Rangkuman Eksekutif
Konstitusi menjamin kebebasan beragama serta hak beribadah setiap warga negara sesuai dengan kepercayaannya masing-masing, namun warga negara harus menerima batasan yang telah ditentukan oleh hukum guna melindungi hak-hak orang lain serta untuk memenuhi “tuntutan keadilan berdasarkan pertimbangan moralitas, nilai-nilai agama, keamanan, serta ketenteraman umum dalam sebuah negara demokratis.” Di bulan Mei majelishakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara menyatakan Gubernur Jakarta, yang merupakan seorang pemeluk Kristiani , bersalah karena telah melakukan penistaan terhadap kitab suci Agama Islam dan menjatuhkan hukuman dua tahun penjara. Di bulan Maret, Pengadilan Negeri Jakarta Timur memvonis tiga petinggi kelompok keagamaan terlarang yaitu Gafatar, dan menjatuhi mereka hukuman penjara antara tiga sampai lima tahun. Di Aceh, pihak berwenang melaksanakan hukuman cambuk di depan publik terhadap pelanggar hukum syariah, termasuk pada bulan Mei lalu, untuk pertama kalinya dilakukan hukuman cambuk atas perbuatan homoseksual. Sejumlah pemerintah daerah menetapkan hukum dan peraturan daerah (Perda) yang membatasi kebebasan beragama, seperti peraturan daerah yang melarang praktek keagamaan Syiah atau Ahmadiyah. Ahmadiyah kembali mengeluhkan insiden pemaksaan untuk pindah agamadiskriminasi, serta penutupan masjid Ahmadiyah. Banyak dari kelompok agama selain enam agama yang diakui dan tercantum dalam UU penistaan (Katolik, Protestan, Hindu, Buddha, Konghucu, dan Islam, yang dianggap oleh pemerintah dan masyarakat umum sebagai Islam Sunni), mengeluhkan kesulitan dalam mengidentifikasi agama mereka di KTP. Tetapi pada tanggal 7 November, Mahkamah Konstitusi menghapus dua pasal dalam undang-undang yang mewajibkan warga memilih salah satu dari enam agama yang diakui oleh pemerintah, atau mengosongkan kolom agama. Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menyatakan bahwa penghayat kepercayaan berhak menerima akses yang sama terhadap layanan publik dasar, tanpa memandang apa yang mereka nyatakan atau tidak nyatakan sebagai agamanya, dan bahwa diskriminasi terhadap kaum ini berdasarkan agamanya adalah tindakan yang melanggar hukum. Presiden Joko Widodo menyatakan dukungannya terhadap toleransi beragama, dan pemerintah mengambil tindakan guna menangani pertikaian atas nama agama tertentu yang telah berlangsung lama, termasuk pembangunan Gereja Katolik Santa Clara di Bekasi, Jawa Barat, yang ditentang oleh warga setempat. Kembali terjadi kasus dimana pemerintah daerah dan polisi tunduk pada tuntutan kelompok, seperti Front Pembela Islam (FPI), Forum Umat Islam (FUI), Front Jihad Islam (FJI), dan Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), yang dilabeli oleh masyarakat sebagai “kelompok intoleran”, untuk menutup rumah-rumah ibadah karena melanggar izin atau membatasi hak-hak kelompok agama minoritas. Komisi Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), sebuah lembaga independen yang terafiliasi pemerintah, menyatakan bahwa pemerintah baik di tingkat nasional dan daerah kadang gagal mencegah atau menangani dengan bijak intimidasi dan diskriminasi terhadap warga berdasarkan kepercayaan agamanya. Baik pemerintah pusat dan daerah menyertakan pejabat pemerintah yang terpilih dari kelompok agama minoritas, serta para politisi terpilih dari kelompok agama minoritas yang bertugas di wilayah dengan mayoritas agama Muslim. Terdapat seorang penganut Syiah yang terpilih di legislatif.
Banyak dari organisasi sipil terkemuka, termasuk organisasi agama dari berbagai kepercayaan, berupaya menangani intoleransi beragama serta menggalakkan pluralisme dan toleransi terhadap kelompok agama minoritas. Namun “kelompok-kelompok intoleran” ini terus mengganggu acara keagamaan, menutup rumah-rumah ibadah secara ilegal, serta menyebarluaskan materi-materi yang menyuarakan intoleransi. Kaum minoritas Muslim dan Kristen melaporkan adanya ancaman kekerasan serta intimidasi saat mereka berkumpul di tempat umum. Tanggal 11 Februari, sekitar 200.000 orang menghadiri ibadah massal di masjid nasional Jakarta untuk mengajak para umat Muslim memilih kandidat Muslim dalam pilgub Jakarta yang berlangsung tanggal 14 Februari.
Pemerintah Amerika Serikat (AS) mendukung kebebasan beragama pada tataran tertinggi, bersama pemerintah dan para pemimpin masyarakat sipil, serta secara terbuka menentang diskriminasi serta kekerasan atas nama agama. Wakil Presiden AS mengunjungi Jakarta di bulan April dan membahas pentingnya kebebasan beragama bersama para pejabat pemerintah, pemimpin masyarakat sipil, serta kelompok agama di Jakarta. Pejabat kedubes dan konsulat melibatkan pejabat pemerintah terkait isu tertentu, termasuk di antaranya permasalahan aksi yang menentang kaum agama minoritas; penutupan tempat ibadah serta akses bagi organisasi agama asing; penghukuman atas tindak penistaan dan pencemaran agama; pentingnya toleransi sertasupremasi hukum ; permasalahan penerapan hukum syariah terhadap non Muslim; serta persyaratan identifikasi agama di Kartu Tanda Penduduk (KTP) . U.S.- Indonesia Council on Religion and Pluralism – yang disahkan oleh pemerintah AS dan Indonesia dan terdiri dari para pemimpin kelompok agama dan sipil, praktisi akademis, serta para ahli dari kedua negara – memfasilitasi kuliah umum, pertukaran akademi dan agama, serta diskusi seputar masalah kebebasan beragama. Kedubes dan konsulat membawa pesan penghormatan terhadap keanekaragaman dan toleransi beragama kepada puluhan juta orang di negara ini melalui upayaoutreach, termasuk di antaranya menyelenggarakan event, wawancara dengan media, inisiatif media sosial, pelibatan dengan jalur public speaking dan digital, pertukaranpelajar, serta program pendidikan.
Bab I. Demografi Agama
Pemerintah AS memperkirakan total populasi Indonesia di angka 260,6 juta (estimasi per Juli 2017). Menurut sensus 2010, sekitar 87 persen populasi beragama Islam , 7 persen beragama Protestan, 3 persen Katolik, dan 1,5 persen Hindu. Mereka yang termasuk dalam kelompok agama lainnya, seperti Buddha, penghayat kepercayaan, Konghucu, dan kelompok kecil Kristen lainnya, serta mereka yang tidak menjawab pertanyaan sensus berjumlah sekitar 1,3 persen dari populasi.
Populasi Muslim mayoritas adalah Sunni. Diperkirakan satu hingga tiga juta Muslim menganut paham Syiah. Terdapat sejumlah kelompok Muslim berskala kecil; estimasi memperkirakan jumlah total penganut Ahmadiyah sekitar 200.000 sampai 400.000.
Menurut perkiraan, 20 juta orang Indonesia, terutama di Jawa, Kalimantan, dan Papua, menganut berbagai sistem kepercayaan tradisional, yang seringkali secara kolektif disebut sebagai penghayat kepercayaan. Ada sekitar 400 komunitas penghayat kepercayaan berbeda di seluruh kepulauan ini. Banyak dari kelompok agama menyertakan elemen-elemen Islam, Hindu, dan Buddha ke dalam ajarannya, menjadikannya sulit untuk memilah jumlah persis para pengikutnya.
Terdapat populasi penganut Sikh yang diperkirakan berjumlah antara 10.000 dan 15.000 yang sebagian besar berada di Medan dan Jakarta. Terdapat komunitas Yahudi dengan jumlah sangat kecil di Jakarta, Manado, Jayapura, dan di tempat lainnya. Komunitas Bahai dan Falun Dafa (atau Falun Gong) melaporkan bahwa mereka memiliki ribuan anggota, namun estimasi independennya tidak tersedia. Jumlah ateis juga tidak diketahui, tetapi kelompok Indonesian Atheists menyatakan bahwa mereka memiliki lebih dari 700 anggota.
Provinsi Bali didominasi oleh penganut agama Hindu, dan Provinsi Papua, Papua Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Sulawesi Utara didominasi oleh penganut agama Kristen.
Bab II. Status Penghormatan pemerintah terhadap Kebebasan Beragama
Kerangka Hukum
Konstitusi menjamin hak untuk menjalankan ajaran agama sesuai pilihan masing-masing dan menyatakan bahwa kebebasan beragama adalah hak manusia yang tidak boleh dibatasi. Konstitusi menyatakan, “Negara berdasarkan pada kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa,” tetapi menjamin hak semua orang untuk beribadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya. Hukum melarang masyarakat untuk melaksanakan hak-hak ini dengan cara yang bisa melanggar hak orang lain, melangkahi standar moral serta nilai agama, atau membahayakan keamanan atau ketenteraman umum.
Kementerian Agama (Kemenag) memperluas pengakuan resmi menjadi enam agama: Islam, Katolik, Protestan, Buddha, Hindu, dan Konghucu. Pemerintah sejak dahulu mempertahankan praktek mengakui Islam Sunni sebagai versi resmi dari Islam yang dianut Muslim Indonesia, meski konstitusi tidak secara formal mencantumkan hal tersebut. Hukum melarang pernyataan atau aktivitas publik secara disengaja yang menghina atau mencemarkan salah satu dari enam agama resmi, atau memiliki niat mencegah seseorang dalam menjalankan ajaran agamanya. Hukum juga menetapkan bahwa dalam segala kasus pencemaran salah satu dari enam agama resmi yang diakui, Kemendagri, Kemenag, serta Kejaksaan Agung harus terlebih dulu memperingatkan pihak terkait sebelum mereka dapat diadili secara hukum. Hukum juga melarang penyebaran informasi yang dirancang untuk menyebarkan kebencian atau perpecahan di antara individu dan/atau komunitas tertentu berdasarkan etnis, agama, atau ras. Individu dapat diadili atas pernyataan penistaan, ateistik, atau pernyataan sesat berdasarkan ketentuan-ketentuan ini atau hukum yang melarang aksi pencemaran, dan dapat dijatuhi hukuman penjara maksimal lima tahun. UU Informasi Transaksi Elektronik (ITE) melarang penyebaran elektronik dari jenis informasi yang sama, dan pelanggarannya dapat berakibat hukuman empat tahun penjara.
Pemerintah menetapkan agama sebagai sistem kepercayaan yang memiliki nabi, kitab suci, dan tuhan, serta diakui secara internasional. Enam agama yang diakui resmi dianggap telah memenuhi persyaratan-persyaratan ini. Organisasi yang mewakili salah satu dari enam agama resmi yang terdaftar dalam UU penistaan tidak diwajibkan memiliki landasan hukum jika mereka berdiri di bawah akta notaris serta memperoleh izin dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham). Organisasi agama di luar enam agama resmi harus memiliki landasanhukum sebagai organisasi masyarakat sipil dari Kemendagri. Kedua kementerian tersebut berkonsultasi dengan Kemenag sebelum memberikan status hukum pada organisasi agama. Berdasarkan undang-undang, semua kelompok agama wajib terdaftar dalam suatu bentuk. Berdasarkan undang-undang, organisasi masyarakat sipil diwajibkan menjunjung ideologi nasional Pancasila, yang mencakup pokok-pokok kepercayaan terhadap Tuhan YME, keadilan, persatuan, demokrasi, serta keadilan sosial, dan mereka dilarang melaksanakan aksi penistaan atau menyebarluaskan kebencian atas nama eragama. Pelanggaran terhadap undang-undang dapat mengakibatkan hilangnya status hukum, pembubaran organisasi, serta penahanan para anggotanya berdasarkan UU penistaan atau UU lainnya yang berlaku. Penganut kepercayaan adat juga dapat mendaftarkan diri ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) sebagai aliran kepercayaan.
Surat Keputusan Bersama (SKB) kementerian yang melarang keduabelah pihak baik aksi penyebaran ajaran agama oleh komunitas Ahmadiyah maupun tindak persekusi terhadap komunitas ini. Pelanggaran terhadap larangan penyebaran agama Ahmadiyah dapat dikenakan pasal penistaan dengan ancaman hukuman penjara t maksimal lima tahun. Belum ada penganut Ahmadiyah yang dikenai pasal penistaan, namun sumber dari kelompok Ahmadiyah mengatakan peraturan pemerintah provinsi dan daerah yang berdasarkan SKB ini lebih memperketat batasan kepada para penganut Ahmadiyah dibandingkan enam agama resmi yang tercantum dalam UU penistaan.
Pemerintah mewajibkan semua kelompok agama resmi untuk mematuhi peraturan dari Kemenag dan peraturan kementerian lainnya terkait isu seperti pembangunan rumah ibadah, bantuan asing untuk institusi agama domestik, serta penyebaran agama.
Menurut SKB ini, kelompok agama tidak diperkenankan melaksanakan ibadah di kediaman pribadi, dan mereka yang ingin membangun rumah ibadah diwajibkan mengumpulkan tanda tangan dari sedikitnya 90 anggota kelompok serta 60 anggota kelompok agama lainnya dalam masyarakat setempat yang menyatakan bahwa mereka mendukung upaya pembangunan. Pemerintah daerah bertanggung jawab dalam menerapkan keputusan tersebut, dan peraturan daerah terkait, penerapan, serta upaya penegakannya sangat beragam. Keputusan ini juga mewajibkan adanya izin dari dewan antar agama setempat, Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB). FKUB yang didirikan oleh pemerintah ini berada di tingkat kota atau distrik dan terdiri dari para pemimpin agama dari enam agama yang diakui. Mereka bertanggung jawab sebagai penengah dalam konflik antar agama.
Undang-undang mewajibkan pendidikan agama di sekolah-sekolah negeri. Siswa berhak meminta pendidikan agama untuk salah satu dari enam agama yang diakui, namun guru yang mengajarkan kelas agama yang diminta tidak selalu tersedia. Mereka tidak diperbolehkan untuk mengabaikan persyaratan pendidikan agama.
Berdasarkan perjanjian kesepakatan damai 2005 yang mengakhiri konflik separatis, Provinsi Aceh memiliki hak istimewa untuk menerapkan hukum syariah. Undang-undang tersebut mengizinkan penerapan dan pemberlakuan hukum syariah secara provinsial, dan memperluas yurisdiksi mahkamah agama hingga ke transaksi ekonomi serta kasus kriminal. Hukum syariah tidak berlaku kepada non Muslim, warga asing, atau Muslim Indonesia yang bukan merupakan warga tetap di Aceh. Hukum syariah di provinsi Aceh mengkriminalisasi perbuatan homoseksual, tindakan asusila, judi, konsumsi minuman beralkohol, serta berada berdekatan dengan lawan jenis yang tidak terikat pernikahan bagi para warga Muslim di provinsi tersebut. Terdapat keputusan gubernur Aceh yang melarang kaum perempuan bekerja di/atau mengunjungi restoran tanpa didampingi suami atau kerabat prianya di atas pukul 9 malam. Keputusan walikota di Banda Aceh melarang perempuan bekerja di kedai kopi, kafe internet, atau sasana olahraga di atas pukul 10 malam. Para perempuan Muslim Aceh dilarang mengenakan celana ketat di tempat umum dan wajib mengenakan jilbab. Salah satu kabupaten di Aceh melarang kaum perempuan duduk mengangkang boncengan sepeda motor, tetapi hal ini dilaporkan jarang diterapkan. Hukuman maksimal untuk pelanggaran hukum syariah antara lain hukuman penjara dan hukumancambuk di depan umum. Terdapat pula peraturan yang membatasi seberapa keras cambuk yang dapat digunakan saat pelaksanaan hukuman cambuk.
Banyak pemerintah daerah di luar Aceh yang memberlakukan peraturan berdasarkan pertimbangan agama. Sebagian besar daerah ini berada di area mayoritas berpenduduk Muslim, meski pemerintah daerah di area mayoritas non Muslim pun juga telah memberlakukan peraturan berdasarkan pertimbangan agama. Banyak dari peraturan ini berhubungan dengan hal-hal seperti pendidikan agama dan hanya berlaku terhadap agama tertentu. Namun sebagian peraturan daerah yang terinspirasi dari ajaran agama ini juga berlaku kepada semua warga. Sebagai contoh, sebagian peraturan daerah mewajibkan restoran untuk tutup selama waktu puasa di bulan Ramadhan, melarang konsumsi minuman beralkohol, atau mewajibkan pemberian zakat (sedekah dalam ajaran Islam). Peraturan daerah lainnya melarang atau membatasi aktivitas agama dari kaum minoritas, terutama Syiah dan Ahmadiyah.
Undang-undang pernikahan tidak secara eksplisit melarang pernikahan beda agama, namun mengandung sebuah pasal yang menyatakan bahwa sebuah pernikahan harus dilakukan sesuai ritual dari salah satu agama yang dimiliki oleh pengantin pria dan wanita. Seorang pria dan wanita yang berlainan agama dan ingin menikah mungkin mengalami kesulitan dalam mencari tokoh agama yang bersedia mengesahkan upacara pernikahan. Sebagian pasangan yang berlainan agama memilih agama yang sama di KTP mereka agar dapat menikah secara sah.Undang-undang ini mengizinkan seorang pria Muslim memiliki hingga empat orang istri, dengan syarat dia mampu menafkahi setiap istrinya secara adil. Agar seorang pria dapat memiliki istri kedua, ketiga, atau keempat, dia harus memiliki ijin dari pengadilan dan persetujuan penuh dari istri pertama. Namun faktanya, persyaratan ini tidak selalu dipenuhi.
UU pernikahan menjadikan poligami ilegal bagi para pegawai sipil, kecuali dalam situasi tertentu. Peraturan pemerintah mewajibkan Pegawai Negeri Sipil Muslim pria menerima izin dari pejabat pemerintah serta istri pertamanya sebelum dapat menikahi istri kedua, ketiga, atau keempat serta melarang Pegawai Negeri Sipil wanita menjadi istri kedua, ketiga, atau keempat.
Undang-undang mewajibkan pemimpin kelompok aliran kepercayaan menunjukkan anggota kelompoknya secara langsung di sedikitnya tiga kabupaten, yang merupakan tingkat pemerintahan yang berada satu tingkat di bawah provinsi, sebelum pemimpin tersebut diizinkan untuk memimpin upacara pernikahan secara sah. Persyaratan ini secara efektif membatasi para penganut kepercayaan berskala kecil tanpa tingkat kehadiran geografis di atas untuk melayani upacara pernikahan resmi dari anggota kelompoknya, meski mereka dapat saling membantu satu sama lain serta memfasilitasi pernikahan oleh kelompok dengan tradisi dan ritual kepercayaan yang serupa.
Pada 7 November, Mahkamah Konstitusi menghapus dua pasal yang mewajibkan warga memilih salah satu dari enam agama yang diakui dalam KTP-nya, atau mengosongkan kolom agama.
Terdapat SKB yang mewajibkan organisasi agama dalam negeri mendapatkan izin dari Kemenag untuk dapat menerima dana dari lembaga donor asing serta melarang penyebarluasan literatur dan pamflet keagamaan kepada penganut agama lain serta menghampiri dari pintu ke pintu dengan tujuan untuk mengganti kepercayaan penganut agama lain.
Para pekerja keagamaan asing wajib memiliki visa pekerja keagamaan, dan organisasi keagamaan asing wajib memiliki izin dari Kemenag agar dapat memberikan bantuan dalam bentuk apa pun (barang atau jasa, SDM, atau finansial) kepada kelompok agama lokal.
Indonesia merupakan anggota Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik.
Praktik Pemerintah
Paragraf Rangkuman: Telah terjadi aksi penahanan, penuntutan, serta pemberian vonis atas aksi penistaan dan penghinaan agama, termasuk vonis dan penahanan terhadap mantan gubernur Jakarta karena menistakan ajaran Islam serta tiga pemimpin senior kelompok religius Gafatar yang kini dilarang, karena dianggap telah “bertentangan dan menyinggung” nilai-nilai agama dari mayoritas masyarakat. Di Aceh terjadi hukuman cambuk di depan publik oleh pejabat lokal terhadap pelanggaran hukum syariah, termasuk hukuman yang untuk pertama kalinya diberlakukan terhadap perbuatan homoseksual serta kasus pertama kalinya dari seorang penganut agama Buddha yang lebih memilih dihukum berdasarkan syariah dibandingkan prosedur sipil. Terdapat laporan tentang upaya pemerintah dalam mengubah kepercayaan paksa terhadap penganut Ahmadiyah menjadi Sunni. Terdapat kasus di mana pemerintah daerah dan polisi tunduk kepada tuntutan “kelompok intoleran”, seperti FPI, FUI, FJI, dan MMI, untuk menutup rumah-rumah ibadah yang dianggap melanggar izin atau membatasi hak-hak kelompok agama minoritas. Sebagai contoh, petugas setempat menutup tiga rumah yang difungsikan sebagai gereja di Bogor, Jawa Barat, dengan menggunakan peraturan nasional dalam keputusan kementerian bersama yang melarang umat beragama melaksanakan ibadah di kediaman pribadi. Komnas HAM melaporkan pemerintah baik di tingkat nasional dan daerah kadang gagal mencegah atau menangani dengan bijak intimidasi dan diskriminasi terhadap warga berdasarkan kepercayaan agamanya. Dikabarkan, sebagian orang yang mengosongkan kolom agama di KTP-nya mendapat penolakan layanan publik.
Setara Institute, sebuah organisasi non pemerintah domestik (LSM) yang melaksanakan advokasi dan penelitian seputar kebebasan beragama dan politik, kembali menyatakan bahwa pemerintah pusat melakukan upaya-upaya yang menegaskan kembali jaminan konstitusi terhadap kebebasan beragama, menggalakkan toleransi, serta mencegah kekerasan dengan motif agama. Mereka juga menyatakan bahwa pemerintah pusat nyaris tidak melakukan upaya campur tangan di tingkat daerah atau menyelesaikan konflik agama dimasa lalu melalui mandatnya untuk menegakkan keputusan pengadilan, mengambil alih peraturan daerah yang inkonstitusional, atau menjunjung perlindungan konstitusi dan hukum yang diberikan pada kelompok agama minoritas. Pemerintah daerah secara selektif menegakkan UU penistaan, peraturan seputar perizinan, serta peraturan daerah lainnya dengan cara yang memengaruhi berbagai kelompok agama.
Menurut kelompok agama dan beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), pejabat pemerintah dan polisi kadang gagal mencegah “kelompok intoleran” melanggar kebebasan beragama serta melakukan aksi intimidasi lainnya terhadap kelompok agama lain. Polisi tidak selalu aktif melakukan investigasi dan menghukum kejahatan yang dilakukan oleh anggota “kelompok sektarian intoleran”. Sepanjang tahun, polisi bekerjasama dengan para aktivis HAM dan LSM untuk memberikan sesi pelatihan aksi toleransi kepada para pemimpin agama dan polisi daerah.
Setara Institute melaporkan 24 kasus penyalahgunaan kebebasan beragama oleh pemerintah antara Januari hingga November, dibandingkan 44 kasus dalam sebelas bulan pertama di 2016. Tindak penyalahgunaan yang disebutkan terdiri dari antara lain penutupan, dan protes terhadap rumah-rumah ibadah serta pernyataan dari pejabat publik yang merestui aksi kekerasan terhadap kaum minoritas, terutama terhadap penganut Ahmadiyah.
Pada 7 Maret, Pengadilan Jakarta Timur menghukum tiga petinggi Gafatar, kelompok keagamaan yang kini dilarang, atas kasus penistaan. Pengadilan menyatakan ketiga pemimpin ini melakukan penistaan karena menyebarkan ajaran kelompok yang mencampur ajaran Kristen, Yahudi, dan Islam “bertentangan dan menyinggung nilai-nilai Islami yang dianut oleh sebagian besar masyarakat Indonesia”. Pencetus gerakan ini, Ahmad Moshaddeq, dan ketua umumnya Mahful Muis Tumanurung diganjar hukuman lima tahun penjara, dan wakil ketumnya, Andri Cahya, dijatuhi tiga tahun penjara. Pihak berwenang menahan mereka di bulan Mei 2016, dua bulan setelah pemerintah secara resmi melarang Gafatar sebagai reaksi atas dua warga lokal yang memaksa ribuan anggota Gafatar keluar dari rumah dan lahan komunalnya di Kalimantan Barat. Moshaddeq sebelumnya sudah diadili dan ditahan atas kasus penistaan di 2008 karena dia menyatakan dirinya sebagai nabi dari kelompok al-Qiyadah al-Islamiyah yang terlarang. Pemerintah pusat merelokasi sebagian besar mantan anggota Gafatar ke Jawa, di tempat tersebut dikabarkan mereka masih mengalami diskriminasi, termasuk saat mencari pekerjaan. Karena mereka bukan penganut salah satu agama yang diakui, sebagian mantan anggota Gafatar mengalami kesulitan untuk memiliki KTP baru. Saat relokasi, sebagian mantan anggota juga melaporkan bahwa pihak petugas memaksa mereka mengikuti program re-edukasi atau “pendidikan patriotik” sepanjang hari yang diwajibkan, program-program ini memaksa mereka memilih salah satu dari enam agama yang diakui.
Tanggal 9 Mei, majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara menetapkan Gubernur Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (akrab dipanggil “Ahok”), bersalah karena menista kitab suci umat Islam dan menjatuhinya hukuman dua tahun penjara. Pada September 2016, Ahok, Gubernur Jakarta beragama Kristen pertama dalam lebih dari 50 tahun terakhir, mengatakan pada sekelompok orang bahwa memanipulasi ayat dari Quran demi kepentingan politik adalah tindakan keliru. FPI, Majelis Ulama Indonesia (MUI), serta kelompok Muslim lainnya mengkritik pidatonya dan mengajukan tuntutan ke kepolisian, yang berujung pada upaya investigasi. Ahok meminta maaf tetapi mengatakan bahwa dia tidak melakukan penistaan, lalu menambahkan bahwa dia tidak bermaksud menghina Quran dan bahwa komentarnya ditujukan pada lawan-lawan politiknya, bukan kepada Islam. Petinggi MUI secara aktif berpartisipasi sebagai saksi ahli sepanjang lima bulan pengadilan Ahok. Putusan pengadilan yang panjang merujuk pada sejumlah kesaksian ini serta fatwa MUI bulan Oktober 2016 yang menyatakan ucapan Ahok sebagai penistaan dan menjadi faktor yang membuat hakim memutuskan bahwa Ahok bersalah karena telah menista agama.
Tanggal 21 Agustus, sebuah pengadilan di Lombok, Provinsi Nusa Tenggara Barat, menjatuhi hukuman 30 bulan penjara pada Siti Aisyah karena menyebarkan ajaran Islam yang “sesat”. Pengadilan menetapkan Aisyah, pemilik sekolah Quran independen, bersalah karena melanggar UU penistaan dan UU ITE. Aisyah mengatakan dia mulai mempelajari penerjemahan Indonesia dari Quran di 2013 karena sulit mempelajarinya dalam bahasa Arab. Dia menambahkan bahwa dia percaya bahwa ajaran Quran itu sendiri sudah sempurna, oleh karenanya hadis (perbuatan dan sabda dari nabi Muhammad) dan doktrin Islam mainstream lainnya tidak diperlukan. Pada November 2016, dia mendirikan sekolah dan mulai mengajarkan interpretasinya terhadap Islam kepada para pemuda setempat. Di bulan Januari sebuah video Facebook yang menayangkan aktivitasnya disebarluaskan di internet. Gubernur Nusa Tenggara Barat Zainul Majdi kemudian memerintahkan penutupan sekolahnya dan cabang MUI setempat menerbitkan maklumat yang menyatakan ajarannya sebagai penistaan. Polisi kemudian menahan Aisyah.
Tanggal 28 September, pengadilan militer menjatuhkan vonis dua setengah tahun penjara terhadap seorang oknum prajurit TNI yang bertugas di Papua, provinsi dengan mayoritas Kristen, atas tindak penistaan setelah prajurit tersebut, kemungkinan secara tidakk sengaja, membakar beberapa Alkitab. Di bulan Mei sejumlah Alkitab dikabarkan dibakar, beserta sejumlah barang lainnya, saat prajurit tersebut membuang kardus-kardus dari gudang penyimpanan di kantor Korem Jayapura, ibukota Papua. Prajurit tersebut juga dipecat dari dinas militer. Setelah insiden tersebut, yang memicu aksi protes berskala kecil namun keras, Pangdam XVII Cendrawasih Mayjen TNI George Elnadus Supit secara terbuka meminta maaf atas tindakan prajuritnya dan meminta masyarakat untuk menghormati proses hukum. Para pemuka agama Kristen di Papua segera mengeluarkan pernyataan guna meredam ketegangan, mendorong warga untuk menahan diri dan menghormati hukum.
Tanggal 25 September, pengadilan menetapkan hukuman penjara seumur hidup pada Johanda (nama tunggal) atas serangan terhadap sebuah gereja di Samarinda, Kalimantan Timur, pada November 2016 yang menewaskan seorang anak gadis berusia dua tahun dan melukai tiga anak lainnya. Dia memiliki hubungan dengan kelompok pro ISIS, Jamaah Ansharut Daulah. Empat terdakwa lainnya divonis antara enam hingga tujuh tahun penjara. Johanda sebelumnya pernah divonis atas keterlibatannya dalam upaya pengeboman di Jawa Barat di 2011. Pada Februari 2012 dia dijatuhi hukuman tiga setengah tahun penjara namun menerima remisi dan dibebaskan di 2014 karena berperilaku baik.
Larangan penyebaran ajaran tidak melarang penganut Ahmadiyah untuk beribadah atau melanjutkan aktivitas dalam komunitasnya, namun para “kelompok intoleran” mengatasnamakan larangan untuk membenarkan aksi intimidasi mereka terhadap komunitas Ahmadiyah atau sebagai alasan untuk menolak menerbitkan KTP kepada penganut Ahmadiyah apabila mereka mencoba mendaftarkan diri sebagai Muslim. Tanggal 11 September, Mahkamah Konstitusi memulai proses uji materi terhadap UU Penistaan Agama atas permintaan Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI), sebuah organisasi advokasi yang berpendapat bahwa UU tersebut dimanfaatkan untuk mendiskriminasi pengikut Ahmadiyah. Uji materi atas UU tersebut tersebut terus berlanjut hingga akhir tahun.
Pemerintah dan para tokoh syariah menyatakan warga non Muslim di Aceh dapat memilih dihukum menurut hukum syariah atau prosedur pengadilan sipil, namun warga Muslim Aceh wajib menjalani hukuman sesuai hukum syariah, meski sejumlah pejabat setempat menginterpretasikan bahwa hukum tersebut juga berlaku bagi para pendatang Muslim di Aceh. Tanggal 10 Maret, dua penganut Buddha menjalani hukuman cambuk di Aceh karena melakukan judi sabung ayam, menandai pertama kalinya penganut Buddha lebih memilih dihukum secara syariah dibandingkan menghadapi ketentuan pidana menurut KUHP. Sabung ayam dan judi adalah tindakan ilegal baik menurut hukum syariah maupun hukum positif. Pada 23 Mei, dua pria gay divonis melanggar sebuah pasal dalam UU syariah yang melarang perbuatan homoseksual, keduanya menjalani hukuman cambuk masing-masing 85 kali. Kedua pria dilaporkan beragama Islam. Ini merupakan kasus pertama dimana seseorang divonis dan dihukum karena tindakan homoseksual di bawah hukum syariah di Aceh, meski homoseksualitas bukan merupakan sesuatu yang ilegal menurut undang-undang nasional. Tanggal 8 September, para petugas hukum syariah melaksanakan hukuman cambuk secara publik terhadap sepasang pria dan wanita yang bukan sepasang suami istri di Lhokseumawe, Provinsi Aceh setelah pengadilan memutuskan bahwa mereka bersalah atas tindak asusilasetelah ditemukan sedang berduaan secara diam-diam. Di tanggal 11 September, tokoh syariah secara publik memberi hukuman cambuk kepada dua wanita dan sembilan pria di Banda Aceh. Enam dari mereka divonis karena perbuatan cabul dan lima lainnya karena berjudi. Menurut Institute for Criminal Justice Reform, pemerintah Aceh telah melakukan hukuman cambuk kepada 350 orang di 2016.
Kemenag mempertahankan otoritasnya baik di tingkat nasional dan daerah untuk melaksanakan “pengembangan” terhadap kelompok dan para pengikut agama, termasuk upaya merubah kepercayaan kelompok agama minoritas menjadi Islam Sunni. Di sejumlah kabupaten Jawa Barat, pemerintah daerah terus berupaya memaksakan atau mendesak upaya merubah kepercayaan terhadap pengikut Ahmadiyah melalui persyaratan yang meminta mereka menandatangani surat yang menyatakan bahwa mereka meninggalkan kepercayaannya agar dapat mendaftarkan pernikahannya atau mengikuti ibadah Haji. Menurut JAI, di tanggal 14 Juli, sekitar 1.500 anggota Ahmadiyah di Kuningan, Jawa Barat, menandatangani surat perjanjian untuk meninggalkan kepercayaannya agar dapat menerima KTP dari pemerintah setempat. Menurut juru bicara Ahmadiyah, mereka yang menandatangani surat tersebut tidak menerima KTP hingga akhir tahun meski pemerintah setempat sudah menjamin bahwa masalah ini akan selesai di bulan Agustus.
Pada 23 Februari, aparat setempat di Depok, Jawa Barat, menutup Masjid Al-Hidayah, ini keenam kalinya sejak 2011 sebuah masjid Ahmadiyah ditutup oleh aparat. Komunitas Ahmadiyah melaporkan bahwa ada kelompok setempat yang mengadu pada aparat Depok bahwa masjid yang sudah menerima ijin ibadah di 2007 dan melayani komunitas sebanyak kurang lebih 400 jamaah ini, mengganggu kenyamanan publik. Tanggal 24 Februari, ratusan orang, diantaranya anggota FPI, melakukan aksi protes di depan masjid, menuntut pembubaran ibadah Ahmadiyah serta pembongkaran masjid tersebut. Para perwakilan dari komunitas Ahmadiyah mengatakan mereka hidup berdampingan dengan damai bersama para tetangga dari segala kepercayaan, dan menolak tuduhan yang menyatakan mereka mengganggu ketenteraman publik. Juru bicara komunitas Ahmadiyah mengeluhkan alasan mereka yang tidak berkonsultasi terlebih dulu sebelum melakukan upaya penutupan dan melaporkan insiden tersebut ke kepresidenan dan Komnas HAM pada tanggal 24 April. Per Desember, pemerintah daerah terus memaksakan upaya penutupan masjid, meski Komnas HAM mendesak mereka untuk melindungi pengikut kelompok Ahmadiyah.
Tanggal 9 Maret, aparat lokal memaksa penghentian kegiatan ibadah di tiga rumah yang difungsikan sebagai gereja dengan aliran berbeda (Batak Protestan, Katolik, dan Metodis) di Bogor, Jawa Barat, setelah perwakilan Kemenag dan MUI setempat, setelah berkonsultasi dengan kepolisian dan para tokoh masyarakat lokal, menerbitkan “perjanjian status quo” yang melarang komunitas mengadakan upacara ibadah di rumah pribadi. Perjanjian tersebut berdasarkan surat keputusan bersama Kemenag-Kemendagri tahun 2006 yang menyatakan rumah tinggal pribadi tidak boleh digunakan untuk acara keagamaan atau sebagai markas komunitas keagamaan. Keputusan untuk menghentikan acara keagamaan di tempat tinggal pribadi muncul setelah perkumpulan yang terdiri dari 11 organisasi Islam berkumpul pada 5 Maret untuk memprotes sekitar 800 anggota jemaat yang berkumpul di komplek perumahan untuk ibadah Minggu raya. Menurut jemaat, polisi membubarkan para peserta aksi tersebut, namun para jemaat gereja terlalu takut untuk melanjutkan aktivitasnya. Para jemaat kesulitan mencari rumah ibadah setelah upaya pembongkaran oleh pemerintah kecamatan di tahun 2000, terhadap sebuah komplek yang dibangun tahun 1997 karena melanggar izin. Akhirnya mereka putuskan berkumpul di kediaman pribadi.
Lebih dari 300 pengikut Syiah dari Madura masih terlantar di daerah pinggiran Surabaya, Jawa Timur, setelah tindak kekerasan komunal memaksa mereka meninggalkan rumahnya di 2012. Sekitar 200 pengikut Ahmadiyah terpaksa tinggal di kawasan rumah susun sempit di Mataram, ibukota Nusa Tenggara Barat, setelah sekumpulan massa mengusir mereka dari desanya di Lombok pada 2006.
Di seantero negeri, para kelompok agama minoritas, termasuk kelompok Muslim di daerah dengan mayoritas penduduk non Muslim, terus menyuarakan bahwa persyaratan resmi yang mengharuskan jumlah pengikut dalam jumlah tertentu untuk membangun atau merenovasi rumah ibadah menjadi penghalang upaya pembangunan, baik karena pemerintah tidak menerbitkan ijin saat jumlah yang diminta telah dipenuhi, atau karena para warga sekitar didesak untuk tidak memberikan persetujuan. Di banyak kasus lokal, sejumlah oposisi keras dari kelompok agama mayoritas setempat dikabarkan cukup berperan untuk menghentikan izin pembangunan. Para tokoh agama dalam forum antar agama yang didukung pemerintah dilaporkan menemukan metode untuk menghalangi para pengikut aliran kepercayaan membangun tempat ibadahnya, umumnya melalui perizinan rumah ibadah yang terlampau ketat. Para pengikut aliran kepercayaan mengatakan mereka khawatir dianggap sebagai ateis jika mereka melakukan perlawanan terhadap perlakuan ini di pengadilan. Kelompok minoritas agama lainnya, seperti Ahmadiyah, Syiah, dan Kristen, menghadapi kesulitan bahkan saat meminta izin untuk pindah ke tempat sementara selagi tempat ibadah utamanya sedang direnovasi.
Pemerintah daerah, polisi, dan organisasi keagamaan dikabarkan mencoba menutup rumah ibadah milik kelompok minoritas karena melanggar izin, seringkali setelah adanya protes dari “kelompok intoleran”, bahkan meski kelompok minoritas sudah mengantongi ijin yang sesuai. Banyak pengikut yang tidak dapat memperoleh cukup tanda tangan dari non anggota yang mendukung upaya pembangunan rumah ibadah dan kerap menghadapi aksi protes dari “kelompok intoleran” selama proses pengajuan, menjadikan izin nyaris mustahil didapatkan. Bahkan meski izin resmi telah keluar, sebagian rumah ibadah dipaksa untuk tutup atau dihentikan pembangunannya setelah menghadapi tuntutan hukum serta protes warga. Sejumlah gereja Katolik dan Protestan juga melaporkan bahwa para “kelompok intoleran” memaksa mereka membayar uang keamanan agar dapat terus beroperasi tanpa izin. Sebagian rumah ibadah yang dibangun sebelum keputusan kementerian bersama terkait pembangunan rumah ibadah mulai berlaku dikabarkan tetap diwajibkan memenuhi persyaratan atau berisiko ditutup. Namun LSM memperkirakan sebanyak 85 persen rumah ibadah, yang sebagian besar merupakan masjid Sunni, beroperasi tanpa izin. Banyak rumah ibadah beroperasi tanpa izin di gedung-gedung kantor, mall, rumah pribadi, dan ruko.
Ketidakpastian hukum antara aparat keamanan dan kepolisian setempat, ancaman kekerasan anonim, kurangnya perlindungan dari polisi, serta ketakutan akan publisitas merupakan kendala dalam membuka kembali masjid Ahmadiyah yang sebelumnya pernah ditutup, termasuk sejumlah masjid di Sukabumi, Jawa Barat, dan Tulungagung, Jawa Timur yang ditutup tahun 2016, serta sebuah masjid di Jakarta Selatan yang ditutup pada 2015. Tetapi menurut pengakuan pengikut Ahmadiyah, kepolisian dan pemerintah daerah melakukan tindakan yang positif dalam melindungi sebuah masjid di Kendal, Jawa Tengah yang dirusak oleh pelaku tak dikenal di bulan Mei 2016. Pemerintah daerah memfasilitasi mediasi antara komunitas Ahmadiyah dan warga sekitar, dan para pengikut Ahmadiyah setuju untuk menghentikan upaya rekonstruksi masjid dan menunggu hasil investigasi polisi. Setelah investigasi selesai, tokoh desa setempat melakukan upaya komunitas untuk merekonstruksi masjid tersebut, dan polisi secara terbuka menyatakan bahwa mereka akan melindungi hak komunitas Ahmadiyah untuk beribadah di daerah tersebut.
Upaya konstruksi Gereja Katolik Santa Clara di Bekasi, Jawa Barat terus berlanjut. Para jemaat telah menunggu lebih dari 15 tahun untuk mendapat izin pembangunan sampai akhirnya diberikan di 2015, dan para “kelompok intoleran” secara berkala menarget lokasi konstruksi untuk melakukan protes. Tanggal 24 Maret, polisi membubarkan kumpulan massa yang berkumpul di lokasi pembangunan yang memprotes upaya pembangunan gereja. Setelah aksi protes tersebut, Walikota Bekasi memastikan kepada para jemaat bahwa pembangunan pasti dapat diselesaikan di bulan Desember, namun faktanya pembangunan masih belum selesai hingga akhir tahun.
Sebuah perkumpulan jemaat gereja Kristen di Bogor, Jawa Barat, terus bernegosiasi perihal izin bangunannya setelah aparat setempat menutup gereja mereka di tahun 2010, karena adanya tekanan dari massa. Ombudsman sebelumnya gagal dalam upaya membujuk Walikota Bogor Bima Arya untuk mematuhi putusan Mahkamah Agung yang membela para jemaat dalam perselisihannya melawan pemerintah daerah terkait izin bangunan. Arya menghadiri perayaan Natal 2016 di gereja tersebut, disana dia mengumumkan rencana, yang kala itu masih dalam tahap negosiasi, guna mengizinkan jemaat membangun gereja di sebuah komplek dengan sebuah masjid guna memfasilitasi keharmonisan antar agama, sebuah solusi yang dia formulasikan bersama Kepala Staf Kepresidenan. Para jemaat secara berkala mengadakan ibadah di luar Istana Kepresidenan di Jakarta, dan mereka belum menerima komplek permanen hingga akhir tahun.
Para aktivis hak sipil mengatakan peraturan berbasis syariah yang diterapkan secara lokal melanggar konstitusi dan menghimbau pemerintah pusat melaksanakan wewenang konstitusionalnya guna menghapus atau meninjau kembali peraturan ini. Pada 5 April, Mahkamah Konstitusi menetapkan bahwa Kemendagri tidak lagi memiliki kuasa untuk menghapus peraturan lokal setelah itu diberlakukan, bahkan meski peraturan tersebut berbasis pada agama, seperti larangan membuka rumah makan saat siang hari di bulan Ramadhan. Tetapi Kemendagri memiliki kuasa untuk melakukan peninjauan selama proses penyusunan peraturan daerah yang baru. Peraturan ini mementahkan UU tahun 2014 yang menegaskan kembali kuasa Kemendagri untuk mencabut peraturan daerah terkait hal-hal religius yang melanggar konstitusi atau UU nasional, meski Kemendagri dikabarkan tidak pernah melaksanakan kuasa ini.
Meski fatwa-fatwa MUI tidak memiliki dasar hukum, aparat pemerintah menggunakannya dalam membuat keputusan hukum dan kebijakan.
Di bulan April para tokoh Muslim perempuan mengadakan sebuah pertemuan yang disebut Kongres Ulama Perempuan Indonesia, dan menghasilkan fatwa-fatwa yang mendukung kriminalisasi terhadap aksi pemerkosaan dalam pernikahan serta menaikkan usia minimal pernikahan bagi wanita dari 16 menjadi 18 tahun. Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin berjanji akan mengajukan rekomendasi ini ke pemerintah.
Di bulan Januari, Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) Tito Karnavian secara terbuka mengingatkan para aparat kepolisian bahwa fatwa MUI bukan merupakan dasar hukum yang berlakunasional dan bahwa polisi harus bertanggung jawab dalam menegakkan konstitusi, bukan fatwa MUI. Tanggal 25 Mei, Tito menerbitkan arahan yang melarang para “kelompok intoleran” melakukan penyisiran kepada rumah makan yang buka siang hari selama bulan Ramadhan.
Para pengikut aliran kepercayaan kerap mengeluhkan bahwa mereka mendapat tekanan ketika memasukkan anak-anak mereka ke kelas pendidikan agama dari salah satu agama yang diakui. Kelompok agama minoritas yang tidak tercantum dalam UU penistaan berkata pihak sekolah kerap mengizinkan anak mereka melewatkan waktu pendidikan di ruang belajar, namun para orangtua wajib menandatangani dokumen yang menyatakan bahwa anak mereka menerima pendidikan agama secara resmi. Para siswa Ahmadiyah mengatakan bahwa pendidikan agama Islam hanya berfokus pada ajaran Sunni.
Pegawai Negeri Sipil yang secara terbuka mengakui keyakinannya terhadap sistem kepercayaan adat sering mengeluhkan sulitnya mendapat promosi jabatan.
Meski pemerintah secara umum mengizinkan warga untuk mengosongkan kolom agama di KTP, namun terus didapati keluhan dari sejumlah pihak yang mengalami kesulitan dalam mendapatkan pelayanan pemerintah serta mengalami diskriminasi dalam bentuk lainnya jika mereka mengosongkan kolom agama di KTP. LSM melaporkan bahwa pemerintah daerah kadang tidak menerbitkan KTP kepada mereka yang ingin mengosongkan kolom agamanya. Tidak memiliki KTP akan mengakibatkan banyak persoalan mulai tidak dapat mendaftar asuransi kesehatan hingga saat hendak mengambil cicilan rumah. Karena masalah-masalah inilah, banyak para pengikut agama minoritas dikabarkan memilih mengaku sebagai pengikut agama yang diakui yang dekat dengan kepercayaannya atau yang dominan di wilayah tersebut. Menurut para peneliti, praktik ini mengaburkan jumlah asli para pengikut agama tertentu dalam statistik pemerintah. Pemerintah tetap mengizinkan pengikut aliran kepercayaan mengosongkan kolom agama di KTP mereka, namun saat mengakses layanan sosial dasar, instansi pemerintah lainnya tidak selalu mengizinkan kolom ini dikosongkan.
NGO dan kelompok advokasi keagamaan terus mendesak pemerintah untuk menghapus kolom agama di KTP. Para pengikut agama minoritas mengeluhkan kadang mereka mengalami diskriminasi setelah orang lain melihat identitas agama mereka di KTP. Para anggota komunitas Yahudi mengatakan mereka merasa tidak nyaman mencantumkan agamanya di depan umum dan kerap memilih mencantumkan Kristen atau Muslim sebagai agamanya, tergantung mana yang dominan di wilayah mereka tinggal, dengan alasan para warga setempat tidak memahami ajaran agama mereka.
Pada 8 Mei, Kemendagri dan Kemenkumham memberikan dukungan tertulis untuk menyertakan aliran kepercayaan lokal di kolom agama pada KTP dalam proses uji materi di Mahkamah Konstitusi. Komunitas penghayat kepercayaan mengadakan petisi kepada Mahkamah Konstitusi untuk mempertimbangkan legalitas dalam menyertakan penghayat kepercayaan di KTP. Hasilnya, pada 7 November Mahkamah Konstitusi mencabut dua pasal yang mewajibkan warga memilih antara mencantumkan salah satu agama yang diakui resmi atau mengosongkan kolom agama. Data dari LSM menunjukkan sekitar 42.000 pengikut dari sejumlah kepercayaan tradisional mendapat penolakan saat hendak membuat dokumentasi pencatatan sipil dasar seperti KTP, akta kelahiran, serta akta nikah, dan sekitar 80.000 orang tidak dapat mengakses layanan publik. Pada 17 November Kemendagri melaporkan bahwa mereka menerima 138.791 permintaan dari warga yang ingin menambahkan penghayat kepercayaan ke dalam KTP-nya setelah peraturan Mahkamah Konstitusi diberlakukan. Kemendagri menyatakan bahwa para penghayat kepercayaan adat berhak mendapat akses yang sama ke layanan dasar, tanpa memandang apa yang mereka cantumkan atau tidak cantumkan sebagai agama di KTP-nya, serta diskriminasi terhadap mereka berdasarkan kolom agama di KTP merupakan tindakan melanggar hukum.
Kelompok Muslim minoritas, termasuk Ahmadiyah dan Syiah, juga mengatakan mereka terus dipersulit saat hendak membuat KTP sebagai Muslim, yang secara tak langsung menutup akses bagi mereka ke layanan publik jika mereka tidak memiliki KTP. Kelompok Muslim minoritas, termasuk Ahmadiyah dan Syiah, juga mengatakan mereka terus mengalami diskriminasi dalam layanan publik, seperti saat hendak membuat akta nikah atau menerima askes, jika mereka memilih mengosongkan kolom agama di KTP-nya. Sejumlah aparat lokal dikabarkan tidak tahu bahwa seseorang diizinkan mengosongkan kolom agama, hingga mereka menolak menerbitkan KTP yang demikian.
Baik pemerintah pusat dan daerah menyertakan pejabat terpilih dan terlantik dari kelompok minoritas. Sebagai contoh, Gubernur Kalimantan Barat dan Wali Kota Solo adalah penganut Katolik, dan seorang tokoh Syiah yang seorang anggota DPR, dipilih dari sebuah distrik bermayoritas Sunni di Bandung, Jawa Barat. Per Desember, kabinet Presiden Joko Widodo yang beranggotakan 34 menteri memiliki lima menteri yang berasal dari kelompok kepercayaan minoritas.
Para pekerja keagamaan asing dari berbagai kelompok agama mengatakan relatif mudah bagi mereka untuk mendapatkan visa. Meski UU melarang aksi penyebaran agama, sejumlah kelompok agama asing mengatakan nyaris tidak ada campur tangan pemerintah saat mereka berkhotbah atau menyebarkan ajaran agamanya.
Polisi memberikan perlindungan khusus untuk sejumlah gereja di kota-kota besar saat ibadah Minggu dan perayaan hari besar Kristen.
Bab III. Status Penghormatan Masyarakat terhadap Kebebasan Beragama
Meski fatwa-fatwa MUI tidak memiliki dasar hukum, para “kelompok intoleran”, termasuk yang memobilisasi massa untuk menentang mantan Gubernur Jakarta Ahok, memanfaatkan fatwa MUI untuk membenarkan aksi menentang kaum minoritas agama serta kelompok rentan lainnya. Mereka yang berkaitan dengan MUI di tingkat daerah memanfaatkan retorika yang oleh kelompok minoritas dianggap intoleran, termasuk fatwa-fatwa yang menyatakan Syiah dan Ahmadiyah sebagai aliran sesat. Para pengikut Syiah dan Ahmadiyah mengatakan bahwa mereka terus menerima ancaman dari para “kelompok intoleran”. Retorika anti Syiah seringkali dijumpai di sejumlah outlet media online dan media sosial.
Para “kelompok intoleran” dituduh memanfaatkan agama untuk membenarkan aktivitas kriminal dan kekerasannya, mereka terus beraksi melawan kelompok-kelompok agama minoritas, termasuk intimidasi, pemerasan, pengrusakan, serta aksi protes yang mengakibatkan penutupan sejumlah rumah ibadah, seperti masjid Ahmadiyah di Depok, yang ditutup bulan Februari. Para “kelompok intoleran” dikabarkan menerima suap untuk kepentingan politik dan bisnis yang korup melalui protes dan aksi mereka.
Komnas HAM menyatakan adanya penurunan kasus kekerasan terkait agama, dengan 11 kasus yang terjadi antara Januari hingga Maret, dibandingkan 20 kasus yang terjadi di periode yang sama pada 2016.
Pada 11 Februari, sekitar 200.000 orang menghadiri pengajian massal di masjid nasional Jakarta yang dilaksanakan oleh anggota FPI serta kelompok lainnya yang mengajak warga Muslim untuk memilih calon Muslim, dan bukan Ahok, pada pemilihan gubernur Jakarta tanggal 14 Februari. Aksi protes dan pengajian massal pada November dan Desember 2016, yang dilakukan oleh FPI dan kelompok lainnya menuntut Ahok ditahan karena menista agama, aksi ini menyedot massa berjumlah antara 100.000 sampai 500.000 orang.
Tanggal 29 Juli, sebuah LSM yang berbasis di Jakarta menuntut penghancuran sebuah patung Guan Yu (panglima perang China yang dianggap dewa oleh sebagian orang) setinggi 30 meter di sebuah kelenteng Konghucu Kwan Sing Bio di Tuban, Jawa Timur. LSM tersebut mengkritik ukuran patung karena lebih besar dibandingkan patung Jenderal Sudirman (komandan militer yang dihormati) di Jakarta. Selain itu, media setempat memberitakan bahwa kelenteng tersebut tidak memiliki izin untuk mendirikan patung tersebut dari pemerintah setempat. Topik ini menyebar cepat di media sosial, patung tersebut dianggap sebagai anti Indonesia dan menyinggung Islam karena lokasinya di tempat kelahiran salah satu dari sembilan wali atau Walisongo, yang berjasa menyebarkan Islam di Jawa dan seantero negeri. Per Desember belum ada rencana merubuhkan patung tersebut, meski telah ditutupi kain selagi para petinggi kelenteng berupaya menghindari kontroversi lebih jauh.
Terus bermunculan laporan dari kaum agama minoritas di Bali yang menyatakan eratnya hubungan antara budaya tradisional Bali dengan ajaran Hindu menimbulkan masalah bagi warga yang ingin berpindah ke Kristen, Islam, atau agama lainnya. Para tokoh agama minoritas mengatakan para wanita Bali dapat mempertahankan hubungan dengan keluarga dan masyarakat setelah berpindah ke agama baru berdasarkan UU yang mengatur hak warisan dan perlindungan, namun faktanya UU ini cenderung diabaikan. Pria Bali yang berpindah agama seringkali dikucilkan dan kehilangan hak warisnya.
Banyak orang di media, organisasi sipil, serta populasi umum yang vokal dan aktif dalam melindungi dan mendukung toleransi dan pluralisme. Kelompok keagamaan dan organisasi terbesar dan paling berpengaruh, termasuk dua kelompok Islam terbesar di Indonesia – Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, dengan kisaran anggota masing-masing 30 hingga 40 juta orang, secara resmi mengakui dan mendukung toleransi, pluralisme, serta perlindungan bagi kaum minoritas. Sebagai contoh, NU mengadakan sebuah konferensi pada bulan November yang dihadiri oleh presiden dan wapres, dan menghasilkan rekomendasi untuk administrasi presiden tentang acara mencegah politisasi agama. Para kelompok keagamaan bekerjasama satu sama lain dan dengan organisasi lain untuk mengadakan konferensi dan acara antar agama, yang menyuarakan sikap saling menghormati dan toleransi, serta menentang tindak kekerasan. Para tokoh berbagai kelompok agama secara rutin mengadakan pertemuan antar agama bersama presiden guna menggalakkan toleransi dan pluralisme. International NGO Forum on Indonesian Development (INFID), Komnas HAM, serta Kantor Kepresidenan mengadakan sebuah konferensi di bulan Desember yang berfokus pada peran pemerintah setempat dalam mencegah intoleransi dan ekstremisme. NGO melaporkan adanya perpindahan agama dalam jumlah besar dari Kristen ke Islam dan Islam ke Kristen, terutama di pusat perkotaan dan provinsi Jawa Barat, meski banyak dari mereka yang berpindah agama mengalami diskriminasi.
Bab IV. Kebijakan dan Keterlibatan Pemerintah AS
Kedubes AS di Jakarta, Konsulat Jenderal di Surabaya, serta Konsulat di Medan secara rutin melibatkan diri dengan semua tingkat pemerintahan dalam upaya menangani masalah tertentu terkait kebebasan beragama, seperti aksi penentangan terhadap kaum agama minoritas; penutupan rumah ibadah; pemberian vonis atas tindak penistaan dan pencemaran agama; pengaruh dari “kelompok intoleran” yang tidak sepantasnya serta pentingnyasupremasi hukum; penerapan hukum syariah kepada non Muslim; persyaratan mencantumkan agama pada KTP; pentingnya pendidikan dan dialog antar agama dalam menyuarakan toleransi; perlindungan yang merata untuk semua warga tanpa memandang agamanya; serta penggalakan toleransi di forum-forum internasional. Selama kunjungan di bulan April, Wakil Presiden AS menemui para pejabat senior pemerintah, termasuk Presiden Widodo, dan menyampaikan dukungan untuk perlindungan merata bagi semua orang tanpa memandang agamanya. Wakil Presiden AS juga bertemu dengan para wakil dari enam agama yang diakui resmi guna mendiskusikan pentingnya menyuarakan kebebasan beragama, toleransi, pluralisme, serta perlindungan hak semua orang.
Duta Besar berkunjung ke Provinsi Aceh di bulan April dan membahas masalah kebebasan beragama dan toleransi bersama gubernur, wakil Walikota, kepala kepolisian provinsi, dan Wali Nanggroe, seorang tokoh budaya di Aceh.
Perwakilan kedubes, konsulat jenderal, dan konsulat secara terbuka membicarakan pentingnya toleransi beragama dan perlindungan terhadap kaum minoritas dari aksi kekerasan, termasuk Duta Besar yang berbicara di pesantren. Staf kedubes di segala tingkatan kerap menemui para tokoh agama, perwakilan organisasi sosial, serta aktivis HAM guna membahas toleransi beragama, menentang UU penistaan, serta mendukung rasa saling menghormati dalam beragama. Kedubes dan pejabat konsulat juga bertemu dengan para anggota kelompok agama minoritas yang menjadi korban dari aksi intoleransi agama, termasuk para pengikut Syiah dan Ahmadiyah, jemaat rumah gereja, serta anggota Gafatar.
U.S. – Indonesia Council on Religion and Pluralism secara rutin mengumpulkan para ahli, praktisi akademisi, serta tokoh agama dan sipil guna meningkatkan dialog, pluralisme, dan toleransi antar agama. Badan ini juga memfasilitasi ajang ceramah dan diskusi terbuka seputar isu kebebasan beragama. USINDO, sebuah organisasi nirlaba yang disahkan oleh pemerintah AS dan Indonesia, bekerja sama dengan para tokoh agama Indonesia dan AS untuk meluncurkan dewan non pemerintah di 2016.
Kedubes mengadakan sejumlah acara di lokasi yang disponsori pemerintah AS di seantero negeri yang secara langsung dan tak langsung mendukung kebebasan beragama. Sebagai contoh, kedubes mengadakan sebuah diskusi dengan para siswa SMU pada Hari Kebebasan Beragama di bulan Januari dan menekankan bahwa setiap individu memiliki peran dalam menyuarakan toleransi beragama.
Staf kedubes dan konsulat tampil di sejumlah program TV nasional guna membahas tema seputar toleransi dan keanekaragaman agama. Peserta sebelumnya dalam program pertukaran pelajar yang didanai pemerintah AS tampil mendampingi perwakilan kedubes dan konsulat guna memberi pandangan mereka tentang pengalamannya di AS termasuk perihal toleransi beragama. Staf kedubes dan konsulat juga memimpin diskusi dan memberi presentasi di berbagai tempat di seantero negeri, menyampaikan pentingnya keanekaragaman dan toleransi beragama kepada ribuan siswa di sejumlah SMU, pesantren, dan kampus. Secara kolektif, aktivitas-aktivitas penjangkauan ini membawa pesan toleransi dan kebebasan beragama kepada puluhan juta peserta.
Selama bulan Ramadhan, staf kedubes dan konsulat mengadakan sejumlah acara dan aktivitas penjangkauan di seantero negeri yang menyuarakan toleransi beragama. Acara Buka Puasa (Iftar) yang diadakan oleh kedubes menyuarakan toleransi dan pluralisme melalui ceramah dan diskusi yang menyertakan berbagai elemen masyarakat, seperti tokoh politik, perwakilan warga sipil, serta para pelajar. Konsulat Jenderal di Surabaya mengadakan sebuah acara bertema Islam di AS, yang dipimpin oleh seorang Pejabat Dinas Luar Negeri AS yang merupakan penganut Ahmadiyah, yang menyertakan ajang diskusi seputar hak-hak komunitas agama minoritas.
Staf kedubes dan konsulat melaksanakan upaya penjangkauan melalui media cetak, TV, dan digital yang menyeluruh, termasuk penampilan Duta Besar AS sebagai tamu di sebuah acara sinetron dengan rating tertinggi, dimana dia menyuarakan toleransi dan saling memahami dalam beragama; video ucapan selamat berpuasa dan Idul Fitri dari Duta Besar dan Konsulat jenderal; serta inisiatif pluralisme agama lainnya yang menjangkau jutaan masyarakat di seantero negeri. Kedubes terus berupaya menyuarakan kebebasan, keanekaragaman, serta pluralisme agama di platform media sosialnya, termasuk sebuah kolom pendidikan bahasa Inggris rutin berjudul “Miss Understanding”.
Kedubes, konsulat jenderal, serta konsulat mensponsori pertukaran akademisi dan profesional serta program sipil lainnya yang berfokus pada pluralisme dan toleransi beragama, termasuk program pendidikan bagi para calon pemimpin dan cendekiawan. Tiga proyek tersebut berfokus pada kehidupan umat Islam di AS di tingkat nasional, negara bagian, dan lokal; pendidikan agama dan hubungannya dengan berbagai institusi pemerintah dan swasta; serta kerja sama antar organisasi berbasis agama, organisasi sipil, serta entitas pemerintah. Tak jauh berbeda, Konsulat Jenderal di Surabaya juga mensponsori sebuah program bagi para profesor di salah satu universitas Islam terbesar untuk berkunjung ke AS guna mempelajari layanan sosial berbasis komunitas, bertemu dengan para ahli di tiap bidangnya, serta merasakan keanekaragaman dan toleransi beragama di Amerika.