Laporan Tahunan Perdagangan Orang 2016

INDONESIA (Tingkat 2)

Indonesia merupakan salah satu negara asal utama, pada tataran tertentu,  dan tujuan,  serta transit bagi laki-laki, perempuan, dan anak-anak Indonesia untuk menjadi pekerja paksa dan korban perdagangan seks. Setiap provinsi di Indonesia merupakan daerah asal sekaligus tujuan perdagangan orang. Pemerintah memperkirakan sekitar 1,9 juta dari 4,5 juta warga Indonesia yang bekerja di luar negeri—kebanyakan dari mereka adalah perempuan—tidak memiliki dokumen atau telah tinggal melewati batas izin tinggal. Situasi ini meningkatkan kerentanan mereka terhadap perdagangan orang. Warga negara Indonesia dieksploitasi manjadi pekerja paksa di luar negeri—terutama dipekerjakan sebagai pekerja rumah tangga, buruh pabrik, pekerja konstruksi, dan buruh di perkebunan kelapa sawit di Malaysia—sekaligus menjadi korban perdagangan seks. Jumlah pekerja migran Indonesia yang terjebak dalam situasi kerja paksa, termasuk terjebak jeratan hutang, baik di Asia, Timur Tengah maupun di kapal-kapal penangkapan ikan, cukup signifikan. Malaysia tetap menjadi tujuan utama bagi pekerja migran Indonesia diikuti dengan Arab Saudi Pemerintah memperkirakan lebih dari satu juta dari 1,9 juta pekerja Indonesia berstatus tak resmi berada di Malaysia. Warga negara Indonesia yang menjadi korban juga sudah teridentifikasi di  negara-negara lainnya di Asia dan di Timur Tengah selama periode laporan—termasuk Korea Selatan—juga di Kepulauan Pasifik, Afrika, Eropa (termasuk Belanda dan Turki), serta Amerika Selatan. Perempuan Indonesia baik dewasa maupun dibawah umur juga menjadi korban perdagangan seks terutama di Malaysia, Taiwan, dan Timur Tengah. Para ahli melaporkan bahwa perluasan penggunaan dokumen perjalanan biometrik dari pemerintah yang mengakibatkan dokumen perjalanan palsu lebih sulit diperoleh telah menyebabkan lebih banyak pekerja tanpa dokumen resmi (undocumented) melakukan perjalanan ke luar negeri lewat jalur laut.

Laporan mengenai  nelayan Indonesia yang menjadi buruh kerja paksa di kapal penangkap ikan milik Taiwan dan Korea Selatan yeng beroperasi luar wilayah  perairan Indonesia masih kerap diterima. Beberapa tahun yang lalu, laki-laki Indonesia juga telah menjadi pekerja paksa di kapal penangkap ikan di wilayah perairan Indonesia. Pemerintah melaporkan jumlah signifikan warga negara asing, termasuk dari Myanmar, Kamboja, dan Thailand, yang menjadi pekerja paksa di kapal penangkap ikan di perairan Indonesia.; Sebagian besar kapal tersebut adalah milik perusahaan induk di Thailand yang beroperasi di bawah pengawasan “perusahaan cangkang” Indonesia-Thailand. Pelaku perdagangan orang asal Thailand menggunakan dokumen identitas palsu Thailand untuk pekerja luar negeri kemudian memaksa mereka menangkap ikan di perairan Indonesia, mengancaman akan membongkar identitas palsu mereka jika menghubungi pihak otoritas Indonesia. Setelah pemerintah mengeluarkan moratorium tahun 2014 tentang kapal penangkap ikan asing yang telah menyebabkan banyak pekerja kapal menganggur di pelabuhan karena tidak bisa berlayar, perusahaan-perusahaan cangkang Indonesia-Thailand yang bermarkas di pelabuhan perikanan wilayah timur Indonesia ini masih terus melakukan pelanggaran tdengan melarang nelayan meninggalkan kapal atau menahan mereka dalam penjara darurat di darat.

Lembaga-lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) memperkirakan perekrut tenaga kerja bertanggung jawab atas lebih dari setengah kasus perdagangan perempuan Indonesia di luar negeri. Seiring meningkatnya kesadaran masyarakat tentang perdagangan orang, pemerintah dan LSM memberikan perhatian lebih pada pelaku perdagangan orang yang merekrut lebih banyak korban dari provinsi-provinsi di wilayah timur Indonesia, di mana kesadaran atas kasus ini lebih rendah. Pekerja migran seringkali berhutang kepada perekrut buruh independen di luar negeri maupun perusahaan rekrutmen lokal. Hal ini membuat mereka semakin rentan terhadap jeratan hutang. Beberapa perusahaan memanfaatkan jerat hutang, menahan dokumen,  serta memberikan ancaman kekerasan agar mereka dapat tetap  dipekerjakan secara paksa. Dalam beberapa kasus, pejabat yang korup memfasilitasi penerbitan dokumen palsu, menerima suap yang memungkinkan “broker” mengirim pekerja migran menyeberangi perbatasan tanpa dokumen resmi , melindungi tempat di mana perdagangan seks terjadi, pengawasan yang lemah dari penyalur jasa tenaga kerja, menghalangi penegakan hukum dan proses peradilan untuk menahan pelaku yang bertanggung jawab atas perdagangan orang.

Di Indonesia, perempuan, laki-laki, dan anak-anak dieksploitasi untuk kerja paksa di sektor  penangkapan ikan, pengolahan ikan, dan konstruksi; di perkebunan, termasuk perkebunan kelapa sawit; dan di pertambangan serta manufaktur. Banyak perempuan dieksploitasi di sektor domestik dan perdagangan seks, termasuk perempuan asal Kolombia yang dipaksa menjadi pekerja seks komersial. Korban sering direkrut dengan iming-iming penawaran kerja di restoran, pabrik, atau pekerja rumah tangga tapi sebenarnya dijadikan pekerja seks komersial. Jerat hutang sangat lazim dalami korban perdagangan orang. Wanita dan remaja perempuan dijadikan pekerja seks komersial di daerah operasi pertambangan di Maluku, Papua dan  Jambi. Saat pemerintah menutup kawasan prostitusi besar di tahun 2014, perlindungan untuk perempuan yang bekerja di kawasan prostitusi tersebut berkurang, sehingga menambah kerentanan terhadap perdagangan seks di daerah lain, termasuk Bali dan Papua. Anak-anak menjadi korban perdagangan seks di Batam,  provinsi Kepulauan Riau, dan di provinsi Papua Barat pada tahun-tahun sebelumnya. Banyak laporan menunjukan peningkatan jumlah mahasiswa dan pelajar sekolah menengah yang menggunakan media sosial untuk merekrut dan membujuk pelajar lainnya, termasuk mereka yang masih di bawah umur 18 tahun, untuk  komersialisasi seks. Kepulauan Riau yang berbatasan dengan Singapura dan Bali menjadi daerah tujuan pariwisata seks anak.

Pemerintah Indonesia belum sepenuhnya mematuhi standar minimum penghapusan perdagangan orang; namun pemerintah  sedang melakukan updaya-upaya signifikan untuk mematuhinya. Pemerintah telah menghukum 199 pelaku perdagangan orang, memulangkan 5.668 Warga Negara Indonesia yang teridentifikasi sebagai korban perdagangan orang di luar negeri, serta menyediakan tempat perlindungan sementara dan memberikan pelayanan untuk lebih dari 441 korban perdagangan orang. Pemerintah menghukum delapan pelaku perdagangan orang yang terlibat kasus kerja paksa di kapal penangkap ikan, namun pemerintah tidak mengajukan tuntutan terhadap kejahatan perdagangan orang dalam industri perikanan lainnya, meskipun lebih dari 1.500 kru kapal telah teridentifikasi sebagai korban perdagangan orang. Pemerintah telah membuat delapan penampungan baru untuk melayani korban kriminal, termasuk perdagangan orang, tapi kualitas dan layanan penampungan tersebut berbeda di setiap wilayah. Kurangnya pengetahuan pejabat tentang indikator dan perundang-undangan anti-perdagangan orang menyebabkan lemahnya tindakan proaktif terhadap identifikasi korban di kalangan populasi yang rentan serta upaya pelaksanaan undang-undang anti-perdagangan orang; koordinasi yang tidak memadai antar institusi pemerintah telah menghambat implementasi strategi anti-perdagangan orang secara nasional. Maraknya praktik korupsi di antara para penegak hukum telah menghambat upaya  pemberantasan perdagangan orang dan memungkinkan pelaku memiliki impunitas dalam melakukan kejahatannya. Penegak hukum hanya menuntut satu pejabat atas kejahatan perdagangan orang.

REKOMENDASI UNTUK INDONESIA:

Meningkatkan upaya-upaya untuk investigasi, menuntut, dan menjatuhkan hukuman terhadap agen perekrutan tenaga kerja, broker atau calo, dan pejabat publik korup yang terlibat dalam perdagangan orang; mengembangkan serta mengimplementasikan prosedur untuk mengidentifikasi korban potensial di antara kelompok yang rentan, termasuk memulangkan pekerja migran, pekerja prostitusi, dan anggota kru kapal penangkap ikan; memberikan pelatihan untuk staff Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP) serta pengawas pekerja terkait identifikasi korban dan prosedur penyerahannya; menyediakan pelatihan untuk para hakim, jaksa penuntut, polisi, dan pekerja sosial tentang undang-undang anti-perdagangan orang; memantau biaya rekrutmen yang dikenakan oleh agen-agen swasta untuk memastikan bahwa mereka sudah sejalan dengan hukum;  meningkatkan kesadaran para korban tentang pelayanan pemerintah yang terintegrasi; menuntut dan menghukum siapa saja yang memperoleh keuntungan dari pelayanan seks komersial anak;  meningkatkan sumber daya manusia anggota satuan tugas anti-perdagangan orang serta memperbaiki koordinasi antar kementerian; memberikan izin perpanjangan waktu untuk investigasi kasus kerja paksa di sektor penangkapan ikan guna memberikan cukup waktu bagi pihak yang berwenang untuk mengumpulkan bukti kejahatan perdagangan orang yang cukup; menyusun protokol nasional yang menjelaskan tanggung jawab penuntutan kasus perdagangan orang yang terjadi di luar provinsi tempat tinggal korban; dan memperluas kampanye tentang peningkatan-kesadaran yang ditujukan untuk publik dan pemerintahan di seluruh daerah, terutama di tempat yang memiliki kasus perdagangan orang yang tinggi..

PENUNTUTAN

Pemerintah mempertahankan upaya penegakan undang-undang anti-perdagangan orang. Undang-undang  tahun 2007 tentang  pemberantasan tindak pidana perdagangan orang  melarang semua bentuk perdagangan orang dan menetapkan hukuman penjara mulai dari tiga hingga 15 tahun. Hukuman tersebut cukup berat dan sepadan dengan hukuman yang ditetapkan untuk pidana berat lainnya, seperti pemerkosaaan. Pejabat pemerintah menyebutkan koordinasi yang  tidak efektif  antara polisi, jaksa penuntut umum, dan hakim yang menyulitkan penyelidikan, penuntutan, dan penangkapan pelaku perdagangan orang, terutama untuk kasus yang melibatkan beberapa wilayah hukum, termasuk di negara lain. Mediasi di luar hukum dapat menghambat keberhasilan tuntutan untuk berhasil, karena keluarga korban, yang telah  menerima pembayaran dari pelaku perdagangan orang, biasanya tidak menginginkan proses hukum resmi. Pemerintah memiliki kelemahan dalam sistem pelaporan dan pengumpulan data upaya penegakan undang-undang anti-perdagangan manusia yang komprehensif.. Penerapan undang-undang anti-perdagangan orang untuk menuntut kejahatan yang bukan termasuk kategori perdagangan orang, seperti penyelundupan, melemahkan penentuan jumlah total investigasi, penuntutan, dan penangkapan. Unit anti-perdagangan orang –Badan Reserse Kriminal Kepolisian Negara Republik Indonesia menyebutkan 221 penyelidikan kasus baru selama tahun 2015—menurun  dibandingkan tahun sebelumnya dengan  305 kasus.  Polisi menyerahkan 165 kasus untuk tahap penuntutan lebih tinggi dibandingkan 134 kasus tahun 2014, namun tidak diketahui berapa jumlah penuntutan yang sudah dilakukan. Mahkamah Agung  menjatuhkan hukuman kepada 119 terpidana di tahun 2015, dengan hukuman penjara bervariasi antara tiga sampai 15 tahun, meningkat  dari 79  terpidana pada tahun 2014. Kurangnya pemahaman atas undang-undang anti-perdagangan orang menyebabkan sebagian penuntut umum dan hakim menolak kasus atau memakai hukum lain untuk menuntut pelaku perdagangan orang.

Selama periode laporan, unit kepolisian untuk tindak pidana anti-perdagangan orang (TPPO) telah melakukan investigasi dan penuntutan delapan pegawai perusahaan penangkapan ikan Indonesia – Thailand—tiga manajer warga Indonesia dan lima kapten warga Thailand—atas dugaan praktik kerja paksa terhadap warga negara Myanmar, Thailand, Kamboja, dan Laos. Pada Maret 2016, hakim menghukum delapan orang tersebut  dengan  Undang-Uundang Anti-TPPO dan menetapkan hukuman masing-masing tiga tahun penjara serta tambahan dua bulan penjara atau denda sebesar Rp. 159.250.000. Selanjutnya, hakim memerintahkan lima kapten Thailand untuk membayar ganti rugi total Rp. 881.400.000 terhadap 13 anggota kru teridentifikasi yang telah bersaksi dalam kasus ini. Meskipun telah mengidentifikasi lebih dari 620 korban perdagangan orang di Ambon, pemerintah hanya mengajukan satu investigasi untuk kejahatan perdagangan manusia di pulau tersebut tapi tidak menangkap satu pun terduga pelaku dalam kasus itu. LSM dan pejabat pemerintah melaporkan perilaku korupsi yang endemis dikalangan institusi keamanan dan otoritas lainnya yang terus menghambat upaya penegakan undang-undang anti-perdagangan orang. Selama periode laporan, polisi menangkap pejabat lokal di Batam atas dugaan eksploitasi seorang gadis pekerja rumah tangga dari Jawa Barat; pihak berwenang melaporkan bahwa penangkapan ini merupakan yang pertama terhadap pejabat Batam karena kejahatan perdagangan orang, dan penuntutan sedang berlangsung di akhir periode laporan.

Dikarenakan Unit TPPO – Bareskrim Polri mengabdikan banyak personil dan sumber daya  untuk menginvestigasi  praktik kerja paksa di kapal penangkap ikan dan warga Indonesia yang menjadi korban perdagangan orang di luar negeri, pihak kepolisian meningkatkan status unit  tersebut yang tadinya bagian dari  Unit PPA (Perlindungan Perempuan dan Anak) menjadi unit terpisah dengan staff tambahan. Sementara itu, pemerintah belum menambah staff unit secara permanen, pemerintah hanya merelokasi personilnya untuk sementara yang dipindahkan dari wilayah lainnya pada saat dibutuhkan. Tugas utama personil tersebut adalah untuk mengumpulkan bukti kasus perdagangan orang dari konsulat Indonesia yang melibatkan warga Indonesia di luar negeri.

Pada bulan September 2015, pemerintah menandatangani nota kesepahaman dengan Uni Emirat Arab (UEA) untuk memfasilitasi investigasi bersama terkait jaringan perdagangan orang, pertukaran informasi tentang penegakan undang-undang anti-perdagangan orang, dan memberikan akses penuh kepada pejabat Indonesia untuk menemui korban perdagangan orang di UEA. Meskipun kurangnya pemahaman mengenai perdagangan orang dan undang-undang anti-perdagangan orang di kalangan penegak hukum dan peradilan, belum ada laporan penyelenggaraan atau pendanaan pelatihan anti-perdagangan orang  untuk para pejabat pemerintah.

PERLINDUNGAN

Pemerintah belum mengerahkan upaya identifikasi dan perlindungan korban perdagangan orang yang memadai secara berkelanjutan. Pejabat berwenang tidak mengumpulkan atau melaporkan data korban yang telah teridentifikasi secara komprehensif.. Meski pemerintah memiliki prosedur operasional standar untuk secara proaktif mengidentifikasi korban, namun pemerintah tidak menerapkannya pada kelompok rentan secara konsisten.; pemerintah masih tetap mengandalkan pada organisasi internasional dan LSM untuk inspeksi korban, terutama korban warga asing di Indonesia. Untuk membakukan prosedur inspeksi, KKP —dengan dukungan LSM— merancang draf dan mengadopsi Peraturan Menteri pada bulan Oktober 2015 sebagai landasan protokol pemerintah yang diterapkan secara luas dalam inspeksi kapal penangkap ikan dan pemeriksaan kru yang menjadi korban perdagangan orang.Namun prosedur-prosedur tersebut tidak diimplementasikan secara seragam selama periode laporan. Pemerintah tetap melanjutkan kerja sama dengan LSM untuk mengidentifikasi korban perdagangan orang yang berasal dari kapal-kapal yang ditahan atau dihancurkan oleh pemerintah pada bulan Desember 2014 karena kapal penangkap ikan tersebut kedapatan beroperasi secara ilegal di wilayah perairan Indonesia, proses identifikasi tersebut juga berlaku bagi korban yang terdampar atau dipenjara di pulau Benjina. Sebuah organisasi internasional bersama pemerintah telah mengidentifikasi sekitar 1.500 laki-laki yang dieksploitasi menjadi pekerja paksa di sektor perikanan. Sebuah LSM juga berhasil mengidentifikasi 97 korban pekerja paksa—80 di antaranya menjadi pekerja rumah tangga, 10 pekerja pabrik, dan tujuh perkerja perkebunan. Organisasi internasional yang sama  menyediakan pula layanan untuk 1.322 korban perdagangan orang yang dirujuk oleh institusi pemerintah, LSM, para pengacara, dan kedutaan besar negara asing; LSM kemudian menyerahkan lebih dari 1.126 dari korban tersebut kembali ke penampungan dan penyedia pelayanan kesehatan. Penampungan-penampungan tersebut sebagain besar dijalankan oleh pemerintah atau menerima dana dari pemerintah.

Sistem pemerintah yang memungkinkan pekerja migran untuk mengajukan pengaduan telah menerima 462 laporan tentang perdagangan orang dan 948 laporan penyalahgunaan atau perselisihan di tempat kerja, sebagian dari itu kemungkinan terakit perdagangan orang. Ketika laporan tersebut mengarah ke identifikasi korban perdagangan orang , badan pemerintah yang bertanggung jawab menempatkan dan melindungi pekerja Indonesia di luar negeri menyerahkan kasus tersebut ke kantor polisi Indonesia setempat dimana perdagangan manusia itu terjadi atau daerah asal korban. Namun tidak jelas apakah upaya tersebut berhasil mengarah ke penyelidikan kasus perdagangan orang. Pejabat konsulat Indonesia memeriksa para pekerja migran untuk mengetahui kemungkinan mereka merupakan korban perdagangan orang, kemudian menyediakan penampungan dan bantuan finansial kepada korban. Kementerian Luar Negeri (KEMLU) memulangkan  5.668 korban perdagangan orang asal Indonesia, peningkatan jumlah yang signifikan dari jumlah sebelumnya sekitar 1.200 korban yang dipulangkan pada 2014. KEMLU menawarkan penampungan untuk jangka-pendek dan layanan untuk korban saat pemulangan, untuk kemudian mereka diserahkan ke pemerintah daerah guna penanganan lebih lanjut. Bulan Agustus 2015, kepolisian Indonesia dan Arab Saudi bekerja sama menginspeksi penampungan TKI ilegal di Riyadh dan menemukan 39 pekerja rumah tangga yang dijanjikan pekerjaan di Bahrain namun kemudian dipaksa bekerja secara ilegal di Arab Saudi. Mereka menangkap tersangka pelaku, memulangkan kembali semua korban, dan menyediakan layanan untuk pemulangan.

Pemerintah telah berusaha untuk mengumpulkan data layanan korban “IRAN” dari  pemerintah dan LSM, namun data tersebut tetap tidak lengkap, terutama dari pemerintah daerah. Kementrian Sosial tetap menyediakan layanan trauma dan dilaporkan menyediakan penampungan darurat untuk 441 korban kriminal, termasuk korban perdagangan orang—242 pria dan 191 perempuan—di pusat rehabilitasi orang dewasa, tempat perlindungan anak, dan pusat perawatan trauma; pemerintah telah membangun delapan penampungan baru untuk perawatan trauma sepanjang tahun, dengan jumlah total 26. Pemerintah mengelola 247 pusat layanan, didukung oleh dana pemerintah dan swasta serta lebih banyak dijalankan oleh pemerintah provinsi yang melayani populasi rentan, termasuk korban perdagangan orang. Beberapa penampungan menyediakan perawatan jangka-panjang, termasuk dana untuk memulai usaha kecil. Beberapa korban perdagangan manusia telah ditempatkan di 13 “rumah detensi” yang dikelola oleh pemerintah, meskipun demikian pemerintah telah bekerja sama dengan organisasi internasional untuk memperbaiki kualitas dan layanan penampungan. Sebuah organisasi internasional melaporkan bahwa korban perdagangan orang sering kali tidak mengetahui bahwa layanan reintegrasi dan lanjutan untuk korban yang sudah meninggalkan penampungan masih belum memadai. Kementerian Kesehatan bertanggung jawab atas pembiayaan perawatan kesehatan korban, dan rumah sakit – rumah sakit yang dikelola kepolisian berkewajiban untuk menyediakan perawatan medis gratis; LSM dan pejabat pemerintah melaporkan beberapa staff rumah sakit tidak menyadari kewajiban ini atau tidak berniat memberikan perawatan tanpa kompensasi.

Selama periode laporan, lembaga perlindungan saksi pemerintah memberikan bantuan hukum untuk sekurang-kurangnya 88 korban; sebab ada beberapa agensi yang menyediakan bantuan hukum sehingga jumlah total yang menerima bantuan tersebut tidak diketahui. Undang-undang mengizinkan korban untuk memperoleh ganti rugi dari pelaku perdagangan orang dan setidaknya 25 korban telah menerima kompensasi sepanjang tahun 2015. Tidak ada laporan dari pemerintah tentang korban yang dihukum karena tindakan kriminal yang dilakukannya saat menjadi korban perdagangan orang, namun upaya yang tidak memadai untuk memeriksa kelompok yang rentan sesuai indikator kejahatan perdagangan orang, termasuk saat razia penangkapan orang-orang dalam bisnis prostitusi atau pemberantasan penangkapan ikan secara ilegal, dapat mengakibatkan korban-korban yang tidak teridentifikasi terkena proses hukum. Pemerintah tidak menyediakan alternatif hukum untuk korban asing yang dipindahkan ke negara lain dimana mereka mungkin menghadapi kesulitan atau masalah hukuman.

PENCEGAHAN

Pemerintah melakukan upaya minimal untuk mencegah perdagangan orang. Sebagian besar upaya pencegahan dilakukan di tingkat kabupaten/kota dan provinsi; pendanaan dan kegiatan dilakukan oleh satuan tugas yang berbeda-beda di tiap wilayah. Gugus tugas nasional anti-perdagangan orang (TPPO), dibawah naungan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), melakukan beberapa kali pertemuan selama periode laporan dan mengadopsi Rencana Aksi Nasional (RAN) 2015-2019 untuk memberantas perdagangan orang. Pertemuan-pertemuan dan RAN fokus pada peningkatan layanan rehabilitasi dan re-integrasi untuk para korban serta memperbaiki koordinasi antara kementerian pemerintah dengan pemangku kepentingan lainnya. Dengan dukungan lembaga donor internasional dan LSM, KPPPA dan pemerintah daerah merancang   kampanye sadar perdagangan orang untuk menginformasikan warga tentang praktik imigrasi dan prosedur rekrutmen yang aman. Sebagai tambahan, KPPPA telah mendirikan 25 satuan tugas anti-perdagangan orang baru di tingkat daerah dan bersama LSM, menyediakan pelatihan berbasis profesi serta beasiswa untuk perempuan dan anak usia sekolah yang tinggal di komunitas yang menjadi sasaran perekrutan guna mengurangi kerentanan mereka terhadap perdagangan orang. Namun demikian Gugus Tugas TPPO masih kekurangan dana operasional dan masih bergantung pada kontribusi dana kementerian terkait. Kurangnya dana pada satuan tugas di daerah serta lemahnya koordinasi internal serta kordinasi satgas pada tingkat daerah  dan nasional seringkali menghambat upaya anti-perdagangan orang. KPPPA dan pemerintah daerah mendapat dukungan dana dari lembaga donor internasional dan LSM untuk merancang dan melaksanakan kampanye untuk meningkatkan kesadaran terhadap perdagangan orang guna menginformasikan warga tentang praktik imigrasi dan prosedur rekrutmen yang aman. Pada November 2015, Kementerian Ketenagakerjaan untuk pertama kalinya meluncurkan 18 pusat layanan di desa-desa asal pekerja migran untuk meningkatkan antisipasi warga terhadap perdagangan orang. Pusat-pusat layanan ini mendapat bantuan dana dan sumber daya manusia dari pemerintahuntuk menyediakan materi kampanye anti-perdagangan orang bagi calon TKI; program pemberdayaan ekonomi bagi kaum muda yang berisiko; serta perawatan dan layanan-layanan lain untuk korban perdagangan orang yang kembali ke tanah air, termasuk menyediakan jalur telepon khusus untuk pekerja migran agar dapat melaporkan pelanggaran-pelanggaran yang terjadi seperti praktik kerja paksa.

Kementerian Ketenagakerjaan telah mencabut atau menunda izin dari 24 perusahaan yang diduga terlibat dalam perekrutan ilegal, namun tidak diketahuiberapa jumlah agen tenaga kerja yang sudah dilaporkan kepada pihak kepolisian untuk penyelidikan dantidak diketahui apakah kepolisian sudah memulai penyelidikan. Pihak berwenang melakukan razia terhadap perusahaan perekrutanyang diduga melakukan pelanggaran namun tidak ada laporan soal hukuman yang diberikan untuk tindakan ilegal tersebut. Berhubung banyak kasus pekerja rumah tangga Indonesia yang menjadi korban perdagangan orang di Timur Tengah, pemerintah memperluas moratorium  izin bekerja bagi pekerja rumah tangga dari lima menjadi 21 negara di Afrika Selatan dan Timur Tengah. Moratorium pemerintah terhadap kapal penangkap ikan asing di perairan Indonesia berlaku selama satu tahun hingga Desember 2015 Selama kurun waktu tersebut pemerintah membekukan izin dan menghancurkan kapal-kapal tersebut untuk menindak tegas penangkapan secara ikan ilegal. Dari sekitar 1.132 yang masih dalam proses investigasi. tidak satu pun kapal penangkap ikan asing tersebut telah menerima izinnya kembali atau kembali beroperasi setelah masa berlaku moratorium habis. Pemerintah tidak melaporkan tuntutan atau hukuman apa pun terhadap wisatawan seks anak. Pemerintah telah melakukan upaya-upaya untuk mengurangi permintaan atas pekerja paksa dan pekerja seks komersial. Pemerintah telah menyediakan pelatihan anti-perdagangan orang untuk personil militer sebelum bertugas ke luar negeri untuk misi perdamaian internasional dan misi diplomatik. Pemerintah juga menyediakan modul identifikasi korban perdagangan orang dan perlindungan pekerja migran Indonesia di luar negeri.