Laporan Kebebasan Beragama Internasional 2018

Rangkuman Eksekutif

Konstitusi menjamin kebebasan beragama dan hak beribadah menurut kepercayaan masing-masing namun menyatakan bahwa rakyat harus menerima pembatasan yang diatur oleh hukum demi melindungi hak orang lain dan memenuhi “tuntutan keadilan berdasarkan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam masyarakat demokrasi.” Dalam insiden terpisah, empat orang menerima hukuman penjara antara 16 bulan hingga lima tahun karena melanggar Undang-undang penistaan agama. Di Medan, sebuah pengadilan menjatuhi hukuman 18 bulan penjara kepada seorang perempuan etnis Tionghoa karena dia memprotes volume speaker di masjid setempat. Di bulan Juli, Mahkamah Konstitusi (MK) menolak petisi yang diajukan oleh para anggota komunitas Muslim Ahmadiyah untuk menghapus Undang-undang penistaan agama. Di Aceh, aparat setempat terus melakukan hukuman cambuk atas pelanggaran hukum syariah seperti menjual minuman beralkohol, berjudi, dan berhubungan di luar nikah. Gubernur mengeluarkan arahan untuk menghapus hukuman cambuk di muka umum, karena banyak pihak dalam pemerintahan dan masyarakat yang keberatan dengan hukum tersebut. Aturan tersebut tetap berlaku, namun tidak ada daerah yang mengindahkannya, sebagian disebabkan karena sang gubernur ditangkap dan ditahan. Sebagian pemerintah daerah memberlakukan hukum dan peraturan daerah (perda) yang membatasi kebebasan beragama, contohnya peraturan daerah yang melarang praktek Islam Syiah atau Ahmadiyah. Para pengikut Muslim Ahmadiyah kembali melaporkan adanya upaya mengganti kepercayaan secara paksa dan diskriminasi terhadap mereka. Media dan organisasi HAM melaporkan di bulan Desember bahwa Kejaksaan Tinggi DKI meluncurkan sebuah aplikasi smartphone bernama Smart Pakem yang mengizinkan warga melaporkan tindak pencemaran atau penodaan agama dari kelompok-kelompok aliran kepercayaan yang dianggap pemerintah sebagai tidak resmi atau non-ortodoks. Kelompok aliran kepercayaan di luar enam agama yang diakui pemerintah (Katolik, Protestan, Hindu, Buddha, Konghucu, dan Islam, yang secara umum dianggap oleh pemerintah dan masyarakat sebagai Islam Sunni), melaporkan kesulitan dalam mengidentifikasi agamanya di KTP, meski putusan MK 2017 mengizinkan pencantuman tersebut. Kembali terjadi kasus di mana pemerintah daerah dan polisi tunduk  pada tuntutan kelompok, seperti Front Pembela Islam (FPI), Forum Umat Islam (FUI), Front Jihad Islam (FJI), dan Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), yang kerap disebut “kelompok intoleran” oleh media, untuk menutup rumah-rumah ibadah karena alasan melanggar izin atau tindakan lainnya yang membatasi hak-hak kelompok religius minoritas. Di bulan September terjadi aksi protes besar di Jambi, Sumatra, setelah aparat setempat menutup tiga gereja Kristen karena tidak memiliki izin. Baik pemerintah pusat maupun daerah memiliki pejabat-pejabat terpilih dan ditunjuk dari golongan agama minoritas, serta para politisi terpilih dari agama minoritas yang bertugas di wilayah mayoritas Muslim. Terdapat seorang penganut Syiah di badan legislatif nasional.

Di bulan Mei satu keluarga melakukan serangan bom bunuh diri di tiga gereja Kristen di Surabaya dengan jarak saling berdekatan, yang menewaskan 13 orang serta melukai 40 lainnya. Bulan Februari, seorang pria bersenjatakan parang menyerang sesi ibadah Katolik di Yogyakarta dan melukai empat orang, termasuk seorang pendeta katolik di sana. Selain itu, di bulan Mei sebuah kelompok menghancurkan sejumlah rumah dan mencoba mengusir kaum Ahmadiyah dari sebuah desa di Nusa Tenggara Barat. Pada bulan Maret, sekelompok orang tak dikenal merusak sebuah gereja Katolik di Sumatra. Banyak perwakilan masyarakat sipil terkemuka, termasuk organisasi agama dari semua aliran, berupaya memerangi intoleransi beragama dan menyuarakan pluralisme dan toleransi dengan kelompok agama minoritas.

Pemerintah AS mendukung kebebasan beragama pada tataran tertinggi, baik dengan pemerintah dan para pemimpin masyarakat sipil, serta secara terbuka menentang tindak diskriminasi dan kekerasan terhadap kelompok agama minoritas. Koordinator Antiterorisme Departemen Luar Negeri AS berkunjung ke Jakarta di bulan September dan menemui para pimpinan agama setempat guna membahas upaya memerangi tindak kekerasan terhadap kelompok beragama di Indonesia. Para pejabat kedubes dan konsulat melibatkan aparat pemerintah dalam menangani isu-isu tertentu, termasuk aksi-aksi terhadap agama minoritas; penutupan tempat-tempat ibadah dan akses bagi organisasi keagamaan asing; hukuman atas tindak penistaan  dan pencemaran agama; pentingnya toleransi dan aturan hukum; penerapan hukum syariah terhadap  non-Muslim, serta syarat mencantumkan agama dalam KTP. U.S.-Indonesia Council on Religion and Pluralism  – yang diakui oleh pemerintah Indonesia dan AS yang terdiri dari  berbagai pimpinan masyarakat sipil dan agama, tokoh akademik, serta pakar dari kedua negara – bertemu dengan pejabat pemerintah AS guna membahas isu-isu kebebasan beragama. Kedubes dan konsulat membawa pesan untuk menghormati keragaman dan toleransi beragama kepada puluhan juta orang di Indonesia melalui program penyuluhan, termasuk even, wawancara media, inisiatif media sosial, acara-acara public dan secara  digital , pertukaran kaum muda , serta program edukasi.

Bab I. Demografi Agama

Pemerintah AS memperkirakan total populasi penduduk Indonesia di angka 262,8 juta (estimasi per Juli 2018). Berdasarkan sensus 2010, sekitar 87 persen populasi beragama Islam, 7 persen Protestan, 3 persen Katolik, dan 1,5 persen Hindu. Kelompok agama lainnya, seperti Buddha, kepercayaan adat tradisional, Konghucu, serta aliran Kristen lainnya, dan mereka yang tidak menjawab pertanyaan sensus  sekitar 1,3 persen dari populasi.

Populasi Muslim nyaris seluruhnya adalah Sunni. Diperkirakan satu sampai tiga juta umat Muslim menganut paham Syiah. Terdapat sejumlah kelompok Muslim minoritas, estimasi jumlah total Muslim Ahmadiyah berada di kisaran 200.000 sampai 400.000 jiwa.

Banyak kelompok agama yang memasukkan elemen ajaran Islam, Hindu, dan Buddha, menjadikannya sulit untuk menentukan jumlah persis pengikutnya. Sekitar 20 juta orang, terutama di pulau Jawa, Kalimantan, dan Papua, menganut berbagai sistem kepercayaan tradisional, yang secara kolektif kerap disebut sebagai aliran kepercayaan. Terdapat sekitar 400 kelompok aliran kepercayaan di seantero negeri ini.

Populasi Sikh diperkirakan berjumlah antara 10.000 hingga 15.000 jiwa, 5.000 di Medan dan sisanya di Jakarta. Ada kelompok agama Yahudi yang sangat kecil di Jakarta, Manado, Jayapura, dan tempat lainnya. Kelompok aliran Baha’i dan Falun Dafa (atau Falun Gong) melaporkan bahwa mereka memiliki ribuan anggota, namun estimasi independen tidak tersedia. Jumlah ateis juga tidak diketahui, tetapi kelompok Indonesian Atheists menyatakan bahwa mereka memiliki lebih dari 700 anggota.

Provinsi Bali didominasi oleh umat Hindu, dan provinsi Papua, Papua Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Sulawesi Utara didominasi oleh umat Kristen.

Bab II. Status Penghormatan Pemerintah terhadap Kebebasan Beragama

KERANGKA HUKUM

Konstitusi menjamin hak beribadah sesuai agama yang dipilih dan menyatakan bahwa kebebasan beragama merupakan hak asasi manusia yang tidak boleh dibatasi. Konstitusi menyatakan, “negara berdasarkan pada kepercayaan terhadap Tuhan YME,” tetapi menjamin hak setiap masyarakat untuk beribadah sesuai agama dan kepercayaannya masing-masing. Hukum melarang rakyat menjalankan hak-hak ini dengan cara yang melanggar hak orang lain, melanggar standar moral dan nilai-nilai agama umum, atau membahayakan keamanan atau ketertiban umum.

Kementerian Agama menambah daftar agama yang diakui menjadi enam agama: Islam, Katolik, Protestan, Buddha, Hindu, dan Konghucu. Pemerintah mempertahankan ideologi yang mengakui Sunni sebagai versi resmi dari Islam yang dianut, meski konstitusi tidak mencatumkan hal tersebut.

Pasal penodaan agama dalam KUHP melarang pernyataan publik atau aktivitas secara sengaja yang menghina atau mencemarkan salah satu dari enam agama yang diakui, atau mengandung maksud untuk mencegah seseorang menjalankan ajaran dari agama yang diakui. Pasal-pasal ini juga mencantumkan  bahwa dalam semua kasus pencemaran agama yang diakui, Kemendagri, Kementerian Agama, dan Kejaksaan Agung wajib terlebih dulu memperingatkan individu terkait sebelum menjatuhkan tuntutan pencemaran. Pasal ini juga melarang penyebaran informasi yang dirancang untuk menyebarkan kebencian atau pertikaian antara individu dan/atau kelompok komunitas tertentu berdasarkan etnis, agama, atau ras. Seseorang dapat dituntut atas pernyataan penistaan, ateisme, atau aliran sesat baik berdasarkan aturan ini atau hukum yang melarang upaya pencemaran, dan dapat diancam hukuman maksimal lima tahun penjara. Hukum lainnya melarang penyebarluasan jenis informasi yang sama melalui media elektronik, dan pelanggar dapat dijatuhi hukuman maksimal empat tahun penjara.

Pemerintah menjabarkan agama sebagai kepercayaan yang memiliki nabi, kitab suci, dan tuhan, selain juga pengakuan internasional. Pemerintah menganggap enam agama yang diakui telah memenuhi persyaratan tersebut. Organisasi yang mewakili satu dari enam agama yang diakui yang tercantum dalam Undang-undang penistaan agama tidak diwajibkan memiliki piagam hukum jika mereka berdiri di bawah akta notaris dan memperoleh izin dari Kemenhunkam. Organisasi agama di luar dari enam agama yang diakui dan tercantum dalam Undang-undang penistaan agama wajib memiliki landasan hukum sebagai organisasi masyarakat sipil dari Kemendagri. Kedua kementerian berkonsultasi dengan Kementerian Agama sebelum memberikan status badan hukum kepada organisasi agama. Berdasarkan hukum, semua kelompok agama wajib mendaftarkan diri secara resmi kepada pemerintah. Hukum mewajibkan semua organisasi masyarakat sipil menjunjung  Pancasila sebagai ideologi nasional, yang mencakup prinsip kepercayaan terhadap Tuhan YME, keadilan, persatuan, demokrasi, dan keadilan sosial, dan mereka dilarang melakukan tindak penodaan atau penyebaran kebencian terhadap agama tertentu. Pelanggaran dapat mengakibatkan kehilangan status hukum, pembubaran organisasi, serta penahanan anggota berdasarkan pasal penistaan agama dalam KUHP atau hukum lainnya yang berlaku. Kelompok agama adat harus mendaftarkan diri ke Kemendikbud sebagai aliran kepercayaan guna memperoleh status hukum yang resmi.

Keputusan bersama kementerian melarang aksi dakwah dari komunitas Muslim Ahmadiyah dan aksi main hakim sendiri terhadap kelompok ini. Pelanggaran atas larangan aksi dakwah Ahmadiyah dapat diancam hukuman maksimal lima tahun penjara atas tuduhan penistaan.

Pemerintah mewajibkan semua kelompok agama yang diakui untuk patuh terhadap arahan dari Kementerian Agama dan kementerian lainnya terkait isu seperti pembangunan rumah ibadah, bantuan asing untuk institusi keagamaan dalam negeri, serta penyebaran agama.

Menurut keputusan bersama kementerian, kelompok agama tidak diizinkan mengadakan sesi ibadah di tempat tinggal pribadi, dan mereka yang ingin membangun rumah ibadah wajib memperoleh tanda tangan dari sedikitnya 90 anggota kelompoknya dan 60 orang dari kelompok agama lain dalam komunitas yang menyatakan bahwa mereka mendukung upaya pembangunan tersebut. Pemda bertugas menerapkan keputusan tersebut, dan peraturan daerah, implementasi, serta upaya penegakannya sangat bervariasi. Keputusan tersebut juga memerlukan persetujuan dari dewan antar agama setempat, yaitu Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB). FKUB yang didirikan oleh pemerintah ini terdapat di tingkat kota atau kabupaten dan terdiri atas para pimpinan agama dari enam agama resmi. Mereka bertanggung jawab dalam memediasi konflik antar agama.

Hukum mewajibkan pelajaran agama di sekolah negeri. Para siswa berhak meminta pelajaran agama dari salah satu dari enam agama yang diakui, namun gurunya tidak selalu tersedia untuk mengajar kelas yang diminta. Siswa tidak diperbolehkan menghindari kelas pendidikan agama.

Berdasarkan perjanjian kesepakatan damai tahun 2005 yang mengakhiri konflik separatis, provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) ini memiliki hak istimewa untuk menerapkan hukum syariah. Undang-undang mengizinkan penerapan di tingkat provinsi dan peraturan berbasis syariah dan memperluas yurisdiksi pengadilan agama ke transaksi ekonomi dan kasus kriminal. Pemerintah Aceh menyatakan hukum Syariah di Aceh hanya berlaku pada warga Muslim yang tinggal di provinsi tersebut. Namun sejumlah pejabat Dinas Syariat Islam menyatakan bahwa hukum syariah berlaku ke semua umat Muslim di Aceh, tanpa memandang status kependudukan resmi mereka. Hukum syariah tidak berlaku bagi warga non-Muslim.

Hukum syariah provinsi Aceh mengkriminalisasi aktivitas seks sesama jenis perzinahan, judi, konsumsi alkohol, dan bermesraan dengan lawan jenis di luar pernikahan bagi warga Muslim di provinsi tersebut. Sebuah peraturan gubernur Aceh melarang perempuan bekerja di atau mengunjungi restoran tanpa didampingi oleh pasangan atau kerabat prianya di atas pukul 9 malam. Peraturan walikota Banda Aceh melarang perempuan bekerja di kedai kopi, warung internet, atau sasana olahraga di atas pukul 1 siang. Peraturan syariah melarang warga Muslim perempuan di Aceh mengenakan celana ketat di tempat umum, dan mereka wajib memakai hijab. Salah satu kabupaten di Aceh melarang perempuan duduk mengangkang saat naik sepeda motor sebagai penumpang, namun kabarnya peraturan ini jarang diterapkan. Hukuman maksimal atas pelanggaran syariah antara lain hukuman penjara dan cambuk. Terdapat peraturan yang membatasi tingkat kekuatan yang digunakan petugas saat melaksanakan pukulan cambuk.

Banyak pemerintah daerah di luar Aceh telah memberlakukan peraturan berdasarkan pertimbangan agama; sebagian besarnya terdapat di area mayoritas berpenduduk Muslim. Banyak dari peraturan ini yang mengatur masalah seperti pendidikan agama dan hanya berlaku pada kelompok agama tertentu. Sejumlah peraturan daerah yang berdasarkan agama berlaku pada semua warga. Sebagai contoh, sejumlah peraturan daerah mewajibkan restoran untuk tutup selama jam puasa, melarang minuman beralkohol, atau mewajibkan pemberian zakat (sedekah dalam Islam). Peraturan daerah lainnya melarang atau membatasi aktivitas agama kaum minoritas, terutama Muslim Syiah dan Ahmadiyah.

Undang-undang perkawinan tidak secara eksplisit melarang perkawinan beda agama, namun mengandung pasal yang menyatakan bahwa kedua pihak harus melaksanakan upacara pernikahan sesuai ritual agama yang dianut oleh kedua pengantin. Pria dan wanita yang berbeda agama dan ingin menikah mungkin kesulitan mencari tokoh agama yang bersedia memimpin upacara pernikahannya. Sejumlah pasangan yang berbeda agama memilih agama yang sama di KTP mereka agar dapat menikah secara resmi.

Hukum mengizinkan pria Muslim memiliki hingga empat orang istri, dengan syarat dia mampu menafkahi keempatnya secara adil. Agar seseorang dapat memiliki istri kedua, ketiga, atau keempat, dia wajib memperoleh izin dari pengadilan dan persetujuan dari istri pertama. Namun syarat-syarat ini tidak selalu diterapkan.

Peraturan pemerintah mewajibkan aparat sipil  negara  Muslim menerima izin dari pejabat pemerintah dan istri pertamanya sebelum dapat menikahi istri kedua, ketiga, atau keempat, dan melarang pegawai negeri wanita menjadi istri kedua, ketiga, atau keempat.

Undang-undang  mewajibkan pemimpin  kelompok aliran kepercayaan untuk menunjukkan  anggota kelompok yang tinggal sedikitnya di  tiga kabupaten, yang berada setingkat di bawah provinsi, sebelum sang pemimpin tersebut dapat memimpin upacara pernikahan secara sah.   Persyaratan  ini secara efektif mempersulit penganut kepercayaan minoritas yang jumlah anggotanya terbatas untuk menerima jasa pernikahan resmi dari anggota kepercayaannya, meski kelompok minoritas dapat saling bekerja sama dan memfasilitasi pernikahan oleh anggota kepercayaan dengan tradisi dan ritual yang serupa.

Berdasarkan putusan MK tahun 2017, warga diizinkan memilih aliran kepercayaan adat sebagai pilihan di KTP. Sebelumnya, mereka hanya diizinkan memilih satu dari enam agama yang diakui atau mengosongkan kolomnya saat membuat KTP.

Keputusan bersama kementerian mewajibkan organisasi agama dalam negeri  memperoleh izin dari Kementerian Agama agar dapat menerima bantuan dana dari donor asing dan melarang penyebarluasan literatur dan pamflet religius kepada penganut agama lain serta berkunjung dari rumah ke rumah dengan tujuan mengganti kepercayaan penganut agama lain.

Pekerja keagamaan   asing wajib memiliki visa pekerja keagmaan, dan organisasi keagamaan  asing wajib memperoleh izin dari Kementerian Agama untuk dapat memberi bantuan dalam jenis apa pun (dalam bentuk barang, personel, atau finansial) kepada kelompok agama setempat.

Negara ini adalah anggota Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik.

PRAKTEK PEMERINTAH

Tanggal 13 Mei, satu keluarga melakukan aksi bom bunuh diri di tiga gereja Kristen di Surabaya yang jaraknya saling berdekatan. Orangtua memakaikan bom pada putri mereka, yang masing-masing berusia enam dan delapan tahun, serta putra mereka yang berusia remaja. Ledakannya membunuh 13 orang dan melukai 40 lainnya. Presiden Joko Widodo memerintahkan Polri untuk mengusut aksi penyerangan ini dan mengidentifikasi serta mengadili pihak yang bertanggung jawab.

Polisi dan jaksa menyampaikan mereka menggunakan Undang-undang anti terorisme yang baru direvisi untuk menahan lebih dari 350 anggota organisasi yang mendukung aksi kekerasan terhadap penganut kepercayaan minoritas. Pihak otoritas  telah melakukan penuntutan terhadap  sekitar 150 orang untuk  kasus-kasus ini. Di bulan Agustus  pengadilan manyatakan  kelompok militan Jemaah Ansharut Daulah sebagai organisasi terlarang berdasarkan Undang-undang yang telah diamendemen.

Pemerintah dan petugas syariah menyatakan warga Aceh non-Muslim dapat memilih hukuman berdasarkan syariah atau prosedur pengadilan sipil, namun warga Muslim di Aceh wajib menerima hukuman sesuai syariah. Sejumlah warga non-Muslim di Aceh memilih menjalani hukuman syariah, kabarnya karena hukumannya yang lebih ringan dan guna menghindari proses pengadilan yang panjang dan risiko hukuman penjara.

Di bulan Januari, seorang pria beragama Kristen dikabarkan memilih dihukum secara syariah, dan menerima 36 cambukan atas tindakan menjual minuman alkohol, sebuah tindakan yang terlarang menurut hukum syariah. Bulan Februari, dua warga Kristen di Provinsi Aceh menerima enam cambukan karena kedapatan berjudi. Ketiga hukuman cambuk tersebut dilakukan di luar masjid setelah ibadah salat Jumat dan disaksikan oleh banyak orang.

Di bulan September, pemerintah daerah  Aceh secara  melaksanakan hukuman cambuk di muka umum pada seorang pria dan wanita di Banda Aceh karena menjalin hubungan di luar nikah. Pasangan tersebut menerima hukuman 28 cambukan, tetapi empat cambukan ditangguhkan karena mereka sudah menjalani hukuman penjara selama empat bulan. Di Aceh, pada bulan April pemerintah setempat menerapkan peraturan baru yang melarang warga merekam prosesi hukuman cambuk dan hanya mengizinkannya disaksikan secara tertutup oleh jurnalis dan orang dewasa di dalam penjara. Karena sang gubernur kemudian ditangkap dan ditahan, tidak ada kabupaten  yang menerapkan peraturan ini, meski pun tetap berlaku. Menutup proses hukuman cambuk dari tontonan umum menimbulkan kontroversi di antara para administrasi regional dan pembuat uu provinsi serta memicu protes keberatan oleh komunitas Dayah yang berpengaruh. Dayah adalah sekolah madrasah Islam tradisional yang mempelajari Al-Quran, Hadis, serta kitab-kitab teks Islam lainnya.

Di bulan Desember, media dan organisasi HAM melaporkan bahwa pemerintah merilis aplikasi smartphone bernama Smart Pakem yang mengizinkan warga melaporkan tindak pencemaran atau penodaan agama dari kelompok-kelompok aliran kepercayaan yang dianggap pemerintah sebagai tidak resmi atau non-ortodoks. Kejaksaan Tinggi DKI meluncurkan aplikasi tersebut, yang dinyatakan bertujuan untuk mempermudah sistem pelaporan aksi pencemaran dan penistaan. Menurut Nirwan Nawawi, juru bicara Kejaksaan Tinggi DKI, “Tujuan aplikasi ini adalah memberi akses lebih mudah ke informasi seputar penyebarluasan aliran kepercayaan di Indonesia, mengedukasi masyarakat, serta mencegah mereka mengikuti doktrin dari seseorang atau kelompok yang bertentangan dengan peraturan.” Berbagai organisasi HAM mengkritik aplikasi tersebut, dengan alasan berpeluang merusak toleransi dan kebebasan beragama di Indonesia. Menurut Human Rights Watch, aplikasi ini mengidentifikasi sejumlah aliran agama dan para pimpinannya (termasuk Ahmadiyah, Syiah, dan Gafatar), menjabarkan “ajaran sesat” nya, serta mencantumkan alamat kantor lokal mereka. Di bulan Agustus, Human Rights Watch melaporkan bahwa pemerintah telah mengadili sedikitnya 22 orang atas tuduhan penistaan sejak awal mula pemerintahan Jokowi di 2014.

Tanggal 24 Agustus, sebuah pengadilan di Medan menjatuhi hukuman 18 bulan penjara kepada  Meiliana (nama tunggal), seorang wanita etnis Tionghoa beragama Buddha, atas tuduhan penistaan terhadap Islam. Di tahun 2016 dikabarkan dia secara pribadi meminta putri penjaga masjid untuk mengecilkan volume speaker masjid. Pers menulis bahwa menurut kabar burung, dia menuntut pihak masjid di tempat tinggalnya di Tanjung Balai untuk menghentikan pengajian. Berita ini menimbulkan aksi kericuhan, di mana para warga Muslim lokal merampok dan menghancurkan kuil Buddha di sedikitnya 14 tempat. Organisasi HAM dan sejumlah organisasi Muslim di seluruh negeri mengkritik upaya pengadilan atas kasus ini dan beratnya vonis yang diberikan, termasuk Wapres Jusuf Kalla. Pemerintah pusat menerbitkan peraturan yang membatasi volume speaker masjid tak lama setelah vonis tersebut keluar. Pengadilan banding di tingkat lebih tinggi pada bulan Oktober melaksanakan hukuman tersebut, dan pengacara Meiliana berkata bahwa dia berencana mengajukan banding ke Mahkamah Agung (MA). Menurut laporan berita, umat Muslim yang menyerang tempat usaha milik etnis Tionghoa dan kuil Buddha di Tanjung Balai yang didasari kemarahan atas aksi Meiliana dijatuhi hukuman maksimal dua tahun penjara.

Tanggal 26 September, Pengadilan Negeri Medan di Sumatra Utara   menghukuman petugas kepolisian  16 bulan penjara  karena aksi merobek dan membuang Al-Quran ke parit. Pengadilan memvonis anggota kepolisian bernama  Tommy Daniel Patar Hutabarat itu bersalah karena telah menista agama.

Pada 30 April, Pengadilan Negeri Pandeglang di Banten, mengganjar  Alnoldy Bahari dengan hukuman lima tahun penjara serta  denda 100 juta rupiah atas vonis penyebaran ujaran kebencian. Pengadilan menjatuhinya hukuman  setelah dia mengatakan di Facebook bahwa mereka yang belum pernah melihat Tuhan adalah Muslim “palsu”. Tanggal 7 Mei, Pengadilan Negeri Tangerang di Banten mengganjar  Abraham Ben Moses, yang juga dikenal dengan nama Saifuddin Ibrahim, 52, dengan hukuman empat tahun penjara atas tindakan pencemaran agama setelah sebuah video yang menayangkan aksinya menyebarkan ajaran Kristen pada pengemudi taksi dan membahas ajaran Nabi Muhammad perihal perkawinan, dan menyatakan bahwa tindakan Muhammad tidak konsisten dengan ajarannya. Pengadilan juga memerintahkan Moses, yang mengaku sebagai pendeta, membayar denda sebesar 50 juta rupiah atau menghabiskan satu bulan di penjara. Pengadilan menyimpulkan dia secara sengaja menyebarkan informasi melalui elektronik dengan tujuan memicu kebencian terhadap individu, kelompok, dan masyarakat berdasarkan agama.

Pada 25 Juli, seorang pelajar Kristen berusia 21 tahun dari Sumatra Utara menerima hukuman empat tahun penjara atas postingan Facebook yang menyamakan Nabi Muhammad dengan seekor babi. Pengacaranya mengatakan pelajar tersebut tidak menentang vonis yang diberikan karena takut dengan intimidasi dari anggota kelompok Muslim yang melaporkannya. Sang pengacara juga mengatakan proses pengadilan kliennya “penuh dengan intimidasi” dan berkata bahwa sang terdakwa menjadi target serangan verbal dari anggota FPI di luar ruang pengadilan.

Tanggal 23 Juli, MK menolak petisi yang diajukan oleh anggota penganut Ahmadiyah untuk menghapus pasal penistaan agama dalam KUHP. Kasus ini menandai kegagalan ketiga kalinya dari upaya menghapus pasal penistaan sejak 2010.

Di bulan November Grace Natalie, seorang etnis Tionghoa anggota Partai Solidaritas Indonesia (PSI) beragama Kristen, menyatakan bahwa partainya tidak mendukung peraturan daerah berdasarkan “Alkitab atau syariah” yang diskriminatif dan mendukung dihentikannya aksi penutupan tempat ibadah secara paksa. Eggi Sudjana, seorang anggota Partai Amanat Nasional (PAN) yang merupakan partai lawan PSI, melaporkan komentar tersebut dengan tuduhan penistaan agama. Polisi melakukan panggilan untuk Grace untuk menjalani interogasi selama tujuh jam. Hingga akhir tahun, aparat belum mengajukan tuntutan.

Aparat belum memberi tuntutan pada Muslim Ahmadiyah dengan tuduhan penistaan hingga akhir tahun, namun menurut sumber dari pihak Ahmadiyah, peraturan provinsi dan daerah yang berlandaskan pasal ini menimbulkan batasan yang lebih ketat terhadap kaum Ahmadiyah dibandingkan enam agama yang diakui resmi.

Kementerian Agama mempertahankan wewenangnya baik di tingkat nasional dan daerah untuk mengadakan upaya “pengembangan” bagi kelompok dan penganut agama, termasuk upaya untuk mengubah kepercayaah  kelompok minoritas menjadi Islam Sunni. Di sejumlah daerah di Jawa Barat, pemerintah daerah terus berupaya memaksakan atau menggalakkan pengubahan kepercayaan  terhadap penganut Ahmadiyah dengan persyaratan bahwa mereka menandatangani dokumen yang menyatakan mereka meninggalkan kepercayaannya agar dapat mendaftarkan pernikahan atau mengikuti ibadah haji. Menurut warga Ahmadiyah di Cianjur dan Cirebon, kantor Kementerian Agama setempat mewajibkan mereka menandatangani dokumen yang menyatakan bahwa mereka meninggalkan ajaran Ahmadiyah. Praktek ini terus berlanjut sejak 2014.

Setara Institute, LSM yang melakukan aksi dukungan dan penelitian seputar kebebasan beragama dan politik, kembali melaporkan bahwa pemerintah pusat melakukan upaya untuk menegaskan kembali peraturan konstitusional untuk kebebasan beragama, meningkatkan toleransi, dan mencegah kekerasan dengan motif agama. LSM ini juga melaporkan bahwa pemerintah pusat cenderung pasif dalam upaya intervensi di tingkat daerah atau menangani konflik agama terdahulu melalui mandatnya yang memperkuat putusan pengadilan, mengambil alih peraturan daerah yang bersifat inkonstitusional, atau menegakkan perlindungan konstitusional dan hukum bagi kelompok minoritas. Institut ini mencatat bahwa pemerintah daerah secara selektif memberlakukan Undang-undang penistaan, peraturan seputar perizinan, dan peraturan daerah lainnya yang dapat memengaruhi sejumlah kelompok minoritas.

Menurut kelompok agama dan LSM, pejabat pemerintah dan polisi kadang gagal mencegah “kelompok intoleran” melanggar kebebasan beragama kelompok lain dan melakukan aksi intimidasi lain, seperti merusak atau menghancurkan rumah dan tempat ibadah. Kelompok ini antara lain FPI, FUI, FJI, dan MMI. Polisi tidak selalu aktif menginvestigasi dan mengadili aksi kejahatan yang dilakukan para anggota kelompok-kelompok ini. Sepanjang tahun ini, polisi kembali bekerja sama dengan para aktivis HAM dan LSM untuk memberi sesi pelatihan seputar toleransi kepada para pemimpin agama dan polisi setempat.

Setara Institute melaporkan terdapat 40 kasus pelanggaran kebebasan beragama oleh pemerintah antara Januari hingga Juni, dibandingkan 24 kasus di 11 bulan pertama di 2017. Pelanggaran yang dimaksud antara lain upaya diskriminasi, intoleransi, dan aturan yang melarang  memakaihijab di sekolah-sekolah negeri. Setara mengaitkan peningkatan angka ini dengan tiga faktor: manipulasi sentimen agama di masyarakat oleh para politisi dan aktor sosial lainnya dalam periode sebelum pemilu 2019; meningkatnya peran kelompok masyarakat yang memicu aksi intoleran, dan meningkatnya penggunaan media sosial untuk menyebarkan pesan diskriminatif.

Lebih dari 338 warga Syiah dari Madura masih mengungsi di pinggiran kota Surabaya, Jawa Timur, setelah aksi kejahatan komunal yang memaksa mereka meninggalkan rumahnya di tahun 2012. Sekitar 200 Muslim Ahmadiyah masih mengungsi di sejumlah apartemen di Mataram, ibukota Nusa Tenggara Barat, setelah sekelompok orang mengusir mereka dari desanya di Lombok tahun 2006.

Di seluruh negeri ini, kelompok agama minoritas, termasuk kaum Muslim di area dengan mayoritas non-Muslim, terus mengeluhkan syarat resmi yang meminta pendukung dalam jumlah tertentu sebagai penghalang untuk dapat membangun atau merenovasi rumah ibadah. Pemerintah tidak mengeluarkan izin saat mereka berhasil memperoleh angka yang diminta atau saat pihak yang menolak  mengancam warga setempat untuk tidak memberikan persetujuan. Di banyak kasus, segelintir oposisi yang vokal dari kelompok mayoritas dikabarkan cukup untuk menghentikan upaya pemberian izin pembangunan. Dikabarkan para pemimpin agama resmi dalam forum antar agama yang didukung pemerintah menemukan cara untuk memblokir upaya kelompok aliran kepercayaan untuk membangun tempat ibadahnya, umumnya melalui sederet persyaratan yang berbelit-belit. Para pengikut aliran kepercayaan mengatakan mereka takut dicap sebagai ateis jika mereka menentang praktisi ini di pengadilan. Para tokoh Kristen melaporkan bahwa petugas setempat menangguhkan penerbitan izin hingga waktu yang tak ditentukan untuk membangun gereja baru karena mereka khawatir upaya pembangunan tersebut dapat menimbulkan aksi protes. Para pengikut Muslim Ahmadiyah dan Syiah serta Kristen mengatakan mereka juga menghadapi masalah dalam memperoleh izin pindah ke tempat sementara selagi tempat ibadahnya direnovasi.

Pemda, polisi, dan organisasi keagamaan dikabarkan berupaya menutup tempat-tempat ibadah kelompok minoritas dengan alasan melanggar izin, seringkali setelah terjadi protes dari “kelompok intoleran”, bahkan meski kelompok minoritas ini memiliki izin yang sah. Banyak perkumpulan kebaktian jemaat tidak mampu memperoleh jumlah tanda tangan dari non anggota yang mendukung upaya pembangunan tempat ibadah dan kerap menerima protes dari “kelompok intoleran” selama proses pengajuan, menjadikannya nyaris mustahil untuk mendapatkan izin. Bahkan meski pemerintah telah memberikan izin, mereka menutup atau dipaksa menghentikan pembangunan  sejumlah tempat ibadah setelah menerima tuntutan hukum dan protes dari masyarakat. Gereja Kristen dan Katolik juga melaporkan bahwa “kelompok intoleran” memaksa mereka membayar uang keamanan agar dapat terus beroperasi tanpa izin. Sejumlah tempat ibadah yang berdiri sebelum diberlakukannya keputusan kementerian bersama perihal pembangunan tempat ibadah dikabarkan tetap diwajibkan memenuhi syarat tersebut jika tidak ingin ditutup. Banyak tempat ibadah beroperasi tanpa izin di gedung kantor, mal, rumah pribadi, dan ruko.

Tanggal 29 September, otoritas  setempat di Jambi menutup tiga gereja: Gereja Methodist Indonesia, Huria Kristen Indonesia, dan gereja Sidang Jemaat Allah. Menurut Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia, sejumlah kelompok Muslim seperti FPI pernah mengirimkan surat ke walikota berisi pernyataan yang mengeluhkan keberadaan gereja yang telah memicu kegelisahan  dalam masyarakat. Ini berujung pada sebuah pertemuan dengan para pejabat kota dan FPI, MUI, FKUB, dan Lembaga Adat Melayu; namun tidak terdapat perwakilan dari gereja terkait. Beberapa hari setelahnya, agen pemerintah, polisi, dan cabang setempat MUI dan KUB memutuskan untuk menutup gereja tersebut, dengan dalih “masalah administratif”. Keputusan tersebut memicu aksi protes dari ratusan jemaat gereja. Tokoh gereja mengatakan mereka telah berupaya memperoleh izin yang sah dari pemerintah  kota sejak 2003, namun pemkot belum memberikannya akibat kurangnya dukungan dari tokoh dan masyarakat setempat. Jubir kota Jambi, Abu Bakar, mengatakan bahwa gereja tersebut dapat dibuka kembali setelah memperoleh izin. Pejabat Jambi lainnya mencatat bahwa sebanyak 70 gereja di sana belum memiliki izin menidirkan bangunan.

Persekutuan Gereja di Jayapura, Papua, sebuah provinsi dengan mayoritas Kristen, secara terbuka menentang upaya pembangunan masjid setempat setelah adanya tekanan dari komunitas Kristen di sana. Kelompok tersebut mengatakan menara masjid tersebut akan melebihi tinggi gereja dan gedung di sekitarnya dan mempertanyakan status izin bangunannya. Insiden tersebut memicu debat sengit antara kelompok Kristen dan Muslim, yang berujung pada pembentukan tim mediasi oleh pemerintah guna menangani pertikaian antara kedua pihak, yang utamanya terjadi antara etnis Papua, yang mayoritas beragama Kristen, dengan para pendatang dari daerah lain, yang umumnya beragama Muslim. Di bulan April, tim mediasi antar agama sepakat untuk menentukan batas ketinggian menara yang dapat diterima oleh kedua pihak, mengadakan dialog antar agama, serta menegaskan kembali kebijakan pemerintah daerah untuk mengizinkan umat membangun tempat ibadahnya di area tersebut.

Proses pembangunan Gereja Katolik Santa Clara di Bekasi, Jawa Barat, dilanjutkan kembali. Di bulan Desember, polisi dikabarkan mengirim personelnya untuk menjaga gereja, yang menjadi sebagai salah satu lokasi perayaan Natal di wilayah tersebut. Jemaat telah menunggu keluarnya izin pembangunan selama lebih dari 15 tahun sebelum akhirnya menerimanya di tahun 2015, dan “kelompok intoleran” secara berkala menarget lokasi pembangunan untuk melakukan aksi protes. Setelah aksi protes 2017, walikota Bekasi menjamin upaya pembangunan gereja dapat diselesaikan pada Desember 2017, namun hingga akhir September upaya pembangunan tersebut masih belum selesai.

Para penganut aliran kepercayaan terus melaporkan bahwa para guru memaksa mereka memasukkan anak mereka ke kelas pendidikan agama yang termasuk dalam agama yang diakui. Penganut agama minoritas yang tidak termasuk dalam enam agama yang diakui mengatakan pihak sekolah kerap mengizinkan anak mereka melewati waktu pelajaran di perpustakaan, namun pihak sekolah mewajibkan orangtua menandatangani dokumen yang menyatakan anak mereka telah menerima pendidikan agama. Para siswa pengikut Ahmadiyah melaporkan bahwa pelajaran agama untuk Islam hanya berfokus pada ajaran Sunni. Seorang pengikut kepercayaan adat dari Cirebon (Sunda Wiwitan) mengatakan bahwa guru di sekolahnya meminta siswa memilih pendidikan formal untuk salah satu agama yang diakui. Sebagian besar siswa memilih agama Islam.

Pegawai negeri yang secara terbuka mengaku sebagai penganut kepercayaan adat terus mengeluhkan sulitnya mendapatkan promosi jabatan.

Meski pemerintah secara umum mengizinkan masyarakat mengosongkan kolom agama di KTP, sebagian orang terus mengalami kesulitan dalam mengakses layanan pemerintah (seperti memperoleh izin nikah atau mendapatkan pelayanan  kesehatan) serta mengalami diskriminasi lainnya jika mereka tidak mengisi kolom agama di KTP-nya. Banyak pejabat daerah dikabarkan tidak tahu tentang opsi mengosongkan kolom agama dan menolak menerbitkan KTP dengan kolom agama yang kosong. Tidak memiliki KTP dapat menimbulkan masalah seperti tidak dapat mendaftar jaminan kesehatan sampai pengajuan KPR. Karena hal inilah, banyak penganut agama minoritas dikabarkan memilih menyamar sebagai penganut agama resmi yang paling dekat dengan kepercayaannya atau yang paling dominan di wilayah tersebut. Menurut peneliti, praktik ini mengaburkan angka pasti dari jumlah penganut agama tertentu dalam statistik pemerintah. Hingga  akhir tahun, pengamat mengatakan belum jelas apakah semua kantor pendaftaran penduduk  di seluruh negeri memiliki sistem pendaftaran yang mengizinkan penganut kepercayaan mencantumkannya di KTP selain enam agama yang diakui, sesuai putusan MK 2017. Di bulan Oktober, pejabat Kementerian Agama mengatakan ada rencana untuk memasukkan kepercayaan adat ke dalam KTP; namun untuk ini  badan legislative harus terlebih dahulu merevisi Undang-undang pendaftaran, demikian menurut Kementerian Agama.

LSM dan kelompok advokasi beragama terus mendesak pemerintah untuk menghapus kolom agama dalam KTP. Penganut agama minoritas terus melaporkan mereka kadang mengalami diskriminasi setelah orang lain melihat kolom agama di KTP-nya. Anggota komunitas Yahudi mengatakan mereka merasa tidak nyaman mencantumkan agamanya secara terbuka dan sering memilih mengaku sebagai Kristen atau Muslim tergantung mana yang dominan di tempat mereka tinggal, dengan alasan khawatir warga setempat tidak paham dengan agamanya.

Kelompok Muslim minoritas, seperti Ahmadiyah dan Syiah, juga terus mengalami kesulitan saat mencoba membuat KTP sebagai penganut Muslim, yang secara efektif akan memblokir akses ke layanan umum jika mereka tidak dapat memiliki KTP.

Jubir Kepolisian Dedi Prasetyo menyatakan polisi akan meningkatkan upaya pencegahan untuk membasmi radikalisme melalui upaya persuasif dan dengan melacak dan memprofilkan para pemimpin keagamaan. Polisi berharap upaya ini akan membantu para pemimpin agama mengurangi keterpaparan terhadap radikalisme di antara para pengikutnya.

Baik pemerintah pusat maupun  daerah memiliki pejabat terpilih dan ditunjuk dari golongan minoritas. Sebagai contoh, Gubernur Kalimantan Barat dan Walikota Solo adalah penganut Katolik, dan seorang tokoh Syiah menduduki kursi di DPR, dia terpilih dari distrik dengan mayoritas Sunni di Bandung, Jawa Barat. Per Oktober, kabinet Presiden Jokowi yang terdiri dari 34 orang menteri, termasuk  enam orang penganut agama minoritas.

Menurut para pekerja keagamaan  asing dari berbagai kelompok agama, proses memperoleh visa tergolong mudah. Meski hukum membatasi  dakwah, sejumlah kelompok agama asing melaporkan minimnya campur tangan pemerintah terkait upaya khotbah dan pemindahan  agama.

Polisi memberi perlindungan khusus pada sejumlah gereja di kota-kota besar saat ibadah raya dan hari besar Kristen.

Bab III. Status Penghormatan Masyarakat terhadap Kebebasan Beragama

Tanggal 11 Februari, seorang pria bersenjatakan parang menyerang ibadah Misa Minggu di gereja St. Lidwina di Sleman, Yogyakarta. Penyerang tersebut, yang diketahui polisi bernama Suliono dan berstatus mahasiswa, dikabarkan melukai empat orang, termasuk sang romo, Karl Edmund Prier. Suliono juga menghancurkan patung Yesus dan Bunda Maria di gereja tersebut. Di akhir tahun, polisi masih menginvestigasi kasus dan motif di balik serangan tersebut. Pada 12 Februari, presiden mengumumkan telah memerintahkan polisi untuk menegakkan jaminan konstitusional perihal kebebasan beragama dan mengatakan tidak ada tempat untuk intoleransi agama di Indonesia.

Tanggal 19 Mei, para penyerang tak dikenal menghancurkan sejumlah rumah dan mencoba mengusir pengikut Ahmadiyah dari dusun Grepek Tanak Eat di desa Greneng, Nusa Tenggara Barat. Aksi kekerasan tersebut memaksa 24 orang dari tujuh keluarga mengungsi ke markas polisi Lombok Timur. Sekretaris Jemaat Ahmadiyah Indonesia Yendra Budiana mengatakan insiden tersebut merupakan lanjutan dari serentetan serangan sebelumnya yang ditujukan pada umat Ahmadiyah di area lainnya pada bulan Maret dan 9 Mei.

MUI (badan ulama independen yang didanai pemerintah dan bertugas mengeluarkan fatwa) meminta semua masjid untuk meningkatkan sikap welas asih, toleransi, dan nasionalisme alih-alih menyebarkan kebencian, ujaran kebencian, dan propaganda negatif yang dapat mempertajam kesenjangan ideologi. Namun “kelompok intoleran” memanfaatkan fatwa tersebut untuk membenarkan aksi terhadap kelompok minoritas dan kelompok lemah lainnya, bahkan meski fatwa tersebut tidak memiliki dasar hukum. Para individu yang terafiliasi dengan MUI di tingkat daerah menggunakan retorika yang dianggap intoleran oleh agama minoritas, termasuk fatwa yang menyatakan Syiah dan Ahmadiyah sebagai aliran sesat. Penganut Syiah dan Ahmadiyah dikabarkan terus menerima ancaman dari “kelompok intoleran”. Retorika anti Syiah lazim ditemukan di sejumlah outlet media online di media sosial.

Di bulan November media melaporkan Badan Intelijen Negara (BIN) telah mensurvei 1.000 masjid di seluruh negeri dan menyatakan bahwa imam di sekitar 41 tempat ibadah di Jakarta mengajarkan “ekstremisme” kepada para jemaat, yang seringkali merupakan pegawai pemerintah. Petugas BIN menemukan sekitar 17 tokoh agama menyuarakan dukungan atau simpati untuk ISIS dan mendorong jemaat mereka bergabung dengan kelompok jihad di Suriah dan Marawi, kota di Filipina selatan yang diserang oleh tentara yang memiliki kaitan dengan ISIS di 2017.

Di bulan Maret sekelompok orang merusak gereja Katolik yang belum lama direnovasi di Sumatra Selatan. Di bulan yang sama, polisi Sumsel menangkap 10 orang tersangka dan berencana menuntut mereka dengan tuduhan penyerangan dan pembakaran. Menurut polisi, para tersangka melakukan aksi tersebut atas dasar kebencian. Per akhir tahun, belum ada info tanggal pengadilan untuk kasus ini.

Bulan Agustus, organisasi HAM Wahid Foundation melaporkan mereka telah mencatat 213 kasus pelanggaran kebebasan beragama di 2017, meningkat 4 persen dari 2016. Aktor independen seperti FPI adalah pelaku dari sebagian besar pelanggaran tersebut. Angka tertinggi dari pelanggaran tercatat ada di Jakarta (50 insiden), diikuti Jawa Barat (44), Jawa Timur (27) dan Jawa tengah (15). Pelanggaran kebebasan beragama tercatat di 27 dari 34 provinsi di Indonesia. Organisasi ini mencatat adanya peningkatan upaya dari negara dan warga sipil dalam menyuarakan keberagaman, kebebasan beragama, dan toleransi. Tercatat ada 398 inisiatif seperti ini di 2017, meningkat 64 persen dibandingkan 2016.

Para tokoh Kristen di Surabaya mengatakan mereka merasa dikuatkan oleh simpati dan dukungan dari umat Muslim setempat setelah peristiwa bom 13 Mei yang menyerang tiga gereja.

Banyak individu dalam pemerintah, media, masyarakat sipil, serta masyarakat umum yang vokal dan aktif dalam melindungi dan menyuarakan toleransi dan pluralisme. Kelompok agama dan LSM terbesar dan paling berpengaruh, termasuk dua kelompok Islam terbesar di Indonesia – Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, yang beranggotakan masing-masing sekitar 40 dan 30 juta orang, secara resmi mengakui dan mendukung sikap toleransi, pluralisme, dan perlindungan bagi kelompok minoritas. Sebagai contoh, di bulan Agustus NU meluncurkan Said Aqil Siroj Institute, sebuah kelompok warga sipil yang dirancang untuk menyuarakan toleransi antar agama di sebuah negara yang menurut para pengamat tengah mengalami peningkatan dalam hal sentimen agama dan etnis menjelang pemilu 2019.

Bab IV. Kebijakan dan Keterlibatan Pemerintah AS

Kedubes AS di Jakarta, Konsulat Jenderal di Surabaya, dan Konsulat di Medan secara rutin terlibat dengan semua tingkat pemerintahan dalam menangani isu-isu tertentu terkait kebebasan beragama, seperti aksi terhadap kelompok minoritas agama; penutupan tempat ibadah; tuduhan penistaan dan pencemaran agama; tekanan dari “kelompok intoleran” serta pentingnya aturan hukum; penerapan hukum syariah kepada non-Muslim; persyaratan kolom agama di KTP; pentingnya pendidikan dan dialog antar agama dalam meningkatkan toleransi; perlindungan merata bagi semua warga tanpa memandang agama; serta penyuaraan toleransi di forum-forum internasional.

, U.S.-Indonesia Council on Religion and Pluralism sebuah entitas yang dipimpin masyarakat sipil dan diakui oleh kedua pemerintahan, memiliki sekelompok staf ahli, pakar akademis, dan pimpinan keagamaan dan masyarakat madani l dari berbagai golongan untuk mendorong dialog antar agama, pluralisme, dan toleransi. Duta Besar  secara berkala terlibat dengan anggota badan ini  untuk membahas cara-cara meningkatkan aktivitasnya dalam menangani isu-isu yang memengaruhi komunitas beragama di Indonesia. Kedubes memfasilitasi keikutsertaan  badan ini  dengan  pejabat-pejabat pemerintah AS yang berkunjung ke Indonesia.

Di bulan September, Koordinator Antiterorisme Departemen Luar Negeri  AS menemui para anggota badan ini  untuk mendengar upaya mereka dalam merespon ideologi  agama yang ekstrim di negeri ini. Pejabat tersebut  memberikan contoh praktik internasional yang baik dan menyarankan ide-ide untuk kolaborasi di masa mendatang, seperti kolaborasi antara tenaga pendidik dengan pemimpin agama di sekolah-sekolah; memperkuat peran penegakan hukum dalam komunitas di mana mereka berada; serta pendampingan bagi para tokoh-tokoh muda keagamaan.

Pada bulan Agustus, Dubes bertemu dengan anggota dari badan ini yang berasal dari AS  yang menghadiri World Peace Forum guna membahas upaya mempererat kolaborasi antara kedua negara dalam memerangi ekstremisme dengan kekerasan, mempromosikan  kebebasan beragama, dan meningkatkan keterlibatan antar  masyarakat terkait HAM.

Di bulan Januari,  pejabat asisten Menlu untuk urusan Asia Timur and Pasifik  menemui para anggota badan ini  yang berasala dari komunitas Muslim untuk membahas pernyataan keinginan Indonesia  untuk menyuarakan paham Islam moderat di mancanegara. Anggota-anggota dari Indonesian  membahas upaya-upaya untuk mencegah politisasi Islam, mendorong dialog antar agama, serta mengembangkan respons terpadu terhadap narasi esktremis. Pejabat asisten Menlu  menggarisbawahi pentingnya mendukung toleransi dan pluralisme di Indonesia dan memuji upaya badan ini  dalam melibatkan masyarakat dari semua golongan agama.

Selama bulan Ramadan, kedubes dan konsulat menerapkan strategi  kegiatan dan program di seluruh negeri guna mengangkat nilai-nilai  seperti toleransi beragama. Hal Ini termasuk berbagai  perangkat diplomasi publik, mulai dari kehadiran Dubes di dua acara televisi yang paling banyak disaksikan di Indonesia serta sejumlah acara buka puasa bersama target audiens, sampai sejumlah artikel yang menampilkan kehidupan warga Muslim di Amerika Serikat di beberapa surat kabar besar dan media sosial dengan memanfaatkan video Ramadan dan Idul Fitri dari Kedubes. Tujuan pentingnya adalah mendorong toleransi antar agama di Indonesia dengan mengetengahkan   umat Muslim dalam keseharian masyarakat Amerika.

Kedubes melaksanakan  sejumlah program pertukaran tenaga profesional yang dirancang untuk menumbuhkan dan mendorong toleransi beragama. Program Ini termasuk  kunjungan ke AS untuk delapan (tujuh orang Muslim dan satu orang Kristen) tenaga akademik guna mempelajari pluralisme agama serta memperoleh perangkat  untuk mengembangkan kurikulum di institusi  mereka. Kedubes juga mensponsori program kunjungan ke AS untuk enam tenaga pendidik, administrator, serta pimpinan  LSM guna melihat bagaimana sekolah berbasis keagamaan  dan sekuler, selain juga organisasi masyarakat berbasis agama dan masyarakat sipil yang bekerja sama sebagai kesatuan demi mewujudkan harmoni sosial.

Kedubes mengadakan festival film yang memutar sejumlah film sepanjang tahun, beberapa di antaranya menghadirkan tema toleransi beragama dan keberagaman. Serangkaian acara ini mendapat sambutan antusias, dan diskusi setelahnya yang diadakan oleh staf kedubes menghasilkan pertukaran pandangan yang jujur dan dinamis  terkait isu keagamaan dan sosial yang dihadapi Indonesia dan AS.

Bulan September, Konsul Jenderal di Surabaya mengadakan acara antar agama bagi komunitas keagamaan di Surabaya, dan dalam  acara ini konsulat jenderal menyampaikan pentingnya pluralisme dan keberagaman agama dalam membangun  masyarakat yang kokoh dan sejahtera. Tamu-tamu utama   berasal dari kelompok keagamaan  umat Muslim, Kristen, dan Buddha selain juga pengikut kepercayaan tradisional. Selama Ramadan, Konsulat Jenderal mengadakan acara Halal bi-Halal  bagi para pemimpin muda keagamaan , dan para peserta membahas aspirasi mereka dalam mempromosikan  pluralisme.

Pada Januari, Konsulat di Medan mengadakan pertemuan antara cendekiawan Muslim dari sejumlah provinsi di Sumatra dengan Dubes untuk memberikan info terkini seputar dinamika beragama di Sumatra. Pejabat AS menyampaikan dukungannya untuk keragaman  dan mendorong para cendekiawan untuk melanjutkan kepemimpinan mereka dalam mempertahankan perdamaian dan harmoni beragama di Indonesia.