi sementara selama rumah ibadah mereka direnovasi. Para tokoh agama Kristen protestan mengatakan bahwa pemerintah daerah dan pemerintah provinsi tidak memahami bahwa ada berbagai aliran di dalam agama Kristen, dan mereka kerap merasa curiga saat anggota jemaat harus menempuh perjalanan jauh untuk ke gereja daripada mendatangi gereja terdekat dengan rumah mereka. Kelompok agama minoritas berkata kecurigaan dan ketidakpedulian dari pemerintah setempat telah menghambat proses renovasi atau pembangunan gedung baru meskipun persyaratan hukumnya telah terpenuhi.
Para pegiat hak-hak sipil mengatakan perda berbasis syariah dianggap melanggar UUD dan meminta pemerintah pusat menggunakan wewenang yurisdiksi konstitusionalnya untuk mencabut atau meninjau ulang perda-perda tersebut. Undang-Undang tahun 2014 menegaskan kembali wewenang Kementerian Dalam Negeri dalam mencabut perda terkait kagamaan yang melanggar konstitusi atau undang-undang nasional, namun belum ada laporan yang menyatakan bahwaKementerian telah melaksanakan wewenang ini.
Di bulan Mei, polisi Syariah yang merupakan bagian dari elemen penegakkan hukum syariah Pemerintah Provinsi Aceh memberhentikan sejumlah wanita di Lhokseumawe yang tidak duduk menyamping ketika saat dibonceng di sepeda motor, dan menegur sekitar 100 orang, baik pria dan wanita, yang tidak berpakaian sesuai hukum syariah.
Tanggal 4 Juli, Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo mengeluarkan surat keputusan yang mengizinkan tentara wanita mengenakan hijab. Pada bulan Agustus seorang siswa Muslim kelas lima sekolah dasar negeri di Jayapura yang mayoritas muridnya baragama Kristen mendapat peringatan tertulis karena mengenakan hijab di lingkungan sekolah dan dianggap bukan merupakan seragam sekolah.
Pada bulan Mei, Kepala Polisi Daerah Metro Jaya dan Kepala Polisi Resor Aceh Timur mengeluarkan instruksi melarang “kelompok intoleran” melakukan sweeping warung makan yang beroperasi sebelum jam buka puasa di bulan Ramadhan.
Para penghayat aliran kepercayaan mengatakan bahwa mereka dipaksa mengirimkan anak-anak mereka untuk mengikuti kelas pendidikan agama dari salah satu dari 6 agama yang diakui resmi. Penganut Bahai mengkatakan bahwa pihak sekolah kerap mengizinkan anak-anak mereka melewatkan waktu pendidikan agama di perpustakaan, namun orangtua diwajibkan menandatangani dokumen yang menyatakan bahwa anak-anak mereka menerima pendidikan agama yang resmi diakui. Para siswa Ahmadiyah mengatakan pendidikan agama Islam di kelas hanya berfokus pada ajaran Sunni.
Pegawai negeri sipil yang secara terbuka mengakui sebagai penghayat aliran kepercayaan adat mengatakan bahwa mereka mengalami kesulitan untuk mendapat promosi jabatan.
Meskipun secara umum pemerintah mengizinkan masyarakat untuk mengosongkan kolom agama di KTP, sebagian kelompok agama minoritas melaporkan mengalami kesulitan dalam mengakses layanan pemerintah dan kerap mengalami tindak diskriminasi jika mereka menggunakan hak ini. Tidak adanya KTP menimbulkan sejumlah masalah mulai dari kesulitan untuk mendaftar asuransi kesehatan hingga pengajuan KPR. Untuk alasan tersebut, banyak anggota agama minoritas lebih memilih sebagai penganut agama resmi yang paling dekat dengan ajaran agamanya atau yang dominan di daerah tersebut. Praktik-praktik tersebut mengakibatkan tidak tercantumnya data yang pasti untuk kelompok agama tertentu dalam statistik pemerintah. Pemerintah tetap mengizinkan penghayat aliran kepercayaan untuk mengosongkan kolom agama di KTP mereka, namun pada saat mengakses pelayanan sosial yang paling mendasar, formulir pemerintah lainnya tidak selalu mengizinkan kolom ini dikosongkan.
Sejumlah LSM dan kelompok-kelompok advokasi keagamaan terus mendesak pemerintah untuk menghapus kolom agama di KTP. Anggota kelompok agama minoritas melaporkan bahwa mereka sering mengalami tindak diskriminasi karena afiliasi agama mereka di KTP. Anggota kelompok agama Yahudi mengatakan bahwa mereka merasa tidak nyaman mencantumkan agama di KTP dan seringkali memilih mengaku beragama Kristen. Koran The Jakarta Post melaporkan para penghayat kepercayaan Jawa Sapto Darmo dilarang mengubur jenazah anggota keluarganya di pemakaman umum setelah masyarakat mengetahui melalui KTP mereka yang menunjukkan bahwa mereka bukanlah pengikut salah satu agama yang diakui. Penganut Ugamo Malim (parmalim) juga melaporkan bahwa pengajuan KTP mereka ditolak saat petugas yang memproses pendaftaran mereka mengetahui bahwa mereka tidak mencantumkan agama. Data dari sebuah LSM menunjukkan sekitar 42.000 penghayat kepercayaan tradisional mendapat penolakan pencatatan sipil seperti KTP, akte kelahiran, dan izin perkawinan, dan sekitar 80.000 orang tidak mendapatkan akses untuk layanan publik. Menanggapi hal tersebut, Kementerian Dalam Negeri mengatakan penganut agama tradisional berhak memiliki akses yang sama untuk pelayanan dasar tanpa memandang apakah mereka mencantumkan agama mereka di KTP atau tidak, dan tidakan diskriminasi merupakan pelanggaran hukum.
Kelompok Muslim minoritas juga melaporkan adanya penolakan dalam mengajukan pembuatan KTP dengan mencantumkan agama Islam pada kolom agama. Sejumlah pengikut Ahmadiyah memperoleh KTP dengan mencantumkan Islam di kolom agama; namun pengikut Ahmadiyah di Jakarta melaporkan dipersulit dalam pembuatan KTP, yang secara tidak langsung menghambat akses untuk mendapatkan layanan publik. Seperti halnya kaum agama minoritas lain, pengikut Ahmadiyah dan Syiah melaporkan adanya diskriminasi dalam hal administrasi layanan publik jika mereka memilih untuk mengosongkan kolom agama di KTP. Para penganut Baha’i juga melaporkan mengalami kesulitan, karena banyak petugas setempat yang tidak tahu bahwa seseorang diperbolehkan mengosongkan kolom agama hingga menolak membuatkan mereka KTP.
Baik di pemerintahan pusat dan daerah terdapat para pejabat yang terpilih yang berasal dari kelompok minoritas. Sebagai contoh, Gubernur Jakarta beragama Kristen, Wali Kota Solo beragama Katolik, dan seorang tokoh Syiah ternama menjadi wakil rakyat di Dewan Perwakilan Rakyat dari dearah pemilihan Bandung, Jawa Barat, yang mayoritas penduduknya adalah Muslim Sunni. Hingga bulan Juli, lima (5) dari 34 menteri kabinet Presiden Joko Widodo berasal dari kelompok agama minoritas.
Para pekerja keagamaan dari luar negri mengatakan mereka memperoleh kemudahan untuk mendapatkan visa. Meskipun undang-undang membatasi kegiatan penyebaran agama, para pekerja keagamaan dari luar negeri mengatakan pemerintah tidak terlalu ikut campur dalam upaya siar agama. Aparat kepolisian memberikan perlindungan khusus kepada sejumlah gereja di kota-kota besar saat menggelar Ibadah Minggu dan perayaan hari raya umat Kristen.
Bagian III. Status Penghargaan Masyarakat terhadap Kebebasan Beragama
Seorang anak dilaporkan tewas dan tiga anak lainnya terluka dalam sebuah serangan pada tanggal 13 November. Menurut kepolisian serangan tersebut terinspirasi oleh ISIS ketika seorang mantan napi meledakkan bom Molotov di depan sebuah gereja di Samarinda, Kalimantan Timur, ketika Misa Minggu sedang berlangsung. Polisi menahan tersangka, dan presiden menginstruksikan investigasi menyeluruh serta mengecam tindak kekerasan terhadap umat beragama. Investigasi terhadap serangan ini masih berlangsung.
Tanggal 29 Agustus, seorang pria menyerang pastor yang tengah memimpin Misa di Gereja Katolik Santo Yosep di Medan. Si pelaku gagal melakukan bunuh diri dengan bom rakitan dan memutuskan menyerang sang pastor dengan pisau sebelum akhirnya dibekuk oleh para jemaat. Polisi mengatakan si pelaku bertindak sendirian dan terinspirasi oleh propaganda ISIS secara online. Si pelaku juga mengaku memiliki hubungan dengan WNI di Suriah, dan tidak termotivasi oleh perselisihan antar kelompok di Indonesia. Sang pastor mengalami luka ringan. Pejabat pemerintah dan tokoh-tokoh Muslim mengecam aksi serangan tersebut.
Sebuah bom Molotov dilemparkan ke sebuah wihara Buddha di Singkawang, Kalimantan Barat pada tanggal 14 November pagi hari. Pemerintah menyatakan menentang intoleransi dalam beragama, serta memberikan perlindungan dan jaminan kepada kelompok agama tersebut. Hingga akhir tahun, media melaporkan delapan orang telah diperiksa sebagai bagian dari investigasi terhadap insiden tersebut.
LSM memperingatkan tentang meningkatnya sentimen anti Syiah di Jawa Timur, yang juga merupakan “daerah jantung” Nahdlatul Ulama (NU), organisasi massa Islam Sunni. Menurut laporan, para tokoh-tokoh agama setempat yang berafiliasi dengan NU terus memblokir rekonsiliasi dan proses kembalinya para pengungsi Syiah ke rumah mereka dan kondisi seperti ini terus berlanjut bertahun-tahun. Beberapa hari sebelum hari raya Idul Fitri, sejumlah umat Sunni di Jawa Timur mencegah ratusan pengungsi Syiah kembali ke rumah mereka di Madura untuk berhari raya. Mereka mengancam akan membunuh para pengungsi Syiah yang mencoba kembali dan menyakiti siapa saja yang coba membantu mereka. Tidak ada laporan bentrokan keras dalam peristiwa ini, namun tidak ada juga laporan tentang penganut Syiah yang dapat kembali ke rumah mereka akibat intimidasi dan ancaman kekerasan. Lebih dari 300 pengikut Syiah dikabarkan tetap dipengungsian dan tidak dapat kembali ke Madura. Retorika anti Syiah juga kerap dimuat di sejumlah media online dan media sosial.
Tanggal 1 April, ratusan orang yang menyebut dirinya Aswaja (Ahlussunnah Wal Jama’ah), koalisi sejumlah pesantren NU dan Persatuan Islam (Persis) membubarkan sebuah acara yang dihadiri oleh 100 wanita pengikut Syiah di Kabupaten Pasuruan. Acara tersebut digelar untuk memperingati kelahiran Fatimah, putri Nabi Muhammad S.A.W, dan merupakan acara penting dalam tradisi Syiah. Aparat kepolisian, TNI, dan Satpol PP yang berada di lokasi untuk menjaga berlangsungnya acara ini memenuhi tuntutan kelompok Aswaja, dan membubarkan para peserta setelah acara berlangsung selama dua jam.
Pada tanggal 6 April, lebih dari 10.000 pengikut Syiah di Jawa Timur berkumpul di Bondowoso untuk mengikuti acara keagamaan meskipun mendapat ancaman pembubaran dari 3.000 orang pengunjuk rasa anti Syiah. Media massa setempat melaporkan sekitar 1.751 personil kepolisian dan TNI dikerahkan untuk mencegah para pengunjuk rasa mengganggu acara tersebut. Menurut seorang pimpinan kelompok Syiah, kepala kantor polisi setempat menghadiri acara Syiah sebagai pengamat guna membantu mencegah terjadinya bentrokan.
Di wilayah Maluku Utara yang mayoritas penduduknya beragama Kristen, tujuh anggota pengikut Syiah Jafariah yang dipimpin oleh Nawawi Husni menjadi korban intimidasi oleh warga lokal setelah mengadakan acara keagamaan di kelurahan Marikurubu pada tanggal 24 Agustus. Aparat kepolisian setempat dikerahkan untuk menjaga keselamatan para pengikut Syiah tersebut. Polisi kemudian mengevakuasi para jemaah ke markas kepolisian setempat setelah warga lokal mencoba merusak rumah mereka. Para pengikut Syiah akhirnya pulang kembali ke rumah mereka dengan selamat.
Para anggota komunitas Yahudi di Manado melaporkan tindakan intimidasi dari para warga sekitarnya yang beragama Kristen setelah merayakan acara mingguan Hari Sabat.
Sekelompok massa yang berafiliasi dengan MUI di tingkat daerah menggunakan retorika intoleran terhadap kelompok agama minoritas. Pada bulan Februari, MUI mengeluarkan fatwa yang menentang keberadaan kelompok Gafatar. Tanggal 13 Juni, MUI melayangkan protes terhadap busana dengan aksen tanda salib yang dikenakan oleh dua pembawa acara wanita di sebuah acara TV bertemakan Ramadan. Tanggal 25 Agustus, MUI dan FPI memprotes seragam kelompok Paskibra yang mengibarkan bendera nasional di Banten, yang dinilai bermotif salib.
Di bulan Maret, tokoh-tokoh gereja di Papua, yang mayoritas penduduknya beragama Kristen, meminta pemerintah kota Wamena untuk menolak perluasan sebuah bangunan masjid, melarang penggunaan pengeras suara di masjid, melarang pemakaian jilbab di tempat umum, dan menolak mengirimkan anak-anak Papua untuk bersekolah di pesantren. Sejumlah tokoh-tokoh agama di Papua menolak petisi kelompok gereja tersebut karena berpotensi merusak kerukunan beragama. Komnas HAM meminta kelompok gereja tersebut mencabut petisi tersebut namun setuju bahwa anak-anak Papua, yang sebagian besar beragama Kristen, seharusnya tidak dikirim ke pesantren untuk bersekolah. Gubernur Papua Lukas Enembe mengadakan pertemuan dengan FKUB, para tokoh agama, dan pihak kepolisian dan mengadakan dialog lintas agama guna mencegah konflik.
Kelompok agama minoritas di Bali mengatakan bahwa kedekatan budaya tradisional Bali dengan ajaran Hindu Bali menimbulkan masalah bagi masyarakat Bali yang berpindah keyakinan ke agama Kristen, Islam, atau agama lainnya. Para pemimpin kelompok agama minoritas melaporkan bahwa wanita Bali dapat mempertahankan hubungan keluarga dan sosialnya setelah berpindah ke agama lain di bawah undang-undang yang diberlakukan baru-baru ini yang menjabarkan hak-hak warisan dan kepemilikan, namun pada prakteknya undang-undang tersebut diabaikan. Pria Bali yang berpindah ke agama lain dikucilkan secara sosial dan kehilangan hak warisannya.
Media massa melaporkan sesorang telah merusak sebuah masjid Ahmadiyah di desa Purworejo, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah pada tanggal 23 Mei. Para Jemaah Ahmadiyah tengah berada dalam perselisihan dengan para tokoh setempat terkait pembangunan masjid tersebut dan pimpinan Ahmadiyah setempat menyebutkan perdebatan dengan kepala desa setempat yang terjadi belum lama terjadi menjadi pemicu insiden tersebut. Tanggal 24 Mei, pemerintah daerah memfasilitasi proses mediasi, dan pengikut Ahmadiyah setuju untuk menunda proses pembangunan masjid hingga pihak kepolisian menyelesaikan penyelidikan terhadap insiden ini. Setelah penyelidikan, kepala desa dan warga setempat bergotong royong membangun kembali masjid tersebut, dan institusi kepolisian secara terbuka menyatakan bahwa mereka melindungi hak-hak pengikut Ahmadiyah untuk beribadah di dalam komunitas mereka sendiri.
Kelompok masyarakat madani serta masyarakat umum secara aktif menyerukan di media massa tentang toleransi dan keberagaman. LSM melaporkan banyak terjadi perpindahan agama dari Kristen ke Islam dan sebaliknya dalam jumlah besar, terutama di kota-kota besar di Jawa Barat. Banyak masyarakat yang berpindah kepercayaan mengalami diskriminasi. Ormas-ormas terbesar dan berpengaruh serta LSM-LSM, termasuk dua organisasi Islam terbesar di Indonesia, NU dan Muhammadiyah — dengan perkiraan jumlah anggota masing-masing sekitar 40 dan 30 juta orang — secara resmi mengakui dan mendukung adanya toleransi, keberagaman, serta perlindungan terhadap kelompok minoritas. Salah satu contohnya, pada tanggal 9 April, Ketua PBNU Said Aqil Siradj secara terbuka menghimbau kepada seluruh anggota NU untuk menjunjung tinggi toleransi dan nilai-nilai moderat sebagai bagian dari Islam. Ketua Umum Muhammadiyah Haedar Nasir mengajak seluruh bangsa Indonesia untuk menghormati agama lain dan menolak semua bentuk kekerasan terhadap masyarakat setelah peristiwa pembakaran wihara di Tanjung Balai Agustus lalu. Namun “kelompok intoleran” yang “memanfaatkan” agama untuk menjadi pembenaran atas aksi-aksi kriminal serta pengrusakannya, terus berupaya menentang kelompok agama minoritas, termasuk melakukan intimidasi, pemerasan, pengrusakan, dan protes. “Kelompok intoleran” ini dikabarkan menerima sejumlah uang guna memuluskan tujuan politik dan bisnis kotor melalui aksi-aksi serta unjuk rasa. Komnas HAM menyatakan bahwa “kelompok intoleran” di Jawa Barat melakukan pemerasan senilai “ratusan juta” rupiah terhadap gereja-gereja dengan mengancam akan merusak dan melakukan unjuk rasa di luar gereja jika tidak memenuhi keinginan mereka.
Pemimpin Majelis Luhur Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa Indonesia (MLKI) melaporkan jumlah penghayat kepercayaan mengalami penurunan, umumnya dikarenakan tindak diskriminasi baik secara formal dan informal dari pemerintah dan masyarakat.
Kelompok-kelompok keagamaan bekerjasama satusama lain dan bersama organisasi lain menyelenggarakan konferensi dan acara-acara lintas agama yang menyuarakan dukungan terhadap sikap saling menghormati dan toleransi, serta menentang kekerasan. Sebagai contoh, Wakil Sekjen NU Imam Pituduh mengatakan pada The Jakarta Post bahwa anggota organisasi kepemudaan NU “akan berada di garis depan untuk melindungi umat Kristiani saat mereka beribadah dan melakukan aktivitas menjelang Natal. Ini dilakukan atas dasar toleransi.” Seorang pemuka agama Hindu di Bali menghimbau warga Denpasar untuk berpartispasi dalam acara takbiran, yang diadakan pada malam menjelang Idul Fitri. Diperkirakan 1.500 masyarakat non Muslim di Denpasar mengikuti acara ini. Muhammadiyah menjaga hubungan jaringan lintas agama, dan FKUB mengambil langkah-langkah mendukung pluralisme agama dengan bertindak sebagai mediator dalam konflik antar agama. Umat Kristiani di Maluku memberi tumpangan gratis bagi Muslim yang hendak pergi beribadah Idul Fitri setelah sebelumnya mereka memberi tumpangan gratis kepada penganut Nasrani untuk pergi ke ibadah Natal serta menjaga gereja selama ibadah berlangsung bulan Desember 2015.
Bagian IV. Kebijakan Pemerintah Amerika Serikat
Kedutaan Besar (Kedubes) Amerika Serikat (AS) di Jakarta, Konsulat Jenderal (Konjen) di Surabaya, dan Perwakilan Amerika Medan (Konsulat) secara rutin terlibat dan bekerjasama dengan semua tingkat pemerintahan dalam masalah-masalah khusus yang berhubungan dengan kebebasan beragama, seperti aksi-aksi terhadap kelompok minoritas, penutupan rumah ibadah, penahanan atas tuduhan penistaan dan penodaan agama; pengaruh dari para “kelompok intoleran” serta pentingnya aturan hukum; penerapan hukum syariah terhadap warga non Muslim; kewajiban untuk mencantumkan agama di KTP; pentingnya pendidikan dan dialog antar agama dalam upaya meningkatkan toleransi; serta peningkatan toleransi di forum internasional. Selama kunjungannya di bulan Oktober, Duta Besar Khusus Untuk Kebebasan Beragama Internasional mengadakan pertemuan dengan pemerintah, LSM, serta sejumlah pemuka agama di Jakarta, Banda Aceh, dan Surabaya untuk membahas pentingnya meningkatkan kebebasan beragama. Dubes Khusus juga menyampaikan pesan yang sama dalam setiap kesempatan berbicara di muka umum.
Perwakilan kedubes, konjen, serta konsulat menyampaikan secara terbuka perihal pentingnya toleransi beragama dan melindungi kaum minoritas dari aksi kekerasan. Staf kedubes di semua tingkatan kerap bertemu dengan para tokoh agama, perwakilan organisasi sosial, serta para pegiat HAM guna menjelaskan kebijakan AS dalam mendukung kebebasan beragama, toleransi antar umat beragama, serta meningkatkan rasa saling menghormati. Staff kedubes dan konsulat juga bertemu dengan para pengikut kelompok agama minoritas yang menjadi korban aksi aksi-intoleran.
Perhimpunan Masyarakat AS-Indonesia USINDO, sebuah organisasi nirlaba yang didukung oleh pemerintah AS dan Indonesia, bekerja sama dengan para tokoh lintas agama di AS dan Indonesia memprakarsai lembaga Indonesia-U.S. Council on Religion and Pluralism di Yogyakarta pada tanggal 10-11 Agustus. Lembaga non pemerintah ini menghimpun para tenaga ahli, akademisi, pemuka agama dan tokoh masyarakat sipil untuk menggalakkan dialog lintas-agama, keberagaman, dan toleransi, serta memerangi ekstremisme garis keras di kedua negara.
Kedutaan Besar mengadakan sejumlah acara di ruang pusat kebudayaannya yang baik secara langsung dan maupun tidak langsung untuk mengkampanyekan kebebasan beragama. Sebagai contoh, kedubes mensponsori sejumlah diskusi dan bincang-bincang publik bersama sejumlah tokoh penting Muslim Indonesia tentang pengalaman mereka berkunjung ke AS. Rangkaian acara bertemakan Pemilu AS tahun 2016 juga mambahas kaitannya dengan kebebasan beragama. Seorang ustadz asal Indonesia yang kini bermukim di AS yang juga merupakan perwakilan dari Center for Strategic and International Studies berbicara tentang partisipasi dan keterlibatan komunitas Muslim America dalam pemilu, serta tentang tema yang lebih luas seputar nilai-nilai fundamental AS seperti kebebasan beragama. Dua stasiun TV dan tiga media cetak meliput jalannya acara tersebut.
Staf kedubes dan konsulat tampil dalam sejumlah program televisi yang disiarkan secara nasional untuk membahas tema-tema yang terkait dengan toleransi agama dan keberagaman. Peserta program-program pertukaran pelajar yang didanai oleh pemerintah AS sering tampil bersama staf kedubes dan konsulta untuk memberikan pandangan langsung mengenai pengalaman mereka di Amerika Serikat, termasuk dalam hal toleransi beragama. Staf kedubes dan konsulat juga memimpin diskusi dan memberikan presentasi di sejumlah tempat di Indonesia guna menyampaikan pentingnya keberagaman dan toleransi beragama kepada ribuan siswa sekolah menengah, pesantren, serta mahasiswa. Secara keseluruhan, aktivitas-aktivitas ini menyampaikan pesan toleransi dan kebebasan beragama kepada puluhan juta orang pemirsa dan pendengar.
Selama bulan Ramadhan, staf kedubes dan konsulat mengadakan sejumlah acara dan kegiatan yang mengkampanyekan toleransi beragama. Kedubes kembali mensponsori reporter berkunjung ke Amerika Serikat untuk membuat berita dan kisah dokumenter seputar topik yang antara lain tentang kehidupan beragama di AS. Kisah ini kemudian kembali dimuat sebagai bagian dari tayangan reality show “Muslim Travelers” yang diputar selama bulan Ramadan dan menyabet penghargaan KPI tahun 2015 dari untuk kategori Program Ramadhan Terbaik. Video Muslim Travelers dapat disaksikan di laman Youtube kedubes. Kedubes mengadakan acara berbuka puasa bersama dengan mengusung tema toleransi dan keberagaman melalui sambutan-sambutan dan diskusi dengan berbagai lapisan masyarakat, termasuk para tokoh politik, tokoh masyarakat sipil, dan para pelajar.
Staf kedubes dan konsulat melakukan kerjasama dengan media cetak, TV, dan media digital, termasuk video ucapan menyambut Ramadan dan Idul Fitri dari Duta Besar, serta inisiatif mengkampanyekan keberagaman dalam beragama yang mencapai jutaan orang pemirsa dan pembaca di seluruh Indonesia. Kedubes terus mengelola sebuah kolom pembelajaran bahasa Inggris secara rutin bernama “Miss Understanding” di laman Facebook Kedubes dengan tema-tema kebebasan beragama, keberagaman, dan pluralisme. Kedubes, konjen, dan konsulat juga mensponsori program pertukaran pelajar dan program untuk masyarakat sipil lainnya yang berfokus pada pluralisme dan toleransi beragama, termasuk program bagi para tokoh pemimpin dan para intelektual yang tengah naik daun.