RINGKASAN EKSEKUTIF
Konstitusi memberikan jaminan kebebasan beragama dan hak beribadah menurut keyakinan seseorang tetapi juga menyatakan bahwa warga negara harus mematuhi pembatasan yang ditetapkan hukum untuk melindungi hak-hak orang lain dan, sebagaimana tercantum dalam konstitusi, untuk memenuhi “tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.” Masih banyak orang yang ditahan dan dihukum penjara karena pelanggaran hukum penistaan agama. Pada bulan April, polisi menangkap banyak orang di berbagai daerah dengan dasar penodaan agama terkait unggahan media sosial yang memuat pemelesetan lirik lagu populer tentang istri Nabi Muhammad. Sejumlah pemerintah daerah menetapkan peraturan dan ketentuan daerah yang membatasi kegiatan keagamaan, seperti peraturan yang melarang praktik Islam Syiah atau Ahmadiyah. Di Provinsi Aceh, aparat masih terus menjalankan aturan cambuk di muka umum atas pelanggaran hukum syariah, seperti menjual miras, perjudian, dan perselingkuhan, termasuk mencambuk seorang wanita, yang mendapat 200 cambukan karena berselingkuh dengan dua pria, yang masing-masing menerima 100 cambukan atas keterlibatan mereka. Di Provinsi Riau, masyarakat setempat mencegah renovasi sebuah gereja Katolik sampai kabinet Presiden Joko Widodo turun tangan pada Februari dan menengahi perselisihan tersebut untuk memastikan renovasi dapat dimulai. Di tingkat nasional, pemerintah dan tokoh agama bekerja sama erat dalam menetapkan pembatasan untuk mengatasi pandemi COVID-19. Namun, terjadi beberapa perselisihan antara otoritas pemerintah dan kelompok agama di tingkat lokal. Pada bulan Desember, sebuah Surat Keputusan Bersama Menteri diterbitkan untuk melarang Front Pembela Islam (FPI), suatu kelompok yang namanya sangat dikenal oleh pengamat karena kekerasan dan intoleransi agama, karena pelanggaran hukum . Pada pulan yang sama, polisi menangkap pemimpin FPI karena mengadakan pertemuan besar yang melanggar protokol kesehatan COVID-19 dan karena terlibat dalam insiden yang menyebabkan enam anggota FPI tewas. Pada bulan September, seorang pendeta Kristen di Provinsi Papua tewas, dan organisasi-organisasi hak asasi manusia menyatakan bahwa anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang terlibat dalam konflik dengan kaum separatis bersenjata Papua bertanggung jawab dalam insiden ini. Pada bulan Februari, Pemerintah Kota Bandung, Jawa Barat, mengadakan sebuah parade lintas agama yang diikuti lebih dari 6.000 orang, dan pada kesempatan itu pejabat pemerintah dan polisi menandatangani dokumen yang menyatakan niat mereka untuk mendukung toleransi dan harmoni beragama.
Muslim Syiah dan Ahmadiyah melaporkan perasaan selalu berada di bawah ancaman dari “kelompok-kelompok intoleran.” Retorika anti-Syiah sering ditemukan di beberapa situs media daring dan di media sosial. Individu-individu yang di tingkat lokal berafiliasi ke Majelis Ulama Indonesia (MUI), suatu badan ulama Muslim kuasi-pemerintah (quasi-government), menggunakan retorika yang dianggap tidak toleran oleh minoritas agama, termasuk Muslim Syiah dan Ahmadiyah. Ada beberapa laporan serangan terhadap Muslim Syiah pada saat acara Syiah. Pada bulan Agustus, beberapa organisasi Islam yang terkait dengan Forum Umat Islam Bersatu (FUIB) Sulawesi Selatan mengeluarkan pernyataan yang mengecam komunitas Syiah dan rencana mereka untuk memperingati hari Asyura. Pada bulan April dan Mei, laporan tentang “konspirasi Yahudi di seluruh dunia” menyebar di media sosial, menuduh orang Yahudi, Kristen, dan komunis menggunakan COVID-19 dan pembatasan berkumpul publik untuk menghancurkan Islam. Pada bulan Maret, perwakilan kelompok lintas agama dari 11 sayap kepemudaan organisasi-organisasi keagamaan terbesar di Indonesia menandatangani deklarasi yang mendorong toleransi beragama di dalam negeri dan internasional.
Pada bulan Oktober, Menteri Luar Negeri AS memberikan pidato di sebuah acara yang diselenggarakan oleh Nahdlatul Ulama, organisasi Muslim independen terbesar di dunia, tentang pentingnya kebebasan beragama dan pluralisme. Duta Besar dan pejabat Kedutaan Besar serta konsulat selalu mendorong pelaksanaan kebebasan beragama kepada pemerintah, termasuk pada tingkat tertinggi. Persoalan-persoalanyang diangkat antara lain penindasan terhadap penganut agama minoritas, penutupan tempat ibadah, akses untuk organisasi keagamaan asing, vonis penodaan agama dan penistaan agama, pentingnya toleransi dan supremasi hukum, serta penerapan hukum syariah bagi non-Muslim. Para anggota Dewan Agama dan Pluralisme AS-Indonesia (the U.S.-Indonesia Council on Religion and Pluralism) — suatu organisasi yang didukung oleh kedua pemerintahan dan terdiri dari para pemimpin agama dan masyarakat sipil, akademisi, dan para pakar dari kedua negara – bertemu dengan Duta Besar untuk membahas kebebasan beragama. Kedutaan dan konsulat melakukan upaya penjangkauan (outreach) yang ekstensif untuk mendorong pesan-pesan menghormati keragaman dan toleransi beragama melalui berbagai acara, wawancara media, inisiatif media sosial, percakapan digital dan ceramah umum, pertukaran pemuda, dan program pendidikan.
Bagian I. Demografi Agama
Pemerintah AS memperkirakan total populasi Indonesia adalah sekitar 267 juta (perkiraan pertengahan tahun 2020). Menurut Sensus 2010, sekitar 87 persen dari populasi adalah Muslim, 7 persen Protestan, 3 persen Katolik Roma, dan 1,5 persen Hindu. Mereka yang menyatakan diri sebagai penganut agama lain, termasuk Buddha, agama-agama adat tradisional, Konghucu, Gafatar, denominasi agama Kristen lainnya, dan mereka yang tidak menanggapi pertanyaan sensus, berjumlah sekitar 1,3 persen dari populasi.
Populasi Muslim sebagian besar adalah Muslim Sunni. Diperkirakan satu sampai tiga juta Muslim adalah Syiah. Terdapat banyak kelompok Muslim yang lebih kecil; perkiraan menyebutkan jumlah total Muslim Ahmadiyah sekitar 200.000 sampai 400.000 orang.
Banyak kelompok agama memasukkan unsur-unsur Islam, Hindu, dan Buddhisme, membuat sulit untuk memastikan jumlah pengikut yang pasti. Sekitar 20 juta orang, terutama di Jawa, Kalimantan, dan Papua, menjalankan berbagai sistem kepercayaan tradisional, yang secara kolektif sering disebut sebagai aliran kepercayaan. Ada sekitar 400 komunitas aliran kepercayaan di seluruh kepulauan nusantara ini.
Populasi Sikh diperkirakan antara 10.000 hingga 15.000, – sekitar 5.000 berada di Medan dan sisanya di Jakarta. Ada komunitas Yahudi yang sangat kecil di Jakarta, Manado, Jayapura, dan di tempat lain, dengan jumlah total penganut Yahudi diperkirakan sebanyak 200 orang. Komunitas Baha’i dan Falun Dafa (atau Falun Gong) melaporkan ribuan anggota, namun tidak tersedia angka perkiraan independen. Jumlah ateis juga tidak diketahui, tapi kelompok Ateis Indonesia menyatakan memiliki lebih dari 1,700 anggota.
Masyarakat Provinsi Bali sebagian besar menganut agama Hindu, dan Provinsi Papua Barat, Papua, Nusa Tenggara Timur, dan Sulawesi Utara sebagian besar menganut agama Kristen.
Bagian II. Status Penghargaan Pemerintah Terhadap Kebebasan Beragama
KERANGKA KERJA HUKUM
Konstitusi menjamin hak untuk menjalankan agama yang dianut seseorang dan menyatakan bahwa kebebasan beragama adalah hak asasi manusia yang tak mungkin dibatasi. Konstitusi menyatakan, “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa,” namun menjamin hak beribadah semua orang sesuai agama atau keyakinannya, dan menyatakan bahwa hak untuk menganut agama adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dihilangkan.
Konstitusi juga mengatakan bahwa negara didasarkan pada kepercayaan pada Tuhan yang esa, dan negara berkewajiban untuk menjamin kebebasan beribadah. Didalamnya dinyatakan bahwa warga negara harus menerima pembatasan yang ditetapkan oleh hukum untuk melindungi hak-hak orang lain dan untuk memenuhi, seperti yang disebutkan dalam Konstitusi, “tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.” Hukum membatasi pelaksanaan hak warga negara apabila hal tersebut melanggar hak-hak orang lain, melanggar standar moral dan nilai-nilai agama yang berlaku umum, atau membahayakan keamanan atau ketertiban umum.
Kementerian Agama (Kemenag) memberikan pengakuan resmi kepada enam agama: -Islam, Katolik, Protestan, Buddha, Hindu, dan Konghucu. Pemerintah mempertahankan praktik lama yakni mengakui Islam Sunni sebagai versi resmi Islam bagi Muslim lokal, meskipun konstitusi tidak mencantumkan ketentuan tersebut.
Pasal penodaan agama dalam hukum pidana melarang pernyataan publik yang disengaja atau kegiatan yang menghina atau menista salah satu dari enam agama yang resmi diakui atau memiliki niat mencegah individu untuk menganut agama resmi. Pasal-pasal ini juga menetapkan bahwa dalam kasus penistaan atas enam agama yang diakui resmi, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Kemenag, dan Kejaksaan Agung harus terlebih dahulu memperingatkan individu tersebut sebelum mengajukan dakwaan penistaan. Pasal ini juga melarang penyebaran informasi yang dirancang untuk menyebarkan kebencian atau pertikaian antara individu dan/atau kelompok-kelompok masyarakat tertentu berdasarkan etnis, agama, atau ras. Individu dapat diajukan ke pengadilan dengan dakwaan penistaan, ateisme, atau pernyataan sesat berdasarkan salah satu ketentuan ini atau berdasarkan pasal pencemaran nama biak dan diancam hukuman penjara maksimal lima tahun. Undang-undang yang lain melarang penyebaran informasi serupa secara elektronik, dan pelanggarnya diancam hukuman maksimum empat tahun.
Pemerintah mendefinisikan agama adalah yang memiliki seorang nabi, kitab suci, dan Tuhan, serta pengakuan internasional. Pemerintah menyatakan enam agama resmi memenuhi persyaratan ini. Organisasi-organisasi yang mewakili salah satu dari enam agama yang diakui dalam hukum penistaan agama tidak perlu mendaftarkan badan h ukum jika dibentuk dengan akta notaris dan mendapatkan persetujuan dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Organisasi agama selain dari enam agama yang diakui dalam hukum penistaan agama harus mendapatkan pengakuan badan hukum sebagai organisasi masyarakat (ormas) dari Kemendagri. Kedua kementerian tersebut berkonsultasi dengan Kemenag sebelum memberikan status badan hukum bagi organisasi agama. Undang-undang menetapkan semua ormas untuk berasas Pancasila, yang meliputi prinsip keyakinan pada Tuhan yang Maha Esa, keadilan, persatuan, demokrasi, dan keadilan sosial, dan mereka dilarang melakukan tindakan menghujat atau menyebarkan kebencian agama. Secara hukum, semua kelompok agama harus mendaftar resmi kepada pemerintah. Persyaratan pendaftaran untuk organisasi agama antara lain: (A) organisasi tidak boleh bertentangan dengan Pancasila dan undang-undang dasar; (b) harus bersifat sukarela, sosial, mandiri, nirlaba, dan demokratis; (c) harus memiliki anggaran rumah tangga yang disahkan oleh notaris dan tujuan yang jelas. Organisasi tersebut selanjutnya mendaftar pada Kemenag. Setelah Kemenag menyetujui, organisasi ini diumumkan ke publik melalui lembaran negara. Pelanggaran hukum dapat mengakibatkan pencabutan status badan hukum, pembubaran organisasi, dan penangkapan anggota berdasarkan pasal penistaan agama pada hukum pidana atau hukum lainnya yang berlaku. Kelompok agama pribumi harus mendaftar pada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebagai aliran kepercayaan untuk mendapatkan status resmi.
Sebuah keputusan bersama tiga menteri melarang dakwah oleh kelompok Muslim Ahmadiyah serta penyerangan terhadap kelompok tersebut. Pelanggaran terhadap larangan dakwah Ahmadiyah diancam oleh hukuman penjara maksimum lima tahun atas dasar dakwaan penistaan agama. Menurut hukum pidana, penyerangan diancam hukuman penjara maksimum lima setengah tahun.
Sebuah keputusan bersama tiga menteri melarang dakwah dan kegiatan lain – Gerakan Fajar Nusantara, yang dikenal dengan nama Gafatar. Pelanggaran terhadaplarangan tersebut dapat didakwa dengan penistaan agama, dan diancam hukuman penjara maksimal lima tahun atas tuduhan penistaan agama.
Tidak ada surat keputusan bersama antar kementerian yang melarang dakwah oleh kelompok-kelompok lain. Namun MUI telah mengeluarkan fatwa yang melarang dakwah oleh apa yang disebut kelompok sesat seperti Inkar al-Sunnah, Ahmadiyah, Islam Jama’ah, Komunitas Lia Eden, dan al-Qiyadah al-Islamiyah. Sekalipun MUI tidak menyatakan Islam Syiah sebagai sesat, MUI telah mengeluarkan fatwa dan pedoman peringatan terhadap penyebaran ajaran Syiah.
Pemerintah mewajibkan semua kelompok agama yang terdaftar secara resmi untuk mematuhi arahan dari Kemenag dan kementerian lain tentang persoalan-persoalan seperti pembangunan rumah ibadah, bantuan asing untuk lembaga keagamaan dalam negeri, dan penyebaran agama.
Sebuah surat keputusan bersama tahun 2006 yang diterbitkan oleh Kemenag dan Kemendagri menyatakan bahwa kelompok agama dilarang menjalankan peribadatan di dalam tempat tinggal pribadi, dan kelompok yang ingin membangun rumah ibadah harus mendapatkan tanda tangan setidaknya 90 anggota kelompok dan 60 tanda tangan dari kelompok agama lain dalam masyarakat setempat yang menyatakan mereka mendukung pembangunan. Pemerintah daerah bertanggung jawab untuk menjalankan keputusan ini, dan peraturan, implementasi, dan pelaksanaan setempat amat bervariasi. Keputusan ini juga mewajibkan persetujuan dari dewan kerukunan beragama setempat, Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB). FKUB yang dibentuk oleh pemerintah ada di tingkat provinsi dan kota/kabupaten dan terdiri dari para pemuka dari enam agama resmi. Mereka bertanggung jawab untuk menengahi konflik antar agama.
Undang-undang mewajibkan pengajaran agama di sekolah umum. Siswa memiliki hak untuk meminta pengajaran agama dalam salah satu dari enam agama resmi, tetapi tidak selalu tersedia guru untuk mengajar kelas agama yang diminta. Berdasarkanhukum, individu tidak dapat memilih untuk tidak ikut pendidikan agama wajib. Dalam praktiknya, bagaimana pun, siswa dari kelompok agama minoritas sering diperbolehkan untuk memilih tidak ikut dan belajar di aula sebagai gantinya.
Berdasarkan ketentuan perjanjian perdamaian tahun 2005 yang mengakhiri konflik separatis, Provinsi Aceh memiliki otoritas yang unik untuk menjalankan peraturan syariah. Peraturan ini memungkinkan untuk penetapan peraturan dan pelaksanaan syariah tingkat provinsi dan memperluas yurisdiksi Pengadilan Agama hingga transaksi ekonomi dan kasus-kasus pidana. Pemerintah Aceh menyatakan hukum syariah di Aceh hanya berlaku bagi penduduk Muslim di provinsi itu, meskipun orang-orang Muslim non-warga dan penganut agama lain dapat memilih hukuman syariah sebagai pengganti hukuman berdasarkan hukum pidana.
Peraturan syariah Provinsi Aceh melarang tindakan seks sesama jenis atas dasar suka-sama-suka, perzinaan, perjudian, konsumsi alkohol, dan -di luar ikatan pernikahan untuk warga Muslim di provinsi tersebut. Sebuah keputusan Gubernur Aceh melarang – untuk bekerja atau mengunjungi restoran tanpa didampingi pasangan mereka atau saudara laki-laki setelah jam 9 malam. Keputusan Walikota Banda Aceh melarang – bekerja di kedai kopi, kafe internet, atau tempat olahraga setelah jam 1 siang. Aturan syariah melarang – Muslim Aceh mengenakan busana ketat di depan umum, dan para pejabat sering direkomendasikan harus memakai jilbab. Peraturan tersebut memungkinkan pihak berwenang setempat untuk “mengingatkan” perempuan Muslim tentang peraturan ini tapi tidak mengizinkan untuk menahan perempuan melanggar aturan tersebut. Salah satu kabupaten di Aceh melarang wanita duduk mengangkang saat menjadi penumpang di sepeda motor. Hukuman maksimum atas pelanggaran peraturan syariah mencakup hukuman penjara dan hukuman cambuk. Ada peraturan yang dimaksudkan untuk membatasi tingkat kekuatan yang digunakan algojo —
Banyak pemerintah daerah di luar Aceh juga menetapkan peraturan berdasarkan pertimbangan agama; sebagian besar di daerah-daerah yang berpenduduk mayoritas Muslim.
Banyak peraturan ini berhubungan dengan hal-hal seperti pendidikan agama dan hanya berlaku untuk kelompok agama tertentu. Beberapa peraturan daerah yang terpengaruh oleh agama secara efektif berlaku untuk semua warga. Misalnya, beberapa peraturan daerah mengharuskan restoran tutup pada jam-jam orang berpuasa selama Ramadan, larangan minuman beralkohol, atau mewajibkan zakat . Peraturan daerah lainnya melarang atau membatasi kegiatan kelompok minoritas agama, terutama Muslim Syiah dan Ahmadiyah. Undang-Undang Perkawinan- tidak secara eksplisit melarang pernikahan antar agama, tetapi mewajibkan agar upacara pernikahan harus dilaksanakan sesuai dengan tata cara agama yang dianut bersama oleh kedua pengantin.
Undang-undang ini menetapkan pemuka aliran kepercayaan harus dapat menunjukkan bahwa penghayat aliran tersebut tinggal di setidaknya tiga kabupaten, yakni wilayah administrasi satu tingkat di bawah provinsi, sebelum pemuka aliran tersebut dapat memberi pengesahan secara hukum dalam sebuah pernikahan. Pembatasan ini secara efektif menghalangi penganut dari sejumlah kelompok kecil yang anggotanya tidak tersebar secara geografis untuk mendapatkan layanan pernikahan resmi dari anggota kelompok seiman, meskipun kelompok-kelompok kepercayaan dapat saling membantu dan memfasilitasi pernikahan pada kelompok yang memiliki tradisi dan ritual yang mirip.
Sebuah surat keputusan bersama tiga menteri mewajibkan organisasi keagamaan dalam negeri untuk mendapatkan persetujuan dari Kemenag dalam menerima pendanaan dari donor luar negeri dan melarang penyebaran literatur dan pamflet keagamaan kepada anggota umat agama lain atau mendatangi dari pintu ke pintu untuk tujuan mengajak orang lain berpindah agama. Sebagian besar kelompok keagamaan, boleh berdakwah di tempat-tempat ibadah mereka sendiri, kecuali beberapa kelompok seperti Muslim Ahmadiyah.
Pekerja keagamaan dari luar negeri harus mendapatkan visa pekerja agama, dan organisasi agama luar negeri harus mendapatkan izin dari Kemenag untuk memberikan bantuan dalam jenis apa pun (barang, sumber daya manusia, atau keuangan) untuk kelompok-kelompok keagamaan lokal.
Negara ini merupakan penandatangan Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik.
PRAKTIK PEMERINTAH
Pemerintah terlibat dalam sejumlah aksi terhadap FPI antara lain insiden pada tanggal 7 Desember dengan polisi yang mengakibatkan tewasnya enam anggota FPI; penangkapan pimpinan FPI pada 12 Desember karena melanggar protokol kesehatan terkait COVID-19; dan pengumuman pemerintah tanggal 30 Desember yang melarang FPI, simbol-simbolnya, dan segala aktivitasnya. Masyarakat sipil dan organisasi agama telah lama menuduh FPI menjadi kelompok Muslim garis keras yang terlibat dalam aksi kekerasan, pemerasan, intimidasi, dan intoleransi terhadap Muslim lain dan agama serta komunitas etnis minoritas.
Pada tanggal 10 November, Rizieq Shihab, pemimpin FPI, kembali ke Indonesia setelah tiga tahun pengasingan diri di Arab Saudi. Shihab awalnya kabur pada tahun 2017 saat menghadapi penyelidikan kriminal terkait tuduhan melakukan penistaan, menyebarkan ujaran kebencian, terlibat dalam perampasan tanah, menghina ideologi nasional Pancasila, dan melanggar undang-undang antipornografi. Setelah kembali-ke Indonesia, Shihab mengorganisir beberapa pertemuan besar di Jakarta dan Jawa Barat pada tanggal 13-14 November. Polisi menangkap Shihab dengan tuduhan keterlibatan dalam mengorganisir pertemuan massa yang melanggar protokol kesehatan COVID-19. Pada tanggal 29 Desember, seorang hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memerintahkan pihak berwenang untuk membuka kembali penyelidikan atas dugaan Shihab melanggar undang-undang antipornografi karena bertukar pesan seksual eksplisit dengan seorang pengikutnya, sebuah kejahatan yang bisa berakibat- hukuman maksimum 12 tahun penjara.
Pada tanggal 7 Desember, polisi menembak dan menewaskan enam anggota FPI di jalan tol Jakarta-Cikampek. Menurut kepolisian daerah Jakarta, mereka menerima informasi bahwa keenam orang itu adalah bagian dari kelompok yang berencana untuk mencegah polisi menginterogasi Shihab. Pihak kepolisian mengatakan penembakan terjadi karena membela diri setelah enam anggota FPI menyerang polisi. Sebuah investigasi oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), sebuah badan independen terafiliasi pemerintah, sedang berlangsung pada akhir tahun.
Pada tanggal 30 Desember, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD mengumumkan keputusan bersama menteri yang menyatakan FPI sebagai organisasi “tidak terdaftar”; keputusan itu melarang organisasi tersebut, simbol-simbol, dan kegiatannya. Izin FPI untuk beroperasi sebagai organisasi agama telah berakhir pada bulan Juni 2019, dan FPI telah beroperasi tanpa status yang jelas selama 18 bulan. Mahfud MD menyatakan bahwa selama periode ini, FPI telah terlibat dalam kegiatan yang melanggar hukum dan ketertiban publik dan menolak untuk mengubah anggaran rumah tangga mereka untuk membuatnya memenuhi aturan hukum. Koalisi organisasi hak asasi manusia terkemuka merilis pernyataan yang mengatakan bahwa sekalipun mereka mengkritik tindakan kekerasan, ujaran kebencian, dan pelanggaran hukum yang dilakukan FPI, surat keputusan bersama kementerian tersebut tidak sesuai – dengan konstitusi negara dan merupakan larangan yang tidak adil terhadap hak berserikat dan berpendapat.
Pada tanggal 19 September, Yeremia Zanambani, seorang pendeta Kristen, ditembak hingga tewas di Kabupaten Intan Raya, Papua. Aktivis dan pemimpin agama setempat menyerukan diadakannya penyelidikan independen atas pembunuhan itu, dan menduga pelakunya adalah personil TNI. Menteri Mahfud MD membentuk tim pencari fakta independen yang menyimpulkan bahwa personil TNI mungkin telah terlibat. Komnas HAM merilis laporannya sendiri mengenai insiden tersebut secara terbuka,
yang menetapkan bahwa personel TNI bertanggung jawab atas pembunuhan tersebut. Penyelidikan internal TNI masih berlanjut di akhir tahun. Organisasi-organisasi hak asasi manusia dan pemimpin keagamaan mengaitkan insiden itu dengan operasi oleh pasukan keamanan terhadap separatis bersenjata di wilayah tersebut, tetapi mereka tidak mengaitkan serangan itu dengan diskriminasi atau penganiayaan agama.
Di Aceh, pihak berwenang terus melakukan hukuman cambuk untuk pelanggaran syariah seperti menjual alkohol, perjudian, dan hubungan di luar nikah. Hukuman cambuk juga terus dilakukan secara terbuka di muka umum meskipun Gubernur Aceh pada tahun 2018 memerintahkan agar hukuman cambuk hanya dilakukan di dalam lingkungan penjara. Pemerintah dan pejabat syariah menyatakan penduduk Aceh non-Muslim bisa memilih hukuman berdasarkan syariah atau prosedur pengadilan sipil, tapi warga Muslim Aceh harus menerima hukuman berdasarkan syariah. Menurut pemberitaan media dan aktivis HAM, beberapa warga Aceh non-Muslim memilih hukuman syariah, dilaporkan karena cepatnya proses hukuman dan risiko sidang yang berkepanjangan dan mahal serta kemungkinan hukuman penjara yang lama.
Pada 12 Februari, pihak berwenang di Kabupaten Aceh Tengah mencambuk seorang pria beragama Kristen 27 kali karena menjual minuman keras. Pada tanggal 5 Maret, pihak berwenang di Kabupaten Bireuen mencambuk seorang pria non-Muslim dan seorang perempuan- Muslim masing-masing 24 kali untuk hubungan seksual di luar nikah. Dalam kedua kasus tersebut, pria non-Muslim menerima hukuman berdasarkan syariah sebagai pengganti hukuman berdasarkan sistem peradilan biasa. Pada tanggal 10 April, pihak berwenang di Kabupaten Aceh Tamiang mencambuk seorang perempuan- 200 kali karena perselingkuhannya dengan dua pria, yang masing-masing juga menerima 100 pukulan. Pada tanggal 21 April, pihak berwenang di Kabupaten Aceh Utara mencambuk dua pria masing-masing 25 dan 40 kali, untuk pelecehan seksual terhadap seorang anak, dan sepasang lelaki–perempuan- yang melakukan perzinaan dihukum masing-masing menerima 100 cambukan. Pada tanggal 5 Juni, pihak berwenang di Kabupaten Aceh Utara mencambuk seorang pria yang dijatuhi hukuman 100 pukulan karena perzinaan. Pria itu pingsan setelah pukulan ke-74 dan dibawa pergi dengan ambulans.
Pada bulan Agustus, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia melaporkan 38 kasus penistaan agama dari Januari hingga Mei, dua di antaranya melibatkan lima orang berusia di bawah 18 tahun. Menurut dua pejabat pemerintah, hukum penodaan agama sering digunakan untuk melakukan diskriminasi terhadap agama minoritas. Pada tanggal 21 Agustus, Ketua Komnas HAM, Ahmad Taufan Damanik, menyatakan bahwa kurangnya kejelasan dalam undang-undang penodaan agama mengakibatkan aturan itu sering digunakan dengan sasaran agama minoritas. Pada tanggal 6 Maret, Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi, menyatakan bahwa dakwaan berdasarkan undang-undang penodaan agama sering ditujukan kepada perempuan, terutama mereka yang berasal dari agama minoritas.
Pada tanggal 7 Januari, polisi di Sumatera Barat menangkap Sudarto, seorang aktivis dari Yayasan Pusaka Padang, suatu organisasi advokasi hak asasi manusia dan lingkungan, karena melanggar Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dengan menyebarkan informasi dengan maksud untuk menghasut kebencian berdasarkan agama, suku, ras, dan/atau kelas. Sudarto mengunggah postingan -di laman Facebook yang menyatakan bahwa pemerintah daerah di Kabupaten Dharmasraya, Sumatra Barat, melarang ibadah Natal. Menurut laporan media, pada Desember 2019, petugas polisi di Dharmasraya telah memberi tahu masyarakat setempat untuk tidak mengadakan kebaktian Natal di sana dan sebaiknya pergi ke gereja di Kabupaten Sawahlunto, 75 mil dari desa tersebut. Sudarto dibebaskan sehari setelah ditangkap.
Pada tanggal 15 Januari, polisi di Sulawesi Selatan menangkap dan mendakwa Paruru Daeng Tau, ketua Lembaga Pelaksana Amanat Adat dan Pancasila (LPAAP), dengan penistaan agama setelah menerima pengaduan bahwa Daeng Tau diduga mengatakan kepada pengikutnya bahwa dia adalah nabi terakhir dan mengabaikan prinsip-prinsip dasar Islam. MUI daerah di Kabupaten Tana Toraja telah mengeluarkan fatwa pada
Desember 2019 yang menyatakan LPAAP sebagai organisasi sesat. Pada tanggal 3 Juni, Daeg Tau dihukum karena penodaan agama dan dijatuhi hukuman dua tahun empat bulan penjara.
Pada bulan Februari, media melaporkan bahwa majelis hakim memutuskan bahwa Suzethe Margaret, seorang perempuan-beragama Katolik yang dituduh melakukan penistaan agama karena membawa seekor anjing masuk ke dalam masjid pada Juni 2019, bersalah karena penistaan agama tetapi tidak dihukum penjara karena alasan sakit jiwa. Jaksa sebelumnya menuntut agar dia dihukum delapan bulan penjara.
Pada bulan Maret, polisi di Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur, menangkap Indriyanto karena membagikan gambar Hajar Aswad (batu spiritual penting yang diletakkan di salah satu sudut Ka’bah) yang menyerupai alat kelamin wanita dan karena membagikan gambar yang menunjukkan kata “Allah” sedang buang air besar. Pada tanggal 9 Juli, Pengadilan Negeri Probolinggo Jawa Timur memvonis Indriyanto empat tahun penjara dan denda lima juta rupiah karena melanggar Undang-Undang ITE.
Pada bulan April, polisi menangkap dan mendakwa banyak orang di berbagai tempat di Indonesia karena unggahan media sosial yang menyertakan sebuah lagu populer tentang istri Nabi Muhammad yakni “Aisyah Istri Rasulullah” versi yang telah diubah . Pada 10 April, Rahmat Hidayat, seorang selebriti Youtube yang dikenal sebagai Aleh Khas Medan, ditangkap di Medan, Sumatera Utara, karena mengunggah video di Youtube yang berisi lagu tersebut, serta tindakan yang dianggap pihak berwenang menyinggung pihak lain. Pada tanggal 1 Oktober, Hidayat dijatuhi hukuman tujuh bulan penjara berdasarkan Undang-Undang ITE UU ITE). Pada tanggal 15 April, polisi di Surabaya menangkap dan mendakwa Bambang Bima Adhis Pratama berdasarkan UU ITE mengunggah video dirinya di media sosial, menyanyikan lagu dengan lirik yang diubah tersebut. Pada tanggal 30 April, polisi di Sulawesi Selatan menahan Bahrul Ulum, seorang mahasiswa, karena membuat tweet berisi lirik lagu yang diubah itu. Pada bulan Mei, polisi di Provinsi Gorontalo menangkap tiga anak muda setelah mereka mengunggah video diri mereka bernyanyi dan menari mengikuti lagu dengan lirik yang diubah itu di WhatsApp.
Pada tanggal 4 Mei, polisi di Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, menahan seorang perempuan karena penistaan agama setelah dia mengunggah video ke TikTok berisi dirinya menari dengan mukena tradisional yang dikenakan saat salat. Setelah penangkapan itu, seorang pengurus- Muhammadiyah, salah satu kelompok Islam terbesar di Indonesia, mendorong polisi setempat untuk membebaskan perempuan – itu, dengan menyatakan bahwa dia tidak berniat melakukan penistaan. Tidak jelas apakah polisi membebaskannya.
Pada tanggal 9 Juli, polisi pelabuhan di Makassar menangkap dan mendakwa Ince Ni’matullah dengan tuduhan penistaan setelah dia diduga melemparkan Al-Quran saat bertengkar dengan tetangganya.
Pada tanggal 4 Agustus, sebuah pengadilan di Medan memvonis Doni Irawan Malay tiga tahun penjara karena penodaan agama. Menurut jaksa, pada 13 Februari, Malay menodai Al-Quran di Masjid Al-Mashun, termasuk meletakkannya di celana, merobek halaman-halamannya, dan membuangnya ke tempat sampah.
Pada tanggal 8 Agustus, polisi menangkap Apollinaris Darmawan di Bandung berdasarkan Undang-Undang ITE karena serangkaian tweet dan video yang diposting di Twitter dan Instagram yang antara lain menyatakan Islam bukan agama dan harus diusir dari negara. Sesaat sebelum penangkapan pria itu, kerumunan orang yang marah atas postingannya menyerbu rumahnya, menyeretnya ke jalan, dan menelanjangi pakaiannya. Tampaknya polisi tidak menahan siapa pun yang terlibat dalam serangan itu. Pada tanggal 24 November, jaksa penuntut umum secara resmi mendakwa Darmawan berdasarkan UU ITE dan menuntut hukuman maksimum yakni enam tahun penjara dan denda 800 juta rupiah. Darmawan telah divonis dan dijatuhi hukuman pada Agustus 2017 selama empat tahun penjara dan denda 800 juta rupiah karena melanggar UU ITE untuk serangkaian gambar dan artikel yang dia posting ke Facebook yang menggambarkan Allah sebagai monster, Nabi Muhammad sebagai homoseksual, dan yang membuat pernyataan-pernyataan yang menghina Islam. Darmawan dibebaskan lebih awal dari penjara pada bulan Maret sebagai bagian dari program asimilasi. Tidak jelas apakah pembebasan ini terkait dengan upaya pemerintah yang membantu mencegah penyebaran COVID-19 di penjara yang penuh sesak.
Pada tanggal 29 September, pengadilan di Medan menghukum Muhammad Qadafi, alias Udin, 18 bulan penjara karena penodaan agama setelah ia dinyatakan bersalah karena melemparkan Alquran ke dalam sebuah masjid dalam sebuah insiden pada tanggal 25 Maret.
Pada tanggal 4 Desember, polisi menangkap seorang ulama Muslim di Kabupaten Cibadak, Jawa Barat, karena menyebarkan video yang diambil ketika pria itu mengumandangkan azan dengan kata-kata yang diubah menjadi panggilan jihad. Pria itu ditangkap berdasarkan UU ITE karena menyebarkan ujaran kebencian. Para pemimpin Muslim terkemuka dari Nahdlatul Ulama dan MUI secara terbuka mengecam video tersebut ketika mulai beredar pada akhir November.
Pada 28 Desember, polisi meminta keterangan dari Haikal Hassan terkait potensi pelanggaran UU ITE dan undang-undang penistaan agama karena menyatakan dia bertemu Nabi Muhammad dalam mimpi. Haikal adalah juru bicara Ikatan Alumni 212, sebuah kelompok yang dibentuk untuk memperingati demonstrasi tanggal 2 Desember 2016, yang dilakukan oleh kelompok-kelompok Islam konservatif terhadap Gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama yang menyerukan untuk mengadilinya berdasarkan undang-undang penistaan agama.
Dari 18 Agustus hingga 27 Agustus, koalisi LSM menyelenggarakan konferensi daring berjudul “Hukum Penodaan Agama: Perlindungan atau Kriminalisasi?” Konferensi ini mengeksplorasi tren, pola, dan perkembangan kriminalisasi yang melibatkan tuduhan penistaan agama, serta apa yang digambarkan sebagai “praktik diskriminatif” yang terjadi di tanah air. Penyelenggara konferensi menyurvei 2.247 peserta dan menemukan bahwa 78 persen percaya bahwa tantangan terbesar yang dihadapi kebebasan beragama adalah peraturan yang diskriminatif, tindakan intoleran terhadap kaum minoritas, dan kurangnya pemulihan bagi para korban. Survei tersebut juga menunjukkan bahwa 84 persen peserta setuju bahwa diperlukan upaya untuk menghapus peraturan yang diskriminatif, mendorong penegakan hukum yang efektif terhadap mereka yang melanggar kebebasan beragama orang lain, dan memberikan pemulihan bagi mereka yang dituduh melanggar undang-undang penodaan agama.
Pemerintah merespons pandemi COVID-19 dengan menerapkan kebijakan pencegahan penyebaran virus melalui pembatasan acara publik, termasuk pertemuan keagamaan. Di tingkat nasional, pemerintah dan tokoh agama bekerja sama erat dalam menyusun pembatasan ini. Misalnya, pada tanggal 16 Maret, MUI mengeluarkan fatwa yang merekomendasikan penangguhan salat Jumat berjamaah untuk mencegah penyebaran COVID-19. Pada bulan Juni, Presiden Joko Widodo bertemu dengan para pemimpin lintas agama untuk membahas bagaimana organisasi dan kelompok agama tersebut berencana untuk beradaptasi dengan COVID-19.
Beberapa perselisihan lain antara pihak berwenang dan kelompok agama terjadi di tingkat lokal terkait pembatasan kesehatan akibat virus COVID-19. Pada bulan April, – jemaat- Masjid Ar-Rahmah di Kota Pare-Pare, Sulawesi Selatan, melaporkan Camat Andi Ulfa Lanto ke polisi atas kasus penistaan agama setelah Ulfa berusaha menghentikan salat Jumat di masjid tersebut. Takmir masjid mengatakan tindakannya merupakan penistaan agama karena peraturan COVID-19 setempat mendorong orang hanya untuk menghindari pertemuan massal, dan tidak secara eksplisit melarang salat Jumat. Pada tanggal 1 Mei, Walikota Pare-Pare Taufan Pawe menanggapi dengan mengajukan laporan polisi yang menuduh jemaat- – masjid tidak mematuhi protokol kesehatan dan menghalangi pejabat menjalankan tugasnya. MUI dan FUIB Sulawesi Selatan menyatakan bahwa Ulfa tidak melakukan penistaan agama.
Pada tanggal 19 April, dua pria memasuki kediaman keluarga Kristen di Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, dan menuntut mereka menghentikan ibadah yang diadakan di rumah tersebut. Gangguan itu direkam dan disebarluaskan secara daring. Menurut laporan media, salah satu dari pria itu adalah seorang pemimpin Muslim setempat.
Pada 27 Januari, Bupati Bogor, Jawa Barat, Ade Munawaroh Yasin, mengeluarkan surat kepada – Jemaat Ahmadiyah setempat yang menyatakan bahwa Islam Ahmadiyah ilegal di Bogor dan menyerukan kepada pengikut Ahmadiyah untuk menghentikan semua kegiatan di dalam dan di luar kompleks mereka di Kemang Bogor. Pada tanggal 16 Maret, aktivis dari Aliansi Benteng Aqidah, sebuah kelompok bentukan yang terdiri dari kelompok-kelompok Islam setempat, yang menurut pengamat,- beraliran garis keras, berunjuk rasa di depan kantor bupati untuk mendukung keputusannya melarang aktivitas Ahmadiyah di Bogor. Sebagai tanggapan, sebanyak 31 organisasi non-pemerintah (LSM) setempat membentuk Aliansi untuk Bogor Bersatu untuk mengutuk aksi unjuk rasa dan mendukung toleransi di Bogor.
Menurut pemberitaan media, pada Juli lalu, Tim Pengawas Aliran Kepercayaan dan Aliran Keagamaan (PAKEM) Kota Ternate yang terdiri dari kepolisian, kejaksaan, Kementerian Agama , FKUB, dan MUI, menjalankan pelarangan aktivitas umat agama Syiah Jafariah di kota Maluku Utara. Rapat PAKEM digelar setelah kelompok Syiah memasang spanduk peringatan Idul Fitri. MUI Maluku Utara mengeluarkan fatwa menentang kelompok tersebut pada tahun 2015, yang menetapkannya sebagai organisasi sesat.
Pada tanggal 27 Juli, jemaat Gereja Pantekosta Efata Indonesia di Kabupaten Indragiri Hilir, Riau, menerima tawaran dari pemerintah daerah untuk merelokasi gerejanya ke lokasi yang berjarak 10 kilometer (enam mil). Pada 2019, pejabat setempat sempat melarang jemaat beribadah di lokasi tersebut karena tidak terdaftar secara resmi sebagai rumah ibadah.
Pada tanggal 5 Agustus, Dewan Desa Adat Bali, yang dibentuk pada tahun 2019 oleh pemerintah provinsi Bali, melarang semua kegiatan peribadatan oleh International Society for Krishna Consciousness (ISKCON) di 1.493 desa adat di provinsi tersebut. Ketua dewan menyatakan bahwa ajaran ISKCON pada dasarnya berbeda dengan ajaran Hindu, oleh karena itu pelarangan itu diperlukan untuk melestarikan budaya Hindu dan Bali. Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) cabang Bali secara terbuka mencabut pengakuannya atas ISKCON dan mendorong PHDI pusat untuk melakukan pencabutan di tingkat nasional.
Pada tanggal 1 Juli, juru bicara Kemenag menyatakan kementerian akan melibatkan TNI dalam upaya peningkatan kerukunan umat beragama. Anggota dewan dan koalisi LSM menyatakan bahwa keterlibatan aparat keamanan dalam urusan agama kemungkinan akan menciptakan kerukunan beragama yang dibuat-buat dan dipaksakan dan bukan dialog lintas agama yang diperlukan untuk kerukunan sejati. Pada 7 Juli, Menteri Agama saat itu Fachrul Razi, seorang purnawirawan jenderal TNI, mengklarifikasi di rapat dengan legislatif bahwa Kemenag– hanya meminta masukan militer, bukan keterlibatan, dalam upaya keagamaan, dan khususnya hanya di Papua, untuk membantu meredakan ketegangan di sana.
Aplikasi ponsel Smart Pakem, yang diluncurkan oleh Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta pada tahun 2018 untuk memungkinkan warga melaporkan kasus penistaan dan penodaan agama, telah dihapus dari Google Play Store dan Apple Store. Sejak peluncurannya, organisasi-organisasi hak asasi manusia mengkritik aplikasi tersebut dan meminta Google dan Apple untuk menghapusnya. Tidak jelas apa yang menyebabkan penghapusannya.
Kemenag mempertahankan kewenangannya di tingkat nasional dan lokal untuk melakukan “pembangunan” kelompok agama dan pemeluknya, termasuk upaya untuk mengubah kelompok agama minoritas menjadi Islam Sunni. Mulai tahun 2014, Jemaat Ahmadiyah di beberapa kabupaten di Jawa Barat melaporkan bahwa pemerintah daerah memaksa atau mendorong Muslim Ahmadiyah berpindah keyakinan, dengan menggunakan ketentuan bahwa Ahmadiyah menandatangani formulir meninggalkan keyakinan mereka agar dapat mendaftarkan pernikahan atau berhaji. Namun, pada bulan Juli, anggota Jemaat Ahmadiyah di Kota Tasikmalaya, Jawa Barat, melaporkan bahwa mereka tidak lagi diharuskan menandatangani formulir tersebut sebelum menikah atau naik haji.
Menurut kelompok-kelompok agama dan LSM, pejabat pemerintah dan polisi terkadang gagal mencegah “kelompok intoleran” melanggar kebebasan beragama orang lain dan melakukan tindakan intimidasi lainnya, seperti merusak atau menghancurkan rumah ibadah dan rumah tinggal. Kelompok-kelompok yang sering diidentifikasi sebagai kelompok intoleran antara lain FPI, Forum Umat Islam, Front Jihad Islam, dan Majelis Mujahidin Indonesia.
Sepanjang Juli dan Agustus, FKUB Nusa Tenggara Timur menggelar lomba cerpen bertema nilai kerukunan umat beragama di provinsi tersebut. Panitia mendapat 71 karya dari para mahasiswa. Untuk merayakan karya-karya pemenang, cabang FKUB setempat bekerja sama dengan media cetak lokal untuk menerbitkan cerita-cerita tersebut. Sepuluh cerita terbaik juga disusun menjadi e-book, dan diterbitkan.
Pada bulan Agustus, Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa menetapkan tiga desa di provinsi tersebut sebagai “Desa Sadar Kerukunan,” yakni desa Mojorejo di Batu, desa Tenduro di Lumajang, dan desa Wonorejo di Kabupaten Situbondo. Gubernur Khofifah dan pejabat Kanwil Kemenag Jatim memilih lokasi-lokasi tersebut berdasarkan prestasi dalam memajukan toleransi beragama.
Pada bulan September, Menteri Desa, Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, Abdul Halim Iskandar menetapkan Desa Banuroja di Provinsi Gorontalo sebagai “Desa Pancasila”. Iskandar dan para pejabat kementeriannya memilih Banuroja karena keragaman etnis dan agamanya.
Pada bulan September, Tajul Muluk, pemimpin komunitas lebih dari 500 Muslim Syiah, menyatakan niatnya untuk masuk Islam Sunni, bersama dengan mayoritas anggota kelompoknya. Kelompok tersebut telah mengungsi ke pinggiran Surabaya, Jawa Timur, sejak 2012 setelah kekerasan masyarakat memaksa mereka meninggalkan rumah mereka di Kabupaten Sampang, Madura. Dalam surat bertanggal 10 September kepada Bupati Sampang, Muluk meminta agar dia dan pengikutnya dapat masuk Islam Sunni. Surat dan wawancara media selanjutnya tidak menjelaskan alasan permintaan beralih keyakinan itu. Menurut laporan media, bupati menyatakan bahwa dia tidak meminta Muluk menulis surat itu.
Pada bulan Januari, sekelompok organisasi hak asasi manusia lokal merilis laporan berjudul Outlook 2020 tentang Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia. Laporan tersebut menyatakan bahwa jumlah pelanggaran kebebasan beragama meningkat setiap tahun dan mengkritik pendekatan pemerintah terhadap kebebasan beragama yang semakin berdasarkan kekuatan mayoritas dan represi. Saat peluncuran laporan itu, Alissa Wahid, Koordinator Jaringan Gusdurian dan putri mendiang mantan presiden Abdurrahman Wahid, menyatakan, “Favoritisme dan mayoritasisme semakin kuat di Indonesia. Pemerintah tidak melakukan upaya yang cukup untuk menegakkan konstitusi, dan semakin banyak konflik diselesaikan dengan kesepakatan lokal, yang sering kali mewakili kepentingan mayoritas.” Asfinawati, Ketua Yayasan LBHI-, menyatakan saat peluncuran laporan itu bahwa “negara telah menggunakan pendekatan represif [terhadap perbedaan agama], hanya memperdalam konflik dan segregasi alih-alih mengakhiri intoleransi.”
Pada bulan April, lembaga legislatif melanjutkan diskusi tentang Rancangan Undang-Undang Kitab Hukum Pidana (RKUHP) yang dijadwalkan untuk dibahas lebih lanjut pada September 2019 karena protes publik massal. LSM-LSM menyatakan keprihatinan bahwa undang-undang tersebut dapat memperluas undang-undang penodaan agama dan bagian pidana lainnya yang dapat digunakan untuk membatasi kebebasan beragama. Pada tanggal 14 April, Aliansi Nasional Reformasi KUHP, koalisi 41 LSM, mengeluarkan pernyataan yang mengkritik usulan legislatif untuk melanjutkan pembahasan di tengah pandemi COVID-19 dengan alasan akan menghambat partisipasi publik. Aliansi itu juga berpandangan kritis terhadap berbagai ketentuan dalam rancangan tersebut, termasuk bagian-bagian yang mungkin membatasi kebebasan beragama. Para anggota legislatif melanjutkan pembahasan usulan undang-undang tersebut pada akhir tahun.
Pada bulan Juli, Yayasan Wahid merilis laporan yang mendokumentasikan kasus-kasus pelanggaran kebebasan beragama, seperti yang didefinisikan oleh yayasan tersebut, yang terjadi dari 2009 hingga 2018. Laporan itu menemukan bahwa selama periode tersebut, terdapat 1.033 kasus penyalahgunaan oleh aktor negara dan 1.420 kasus oleh aktor non-negara, dengan kategori pelanggaran negara terbesar adalah pembatasan/penutupan tempat ibadah (163), dan pelanggaran non-negara adalah intimidasi (205). Menurut laporan tersebut, kasus penganiayaan oleh aktor negara meningkat selama pemerintahan Joko Widodo dibandingkan dengan pemerintahan sebelumnya, tetapi kasus non-negara dan kasus kekerasan menurun.
Gubernur di dua provinsi meminta penghapusan terjemahan Alkitab yang tersedia melalui aplikasi ponsel. Pada tanggal 28 Mei, Gubernur Sumatera Barat, Irwan Prayitno, mengirim surat kepada Menteri Komunikasi dan Informatika yang meminta penghapusan aplikasi yang disebut “Alkitab dalam Bahasa Minangkabau”. Prayitno menyatakan bahwa terjemahan tersebut telah membuat masyarakat Minangkabau tidak nyaman karena bertentangan dengan budaya mereka. Pada 30 Mei, Pejabat Gubernur Aceh Nova Iriansyah mengirim surat kepada Google Indonesia yang meminta dihapusnya aplikasi berjudul “Aceh Holy Book,” versi Alkitab yang diterjemahkan ke dalam bahasa Aceh, yang menyatakan bahwa itu provokatif dan dapat memicu kerusuhan di masyarakat Aceh. Dalam kedua kasus tersebut, pengembang memilih untuk secara sukarela menghapus aplikasi dari Google Play Store. Sumber-sumber menyatakan bahwa tidak ada indikasi bahwa aplikasi tersebut melanggar kebijakan konten Google atau bahwa Kementerian Komunikasi dan Informatika meminta pengembang untuk menghapus aplikasi tersebut.
Di banyak tempat, kelompok agama minoritas, termasuk kelompok Muslim di daerah mayoritas non-Muslim, menyatakan bahwa persyaratan harus mengumpulkan jumlah pendukung tertentu untuk membangun atau merenovasi rumah ibadah adalah penghalang untuk pembangunan. Anggota komunitas Yahudi menyatakan bahwa karena jumlah mereka secara nasional sangat sedikit, tidak mungkin bagi mereka untuk membangun sinagoge baru.
Pemerintah daerah tidak mengeluarkan izin pembangunan rumah ibadah baru meskipun jemaat telah memperoleh jumlah pendukung yang diminta, karena penentang pembangunan terkadang menekan anggota jemaat lain untuk tidak menyetujuinya. Dalam banyak kasus, dilaporkan bahwa sekalipun hanya ada beberapa penentang vokal dari kelompok keagamaan mayoritas setempat sudah cukup untuk menghentikan perizinan pembangunan. Para pemimpin agama yang diakui negara di forum lintas agama yang didukung pemerintah dilaporkan menemukan cara untuk menghalangi penganut aliran kepercayaan membangun tempat ibadah, sebagian besar melalui persyaratan izin yang ketat. Para penganut aliran kepercayaan mengatakan bahwa mereka takut akan tuduhan ateisme jika mereka menentang perlakuan seperti itu di pengadilan. Para pemimpin Kristen melaporkan bahwa pejabat setempat menunda persetujuan permintaan untuk membangun gereja baru tanpa batas waktu karena para pejabat khawatir pembangunan akan menyebabkan protes. Kelompok Muslim Ahmadiyah dan Syiah serta Kristen mengatakan bahwa mereka juga menghadapi masalah ketika meminta perizinan untuk melakukan relokasi ke fasilitas sementara pada saat tempat ibadah utama menjalani renovasi.
Pemerintah daerah, polisi, dan organisasi keagamaan dilaporkan berusaha menutup rumah ibadah kelompok agama minoritas atas dasar pelanggaran izin, sering kali setelah protes dari “kelompok intoleran,” bahkan sekalipun jika kelompok minoritas telah memiliki izin yang dibutuhkan.
Banyak jemaat tidak bisa memperoleh jumlah tanda tangan non anggota yang diperlukan untuk mendukung pembangunan rumah ibadah dan sering menghadapi berbagai protes dari “kelompok-kelompok intoleran” selama proses pengajuan izin, sehingga izin tersebut hampir tidak mungkin diperoleh. Bahkan ketika pihak berwenang telah mengeluarkan izin, mereka menghentikan pembangunan pada beberapa rumah ibadah setelah menghadapi tantangan hukum dan protes publik. Gereja-gereja Protestan dan Katolik juga melaporkan bahwa “kelompok-kelompok intoleran” memaksa mereka membayar uang perlindungan untuk terus beroperasi tanpa izin. Beberapa rumah ibadah yang didirikan sebelum surat keputusan bersama tiga menteri tentang pembangunan rumah ibadah mulai berlaku tahun 2006 dilaporkan diwajibkan untuk memenuhi persyaratan atau diancam untuk ditutup. Banyak rumah ibadah beroperasi tanpa izin di gedung perkantoran, mal, rumah pribadi, dan toko.
Februari lalu, Presiden Joko Widodo dan Menteri Agama saat itu Fachrul Razi melakukan intervensi kepada pemerintah daerah Kabupaten Karimun, Riau, untuk mengizinkan renovasi gereja Katolik setempat. Gereja Katolik Saint Joseph telah mendapat izin untuk merenovasi bangunannya pada tahun 2019, tetapi perlawanan setempat menghalangi dimulainya pembangunan. Setelah adanya intervensi, pembangunan Gereja dimulai pada bulan April.
Pada bulan Februari, Presiden Joko Widodo menyetujui pembangunan terowongan bawah tanah yang menghubungkan Masjid Istiqlal, masjid terbesar di Asia Tenggara, dengan Katedral Jakarta. Presiden Joko Widodo menamakannya sebagai “Terowongan Persaudaraan” untuk mewakili hubungan yang mendalam di antara agama-agama di negara ini. Pembangunannya akan dilakukan sebagai bagian dari renovasi Masjid Istiqlal dalam skala yang lebih besar. Kardinal Ignatius Suharyo Hardjoatmodjo, Kepala Keuskupan Agung Jakarta, menyatakan terowongan itu merupakan kelanjutan dari visi Presiden pertama Indonesia, Sukarno, yang memutuskan untuk membangun Masjid Istiqlal di seberang katedral untuk mempromosikan pesan toleransi. Imam Besar Masjid Istiqlal Nasaruddin Umar mengatakan bahwa suatu saat jalan raya yang memisahkan kedua rumah ibadah itu mungkin akan ditutup untuk membuat satu kampus besar lintas agama yang digunakan bersama oleh kedua umat beragama.
Pada bulan Februari, pemerintah daerah di Bandung, Jawa Barat, menyelenggarakan pawai lintas agama yang diikuti lebih dari 6.000 orang. Di akhir acara, pejabat dari DPRD, pemerintah, dan polisi menandatangani dokumen yang menyatakan niat mereka untuk mendukung toleransi dan kerukunan beragama di Bandung.
Jemaat Ahmadiyah menghadapi tekanan dari pejabat setempat untuk menghentikan rekonstruksi dan renovasi rumah ibadah mereka. Menurut pengaduan yang diajukan oleh Muslim Ahmadiyah di kota Sukabumi, Jawa Barat, kepada Komnas HAM pada bulan Februari dan Maret, pejabat pemerintah daerah, polisi, dan militer berusaha untuk mengintimidasi komunitas Ahmadiyah agar menghentikan renovasi Masjid Al-Furqon. Pejabat setempat mengunjungi lokasi tersebut pada beberapa kesempatan, memperingatkan bahwa dilanjutkannya renovasi akan menyebabkan kerusuhan dan menyebabkan serangan. Menurut laporan media, pada tanggal 16 Maret, pejabat setempat menyegel masjid itu secara permanen. Dalam kasus serupa, pada tanggal 27 Januari lalu, Pemerintah Kota Tasikmalaya, Jawa Barat, mengeluarkan surat keputusan bersama yang melarang renovasi Masjid Ahmadiyah Al-Aqso, serta melarang warga Ahmadiyah melakukan kegiatan ibadah di tempat umum atau berdakwah. Pada tanggal 4 April, pejabat setempat menyegel masjid itu.
Pada tanggal 6 Maret, pengunjuk rasa berdemonstrasi menentang pembangunan gereja Baptis di kawasan Tlogosari Kulon kota Semarang, Jawa Tengah. Gereja itu telah memperoleh izin mendirikan bangunan dari pemerintah kota pada tahun 1998, tetapi pembangunannya belum selesai. Setelah protes tersebut, polisi setempat menghubungi pihak gereja dan memintanya untuk menangguhkan pembangunan selama tiga bulan untuk menghindari lebih banyak protes. Pada tanggal 24 September, wali kota Semarang mengeluarkan izin mendirikan bangunan baru untuk gereja tersebut, dan pembangunan dilanjutkan kembali pada bulan Oktober. Protes serupa telah menghentikan pembangunan gereja pada bulan Agustus 2019.
Pada tanggal 20 Juli, pejabat daerah menutup makam yang dibangun oleh anggota kelompok keagamaan Sunda Wiwitan di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Pihak berwenang setempat menyatakan bahwa kelompok itu telah membangun sebuah monumen, yang menurut peraturan setempat memerlukan izin bangunan, sementara anggota Sunda Wiwitan mengatakan bahwa struktur itu hanya sebuah makam dan karenanya tidak memerlukan izin. Para penganut Sunda Wiwitan mengadu ke Komnas HAM, yang menawarkan untuk menengahi antara pemerintah daerah dan kelompok agama. Pada tanggal 13 Agustus, pejabat pemerintah setempat melepas segel pada struktur dan lokasi itu dibuka kembali.
Menurut laporan media, pada bulan September, di kota Cikarang, Jawa Barat, individu-individu memprotes sebuah gereja Kristen dan menggunakan pengeras suara yang memainkan lagu-lagu Islami secara lantang untuk meredam suara layanan peribadatan. Pemimpin unjuk rasa menyatakan gereja itu terletak di sebuah tempat tinggal yang tidak memiliki izin yang sah untuk beroperasi sebagai rumah ibadah.
Pada tanggal 17 September, Bupati Kabupaten Singkil, Aceh, mengirimkan surat kepada Gereja Kristen Pakpak Dairi agar gereja itu menghentikan pembangunan rumah pendeta jemaat. Menurut surat itu, rumah itu dibangun tanpa izin dan mengancam kerukunan umat beragama di kawasan itu. Sebelumnya di awal September, jemaat mengirimkan pengaduan ke kantor Komnas HAM setempat yang mengatakan bahwa pemerintah setempat tidak menanggapi komunikasi mereka. Jemaat menyatakan bahwa karena bangunan itu adalah rumah pendeta, maka seharusnya tidak memerlukan persetujuan yang sama dengan rumah ibadah.
Menurut laporan media, pada tanggal 21 September, pihak berwenang di desa Ngastemi di Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, meminta seorang perempuan – Kristen untuk berhenti merenovasi rumahnya setelah mereka mencurigai dia menggunakan rumahnya sebagai tempat ibadah tanpa izin. Dilaporkan, pihak berwenang setempat menghentikan renovasi setelah mereka menemukan salah satu jendela yang baru direnovasi bergambar salib.
Pada bulan Maret, Pusat Kajian Agama dan Demokrasi Paramadina merilis kajian penelitian tentang Surat Keputusan Bersama 2006 tentang Rumah Ibadah dan FKUB. Peneliti menerima jawaban kuesioner dari 24 FKUB tingkat provinsi, 33 kota, dan 110 kabupaten – sekitar 30 persen dari total 548 FKUB di Indonesia. Studi ini menemukan ketidaksesuaian di antara FKUB dalam merekomendasikan apakah rumah ibadah baru boleh dibangun. Sebagai contoh, FKUB di Solo, Jawa Tengah, telah menerima 396 permintaan untuk membangun rumah ibadah, semuanya disetujui. Namun, FKUB di Kabupaten Lampung Utara, provinsi Lampung, telah mendapat 47 permohonan dan 38 di antaranya ditolak. Laporan tersebut menyimpulkan bahwa berbagai keanehan dalam SKB 2006 berarti kinerja FKUB bergantung pada peraturan pemerintah daerah; keanggotaan FKUB tidak terlalu beragam dan sebagian besar terdiri dari pegawai pemerintah laki-laki berusia tua; dan misi FKUB untuk mendorong dialog lintas agama dan mencegah konflik agama terhambat oleh beban administrasi terkait pemrosesan permohonan pembangunan rumah ibadah.
Penganut aliran kepercayaan masih terus menyatakan bahwa para guru menekan mereka untuk mengikutkan anak-anak mereka ke dalam kelas pendidikan agama pada salah satu dari enam agama yang diakui secara resmi. Kelompok agama minoritas di luar enam agama yang diakui mengatakan bahwa sekolah sering mengizinkan anak-anak mereka menggunakan waktu pendidikan agama dengan belajar di aula, tetapi pejabat sekolah mengharuskan orang tua untuk menandatangani dokumen yang menyatakan bahwa anak-anak mereka mendapatkan pendidikan agama. Siswa Muslim Ahmadiyah melaporkan bahwa kelas agama Islam hanya berfokus pada ajaran Sunni.
Pada tanggal 12 Juni, Bupati Gowa, Sulawesi Selatan, melaksanakan tes kefasihan membaca Al-Quran bagi ASN-Muslim yang ingin naik pangkat. Pemerintah kabupaten tersebut mewajibkan 76 ASN- untuk membaca Al-Quran sebagai bahan pertimbangan kenaikan pangkat. Empat belas pegawai negeri tidak lulus ujian dan diperintahkan untuk mencapai tingkat kefasihan yang cukup dalam enam bulan; jika tidak, mereka tidak akan dipertimbangkan.
Menurut laporan media, pada bulan April, pemerintah daerah Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, meminta komunitas Muslim Ahmadiyah di sana untuk pindah dari tempat penampungan sementara mereka saat ini ke lokasi baru. Jemaat tersebut telah ditampung di penampungan itu sejak mengungsi dari desa mereka di Gereneng akibat kekerasan masyarakat pada tahun 2018. Mereka menolak permintaan pemerintah untuk pindah.
Di Mataram, ibu kota Nusa Tenggara Barat, 131 Muslim Ahmadiyah tetap mengungsi di apartemen sempit setelah massa mengusir mereka dari desa mereka di Lombok Timur pada tahun 2006. Menurut laporan media pada bulan Juni, Gubernur Nusa Tenggara Barat menawarkan untuk membangun apartemen baru untuk mereka, tetapi hingga akhir tahun tidak ada kemajuan.
Meskipun pemerintah secara umum mengizinkan warga untuk mengosongkan kolom agama di Kartu Tanda Penduduk (KTP), warga melaporkan adanya kesulitan mengakses layanan pemerintah jika mereka melakukannya. Menghadapi masalah ini, banyak penganut agama minoritas, termasuk mereka yang menganut kepercayaan adat, dilaporkan memilih untuk mengidentifikasi diri sebagai penganut agama yang diakui secara resmi yang dekat dengan kepercayaan mereka atau mencerminkan agama yang dominan secara lokal. Menurut peneliti, praktik ini mengaburkan jumlah sebenarnya penganut kelompok agama dalam statistik pemerintah. Putusan Mahkamah Konstitusi tahun 2017 mengizinkan warga untuk mencantumkan agama asli di KTP mereka. Menurut laporan media, pada bulan Januari, 450 penganut Sapta Darma, sebuah kelompok agama adat, dapat mengubah KTP mereka untuk mencerminkan agama mereka sebenarnya.
LSM dan kelompok advokasi agama terus mendesak pemerintah untuk menghapus kolom agama dari KTP. Kelompok minoritas agama melaporkan bahwa mereka kadang-kadang mengalami diskriminasi setelah orang lain melihat kolom agama pada KTP mereka. Anggota komunitas Yahudi mengatakan mereka merasa tidak nyaman menyatakan agama mereka secara terbuka di muka umum dan sering memilih untuk menyatakan bahwa mereka adalah orang Kristen atau Muslim, tergantung pada agama yang dominan di tempat mereka tinggal, karena kekhawatiran bahwa masyarakat setempat tidak memahami agama mereka.
Pria dan wanita dari agama yang berbeda dan ingin menikah dilaporkan mengalami kesulitan menemukan pejabat keagamaan yang bersedia melakukan upacara pernikahan. Beberapa pasangan yang berbeda agama memilih agama yang sama pada KTP mereka agar dapat menikah secara sah.
Kelompok Muslim minoritas, antara lain Ahmadiyah, Syiah, dan Gafatar, juga terus melaporkan adanya penolakan ketika mereka mengajukan KTP sebagai Muslim, yang secara efektif menghalangi akses mereka untuk mendapat layanan publik karena mereka tidak dapat memiliki KTP.
Baik pada tingkat pemerintah pusat maupun daerah terdapat pejabat terpilih dan pejabat yang ditunjuk dari kelompok agama minoritas. Sebagai contoh, Andrei Angouw memenangkan pemilihan wali kota Manado pada 9 Desember, menjadi wali kota beragama Konghucu pertama di Indonesia. Kabinet baru Presiden Joko Widodo yang beranggotakan 34 orang juga berisi enam anggota agama minoritas (4 Protestan, 1 Katolik, dan 1 Hindu), total jumlahnya sama seperti pada periode pemerintahan sebelumnya.
Banyak individu di pemerintahan, media, masyarakat sipil, dan masyarakat umum yang vokal dan aktif dalam melindungi dan mendorong toleransi dan pluralisme. Pada tanggal 14 Agustus, Presiden Joko Widodo menyampaikan pidato tahunan Hari Kemerdekaan, dan ia menekankan perlunya masyarakat yang inklusif dan bersatu. Dia mengatakan, “Memang demokrasi menjamin kebebasan, tetapi hanya untuk kebebasan yang menghormati hak orang lain. Tidak seorang pun bisa merasa benar sendiri dan menyalahkan orang lain. Tidak seorang pun yang boleh menganggap diri mereka sebagai yang paling religius.” Pada konferensi lintas agama pada tanggal 27 Desember, Menteri Agama yang baru diangkat yakni Yaqut Cholil Qoumas menyatakan bahwa Muslim Ahmadiyah dan Syiah memiliki perlindungan yang sama di bawah hukum seperti warga negara lainnya. Qoumas juga menyatakan bahwa ia menentang populisme Islam, yang berusaha menggunakan agama sebagai sumber perpecahan dan konflik, dan mendorong perbedaan masalah keagamaan diselesaikan melalui dialog daripada kekerasan.
Kemenag memperkenalkan kampanye “Moderasi Beragama” yang berupaya meningkatkan toleransi beragama. Pada bulan Januari, Presiden Joko Widodo menandatangani Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024, sebuah dokumen strategis menjabarkan upaya pembangunan pemerintah secara keseluruhan, yang mencakup “Moderasi Beragama” sebagai salah satu tujuan. Anggaran negara menyediakan 21,9 triliun rupiah untuk Kemenag dalam mencapai tujuan ini dari tahun 2020 hingga 2024. Moderasi beragama juga dimasukkan sebagai tujuan dalam rencana strategis Kemenag yang dirilis pada bulan Juni. Prinsip-prinsip yang mendasari kampanye Moderasi Beragama dituangkan dalam sebuah buku yang diterbitkan oleh Kemenagpada bulan Oktober 2019. Menurut pejabat dan lembaga swadaya masyarakat yang terlibat dalam upaya tersebut, kegiatan khusus yang akan dilakukan dalam kampanye tersebut masih disusun.
Pada bulan September, Komnas HAM mengeluarkan Standar Norma dan Pengaturan (SNP) tentang Hak atas Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan. Dokumen tersebut merupakan referensi panduan terkonsolidasi tentang hukum nasional dan internasional terkait kebebasan beragama di Indonesia, termasuk definisi istilah penting dan hak-hak.
Pekerja keagamaan asing dari berbagai kelompok keagamaan masih terus menyatakan bahwa mereka merasa relatif mudah untuk mendapatkan visa, dan beberapa kelompok melaporkan hanya ada sedikit campur tangan pemerintah terhadap kegiatan keagamaan mereka.
Polisi memberikan perlindungan khusus kepada beberapa gereja Katolik di kota-kota besar selama kebaktian hari Minggu dan hari libur Kristen. Polisi juga memberikan perlindungan khusus untuk wihara Buddha dan pura Hindu selama perayaan keagamaan.
Menurut undang-undang, pernikahan dinyatakan sah jika dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaan kedua belah pihak. Namun, para pemuka agama, aktivis hak asasi manusia, dan jurnalis menyatakan bahwa pernikahan beda agama sulit dilakukan kecuali jika pengantin pria atau wanita bersedia menikah menurut ritual salah satu agama dari dua agama yang masing-masing mereka anut. Banyak orang yang lebih suka pergi ke luar negeri untuk melangsungkan pernikahan beda agama, meskipun opsi ini sangat terbatas karena pembatasan perjalanan terkait COVID-19.
Bagian III. Status Penghormatan Masyarakat terhadap Kebebasan Beragama
Pada bulan November, kelompok yang diduga militan Islam membunuh empat orang Kristen di desa Lemban Tongoa, Provinsi Sulawesi Tengah. Para pelaku juga membakar beberapa rumah, termasuk salah satunya yang digunakan sebagai rumah ibadah. Setelah serangan itu, Presiden Joko Widodo menyebut pembunuhan itu “di luar batas kemanusiaan.”
Muslim Syiah dan Ahmadiyah melaporkan perasaan selalu berada di bawah ancaman dari “kelompok-kelompok intoleran.” Retorika anti-Syiah dan anti-Ahmadiyah sering disampaikan di media daring dan media sosial.
Individu-individu yang berafiliasi dengan MUI di tingkat lokal menggunakan retorika yang dianggap tidak toleran oleh kelompok minoritas agama, termasuk fatwa yang menyatakan Syiah dan Ahmadiyah sebagai aliran sesat. Pada Februari lalu, Ketua MUI Jatim Abdusshomad Buchori menyatakan bahwa dia ingin MUI nasional mengeluarkan fatwa baru terhadap komunitas Syiah. MUI nasional tidak menanggapi atau menolak pejabat MUI daerah yang menyerukan fatwa tersebut.
Pada bulan Agustus, sekelompok pemuda menyerang upacara midodareni sebelum pernikahan yang dituding sebagai acara Syiah di kota Solo, Jawa Tengah, meneriakkan slogan-slogan anti-Syiah dan menyerang beberapa orang yang hadir. Setelah kejadian tersebut, polisi setempat menangkap beberapa tersangka atas penyerangan tersebut.
Menurut Shia Rights Watch¸ pada bulan Agustus, orang-orang tak dikenal menyerang Muslim Syiah yang menghadiri jamuan makan malam untuk pemimpin baru Syiah di komunitas tersebut, yang mengakibatkan dua pemuda terluka.
Pada bulan Agustus, beberapa organisasi Islam yang terkait dengan FUIB cabang Sulawesi Selatan mengeluarkan pernyataan yang mengutuk komunitas Syiah yang merencanakan-untuk memperingati Hari Asyura, dan mengatakan mereka akan mengganggu setiap acara yang direncanakan oleh umat Syiah. Ketua FUIB Sulawesi Selatan, Muchtar Daeng Lau, mengutip fatwa MUI yang menyatakan Islam Syiah sebagai bentuk bid’ah dan mengecam peringatan Asyura oleh Syiah.
Pada bulan April dan Mei, laporan tentang “konspirasi Yahudi di seluruh dunia” menyebar di media sosial yang menuduh bahwa orang Yahudi, Kristen, dan komunis menggunakan COVID-19 dan pembatasan terkait berkumpul secara publik untuk menghancurkan Islam. Organisasi-organisasi Muslim besar menolak teori konspirasi itu, dan sekretaris jenderal Muhammadiyah, Abdul Mu’ti, menyatakan pada bulan April bahwa hal itu sama sekali tidak berdasar.
Banyak kelompok agama dan LSM terbesar dan paling berpengaruh, termasuk dua kelompok Islam terbesar di Indonesia – Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah – secara resmi mendukung dan mengadvokasi toleransi, pluralisme, dan perlindungan kelompok minoritas dalam berbagai kesempatan. Sebagai contoh, pada tanggal 4 Maret, suatu kelompok lintas agama yang terdiri dari perwakilan 11 sayap pemuda organisasi-organisasi keagamaan terbesar di Indonesia menandatangani deklarasi yang mendorong toleransi beragama di dalam negeri dan internasional.
Pada bulan Januari, Alvara Research Center, sebuah perusahaan survei sosial politik dan riset pemasaran, merilis Indonesia Moslem Report 2019: The Challenges of Indonesia Moderate Moslems. Studi ini terdiri dari wawancara tatap muka dengan 1.567 Muslim di 34 provinsi di Indonesia. Temuan penelitian ini antara lain: 69,3% responden setuju atau netral terhadap pembangunan rumah ibadah agama lain yang berlokasi di dekat tempat tinggal mereka, sementara 19,2% menentang pembangunan tersebut; 56,3% setuju atau netral terhadap gagasan pemimpin politik non-Muslim, sementara 32,5% mengatakan mereka tidak akan mendukung pemimpin politik non-Muslim; 82,9% akan secara terbuka menerima dan membantu tetangga yang berbeda agama, sementara 16,3% mengatakan bersedia menerima tetapi akan membatasi hubungan karena perbedaan agama; 0,5% mengatakan mereka tidak akan menerima tetangga yang berbeda agama; 81,6% percaya ideologi nasional sekuler Pancasila adalah dasar yang tepat untuk negara, sementara 18,3% percaya ideologi berbasis agama akan lebih tepat.
Pada bulan November, Pusat Kajian Islam dan Masyarakat di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah merilis sebuah penelitian yang menunjukkan bahwa percakapan di media sosial tentang agama didominasi oleh apa yang disebut narasi konservatif dan interpretasi tradisional dari ajaran asli Nabi Muhammad. Para peneliti mengategorikan percakapan keagamaan di Twitter antara 2009 dan 2019 didominasi oleh narasi Islamis (4,5 persen), konservatif (67 persen), moderat (22,2 persen), atau liberal (6,1 persen). Peneliti utama studi tersebut, Iim Halimatussa’diyah, mengatakan kepada media bahwa “minoritas berisik” yang mendorong narasi konservatif sering kali mampu mengkooptasi percakapan, sementara narasi moderat kesulitan untuk mendapatkan daya tarik di media sosial.
Pada bulan Desember 2019, Kemenag merilis Indeks Kerukunan Umat Beragama untuk tahun 2019. Indeks tersebut menggunakan survei terhadap lebih dari 13.000 responden di 34 provinsi untuk mengukur harmoni dalam tiga dimensi: toleransi, kesetaraan, dan solidaritas. Indeks diberi skor dari 0 hingga 100, dengan 100 sebagai yang paling harmonis. Skor nasional untuk 2019 adalah 73,83, naik dari 70,90 pada 2018. Berdasarkan indeks tersebut, provinsi yang paling rukun beragama adalah Papua Barat (82,1), Nusa Tenggara Timur (81,1), Bali (80,1), Sulawesi Utara (79,9), dan Maluku (79,4), semuanya berada di bagian tengah dan timur Indonesia. Lima provinsi dengan peringkat terendah adalah Aceh (60,2), Sumatera Barat (64,4), Jawa Barat (68,5), Banten (68,9), dan Riau (69,3), semuanya di Indonesia bagian barat. Beberapa lembaga swadaya masyarakat dan pakar mengkritik indeks tersebut karena memberikan penilaian yang terlalu optimis tentang kebebasan dan kerukunan beragama di Indonesia.
Pada 14-16 Februari, Serikat Jurnalis untuk Keberagaman mengadakan pelatihan selama tiga hari bagi mahasiswa dari berbagai agama dan universitas di Jakarta. Para peserta tinggal bersama komunitas Ahmadiyah, Sunda Wiwitan, Katolik, dan Kristen di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Setelah acara, serikat tersebut mendorong peserta untuk menulis tentang pengalaman mereka demi mendorong kebebasan beragama dan toleransi di kalangan kaum muda.
Situs-situs Hindu mengalami aksi vandalisme. Pada bulan Maret, orang tak dikenal merusak tiga patung keagamaan di Pura Agung Jagatnatha di kota Denpasar, Bali. Pada bulan Januari, sebuah sekolah Hindu di kota Banyuwangi, Jawa Timur, melaporkan bahwa pelaku tak dikenal masuk ke fasilitas dan merusak properti.
Pada tanggal 20 Agustus di Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur, anggota GP Ansor dan Banser setempat, organisasi yang terkait dengan Nahdlatul Ulama, menghadapi orang-orang yang diduga mendukung Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). HTI adalah cabang Hizbut Tahrir di Indonesia, yang dilarang oleh pemerintah pada tahun 2017. Video konfrontasi tersebut menyebar luas secara daring dan tampak menunjukkan GP Ansor dan pejabat Banser secara agresif menanyai dan menegur mereka yang diduga mendukung HTI. Menteri Agama pada saat itu, Fachrul Razi, memuji aksi ormas tersebut, sedangkan Sekretaris MUI Jatim, Ainul Yaqin, menyatakan seharusnya kasus tersebut dilaporkan ke kepolisian.
Pada 29 September, sebuah masjid di Kabupaten Tangerang, Banten, dicemari dengan pesan anti-Islam yang dicoret di dinding. Pada tanggal 1 Oktober, polisi menangkap seorang tersangka.
Bagian IV. Kebijakan dan Keterlibatan Pemerintah A.S
Pada tanggal 29 Oktober, Menteri Luar Negeri mengunjungi Indonesia dan berpidato di hadapan para pemimpin lintas agama di sebuah acara tentang pluralisme agama yang diselenggarakan oleh Nahdlatul Ulama. Pidato ini berfokus pada beberapa tema: pentingnya toleransi beragama dan pluralisme dalam demokrasi; menentang tuduhan penistaan dan diskriminasi terhadap agama-agama tidak resmi; dan menyerukan kepada semua pemuka agama untuk membela hak-hak agama lain. Pidato tersebut dilanjutkan dengan sesi tanya jawab dengan para hadirin, di mana Menlu menekankan pentingnya dialog antar agama dalam mewujudkan perdamaian dan hak asasi manusia di seluruh dunia.
Kedutaan besar, konsulat jenderal di Surabaya, dan konsulat di Medan secara berkala bertukar pikiran dengan semua tingkat pemerintahan tentang masalah kebebasan beragama, seperti intoleransi terhadap agama minoritas; penutupan tempat ibadah; akses untuk organisasi keagamaan asing; hukuman karena aliran sesat dan penistaan agama; besarnya pengaruh dari “kelompok-kelompok intoleran” dan pentingnya aturan hukum; penerapan syariah terhadap non-Muslim; pentingnya pendidikan dan dialog antar agama dalam mendorong toleransi; perlindungan yang sama bagi semua warga negara tanpa memandang agama atau keyakinan; dan mendorong toleransi di forum internasional.
U.S.-Indonesia Council on Religion and Pluralism atau Dewan Agama dan Pluralisme AS-Indonesia adalah badan yang dipimpin oleh masyarakat sipil yang didukung oleh kedua pemerintah yang mencakup berbagai kelompok ahli, akademisi, dan pemimpin agama dan masyarakat sipil yang didirikan untuk mempromosikan dialog antar agama, pluralisme, dan toleransi. Duta Besar menggunakan kepemimpinannya untuk membahas cara-cara memperkaya aktivitas dewan tersebut terkait isu-isu yang mempengaruhi umat beragama di Indonesia. Untuk memperingati Hari Kebebasan Beragama pada 16 Januari, Duta Besar mengadakan pertemuan lintas agama dengan para anggota dewan, perwakilan dari enam agama yang diakui secara resmi di Indonesia, dan perwakilan dari agama yang belum diakui, termasuk Muslim Ahmadiyah dan Baha’i. Dalam acara tersebut, Imam Besar Masjid Istiqlal, Nasaruddin Umar, yang telah menerbitkan serangkaian kolom mingguan tentang pluralisme agama di Amerika Serikat sejak kembali pada tahun 2019 dari program pertukaran di AS, berterima kasih kepada Dubes atas keterlibatan lintas agama yang sering dilakukan selama masa jabatannya dan mencatat bahwa Amerika Serikat telah menjadi negara paling aktif dalam melakukannya. Pada bulan Oktober, ketua U.S. Commission on Unalienable Rights bertemu dengan anggota dewan untuk membahas kondisi kebebasan beragama di Indonesia.
Pada bulan Agustus, kedutaan memulai sebuah proyek bersama Srikandi Lintas Iman yang berbasis di Yogyakarta untuk mempromosikan pluralisme agama melalui pendidikan anak usia dini dan memanfaatkan media sosial di kalangan perempuan. Proyek ini menggunakan dana yang terkait dengan Pertemuan Departemen Luar Negeri tentang Pendidikan, Daya Tahan, Rasa Hormat, dan Inklusi. Pada bulan Agustus, kedutaan meluncurkan proyek mendongeng digital, yang menempatkan siswa dari 20 sekolah menengah di empat provinsi (Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Jakarta) dalam kelompok lintas agama untuk membuat video, cerita, foto, dan esai dengan tema toleransi, keragaman, dan perdamaian. Webinar interaktif memfasilitasi diskusi kelompok, dan lokakarya pembuatan konten daring membekali kelompok siswa lintas agama yang beragam dengan keterampilan untuk mengidentifikasi dan menghindari informasi yang salah.
Kedutaan melanjutkan proyek senilai 11,5 juta dollar AS melalui perjanjian kerja sama dengan Asia Foundation untuk membantu lembaga-lembaga bantuan hukum dalam membela hak asasi manusia dan kebebasan beragama di enam provinsi, termasuk semua provinsi di Jawa kecuali Banten dan Papua. Kedutaan mendukung para mitra ini dalam mengembangkan makalah advokasi untuk penyuluhan tentang peraturan yang mendiskriminasi agama minoritas, meningkatkan kapasitas mereka untuk mewakili kelompok agama minoritas dalam kasus hukum, melakukan kampanye publik strategis untuk membangun keterlibatan masyarakat sipil yang lebih luas dalam menentang intoleransi, dan menerbitkan laporan berkala tentang penyalahgunaan kebebasan beragama.
Kedutaan melanjutkan proyek senilai 27 juta dollar yang bertujuan untuk mengembangkan perangkat dan sistem yang lebih efektif untuk meningkatkan toleransi beragama. Proyek ini bermitra dengan lembaga pemerintah tingkat nasional dan lokal, LSM, universitas, lembaga penelitian, dan gerakan akar rumput yang berfokus pada mempromosikan kebebasan beragama dan toleransi.
Pada awal tahun, kedutaan meluncurkan kegiatan senilai tiga juta dolar untuk mempromosikan toleransi beragama dan pluralisme di kalangan siswa sekolah menengah. Melalui kemitraan dengan Kementerian Agama dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, proyek ini bertujuan untuk merancang dan menerapkan kurikulum seni dan budaya yang inovatif di kabupaten-kabupaten tertentu untuk memajukan ketahanan masyarakat terhadap intoleransi beragama.
Selama Ramadan, kedutaan dan konsulat melakukan sosialisasi ekstensif di seluruh negeri untuk menyoroti toleransi beragama. Konsulat di Surabaya menyelenggarakan serangkaian obrolan Ramadan dengan Muslim Amerika yang menyoroti kontribusi Muslim AS dalam masyarakat Amerika. Kedutaan menyelenggarakan dua acara bertempat di @America. Yang pertama terdiri dari para mantan peserta program pertukaran kedutaan yang membahas pengalaman mereka tentang kebebasan beragama di Amerika Serikat selama Ramadan. Program kedua merayakan Idul Fitri dengan penyanyi-penulis lagu Mesir-Amerika, yang membahas pengalamannya mempraktikkan agamanya di Amerika Serikat.
Duta Besar dan Kuasa Usaha bertemu secara berkala dengan para pemimpin dua organisasi Muslim terbesar di Indonesia, Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama, untuk membahas toleransi agama dan pluralisme dan untuk mengembangkan bidang-bidang kerja sama lebih jauh.
Para pejabat kedutaan secara berkala bertemu dengan perwakilan dari kedutaan-kedutaan lainnya untuk mendiskusikan dukungan atas kebebasan beragama dan keyakinan dan untuk bertukar informasi tentang bidang-bidang yang jadi keprihatinan, program-program yang dilaksanakan, dan kemungkinan bidang kerja sama.
Pada bulan Februari, 23 tokoh agama dan masyarakat di Jawa Timur mengunjungi konsulat di Surabaya untuk belajar tentang kegiatan konsulat di wilayah timur Indonesia, serta bertukar pikiran tentang cara berkolaborasi untuk mempromosikan kebebasan beragama.
Pada bulan Agustus, konsulat di Surabaya menyelenggarakan acara kebebasan beragama dan multikulturalisme yang dipimpin oleh Zuhairi Misrawi, mantan peserta program pertukaran AS.
Kedutaan Besar memposting terjemahan pidato dan komentar tentang kebebasan beragama oleh Menteri Luar Negeri, Asisten Menteri Luar Negeri untuk Urusan Asia Timur dan Pasifik, dan pejabat tinggi pemerintah lainnya di situs web. Kedutaan juga membuat grafis-grafis untuk media sosial dan mengirimkan informasi kepada jurnalis lokal untuk mendorong mereka meliput masalah ini.