RINGKASAN EKSEKUTIF
Konstitusi menjamin kebebasan beragama dan hak beribadah menurut keyakinan seseorang tetapi menyatakan bahwa warga negara harus menerima pembatasan yang ditetapkan oleh hukum untuk melindungi hak-hak orang lain dan, sebagaimana tercantum dalam konstitusi, untuk memenuhi “tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.” Individu masih terus ditahan dan dihukum penjara hingga lima tahun untuk pelanggaran hukum penistaan agama. Satu orang ditahan karena membaca Quran dengan tidak hormat dalam video daring. Di Provinsi Aceh, pihak berwenang terus-menerus melaksanakan hukum cambuk di muka umum atas pelanggaran perda syariah, seperti menjual minuman beralkohol, perjudian, dan perselingkuhan, termasuk satu laki-laki beragama Buddha yang menerima hukuman cambuk sebagai pengganti dari hukuman penjara. Sejumlah pemerintah daerah menetapkan peraturan dan regulasi lokal yang membatasi kegiatan keagamaan, seperti peraturan daerah yang melarang praktik Islam Syiah atau Ahmadiyah. Di bulan Agustus, pihak berwenang mengambil tindakan terhadap dua gereja Pantekosta, mencabut izin terhadap yang satu dan menghentikan kegiatan ibadah pada yang lain. Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta masih terus menggunakan aplikasi ponsel yang bernama Smart Pakem, yang memungkinkan warga untuk mengajukan laporan tentang aliran menyimpang atau penistaan agama terhadap kelompok-kelompok yang dipandang pemerintah sebagai tidak resmi atau menjalankan tata-cara keagamaan yang tidak lazim. Kelompok agama di luar enam agama yang diakui pemerintah (Katolik, Protestan, Hindu, Buddha, Konghucu, dan Islam, yang untuk agama Islam secara umum diterjemahkan oleh pemerintah dan masyarakat sebagai Islam Sunni), masih terus melaporkan masalah dengan identifikasi agama mereka pada kartu tanda penduduk (KTP), meskipun keputusan Mahkamah Konstitusi tahun 2017 mengizinkan pencantuman semacam itu. Para penganut aliran kepercayaan tidak bisa mencantumkan nama alirannya secara spesifik, karena terlalu banyak jenisnya. Berbagai wilayah sepakat untuk menggunakan istilah yang umum, seperti, “Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.” Tiga wilayah mulai mengeluarkan KTP yang bisa mencantumkan “Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa” sebagai kategori agama, tetapi praktek ini tidak luas diterapkan. Ada lagi kejadian ketika pemerintah dan kepolisian daerah menyetujui tuntutan kelompok-kelompok, seperti Front Pembela Islam, Forum Umat Islam, Front Jihad Islam, dan Majelis Mujahidin lndonesia, yang disebut dalam media sebagai “kelompok intoleran”, untuk menutup tempat-tempat ibadah karena pelanggaran izin atau untuk membatasi hak kelompok agama minoritas. Baik pada pemerintah pusat maupun daerah terdapat pejabat terpilih dan pejabat yang ditunjuk dari kelompok agama minoritas. Presiden Joko Widodo memasukkan enam non-Muslim dalam kabinet yang diumumkan pada 23 Oktober, jumlah yang sama seperti masa pemerintahan sebelumnya.
Muslim Syiah dan Ahmadiyah melaporkan perasaan selalu berada di bawah ancaman dari “kelompok-kelompok intoleran.” Retorika anti-Syiah sering ditemukan di beberapa situs media daring dan di media sosial. Pada bulan Mei, para pemuka dari semua komunitas keagamaan utama di Surabaya berpartisipasi dalam peringatan serangan bom bunuh diri atas tiga gereja pada bulan Mei 2018. Kelompok pemuda Islam lokal yang berkoordinasi dengan polisi memberikan keamanan ekstra di luar gereja-gereja Surabaya sehubungan dengan peringatan tersebut. Pada bulan Maret, orang-orang tak dikenal merusak makam Yahudi di Jakarta, dan pada bulan April orang-orang tak dikenal merusak sejumlah salib kayu di pemakaman Kristen di Mrican, Yogyakarta.
Duta Besar dan Kedutaan Besar AS serta pejabat konsulat selalu mendorong pelaksanaan kebebasan beragama kepada pemerintah, termasuk pada tingkat tertinggi. Pejabat kedutaan dan konsulat melibatkan peran serta pejabat pemerintah dalam isu-isu tertentu, termasuk tindakan terhadap minoritas agama, penutupan tempat ibadah, akses untuk organisasi agama asing, hukuman terhadap aliran menyimpang dan penistaan agama, pentingnya toleransi dan aturan hukum, serta penerapan syariah terhadap non-Muslim. Pejabat kedutaan dan konsulat juga melibatkan peran serta masyarakat madani dan pemimpin agama terkait toleransi dan pluralisme dan berbicara secara terbuka menentang diskriminasi dan kekerasan terhadap kelompok minoritas agama. U.S.-Indonesia Council on Religion and Pluralism yang didukung oleh kedua pemerintahan dan terdiri dari para pemimpin agama dan masyarakat sipil, akademisi, dan para pakar dari kedua negara – bertemu dengan Duta Besar untuk membahas isu-isu terkait kebebasan beragama. Kedutaan dan konsulat melakukan penjangkauan luas untuk mendorong pesan mengormati keragaman dan toleransi beragama melalui acara, wawancara media, inisiatif media sosial, peran serta secara digital dan ceramah umum, pertukaran pemuda, dan program pendidikan.
Bagian I. Demografi Agama
Pemerintah AS memperkirakan total populasi sekitar 264,9 juta (perkiraan pertengahan tahun 2019). Menurut Sensus 2010, sekitar 87 persen dari populasi adalah Muslim, 7 persen Protestan, 3 persen Katolik Roma, dan 1,5 persen Hindu. Mereka yang menyatakan diri masuk kelompok agama lain, termasuk Buddha, agama-agama adat tradisional, Konghucu, Gafatar, dan beserta denominasi agama Kristen lainnya, serta mereka yang tidak menanggapi pertanyaan sensus, berjumlah sekitar 1,3 persen dari populasi. Proporsi terbesar umat Muslim adalah aliran Sunni. Diperkirakan satu sampai tiga juta Muslim adalah Syiah. Terdapat banyak kelompok Muslim yang lebih kecil; perkiraan menyebutkan jumlah total Muslim Ahmadiyah sekitar 200.000 sampai 400.000 orang.
Banyak kelompok agama memasukkan unsur-unsur Islam, Hindu, dan Buddhisme, membuat sulit untuk memastikan jumlah pengikut yang pasti. Sekitar 20 juta orang, terutama di Jawa, Kalimantan, dan Papua, menjalankan berbagai sistem kepercayaan tradisional, yang secara kolektif sering disebut sebagai aliran kepercayaan. Ada sekitar 400 komunitas aliran kepercayaan di seluruh kepulauan nusantara ini.
Populasi Sikh diperkirakan antara 10.000 hingga 15.000, yang mana sekitar 5.000 berada di Medan dan sisanya di Jakarta. Ada komunitas Yahudi yang sangat kecil di Jakarta, Manado, Jayapura, dan di tempat lain, dengan jumlah total penganut Yahudi diperkirakan sebanyak 200 orang. Komunitas Baha’i dan Falun Dafa (atau Falun Gong) melaporkan ribuan anggota, namun tidak tersedia angka perkiraan independen. Jumlah ateis juga tidak diketahui, tapi kelompok Ateis Indonesia menyatakan memiliki lebih dari 1.700 anggota.
Masyarakat Provinsi Bali terutama menganut agama Hindu, dan Provinsi Papua Barat, Papua, Nusa Tenggara Timur, dan Sulawesi Utara terutama menganut agama Kristen.
Bagian II. Status Penghargaan Pemerintah Terhadap Kebebasan Beragama
KERANGKA KERJA HUKUM
Konstitusi menjamin hak untuk menjalankan agama yang dianut seseorang dan menyatakan bahwa kebebasan beragama adalah hak asasi manusia yang tak mungkin dibatasi. Konstitusi menyatakan, “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa,” tetapi menjamin hak beribadah semua orang sesuai agama atau keyakinannya, menyatakan bahwa hak untuk beragama adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi.
Konstitusi juga mengatakan bahwa negara didasarkan pada kepercayaan pada satu Tuhan, dan negara berkewajiban untuk menjamin kebebasan beribadah. Di dalamnya dinyatakan bahwa warga negara harus menerima pembatasan yang ditetapkan oleh hukum untuk melindungi hak-hak orang lain dan untuk memenuhi, seperti yang disebutkan dalam Konstitusi, “tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.” Hukum membatasi warga dari menjalankan hak-hak tersebut apabila berdampak pada hak-hak orang lain, melanggar standar moral yang umum dan nilai-nilai agama, atau membahayakan keamanan atau ketertiban umum.
Kementerian Agama (Kemenag) memberikan pengakuan resmi kepada enam agama: Islam, Katolik, Protestan, Buddha, Hindu, dan Konghucu. Pemerintah mempertahankan praktek lama yakni mengakui Islam Sunni sebagai versi resmi Islam bagi Muslim lokal, meskipun konstitusi tidak mencantumkan ketentuan tersebut.
Pasal penodaan agama dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) melarang pernyataan publik yang disengaja atau kegiatan yang menghina atau menista salah satu dari enam agama yang resmi diakui atau memiliki niat mencegah individu untuk menganut agama resmi. Pasal-pasal ini juga menetapkan bahwa dalam kasus penistaan atas enam agama yang diakui resmi, Kementrian Dalam Negeri (Kemendagri), Kemenag, dan Kejaksaan Agung harus terlebih dahulu memperingatkan individu tersebut sebelum mengajukan dakwaan penistaan. Pasal ini juga melarang penyebaran informasi yang dirancang untuk menyebarkan kebencian atau permusuhan antara individu dan/atau kelompok-kelompok masyarakat tertentu berdasarkan etnis, agama, atau ras. Individu dapat dikenakan dakwaan untuk penistaan, ateisme, atau pernyataan sesat berdasarkan salah satu ketentuan ini atau berdasarkan hukum te penistaan dan dapat menghadapi hukuman penjara maksimal lima tahun. Undang-undang yang lain melarang penyebaran secara elektronik dari informasi serupa, yang pelanggarnya diancam hukuman maksimum empat tahun.
Pemerintah mendefinisikan agama adalah yang memiliki seorang nabi, kitab suci, dan Tuhan, serta pengakuan internasional. Pemerintah menyatakan enam agama resmi memenuhi persyaratan ini. Organisasi-organisasi yang mewakili salah satu dari enam agama yang diakui dalam hukum penistaan agama tidak perlu untuk mendaftarkan badan hukum jika dibentuk dengan akta notaris dan mendapatkan persetujuan dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Organisasi agama selain dari enam agama yang diakui dalam hukum penistaan agama harus mendapatkan pengakuan badan hukum sebagai organisasi masyarakat dari Kemendagri. Kedua kementerian tersebut berkonsultasi dengan Kemenag sebelum memberikan status badan hukum bagi organisasi agama. Undang-undang menetapkan semua organisasi masyarakat untuk menegakkan ideologi nasional Pancasila, yang meliputi prinsip keyakinan pada Tuhan yang Maha Esa, keadilan, persatuan, demokrasi, dan keadilan sosial, dan mereka dilarang melakukan tindakan menghujat atau menyebarkan kebencian agama. Secara hukum, semua kelompok agama harus mendaftar resmi kepada pemerintah. Persyaratan pendaftaran untuk organisasi agama antara lain: (A) organisasi tidak boleh bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar; (b) harus bersifat sukarela, sosial, mandiri, nirlaba, dan demokratis; (c) harus memiliki anggaran rumah tangga yang disahkan oleh notaris dan tujuan yang jelas. Organisasi tersebut selanjutnya mendaftar pada Kemenag. Setelah Kemenag menyetujui, organisasi ini diumumkan ke publik melalui lembaran negara. Pelanggaran hukum dapat mengakibatkan pencabutan status badan hukum, pembubaran organisasi, dan penangkapan anggota berdasarkan pasal penistaan agama pada KUHP atau hukum lainnya yang berlaku. Kelompok agama pribumi harus mendaftar pada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebagai aliran kepercayaan untuk mendapatkan status resmi.
Sebuah Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri melarang dakwah oleh kelompok Muslim Ahmadiyah serta penyerangan terhadap kelompok tersebut. Pelanggaran terhadap larangan dakwah Ahmadiyah diancam oleh hukuman penjara maksimum lima tahun atas dasar dakwaan penistaan agama. Menurut hukum pidana, penyerangan diancam hukuman penjara maksimum lima setengah tahun.
Sebuah SKB Tiga Menteri melarang dakwah dan kegiatan lain oleh Gerakan Fajar Nusantara, yang dikenal dengan nama Gafatar. Pelanggaran atas larangan ini diancam hukuman penjara maksimum lima tahun atas tuduhan penistaan agama.
Tidak ada SKB Tiga Menteri yang melarang dakwah oleh kelompok-kelompok lain. Namun, Majelis Ulama Indonesia (MUI), sebuah organisasi Muslim semi-pemerintah, telah mengeluarkan fatwa yang melarang dakwah oleh kelompok-kelompok yang dianggap sesat, seperti Inkar al-Sunnah, Ahmadiyah, Islam Jama’ah, Komunitas Lia Eden, dan Al-Qiyadah al-Islamiyah.
Pemerintah mewajibkan organisasi keagamaan resmi yang terdaftar untuk mematuhi peraturan Kemenag dan kementerian-kementerian lain untuk masalah-masalah seperti pembangunan rumah ibadah, bantuan asing bagi lembaga-lembaga keagamaan dalam negeri, dan penyebaran agama.
Sebuah surat keputusan bersama antara Kemenag dan Kemendagrimenyatakan bahwa kelompok agama dilarang menjalankan peribadatan di dalam tempat tinggal pribadi, dan kelompok yang ingin membangun rumah ibadah harus mendapatkan tanda tangan setidaknya 90 anggota kelompok dan 60 tanda tangan dari kelompok agama lain dalam masyarakat setempat yang menyatakan mereka mendukung pembangunan. Pemerintah daerah bertanggung jawab untuk menjalankan keputusan ini, dan peraturan, implementasi, dan pelaksanaan di daerah sangat beragam . Keputusan ini juga mewajibkan persetujuan dari dewan kerukunan lintas agama setempat, Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB). FKUB yang dibentuk oleh pemerintah ada di tingkat kota atau kabupaten dan terdiri dari para pemuka dari enam agama resmi. Mereka bertanggung jawab untuk menengahi konflik antaragama.
Undang-undang mewajibkan pengajaran agama di sekolah umum. Siswa memiliki hak untuk meminta pengajaran agama dalam salah satu dari enam agama resmi, tetapi tidak selalu tersedia guru untuk mengajar kelas agama yang diminta. Berdasarkan hukum, individu tidak dapat memilih untuk tidak ikut pendidikan agama wajib. Dalam prakteknya, bagaimana pun, siswa dari kelompok agama minoritas sering diperbolehkan untuk memilih tidak ikut dan belajar di aula sebagai gantinya.
Berdasarkan ketentuan perjanjian perdamaian tahun 2005 yang mengakhiri konflik separatis, Provinsi Aceh memiliki otoritas khusus untuk menjalankan peraturan berbasis syariah. Peraturan ini memungkinkan untuk penetapan peraturan dan pelaksanaan syariah tingkat provinsi dan memperluas yurisdiksi Pengadilan Agama hingga mencakup transaksi ekonomi dan kasus-kasus pidana. Pemerintah Provinsi Aceh menyatakan hukum syariah di Aceh hanya berlaku bagi penduduk Muslim di provinsi itu, meskipun orang-orang Muslim yang bukan warga Aceh dan penganut agama lain dapat memilih hukuman secara syariah alih-alih hukum pidana.
Peraturan syariah Provinsi Aceh menjerat aktivitas seks sesama jenis, perzinahan, perjudian, konsumsi alkohol, dan bermesraan dengan lawan jenis di luar ikatan pernikahan untuk warga Muslim di provinsi tersebut. Sebuah keputusan Gubernur Aceh melarang wanita untuk bekerja atau mengunjungi restoran tanpa didampingi pasangan mereka atau saudara laki-laki setelah jam 9 malam. Keputusan Walikota Banda Aceh melarang wanita bekerja di kedai kopi, warung internet, atau tempat olahraga setelah jam 1 siang. Aturan perda syariah melarang wanita Muslim Aceh mengenakan celana ketat di depan umum, dan mereka harus memakai jilbab. Salah satu kabupaten di Aceh melarang wanita duduk mengangkang saat menjadi penumpang sepeda motor. Hukuman maksimum atas pelanggaran perda syariah mencakup hukuman penjara dan hukuman cambuk. Ada peraturan yang dimaksudkan untuk membatasi tingkat kekuatan yang digunakan algojo untuk hukuman cambuk.
Banyak pemerintah daerah di luar Aceh telah menetapkan peraturan berdasarkan pertimbangan agama; sebagian besar di daerah-daerah yang mayoritas penduduknya Muslim. Banyak peraturan ini berhubungan dengan hal-hal seperti pendidikan agama dan hanya berlaku untuk kelompok agama tertentu. Beberapa peraturan daerah yang berbasis agama secara efektif berlaku untuk semua warga. Misalnya, beberapa peraturan daerah mengharuskan restoran tutup pada jam-jam orang berpuasa selama Ramadan, melarangan minuman beralkohol, atau mewajibkan zakat (sedekah dalam Agama Islam). Peraturan daerah lainnya melarang atau membatasi kegiatan kelompok minoritas agama, terutama Muslim Syiah dan Ahmadiyah.
Undang-Undang Perkawinan tidak secara eksplisit melarang pernikahan beda agama, tetapi terdapat sebuah pasal yang menetapkan bahwa upacara pernikahan harus dilaksanakan sesuai dengan tata cara agama yang dianut bersama oleh kedua pengantin.
Undang-undang ini menetapkan pemuka aliran kepercayaan harus dapat menunjukkan bahwa penghayat aliran tersebut tinggal di setidaknya tiga kabupaten, yakni wilayah administrasi satu tingkat di bawah provinsi, sebelum pemuka aliran tersebut dapat memberi pengesahan secara hukum di sebuah pernikahan. Pembatasan ini secara efektif menghalangi penganut dari sejumlah kelompok kecil yang tidak tersebar secara geografis untuk mendapatkan layanan pernikahan resmi dari anggota kelompok seiman, meskipun kelompok-kelompok dapat saling membantu dan memfasilitasi pernikahan pada kelompok yang memiliki tradisi dan ritual yang mirip.
Sebuah surat keputusan bersama tiga menteri mewajibkan organisasi keagamaan dalam negeri untuk mendapatkan persetujuan dari Kemenag dalam menerima pendanaan dari donor luar negeri dan melarang penyebaran literatur dan pamflet keagamaan kepada anggota kelompok keagamaan lain atau mendatangi dari pintu ke pintu untuk tujuan mengajak orang lain pindah agama. Namun, sebagian besar kelompok agama, berdakwah di tempat-tempat ibadah mereka sendiri, kecuali beberapa kelompok seperti Muslim Ahmadiyah.
Pekerja agama asing harus mendapatkan visa pekerja agama, dan organisasi agama asing harus mendapatkan izin dari Kemenag untuk memberikan bantuan jenis apa pun(barang, sumber daya manusia, atau keuangan) untuk kelompok-kelompok keagamaan lokal.
Negara ini merupakan penandatangan Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik.
PRAKTIK PEMERINTAH
Di Aceh, pihak berwenang terus melaksanakan hukuman cambuk di muka umum untuk mereka yang melanggar hukum syariah, seperti menjual minuman beralkohol, perjudian, dan hubungan di luar pernikahan, walaupun gubernur Aceh pada tahun 2018 sudah mengumumkan larangan hukuman cambuk dimuka umum. Pemerintah dan pejabat syariah menyatakan penduduk Aceh non-Muslim bisa memilih hukuman berdasarkan hukum syariah atau prosedur pengadilan sipil, tapi warga Muslim Aceh harus menerima hukuman berdasarkan hukum syariah. Menurut pemberitaan media dan aktivis HAM, beberapa warga Aceh non-Muslim memilih hukum syariah. Dikatakan karena cepatnya proses hukuman dan risiko sidang yang berkepanjangan dan mahal serta kemungkinan hukuman penjara yang lama.
Di bulan Agustus, pihak berwenang Aceh mencambuk seorang pria Buddha dan pacar Muslim-nya sebanyak 27 kali setelah pasangan tersebut berduaan di kamar hotel di Banda Aceh. Menurut seorang reporter lokal, pria itu memilih hukuman secara syariah sebagai alternatif dari hukuman penjara. Dia penganut Buddha ketiga dan non-Muslim kedelapan yang memilih hukuman berdasar hukum syariah sejak diberlakukan pada tahun 2014. Pihak berwenang juga mencambuk empat pasangan Muslim yang belum menikah, masing-masing antara delapan dan 33 kali karena berhubungan seks di luar nikah, dan mereka mencambuk dua pasangan yang belum menikah masing-masing 100 kali di kota Lhokseumawe di utara Aceh setelah mereka dinyatakan bersalah melakukan hubungan seks pranikah, sedangkan orang ketiga mendapat hukuman cambuk 160 kali karena berhubungan seks dengan anak di bawah umur.
Pada bulan Maret, Mahkamah Agung menolak kasasi Meliana, seorang wanita Buddha etnis Tionghoa, yang pada tahun 2018 dijatuhi hukuman 18 bulan penjara karena penistaan agama. Tuduhan itu muncul setelah ia secara pribadi meminta seorang putri pengurus masjid setempat agar masjid menurunkan volume pelantang suaranya. Pada saat itu Wakil Presiden Jusuf Kalla dan beberapa anggota senior Nahdlatul Ulama, organisasi Muslim terbesar di negara ini, mengatakan bahwa komentarnya tidak dapat dianggap menghujat. Pada bulan Mei dia dibebaskan bersyarat setelah menjalani dua-per-tiga masa hukuman penjaranya.
Pada bulan April, Satuan Reserse Kriminal Khusus Kepolisian Bangka Belitung menyidik dan menahan Daud Rafles, penduduk desa Sekar Biru, Pulau Bangka, karena penistaan agama. Warga desa mengenali Rafles dalam video viral yang di dalamnya ia diduga membaca Quran dengan tidak hormat.
Pada bulan Juni, menurut Human Rights Watch, pihak berwenang menangkap seorang Wanita Katolik, Suzethe Margaret, dan mendakwanya dengan penistaan agama setelah membawa anjing masuk ke masjid. Saksi menyatakan dia sedang mencari suaminya dan menuduh orang-orang di masjid menyuruh suaminya pindah ke agama Islam agar dapat menikahi wanita lain. Dia diduga menendang seorang penjaga masjid ketika diminta untuk pergi. Dokter menyatakan wanita itu butuh perawatan kejiwaan dan tidak sadar dengan perbuatannya. Laporan menyatakan bahwa wanita tersebut terancam hukuman lima tahun penjara jika terbukti bersalah. Pada akhir tahun, jaksa menuntut agar pengadilan menghukum wanita tersebut selama delapan bulan penjara.
Pada bulan April, Walikota Malang, Jawa Timur, mengeluarkan edaran yang meminta pada warga non-Muslim untuk tidak “makan, minum, atau merokok” di tempat-tempat umum pada bulan Ramadan karena hal itu bisa menyakiti perasaan Muslim yang berpuasa. Surat edaran itu diposting pada akun Twitter Pemerintah Kota Malang.
Pada bulan April, pers melaporkan bahwa sebuah keluarga Katolik dipaksa untuk meninggalkan desa Karet di Bantul, Yogyakarta, setelah menginap satu malam di sebuah rumah yang mereka sewa; warga setempat memprotes kehadiran keluarga itu dan mengajukan laporan kepada pejabat kabupaten Bantul. Menurut laporan media, beberapa penduduk desa Karet berpendapat bahwa berdasarkan peraturan kabupaten, semua pendatang baru haruslah Muslim. Setelah mediasi, kepala desa dan pejabat kabupaten Bantul mengatakan kepada keluarga tersebut bahwa mereka bisa tinggal di desa itu; demikian laporan pers, namun, keluarga tersebut menyatakan memilih untuk pergi.
Pada bulan Maret, para pemuka gereja dari gereja Kristen, Gereja Bethel Indonesia di Birobuli Selatan, Sulawesi Tengah, menutup tempat ibadah mereka karena adanya keberatan dari masyarakat setempat. Media melaporkan bahwa pemuka gereja, ketua FKUB, pejabat , dan polisi setempat bertemu untuk membahas nasib gereja dan menyatakan bahwa gereja gagal untuk mendapat persetujuan dari setidaknya 60 warga masyarakat setempat, seperti yang diwajibkan oleh peraturan Kemenag. Polisi mengatakan kepada media bahwa tanah tempat lokasi gereja tersebut sedang dalam sengketa dan gereja itu tidak memiliki izin mendirikan bangunan.
Menurut The Jakarta Christian Post, di bulan Agustus, pemerintah mencabut izin yang baru-baru ini dikeluarkan untuk sebuah gereja Pantekosta di Yogyakarta setelah mendapat protes dan ancaman dari umat Muslim di daerah tersebut. Bupati menyatakan dia mencabut izin karena gereja tidak memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh peraturan menteri yang mengatur rumah ibadah, yang menyebutkan bahwa “rumah ibadah tidak boleh dijadikan rumah tinggal pada saat yang sama.”
Pada bulan Agustus, menurut laporan media, Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kabupaten Indragiri Hilir menghentikan aktivitas ibadah di Gereja Pantekosta Indonesia, Gereja Efata di Dusun Sari Agung, Kabupaten Indragiri Hilir, Riau. Kegiatan peribadatan telah berlangsung di sana selama lima tahun. Kepala Satpol PP mengatakan bahwa pihak berwenang harus menghentikan kegiatan peribadatan karena dilakukan di rumah pendeta dan bukan di rumah ibadah. Menurut pihak berwenang, keputusan untuk menghentikan kegiatan ibadah dilakukan setelah pemerintah kabupaten berkonsultasi dengan para pemuka dan FKUB , yang juga termasuk perwakilan Kristen dari Tembilahan, di ibukota kabupaten tersebut. Salah satu lembaga bantuan hukum mengatakan bahwa pendeta di Dusun Sari Agung Hamlet yang memimpin jemaat tidak diajak berdiskusi selama proses tersebut dan oleh karena itu memilih untuk melanjutkan layanan peribadatan di tenda tak jauh dari sana. Pemerintah setempat mengidentifikasi tempat ibadah alternatif 15 kilometer dari kediaman pendeta, tapi jemaat menolak tempat ini karena sulit dijangkau.
Pada bulan September, Sekretaris Daerah Kota Makassar di Sulawesi Selatan menerbitkan surat edaran yang menyatakan, “Harap waspada dan jangan terpengaruh oleh ideologi dan ajaran Syiah.” Surat itu, yang diterbitkan pada perayaan hari Asyura, juga meminta orang-orang untuk mencegah penyebaran paham Syiah, menyebutnya sebagai “ajaran sesat.” Media melaporkan bahwa surat edaran ini didasarkan pada surat edaran “ilegal” yang diterbitkan oleh Pemerintah Sulawesi Selatan pada tahun 2017. Puluhan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan aktivis hak asasi manusia di Makassar mengeluarkan pernyataan seminggu kemudian yang mengkritik edaran tersebut dan menuntut agar pemerintah provinsi dan pemerintah kota berhenti menerbitkan apa yang mereka sebut sebagai surat edaran yang tidak toleran dan mencegah tindakan intoleransi dalam masyarakat.
Pada bulan September, Bupati Gowa, Sulawesi Selatan, mengeluarkan keputusan membubarkan Tarekat Taj Al-Khalwaty Syekh Yusuf, sebuah kelompok agama Sufi dengan 10.000 pengikut di Kabupaten Gowa dan Takalar. Keputusan itu mengikuti fatwa MUI cabang Gowa tahun 2016 yang menyatakan kelompok tersebut sebagai kelompok sesat. MUI Gowa melaporkan kelompok ini dan pemimpinnya kepada polisi atas penistaan agama dan pencemaran nama baik terhadap MUI Gowa serta pencucian uang. Pada bulan November, polisi menangkap pemimpin kelompok itu, Puang Lalang, atas tuduhan penipuan keuangan, penggelapan, dan penistaan agama karena mengenakan biaya keanggotaan kepada para pengikutnya sebesar Rp 50.000,- ($4). MUI juga mengeluarkan fatwa bid’ah terhadap kelompok itu di kabupaten Sinjai dan kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan.
Pada bulan September, ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) tidak mengizinkan seorang anggota perempuan non-Muslim untuk membaca doa pada sesi sidang MPR terakhir tanggal 27 September, yang akan menandai pertama kalinya seorang wanita non-Muslim membaca doa penutupan.
Pemerintah terus mendukung aplikasi ponsel yang disebut Smart Pakem yang memungkinkan warga mengajukan laporan aliran sesat atau penistaan agama terhadap individu dan kelompok yang oleh pemerintah dianggap tak resmi atau praktek keagamaan yang tak lazim. Kejaksaan Tinggi Jakarta meluncurkan aplikasi itu pada bulan Desember 2018 dengan menyatakan bahwa tujuannya adalah memperlancar sistem pelaporan aliran sesat dan penistaan agama. Berbagai organisasi hak asasi manusia terus mengkritik aplikasi tersebut, mengatakan bahwa aplikasi itu bisa melemahkan toleransi dan kebebasan beragama. Menurut Human Rights Watch, aplikasi itu mengidentifikasikan beberapa kelompok agama dan pemimpin mereka (termasuk Ahmadiyah, Syiah, dan Gafatar), menyatakannya sebagai “ajaran menyimpang,” dan memberikan alamat kantor setempat mereka.
Kemenag mempertahankan wewenangnya pada tingkat nasional dan lokal untuk melakukan “pembinaan” kelompok keagamaan dan umat beragama, termasuk upaya untuk memasukkan kelompok agama minoritas ke dalam Islam Sunni. Di beberapa kabupaten di Jawa Barat, pemerintah daerah melanjutkan upaya untuk memaksa atau mendorong konversi Muslim Ahmadiyah dengan memberikan syarat bagi pengikut Ahmadiyah untuk menandatangani formulir melepaskan kepercayaan mereka apabila mereka ingin mendaftarkan pernikahan atau naik haji. Menurut kelompok masyarakat Ahmadiyah di Tasikmalaya dan Banjar, kantor-kantor Kemenag setempat mewajibkan para pengikut Ahmadiyah untuk menandatangani formulir yang menyatakan mereka mencela ajaran-ajaran Ahmadiyah. Praktek ini bermula sejak tahun 2014.
Menurut kelompok-kelompok agama dan LSM, pejabat pemerintah dan polisi kadang-kadang gagal mencegah “kelompok intoleran” melanggar kebebasan beragama orang lain dan melakukan aksi intimidasi, seperti merusak rumah ibadah dan tempat tinggal. Kelompok-kelompok ini antara lain Front Pembela Islam (FPI), Forum Umat Islam, Front Jihad Islam, dan Majelis Mujahidin Indonesia. Sebagai contoh, surat izin FPI sebagai organisasi keagamaan telah berakhir masa berlakunya pada bulan Juni. Sumber-sumber menyatakan bahwa FPI dikenal karena kekerasan terhadap kelompok agama minoritas dan memaksa menutup bar dan tempat hiburan yang dianggap tidak bermoral. Pada bulan Mei, sebuah petisi daring dibuat yang menuntut agar Kemendagri tidak memperpanjang izin FPI. Sampai akhir tahun, Kemendagri tidak menunjukkan bahwa mereka akan memperbaharui izin, meskipun pada bulan Desember Kemenag mendukung perpanjangan izin itu, dan kelompok itu tidak memiliki status hukum.
Pada bulan Maret, Setara Institute melaporkan ada 202 kasus pelanggaran kebebasan beragama di tahun 2018 (72 kasus dilakukan oleh pemerintah dan yang lainnya oleh masyarakat), dibandingkan dengan 151 kasus pada tahun 2017. Pelanggaran yang dimaksud antara lain diskriminasi, intoleransi, dan larangan mengenakan jilbab di sekolah umum.
Pada bulan September, lembaga swadaya masyarakat Wahid Foundation melaporkan 276 kasus persekusi agama pada tahun 2018, sebagaimana dijelaskan oleh lembaga tersebut, termasuk 130 kasus yang dilakukan oleh institusi yang terkait dengan pemerintah. Yayasan ini mencatat 265 kasus pada tahun 2017, termasuk 95 kasus dari institusi yang terkait dengan pemerintah. Pelanggaran yang dilaporkan oleh yayasan ini antara lain penerbitan peraturan daerah berbasis syariah dan melarang pembangunan rumah ibadah.
Pada bulan Juni, kepala kepolisian resor Pemalang di Jawa Tengah mengadakan pelatihan toleransi untuk unit kepolisiannya dengan mengajak petugas kepolisian dan anggota masyarakat membersihkan rumah-rumah ibadah dari berbagai agama. Pada bulan September, LSM Madania melaksanakan pelatihan toleransi yang disebut “Inisiatif Perdamaian” untuk para guru agama.
Pada bulan November, anggota FPI mengintimidasi Bupati Bangka Barat, Provinsi Bangka Belitung, yang non-Muslim, untuk mencegahnya merayakan Maulid Nabi Muhammad di kediaman resminya.
Lebih dari 500 Muslim Syiah dari Madura tetap terlantar di pinggiran Surabaya, Jawa Timur, setelah kekerasan masyarakat yang memaksa mereka meninggalkan rumah-rumah mereka pada tahun 2012. Di Mataram, ibukota Nusa Tenggara Barat, 131 Muslim Ahmadiyah masih terlantar di kamar-kamar asrama sempit setelah gerombolan massa mengusir mereka dari desa mereka di Lombok pada tahun 2006.
Organisasi-organisasi hak asasi manusia mengkritisi usulan RUU, yang akhirnya ditarik setelah protes yang meluas, yang akan merevisi kitab undang-undang hukum pidana dan memperluas aturan penodaan agama 1965. RUU yang diusulkan tersebut menambah “unsur pidana” dengan memasukkan hal-hal seperti menghina artefak-artefak keagamaan. Sebuah koalisi lembaga swadaya masyarakat mengatakan undang-undang ini akan mendiskriminasi non-Muslim, non- Muslim Sunni, minoritas agama lokal, serta perempuan dan kaum lesbian, biseksual, dan transgender.
Di seluruh negeri, kelompok agama minoritas, termasuk kelompok-kelompok Muslim di daerah mayoritas non-Muslim, terus menyatakan bahwa persyaratan resmi harus adanya jumlah pendukung tertentu untuk membangun atau merenovasi rumah ibadah menjadi hambatan untuk pembangunan. Pada bulan Mei sekelompok umat Hindu ingin membangun sebuah pura di Bekasi, Jawa Barat. Masyarakat di sekitarnya menolak proyek itu dengan mengatakan bahwa jumlah umat Hindu di lingkungan itu terlalu sedikit.
Pemerintah daerah tidak mengeluarkan izin bahkan ketika umat tersebut memperoleh jumlah pendukung yang diperlukan jika penentang pembangunan memaksa para tetangga untuk tidak menyetujui. Dalam banyak kasus, dilaporkan bahwa dengan hanya beberapa penentang yang vokal dari kelompok keagamaan mayoritas setempat sudah cukup untuk menghentikan perizinan pembangunan. Para pemuka agama yang diakui negara dalam forum-forum lintas agama yang didukung pemerintah dilaporkan menemukan cara-cara untuk menghalangi aliran kepercayaan untuk membangun tempat ibadah, terutama dengan persyaratan izin yang ketat. Penganut aliran kepercayaan mengatakan bahwa mereka takut akan tuduhan ateisme jika mereka menggugat perlakuan ini ke pengadilan. Para pemuka agama Kristen melaporkan bahwa pejabat pemerintah daerah menunda persetujuan tanpa batas waktu terkait permintaan membangun gereja-gereja baru karena para pejabat tersebut takut pembangunan akan menimbulkan protes. Kelompok Muslim Ahmadiyah dan Syiah serta Kristen mengatakan bahwa mereka juga menghadapi masalah ketika meminta perizinan untuk pindah ke fasilitas sementara pada saat tempat ibadah utama menjalani renovasi.
Pemerintah daerah, polisi, dan organisasi keagamaan dilaporkan berusaha menutup rumah ibadah kelompok agama minoritas karena pelanggaran izin, seringkali setelah protes dari “kelompok intoleran,” bahkan sekalipun jika kelompok minoritas memiliki izin yang dibutuhkan. Pada bulan Juli, Bupati Bantul, Yogyakarta, mencabut izin mendirikan bangunan sebuah gereja Pantekosta di Sedayu, Bantul, menyusul protes dan tekanan dari masyarakat setempat.
Banyak jemaat tidak bisa memperoleh jumlah tanda tangan non-anggota yang diperlukan untuk mendukung pembangunan rumah ibadah dan sering menghadapi protes dari “kelompok-kelompok intoleran” selama proses pengajuan izin, sehingga izin hampir tidak mungkin diperoleh. Bahkan ketika pihak berwenang mengeluarkan izin tersebut, mereka menutup atau memaksa menghentikan pembangunan sebagian rumah ibadah setelah menghadapi gugatan hukum dan protes masyarakat. Gereja-gereja Protestan dan Katolik juga melaporkan bahwa “kelompok-kelompok intoleran” memaksa mereka membayar uang perlindungan untuk terus beroperasi tanpa izin. Beberapa rumah ibadah yang didirikan sebelum diberlakukannya surat keputusan bersama tiga menteri tentang pembangunan rumah ibadah dilaporkan bahwa mereka diwajibkan untuk memenuhi persyaratan atau diancam untuk ditutup. Banyak rumah ibadah beroperasi tanpa izin di gedung perkantoran, mal, rumah pribadi, dan toko.
Pada bulan Agustus, masyarakat setempat menghentikan proyek pembangunan gereja Baptis Indonesia di Tlogosari Wetan, Semarang, Jawa Tengah. Mereka berpendapat bahwa izin mendirikan bangunan yang dimiliki oleh gereja tersebut telah kedaluwarsa, dan mereka kemudian memblokir akses ke lokasi proyek pembangunan gereja. Pemerintah Kota Semarang kemudian memutuskan untuk meninjau ulang izin mendirikan bangunan tersebut. Walikota Semarang Hendrar Prihadi mengatakan pembangunan gereja akan dihentikan sampai dia memverifikasi keabsahan izin tersebut.
Para pemimpin Gereja di Jambi mengatakan bahwa mereka telah berusaha mendapatkan izin mendirikan bangunan sesuai persyaratan dari pemerintah kota untuk membangun tempat ibadah sejak tahun 2003, tetapi pemerintah kota belum memberikan izin ini karena ditentang oleh pemuka-pemuka masyarakat. Kepala Unit Satuan Polisi Pamong Praja Kota Jambi mengatakan bahwa tiga gereja ditutup pada tahun 2018 karena melanggar peraturan daerah dan tidak memiliki izin mendirikan bangunan yang memenuhi syarat. Pada akhir tahun, tiga gereja tersebut masih tetap ditutup. Pada tahun 2018 seorang aktivis membuat petisi daring yang mendesak pemerintah untuk membuka kembali gereja-gereja ini. Hingga bulan Desember, sekitar 3.900 orang telah menandatangani petisi tersebut.
Pembangunan Gereja Katolik Santa Clara di Bekasi, Jawa Barat sudah selesai. Jemaat telah menunggu lebih dari 15 tahun untuk mendapat izin mendirikan bangunan sebelum akhirnya mereka dapatkan pada tahun 2015, dan “kelompok-kelompok intoleran” sering menjadikan lokasi pembangunan sebagai sasaran untuk protes. Gereja tersebut diresmikan oleh walikota Bekasi pada 17 Agustus.
Penganut aliran kepercayaan terus menyatakan bahwa para guru menekan mereka untuk mengikutkan anak-anak mereka ke dalam kelas pendidikan agama salah satu dari enam agama yang diakui secara resmi. Kelompok agama minoritas di luar enam agama yang diakui mengatakan bahwa sekolah sering mengizinkan anak-anak mereka menggunakan waktu pendidikan agama dengan belajar di aula, tetapi pejabat sekolah mengharuskan orang tua untuk menandatangani dokumen yang menyatakan anak-anak mereka menerima pendidikan agama. Siswa Muslim Ahmadiyah melaporkan bahwa kelas agama Islam hanya berfokus pada ajaran Sunni.
Pada bulan November, media melaporkan bahwa sebuah sekolah negeri di Batam, Kepulauan Riau, mengeluarkan dua siswa penganut Saksi Yehuwa setelah mereka menolak untuk menyanyikan lagu kebangsaan, memberi hormat pada bendera merah putih, dan menghadiri kelas-kelas agama, dengan mendasarkan pada kepercayaan mereka. Keputusan untuk mengeluarkan siswa tersebut dibuat setelah berkoordinasi dengan KantorKemenag setempat, Kantor Dinas Pendidikan Batam, polisi, dan militer. Setelah ada keberatan yang diajukan oleh sebuah firma hukum yang mewakili siswa yang dikeluarkan, Dinas Pendidikan Provinsi di Batam akhirnya memerintahkan membatalkan surat keputusan untuk mengeluarkan siswa tersebut. Kedua siswa itu kembali bersekolah setelah hampir dua bulan.
Meskipun pemerintah secara umum mengizinkan warga untuk membiarkan kolom agama di KTP mereka tetap kosong, warga melaporkan adanya kesulitan untuk mengakses layanan pemerintah jika mereka melakukan hal itu. Menghadapi masalah ini, banyak anggota kelompok agama minoritas, termasuk yang mengikuti kepercayaan adat, dilaporkan memilih untuk mengidentifikasi diri sebagai penganut agama yang diakui secara resmi yang dekat dengan kepercayaan mereka atau mencerminkan agama yang dominan secara lokal. Menurut para peneliti, praktik ini mengaburkan jumlah sebenarnya penganut masing-masing kelompok agama dalam statistik pemerintah. Setelah dikeluarkannya putusan Mahkamah Konstitusi tahun 2017, warga negara diizinkan untuk mencantumkan aliran kepercayaan sebagai pilihan dalam KTP mereka. Pada tahun 2018 pejabat Kemenag mengatakan bahwa mereka merencanakan untuk melaksanakan peraturan yang mencantumkan aliran kepercayaan di KTP. Di awal tahun, tiga daerah yakni di Sulawesi Selatan, Bandung, dan Cirebon (Jawa Barat) mulai mengeluarkan KTP yang mengizinkan pencantuman “Kepercayaan Kepada Tuhan YME” dalam kolom agama..
LSM dan kelompok advokasi agama terus mendesak pemerintah untuk menghapus kolom agama dari KTP. Kelompok minoritas agama melaporkan bahwa mereka kadang-kadang mengalami diskriminasi setelah orang lain melihat kolom agama pada KTP mereka. Anggota komunitas Yahudi mengatakan mereka merasa tidak nyaman menyatakan agama mereka secara terbuka di muka umum dan sering memilih untuk menyatakan bahwa mereka adalah umat Kristiani atau Muslim, tergantung pada agama yang dominan di tempat mereka tinggal, karena kekhawatiran bahwa masyarakat setempat tidak memahami agama mereka.
Pria dan wanita dari agama yang berbeda dan ingin menikah dilaporkan mengalami kesulitan menemukan pejabat keagamaan yang bersedia melakukan upacara pernikahan. Beberapa pasangan yang berbeda agama memilih agama yang sama pada KTP mereka agar dapat menikah secara sah.
Kelompok Muslim minoritas, antara lain Ahmadiyah, Syiah, dan Gafatar, juga terus melaporkan adanya penolakan ketika mereka mengajukan KTP sebagai Muslim, yang secara efektif menghalangi akses mereka untuk mendapat layanan publik jika mereka tidak dapat memiliki KTP.
Baik di pemerintahan pusat maupun daerah terdapat pejabat terpilih dan pejabat yang ditunjuk dari kelompok agama minoritas. Sebagai contoh, Walikota Solo adalah penganut Katolik. Setelah memulai masa jabatan kedua pada bulan Oktober, kabinet baru Presiden Widodo yang terdiri dari 34 anggota juga memasukkan enam penganut agama minoritas, jumlah yang sama seperti pada masa pemerintahan sebelumnya.
Pekerja keagamaan asing dari berbagai kelompok agama terus menyatakan bahwa mereka merasa relatif mudah untuk mendapatkan visa, dan beberapa kelompok melaporkan sedikit campur tangan pemerintah terhadap kegiatan keagamaan mereka.
Polisi memberikan perlindungan khusus kepada beberapa gereja Katolik di kota-kota besar selama kebaktian hari Minggu dan hari libur agama Kristen. Polisi juga memberikan perlindungan khusus untuk vihara Buddha dan pura Hindu selama perayaan keagamaan.
Menurut undang-undang, pernikahan dinyatakan sah jika dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaan masing-masing pihak. Namun demikian, perkawinan antar agama sulit dilakukan kecuali calon pengantin pria atau wanita bersedia menikah sesuai dengan ritual keagamaan dari salah satu agama mereka. Banyak orang yang melaksanakanu pernikahan antaragama lebih memilih pergi ke luar negeri untuk menikah.
Bagian III. Status Penghormatan Masyarakat terhadap Kebebasan Beragama
Menurut seorang pemimpin Ahmadiyah di Bandung, Jawa Barat, “kelompok-kelompok intoleran” terus menggunakan fatwa MUI untuk membenarkan tindakan intoleransi terhadap minoritas agama dan kelompok rentan lainnya, meskipun fatwa tersebut tidak memiliki kedudukan hukum. Sebagai contoh, pada bulan Januari, sekelompok orang membubarkan diskusi buku yang diselenggarakan oleh Ahmadiyah di Bandung, Jawa Barat. Mereka mengatakan buku itu mempromosikan pesan-pesan Ahmadiyah. Individu yang berafiliasi dengan MUI setempat menggunakan retorika yang dianggap tidak toleran oleh minoritas agama, termasuk fatwa yang menyatakan bahwa Syiah dan Ahmadiyah sebagai sekte yang menyimpang. Pada 12 Juli, kelompok-kelompok anti-Ahmadiyah memprotes acara tahunan Ahmadiyah di Gowa, Sulawesi Selatan, yang diadakan oleh anggotanya untuk membahas strategi tahunan mereka. Muslim Syiah dan Ahmadiyah melaporkan perasaan selalu berada di bawah ancaman dari “kelompok-kelompok intoleran.” Retorika anti-Syiah sering ditemukan di beberapa situs media daring dan di media sosial.
Sepanjang tahun perselisihan antara kelompok-kelompok agama terjadi di provinsi Papua yang mayoritas beragama Kristen. Sejumlah pemuka agama menyatakan bahwa perselisihan antara masyarakat etnis Papua dan masyarakat pendatang lebih banyak disebabkan oleh kesukuan, persaingan ekonomi, dan masalah politik daripada oleh agama. Pada bulan Juli sebuah kelompok bernama Aliansi Penjaga Moral Makassar menutup secara paksa dua resto yang menjual daging babi di sebuah pusat perbelanjaan di Makassar. Pemimpin organisasi itu mengatakan kepada media bahwa manajemen mal menutup resto tersebut sebagai tanggapan atas surat aliansi yang meminta mal itu melarang barang-barang makanan yang tidak halal. Manajemen mal mengatakan akan mencoba mencari lokasi yang lebih cocok untuk resto tersebut. Kedua resto itu dibuka pada bulan Januari, dan manajemen mal menyatakan kios memasang tanda peringatan kepada pengunjung bahwa mereka menjual makanan non halal.
Pada bulan Mei, para pemuka semua kelompok keagamaan utama di Surabaya berpartisipasi dalam peringatan serangan bom bunuh diri bulan Mei 2018 di tiga gereja. Kelompok pemuda Islam lokal yang berkoordinasi dengan polisi memberikan keamanan ekstra di luar gereja-gereja Surabaya sehubungan dengan peringatan tersebut. Para pemimpin Kristen di Surabaya mengatakan bahwa mereka merasa berbesar hati karena simpati dan dukungan yang ditunjukkan oleh masyarakat Muslim setempat kepada umat Kristen yang terkena dampak.
Pada bulan Agustus, Ustadz Abdul Somad, seorang ulama Muslim dari Riau, dilaporkan ke kepolisian karena penistaan agama ketika beredar video yang direkam tiga tahun sebelumnya. Dalam video itu, Somad mengatakan bahwa salib Kristen berisi jin kafir saat menjawab pertanyaan dari seorang jemaat. Anggota Horas Bangso Batak (organisasi berbasis etnis Sumatera Utara yang sebagian besar beragama Kristen) mengajukan pengaduan ke polisi distrik di Metrojaya, Jakarta. Anggota Brigade Meo, sebuah organisasi berbasis Kristen di Nusa Tenggara Timur, juga melaporkannya ke polisi setempat. Pada akhir tahun, kasus ini masih dalam penyelidikan polisi.
Pada bulan Maret, kantor berita Jerman, Deutsche Welle melaporkan bahwa beberapa kuburan Yahudi di pemakaman umum di Jakarta telah dinodai.
Pada bulan Oktober, laporan perdana tentang anti-Semitisme oleh Pelapor Khusus PBB untuk Kebebasan Beragama atau Kepercayaan, Ahmed Shaheed, menemukan bahwa “lebih dari 57 persen guru dan dosen dan 53,74 persen pelajar di Indonesia setuju dengan pernyataan survei yang menyatakan bahwa “Yahudi adalah musuh Islam.” Selain itu, laporan itu menyatakan para pemimpin komunitas Yahudi lokal melaporkan bahwa sudah biasa bagi masyarakat untuk menyamakan semua orang Yahudi dengan Israel.
Menurut AsiaNews, pada bulan April sejumlah orang yang tidak dikenal merusak beberapa salib kayu di pemakaman Kristen di Mrican, Yogyakarta.
MUI mendukung upacara pemakaman Kristen yang berlangsung di depan sebuah masjid di Jakarta pada bulan September.
Banyak individu di pemerintahan, media, masyarakat sipil, dan masyarakat umum yang bersuara lantang dan aktif dalam melindungi serta mendorong toleransi dan pluralisme. Pada bulan November Wakil Presiden Ma’ruf Amin dan Imam Besar Masjid Istiqlal Nasaruddin Umar menyatakan bahwa toleransi beragama akan menjadi fokus yang semakin penting dalam pendidikan negara.
Kelompok agama dan LSM terbesar dan paling berpengaruh, termasuk dua kelompok Islam terbesar di negara ini – Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah – secara resmi mendukung dan mengadvokasi toleransi, pluralisme, dan perlindungan kelompok minoritas dalam banyak hal. Sebagai contoh, pada bulan Februari Haedar Nashir, ketua umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, meminta semua warga untuk menunjukkan toleransi dan hidup damai dengan komunitas agama lain. Said Aqil Siradj, ketua umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, menyatakan pada bulan Agustus bahwa toleransi adalah unsur penting dari sikap yang tepat dan kepribadian yang baik.
Bagian IV. Kebijakan dan Keterlibatan Pemerintah A.S
Kedutaan besar di Jakarta, konsulat jenderal di Surabaya, dan konsulat di Medan secara teratur terlibat dengan semua tingkat pemerintahan untuk bertukar pikiran terkait isu-isu spesifik tentang kebebasan beragama, seperti tindakan intoleransi terhadap minoritas agama; penutupan tempat ibadah; akses untuk organisasi keagamaan asing; hukuman karena aliran sesat dan penistaan agama; pengaruh yang tidak semestinya dari “kelompok-kelompok intoleran” dan pentingnya aturan hukum; penerapan syariah untuk non-Muslim; pentingnya pendidikan dan dialog antaragama dalam mendorong toleransi; perlindungan yang sama bagi semua warga negara tanpa memandang agama; dan mendorong toleransi di forum internasional. Secara khusus, kedutaan bertemu dengan para wakil rakyat dan pejabat pemerintah lainnya untuk memberikan dukungan dalam mencegah perluasan ketentuan penistaan agama dalam RUU yang mengamandemen kitab undang-undang hukum pidana. US-Indonesia Council on Religion and Pluralism , sebuah badan masyarakat madani yang didukung oleh kedua pemerintah, yang terdiri dari berbagai kalangan antara lain pakar, akademisi, dan pemimpin agama serta masyarakat sipil dari kedua negara, telah dibentuk untuk mendorong dialog antaragama, pluralisme, dan toleransi. Duta Besar dengan kepemimpinannya terlibat dalam pembicaraan untuk membahas cara-cara meningkatkan aktivitas badan tersebut terkait isu-isu yang mempengaruhi komunitas beragama di Indonesia. Secara khusus, Duta Besar meminta anggota badan tersebut untuk mengikutsertakan anggota-anggotanya dari AS dalam berbagai kegiatan dan mendayagunakannya sebagai wahana kolaborasi antara kedua negara dalam memerangi ekstremisme kekerasan dan mendorong kebebasan beragama.
Selama Ramadhan, kedutaan dan konsulat melakukan kegiatan penjangkauan secara intensif di seluruh Indonesia untuk menyoroti toleransi beragama. Duta Besar mendorong kebebasan beragama dan toleransi saat tampil di dua acara televisi berperingkat tertinggi di Indonesia. Kampanye media sosial menggunakan video Ramadan dan Idul Fitri yang diproduksi oleh kedutaan untuk mendorong toleransi antar umat beragama di Indonesia.
Kampanye tahunan “Ramadan di AS” oleh kedutaan mempromosikan nilai-nilai demokrasi termasuk toleransi, kesukarelaan, dan kekuatan dalam keragaman. Sebagai bagian dari kampanye itu, 4.000 pelajara SMA dan universitas mendengar langsung dari mantan peserta program pertukaran yang disponsori pemerintah AS tentang pengalaman langsung mereka mengenai toleransi dan keberagaman agama selama mereka berada di Amerika Serikat. Kampanye ini merayakan toleransi antaragama dengan mengetengahkan pengalaman para pelancong Muslim dan masyarakat Muslim di Amerika Serikat,.
Pada bulan Maret para pejabat kedutaan bertemu dengan para pemimpin Muslim dan Kristen, serta para anggota FKUB setempat, di Jayapura, Papua, untuk membahas upaya-upaya menyelesaikan perselisihan antara kelompok-kelompok agama di provinsi tersebut.
Pada bulan April Duta Besar bertemu dengan para pemimpin Muslim terkemuka di Padang, menjadi tuan rumah acara buka puasa di sebuah pondok pesantren putri di Padang Panjang, Sumatra Barat, dan membahas toleransi dan kebebasan beragama.
Pada bulan Oktober konsulat di Medan mengundang cendekiawan Muslim dari Sumatra Utara, dari Badan Koordinasi Muballigh dan Ulama Indonesia dan akademisi Muslim dari Pusat Penelitian De-Radikalisasi Universitas Negeri Islam Sumatera Utara untuk berdialog tentang isu-isu Islam dengan pejabat dari Washington yang datang berkunjung.
Duta Besar bertemu secara berkala dengan para pemimpin dua organisasi Muslim terbesar di Indonesia, Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama, untuk membahas toleransi agama dan pluralisme dan untuk mengembangkan lebih lanjut kerja sama di berbagai bidang.
Kedutaan menjalankan beberapa program pertukaran profesional yang dirancang untuk memupuk dan mendorong toleransi beragama. Kegiatan ini termasuk mensponsori kunjungan delapan imam berpengaruh (termasuk pemimpin agama paling senior di Indonesia dan imam masjid terbesar di Asia Tenggara) ke Amerika Serikat untuk menambah wawasan terkait pluralisme agama dan mempromosikan toleransi. Kunjungan kelompok-kelompok pemimpin masyarakat sipil lainnya, pejabat universitas, dan kepala pendidikan guru madrasah di Kemenag menghadiri program-program yang berfokus pada peningkatan pluralisme dan toleransi lintas agama dan memajukan hubungan antaragama.
Kedutaan membuat program pertukaran baru untuk memberikan pengalaman bagi para pemimpin yang baru berkembang dalam organisasi-organisasi Islam terhadap pluralisme agama di Amerika Serikat, dalam rangka untuk meningkatkan toleransi beragama di Indonesia dengan menunjukkan bagaimana toleransi beragama di Amerika Serikat bermanfaat bagi seluruh masyarakat.
Kedutaan mensponsori empat mahasiswa untuk berpartisipasi dalam program kebebasan beragama yang didanai Departemen Luar Negeri AS di Temple University. Kedutaan juga mensponsori keikutsertaan lima orang dalam sebuah program, yang mencakup sebuah forum tentang “Toleransi dan Eksistensi Bersama” pada bulan November. Dalam forum itu, para ahli membahas topik-topik seperti “Hubungan Antaragama dan Perdamaian Global di Era Digital” dan “Memahami Ruang Informasi Baru untuk Memerangi Perpecahan dan Polarisasi.”
Kedutaan mempromosikan partisipasi dalam program pertukaran parlementer tentang toleransi beragama dan memerangi ujaran kebencian secara daring. Program ini berupaya untuk meningkatkan kemampuan anggota parlemen untuk memanfaatkan praktik legislatif terbaik dalam memerangi ujaran kebencian dan melindungi kelompok rentan terhadap diskriminasi.
Pejabat Kedutaan bertemu secara teratur dengan perwakilan dari Kedutaan lainnya untuk mendiskusikan dukungan untuk kebebasan agama dan kepercayaan dan untuk bertukar informasi terkait area permasalahan , program yang dilaksanakan, dan kemungkinan bidang kerja sama.