Laporan Tahunan Perdagangan Orang 2019

INDONESIA: Tingkat 2

Pemerintah Indonesia tidak sepenuhnya memenuhi standar minimum pemberantasan perdagangan orang tetapi tengah melakukan upaya signifikan untuk mewujudkannya. Pemerintah Indonesia menunjukkan peningkatan upaya yang lebih baik secara keseluruhan bila dibandingkan dengan periode laporan sebelumnya; oleh karena itu Indonesia tetap berada di Tingkat 2. Upaya-upaya tersebut antara lain membentuk 13 satuan tugas penegakan hukum perdagangan orang serta tiga satuan tugas antarlembaga tingkat daerah dan tingkat kabupaten, dan terus menciptakan dan menyebarluaskan materi-materi perdagangan manusia untuk meningkatkan kesadaranpublik. Pemerintah menerbitkan peraturan menteri yang mewajibkan pemerintah daerah untuk memuat pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dalam prioritas kebijakan mereka dan perlindungan yang menyeluruh terhadap warga negara Indonesia di luar negeri, termasuk korban perdagangan manusia. Pemerintah juga mengeluarkan peraturan yang memungkinkan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) untuk memuat pembayaran restitusi sebagai bagian dari hukuman kepada pelaku sebelum atau sesudah putusan atas kasus perdaganganorang dan kejahatan lainnya dan mulai memformulasikan peraturan pelaksanaan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia tahun 2017. Namun demikian, pemerintah belum memenuhi standar minimum dalam beberapa bidang utama. Angka investigasi, penuntutan, dan putusan mengalami penurunan. Keterlibatan pejabat dalam kejahatan perdagangan manusia masih sangat perlu diperhatikan, dan meski pemerintah melaporkan investigasi yang sedang berlangsung, pemerintah tidak melaporkan tuntutan atau hukuman apa pun terhadap petugas yang diduga terlibat TPPO. Pemerintah bekerja sama dengan organisasi internasional untuk mengembangkan prosedur identifikasi korban tetapi belum menyelesaikannya selama periode pelaporan dan ketidaktersediaan prosedur tersebut menghambat identifikasi korban secara keseluruhan dan korban laki-laki pada khususnya. Layanan rehabilitasi pemerintah belum mencukupi. Selama periode pelaporan, lima Rumah Perlindungan Trauma Center (RPTC) tingkat provinsi ditutup karena kekurangan dana. Alokasi anggaran pemerintah untuk Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan TPPO tingkat nasional menurun dalam tiga tahun terakhir. Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang tahun 2007 tidak konsisten dengan hukum internasional dengan masih memuat syarat penggunaan kekuatan, penipuan, atau paksaan untuk membenarkan terjadinya kejahatan perdagangan seks anak.

REKOMENDASI YANG DIPRIORITASKAN:

Meningkatkan upaya penyidikan, penuntutan, dan putusan bagi pelaku perdagangan orang di bawah Undang-Undang Pemberantasan TPPO tahun 2007, termasuk pejabat publik yang dengan sengaja mengabaikan, memfasilitasi, atau terlibat dalam kejahatan perdagangan manusia. • Memberikan panduan hukum yang lebih jelas dengan mengubah Undang-Undang Pemberantasan TPPO tahun 2007 untuk menghilangkan ketentuan yang memuat syarat penggunaan kekuatan, penipuan, atau paksaan untuk mengusut perdagangan seks anak. • Mengembangkan, menuntaskan, menyebarluaskan, dan melatih semua pejabat terkait, termasuk pejabat bidang penegakan hukum, hubungan luar negeri, kelautan, dan ketenagakerjaan mengenai Standar  Operasional Prosedur (SOP) yang  komprehensif agar dapat secara proaktif mengidentifikasi korban. • Menerbitkan peraturan pelaksanaan untuk implementasi Undang-Undang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia tahun 2017, termasuk ketentuan yang melarang adanya biaya perekrutan yang harus dibayar oleh pekerja. • Meningkatkan anggaran dan secara proaktif memberikan layanan rehabilitasi kepada para korban, termasuk korban laki-laki. • Memberikan kebebasan bergerak bagi para korban di rumah perlindungan milik pemerintah. • Meningkatkan upaya yang efektif untuk mengawasi agen perekrutan tenaga kerja dan mengambil tindakan terhadap entitas yang bersalah atas perilaku ilegal terhadap pekerja migran yang berkontribusi pada praktik kerja paksa termasuk membebankan biaya penempatan, praktik perekrutan yang menipu, pengalihan kontrak, dan pemalsuan dokumen. • Melembagakan dan secara reguler mengadakan pelatihan pemberantasan TPPO bagi para hakim, jaksa, polisi, dan pekerja sosial. • Meningkatkan anggaran untuk Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan TPPO dan meningkatkan koordinasi antar kementerian. • Menciptakan sistem pengumpulan data di semua tingkat penegakan hukum untuk melacak upaya pemberantasan perdagangan manusia • Menghapus larangan yang berlaku saat ini pada migrasi untuk mendorong migrasi melalui jalur-jalur yang terdokumentasi. • Memberikan pelatihan kepada staf rumah sakit dan penyedia layanan kesehatan lainnya tentang ketentuan yang menjamin layanan kesehatan bagi korban perdagangan manusia yang didanai pemerintah . • Menciptakan protokol nasional yang menjelaskan peran pemerintah daerah dan dinas terkait untuk memperkarakan kasus-kasus perdagangan manusia di luar provinsi asal korban.

PENUNTUTAN

Upaya pemerintah mengurangi dalam penegakan hukum mengalami penurunan. Undang-Undang Pemberantasan TPPO tahun 2007 mengkriminalisasi segala bentuk kejahatan yang melibatkan perdagangan tenaga kerja dan perdagangan seks dewasa dengan jerat hukuman tiga hingga 15 tahun penjara. Hukuman tersebut dinilai cukup berat dan sepadan dengan hukuman yang ditetapkan untuk pidana berat lainnya, , seperti kasus perkosaan. Berbeda dengan hukum internasional, undang-undang ini mensyaratkan penggunaan kekuatan, penipuan, atau paksaan untuk menyatakan kejahatan terkait perdagangan seks anak, sehingga tidak semua bentuk perdagangan seks anak dapat dikriminalisasi. Kementerian Dalam Negeri menerbitkan Peraturan Menteri pada bulan April 2018 yang mengamanatkan pemerintah daerah untuk memuat pemberantasan TPPO dalam prioritas kebijakan mereka, namun pemerintah tidak memiliki mekanisme untuk menerapkan mandat ini dan tidak cukup mempengaruhi seluruh pemerintah provinsi untuk secara konsisten mengalokasikan anggaran pemberantasan TPPO atau untuk mengimplementasikan kebijakan nasional. Sebagai akibatnya, koordinasi lembaga pemerintah dan pengumpulan data terus menjadi tantangan dan beberapa kepolisian tingkat provinsi melaporkan bahwa anggaran mereka tidak memungkinkan untuk melakukan investigasi lintas provinsi atau lintas perbatasan. Para pejabat juga melaporkan koordinasi yang tidak efektif menghambat kemampuan pemerintah untuk menyidik, menuntut, dan menghukum pelaku perdagangan manusia, terutama ketika kasus-kasus tersebut melibatkan sejumlah wilayah yuridiksi. Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI) membentuk 13 satuan tugas TPPO tingkat provinsi tetapi tidak melaporkan hasil penyidikan dari satuan tugas tersebut. Satuan Tugas TPPO POLRI tidak memiliki mekanisme untuk melacak investigasi di semua tingkat pemerintahan, sehingga mempersulit mereka untuk menentukan tren dan jumlah investigasi dan kasus yang terselesaikan. Pada tahun 2018, POLRI melaporkan 95 investigasi kasus, menurun bila dibandingkan dengan 123 kasus pada 2017. Mahkamah Agung menerapkan mekanisme pencatatan yang komprehensif untuk data pengadilan secara nasional.  Mahkamah Agung melaporkan terjadinya 316 tuntutan dan 279 putusan pada 2018, menurun bila dibandingkan dengan 407 tuntutan dan 331 hukuman pada 2017. Pemerintah tidak melaporkan data penghukuman secara komprehensif.

Keterlibatan petugas terus menjadi perhatian penting. Pejabat-pejabat yang korup dilaporkan terus memfasilitasi penerbitan dokumen palsu, menerima suap untuk memungkinkan calo mengangkut migran tak berdokumen melintasi perbatasan, melindungi tempat-tempat terjadinya perdagangan seks, dan memberikan pengawasan yang lemah terhadap agen-agen perekrutan. Praktik suap dan pemerasan memengaruhi proses penuntutan, hukuman, dan putusan dalam kasus perdata dan pidana, termasuk kasus perdagangan manusia. Organisasi-organisasi bantuan hukum melaporkan bahwa penanganan kasus-kasus seringkali berjalan sangat lambat kecuali jika ada uang suap, dalam beberapa kasus, jaksa penuntut meminta pembayaran dari para terdakwa untuk memastikan tuntutan yang lebih ringan atau membatalkan tuntutan. LSM menduga adanya potensi kolusi antara pengadilan dan pelaku utama kasus perdagangan manusia di Pengadilan Negeri Batam untuk menerima vonis yang lebih ringan dibandingkan dengan para terdakwa lainnya yang dihukum atas kasus perdagangan manusia yang sama. Organisasi masyarakat sipil menduga sejumlah polisi menolak menangkap pelaku perdagangan orang yang memiliki hubungan dengan anggota masyarakat yang berpengaruh. Pada Agustus 2018, setelah LSM melaporkan tidak adanya tindakan tersebut, media melaporkan seorang perwira polisi berpangkat tinggi di Riau ditangkap oleh satuan polisi lain. Pada Januari 2019, kepolisian di Nusa Tenggara Timur (NTT) menyatakan seorang mantan anggota DPRD  NTT sebagai tersangka dalam kasus yang melibatkan perekrutan seorang wanita yang diangkut ke Jakarta dan dipaksa untuk bekerja di tiga pengusaha berbeda tanpa dibayar. Pada 2017, seorang mantan karyawan administrasi asal Indonesia di Kedutaan Besar Indonesia untuk Amerika Serikat didakwa oleh pengadilan federal di Maryland karena memperkerjakan orang asing demi mendapatkan keuntungan finansial pribadi. Karyawan tersebut diduga mengancam dan melakukan penganiayaan secara fisik terhadap seorang pekerja rumah tangga asal Indonesia dari tahun 2005 hingga 2012, menahan dokumen identitasnya, memaksanya bekerja tujuh hari dalam seminggu, dan tidak membayar upahnya secara penuh. Pemerintah tidak melaporkan adanya pengambilan tindakan untuk meminta pertanggungjawaban karyawan tersebut. Meski pemerintah melaporkan investigasi yang sedang berlangsung, pemerintah tidak melaporkan penuntutan atau hukuman dari pejabat yang diduga terlibat dalam perdagangan manusia.

Meski beberapa pejabat mendapat pelatihan mengenai pemberantasan TPPO dari pemerintah, organisasi internasional, pemerintah asing, namun pemerintah Indonesia tidak melembagakan pelatihan tersebut. Pejabat pemerintah dan lembaga bantuan hukum mencatat bahwa pemahaman pejabat yang terbatas menghambat penuntutan kasus berdasarkan Undang-Undang Pemberantasan TPPO; sebaliknya, pihak berwenang sering menuntut orang yang dicurigai melakukan perdagangan manusia dengan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Migran Indonesiayang memberikan hukuman yang lebih ringan. Mahkamah Agung memuat perdagangan orang didalam kurikulum tahunan yang diberikan kepada para hakim; namun demikian, pelatihan hanya menampung 20 hingga 30 hakim per tahun. Selama tahun 2018, Gugus Tugas Pencegahan dan Penganganan hanya mengadakan dua pelatihan pada bulan November mengenai cara penanganan kasus. Pelatihan tersebut ditujukan untuk 90 polisi di Jawa Tengah dan sejumlah anggota kepolisian, jaksa, hakim, dan staf dari Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) dari 10 provinsi. Pemerintah terus bekerja sama dengan organisasi internasional dan pemerintah asing untuk memberikan pelatihan tambahan. Pada 2018, pemerintah bekerja sama dengan organisasi internasional dalam sebuah proyek tahun jamak, yang didanai oleh pemerintah asing, untuk membuat basis data perdagangan manusia tingkat nasional.

PERLINDUNGAN

Pemerintah tidak memberikan upaya-upaya perlindungan yang memadai. Pemerintah tidak memiliki SOP agar pemerintah secara proaktif mengidentifikasi korban dan memberi rujukan ke layanan rehabilitasi. Meskipun Kementerian Luar Negeri (Kemlu) menggunakan prosedur untuk identifikasi korban dalam kapasitasnya membantu warga Indonesia di luar negeri, pengamat mencatat bahwa penegakan hukum terutama di tingkat kota dan kabupaten, tidak menggunakan SOP. Para pengamat mengekspresikan keprihatinan mereka terhadap ketiadaan SOP dan infrastruktur anti perdagangan manusia milik pemerintah didalam lingkup unit kepolisian dan lembaga-lembaga perlindungan tingkat daerah yang fokus utamanya adalah perempuan dan anak-anak, telah menghambat pengidentifikasian korban secara keseluruhan dan korban laki-laki pada khususnya. Selain itu, upaya pemerintah yang kurang memadai untuk menyaring kelompok-kelompok yang rentan untuk dijadikan sebagai indikator perdagangan manusia, termasuk proses penyerbuan untuk menangkap orang-orang yang terlibat dalam pelacuran atau untuk memerangi penangkapan ikan ilegal, mungkin berakibat pada penghukuman atau pendeportasian korban perdagangan manusia yang tak teridentifikasi. Pada 2018, pemerintah bekerja sama dengan organisasi internasional untuk mengembangkan prosedur pengidentifikasian korban namun tidak menyelesaikan prosedur tersebut selama periode pelaporan. Pemerintah tidak mengumpulkan data menyeluruh mengenai jumlah korban yang diidentifikasi. Entitas pemerintah yang berbeda terkadang melaporkan statistik mereka sendiri, mengakibatkan data agregat tidak dapat dibandingkan dengan data yang dilaporkan di periode sebelumnya dan adanya kemungkinan penghitungan ganda jumlah korban ketika mereka melakukan kontak dengan berbagai lembaga pemerintah.

Pemerintah mengoordinasikan layanan rehabilitasi yang diutamakan untuk korban pelanggaran, termasuk korban perdagangan manusia, melalui Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A). P2TP2A terdapat di 34 provinsi dan sekitar 436 kabupaten. Pusat pelayanan tersebut dikelola dan didanai oleh pemerintah provinsi atau kabupaten. Layanan yang diberikan antara lain penampungan jangka pendek, perawatan medis, konseling, layanan penghubung keluarga, dan beberapa pelatihan keterampilan kejuruan; namun demikian, dalam praktiknya, pemberian layanan tersebut bervariasi sesuai dengan kepemimpinan dan pendanaan daerah. Wanita yang tinggal di wilayah perdesaan atau kabupaten yang tidak memiliki P2TP2A tersebut mengalami kesulitan dalam menerima layanan pendukung, dan beberapa layanan tersebut hanya buka enam jam dalam sehari dan tidak diwajibkan buka selama 24 jam. LSM tetap berperan penting dalam melengkapi dan mengisi kesenjangan layanan pemerintah—termasuk bagi korban laki-laki yang dirujuk ke LSM yang memiliki tempat penampungan. LPSK mengakui bahwa pemerintah perlu meningkatkan kesadaran masyarakat tentang layanan yang tersedia. Pada bulan Agustus 2018, LPSK meluncurkan hotline dan aplikasi telepon genggam  dalam rangka memberikan informasi kepada semua korban kejahatan terkait dengan tata cara pengaduan dan layanan perlindungan pemerintah yang tersedia.

Korban perdagangan orang hanya diperkenankan masuk dan keluar dari rumah perlindungan dari pemerintah setelah mendapat persetujuan dari lembaga pemerintah terkait; korban tidak memiliki kebebasan bergerak setelah pemerintah menempatkannya ke dalam rumah perlindungan. Kementerian Sosial (Kemensos) mendanai dan mengelola dua RPTC di Jakarta dan Kepulauan Riau yang menyediakan penampungan jangka pendek untuk korban kejahatan laki-laki dan perempuan, termasuk korban perdagangan manusia. RPTC di Kepulauan Riau hanya melayani warga negara Indonesia yang mengalami masalah di Malaysia; pada 2018, rumah perlindungan tersebut memulangkan 2.755 warga Indonesia tetapi tidak melaporkan berapa banyak di antara mereka yang dipulangkan yang menjadi korban perdagangan manusia. Kemensos melaporkan pusat trauma Jakarta melayani 490 korban perdagangan manusia pada 2018, tetapi tidak melaporkan jenis perdagangan manusia atau usia atau jenis kelamin korban. Sebagai perbandingan, pemerintah melaporkan kedua pusat trauma tersebut melayani 1.291 korban perdagangan manusia pada 2017. Kemensos juga mendanai dan mengelola tempat perlindungan bagi perempuan yang mengalami kekerasan seksual; pada tahun 2018, Rumah Perlindungan Sosial Wanita (RPSW) menampung 37 korban perdagangan manusia. Dinas Sosial tingkat provinsi mendanai dan mengoperasikan RPTC yang tersedia untuk para korban perdagangan manusia; namun, pada Oktober 2018, Kemsos mengadakan pelatihan untuk staf pusat trauma provinsi dan menemukan lima rumah perlindungan telah ditutup pada tahun itu akibat kurangnya dana dari pemerintah provinsi atau kabupaten. Pada akhir periode pelaporan, pemerintah melapor memiliki 21 RPTC di seluruh Indonesia.

Pemerintah menampung anak-anak korban kejahatan di Rumah Perlindungan Sosial Anak (RPSA) yang didanai oleh Kemensos, pemerintah provinsi atau kabupaten, dan beberapa lainnya bermitra dengan LSM setempat. Pemerintah melaporkan bahwajumlah RPSA meningkat dari 14 menjadi 18 pada 2018 dan telah menampung 11 anak yang menjadi korban perdagangan manusia. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) melaporkan telah mengidentifikasi 65 kasus perdagangan orang yang melibatkan anak-anak pada 2018 dan secara terpisah mengidentifikasi 93 kasus “prostitusi anak.” LSM dan pemerintah terdahulu memperkirakan puluhan ribu anak menjadi korban perdagangan seks.

Pada September 2018, Kemlu menerbitkan peraturan tentang perlindungan warga negara Indonesia di luar negeri, termasuk korban perdagangan orang. Peraturan ini menekankan pada deteksi awal melalui pemetaan risiko dan keharusan untuk menanggapi segera keluhan atau laporan pelanggaran. Selama tahun 2018, Kemlu melaporkan telah mengidentifikasi 164 warga negara Indonesia yang menjadi korban perdagangan manusia di luar negeri, menurun dibanding 340 orang pada 2017 dan 478 orang pada 2016. Kemlu melaporkan informasi yang dikumpulkannya, memberikan bantuan melalui pengadaan dokumen identitas yang diperlukan, dan merujuk 95 korban ke rumah perlindungan milik Kemensos; Kemlu tidak melaporkan tindakannya terkait dengan 69 korban lainnya. Pemerintah menampung korban-korban perdagangan di luar negeri yang diidentifikasi di Indonesia di RPTC Jakarta atau di salah satu dari 13 Rumah Detensi Imigrasi sebagai fasilitas untuk mengamankan migran ilegal dan tempat penampungan bagi migran gelap, pengungsi, dan pencari suaka. Pemerintah mengizinkan organisasi internasional untuk memberikan konseling dan layanan hukum di beberapa tempat penampungan. Pemerintah tidak memberikan alternatif hukum untuk korban berkewarganegaran asing yang dipindahkan ke negara laindimana mereka mungkin akan menghadapi kesulitan atau masalah hukum.

Polisi meminta para korban untuk tinggal di penampungan pemerintah hingga investigasi selesai namun terbatasnya dana pemerintah menyebabkan mereka rata-rata hanya bisa tinggal selama dua pekan di rumah perlindungan. Perempuan dan anak-anak di rumah perlindungan dilaporkan tinggal lebih lama, meski pemerintah tidak memberikan data rata-rata lama tinggal atau kemana para korban pergi setelah lepas dari rumah perlindungan pemerintah. Polisi mengakui bahwa layanan pemerintah tidak mencukupi dan menyatakan bahwa pemerintah membutuhkan bantuan LSM untuk menyediakan tempat penampungan. Setelah melepas seorang korban dari perawatan , pemerintah tidak melacak korban tersebut, termasuk untuk tujuan pengumpulan kesaksian untuk menuntut pelaku yang memperdagangkan mereka; pemerintah mengandalkan organisasi internasional untuk terus berhubungan dengan para korban dan menindaklanjuti serta, jika perlu, membantu mereka.

Sistem perawatan kesehatan yang baru-baru ini dibangun pemerintah mencakup beberapa kebutuhan medis para warga negara Indonesia yang menjadi korban; namun, sistem tersebut mensyaratkan dokumen identitas yang tidak dimiliki oleh banyak pekerja migran yang pulang ke Indonesia setelah dieksploitasi di luar negeri. Kementerian Kesehatan (Kemenkes) bertanggung jawab mendanai perawatan kesehatan para korban, yang wajib disediakan oleh rumah sakit milik POLRI secara gratis. Kemenkes melatih personel rumah sakit untuk memberikan layanan kesehatan kepada korban kekerasan dan perdagangan manusia di enam provinsi selama 2018.

Pada periode pelaporan sebelumnya, Mahkamah Agung mengeluarkan pedoman untuk  para hakim dalam  melindungi korban perempuan selama proses hukum berlangsung dengan mempertimbangkan trauma psikologis dan mengizinkan kesaksian melalui video. Pemerintah tidak melaporkan apakah Mahkamah Agung secara konsisten menawarkan perlindungan tersebut kepada perempuan korban perdagangan manusia selama proses pengadilan. Pemerintah mengeluarkan peraturan untuk mengizinkan LPSK untuk memuat pembayaran restitusi sebagai bagian dari hukuman terhadap pelaku sebelum atau sesudah putusan kasus perdagangan orang dan kejahatan lainnya. LPSK, POLRI, dan Kejaksaan Agung bekerja sama dengan pemerintah asing untuk menerbitkan dan menyebarluaskan sebuah panduan bagi aparat penegak hukum dan korban tentang hak korban untuk mendapatkan restitusi. Pada 2018, LPSK memberikan bantuan hukum kepada 70 korban perdagangan manusia, dalam 39 kasus, dibandingkan dengan 64 korban pada 2017, dan 105 korban pada 2016. Dari 39 kasus itu, LPSK memfasilitasi restitusi korban dari 18 kasus, 19 kasus lain masih dalam penyelidikan, dan korban dari dua kasus lainnya memutuskan untuk tidak meminta restitusi untuk alasan yang tidak diketahui. Per Desember 2018, hanya korban-korban dari salah satu dari 18 kasus tersebut yang telah menerima restitusi, karena hukum di  Indonesia mengizinkan para terpidana untuk menjalani hukuman penjara tambahan sebagai ganti pembayaran restitusi.

PENCEGAHAN

Pemerintah telah meningkatkan upaya untuk mencegah perdagangan orang. Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan TPPO tingkat nasional, yang dikoordinasikan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), sudah membentuk 32 satuan tugas tingkat provinsi; Papua dan Papua Barat tidak memiliki satuan tugas. Pemerintah telah meningkatkan jumlah satuan tugas TPPO tingkat daerah dan kabupaten dari 191 pada periode pelaporan sebelumnya menjadi 194; satuan tugas ini dikepalai oleh P2TP2A atau dinas sosial setempat. Alokasi anggaran pemerintah untuk direktorat yang menangani TPPO di Kemen PPPA menurun dari 21,9 miliar rupiah (IDR) ($1,52 juta) pada 2017 menjadi 20,1 miliar rupiah ($1,39 juta) pada 2018 dan menjadi 17,3 miliar rupiah ($1,2 juta) pada 2019. Para pengamat mencatat anggaran yang tidak mencukupi dan kurangnya koordinasi internal dan antar satuan tugas tingkat daerah dan nasional seringkali menghambat upaya pemberantasan perdagangan manusia. Kemen PPPA dan Kementerian Koordinator Bidang Pengembangan Manusia dan Kebudayaan mengadakan enam pertemuan untuk membahas amandemen Peraturan Presiden tentang Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan TPPO dan merekomendasikan pemerintah untuk mengalokasikan anggaran pemberantasan TPPO di masing-masing kementerian, menciptakan mekanisme pengawasan, dan mengikutsertakan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sebagai anggota Gugus Tugas.

Pada periode pelaporan sebelumnya, pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (UU PPMI) tahun 2017 yang menggarisbawahi prosedur untuk mengatur dan mengawasi perekrutan tenaga kerja. Undang-undang tersebut mewajibkan pemerintah provinsi—alih-alih perusahaan penempatan tenaga kerja swasta—untuk mengawasi penyediaan pelatihan kejuruan sebelum keberangkatan dan penempatan pekerja. Pasal 30 dari undang-undang tersebut menyatakan bahwa para pekerja migran “tidak menanggung biaya penempatan” dan Pasal 72 melarang perekrut atau pemberi kerja membebankan biaya penempatan kepada pekerja yang semula mereka bayar. Namun demikian, undang-undang tersebut tidak mendefinisikan biaya penempatan dan pemerintah mengharuskan terbitnya peraturan pelaksanaan agar undang-undang tersebut dapat sepenuhnya dieksekusi. Kementerian terkait bertemu dua kali pada 2018 untuk membahas dan memformulasikan peraturan pelaksanaannya namun belum dapat menyelesaikannya hingga November 2019. Beberapa pengamat menyatakan bahwa undang-undang tersebut masih lemah dalam mencegah terjadinya eksploitasi. Undang-undang yang disahkan sebelum UU PPMI tahun 2017 diterbitkan, masih berlaku karena kurangnya peraturan pelaksanaan. Agen perekrutan masih membebankan biaya kepada para pekerja berdasarkan profesi dan tujuan yang mereka pilih. Para pengamat melaporkan bahwa pemerintah tidak efektif untuk memastikan para pekerja migran tidak dikenakan biaya di atas biaya perekrutan yang ditetapkan pemerintah dan mencatat bahwa gaji tahun pertama dari mayoritas pekerja migran seringkali diberikan kepada perekrut atau pemberi kerja untuk membayar biaya perekrutan—utang tersebut digunakan oleh pelaku perdagangan manusia untuk memaksa korban bekerja.

Meskipun undang-undang baru tersebut telah menyatakan bahwa Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) memiliki kewenangan untuk mencabut  izin  agen perekrutan jika ditemukan melanggar salah satu peraturan tersebut, undang-undang tersebut tidak menjelaskan penggunaan sub-agen tidak resmi yang sering membebankan biaya kepada pekerja migran untuk menghubungkan mereka dengan agen perekrutan. Pada 2018, Kemnaker menghentikan sementara lisensi 18 agen perekrutan karena  praktik perekrutan yang menipu dan penandatanganan kontrak yang bersifat memaksa atau, pemalsuan dokumen, perekrutan di bawah umur, biaya ilegal, dan pelanggaran lainnya. Kemnaker mencabut lisensi salah satu agen karena secara ilegal mengirim pekerja migran ke Arab Saudi, angka lisensi yang sama dilaporkan oleh Kemnaker pada 2017. Secara terpisah, pihak kepolisian Jawa Barat melaporkan telah menangkap direktur agen perekrutan karena diduga memaksa lebih dari 80 pekerja migran agar setuju memberikan gaji enam bulan pertamanya ke agen perekrutan.

Pemerintah tetap melarang penempatan tenaga kerja di 21 negara di Timur Tengah dan Afrika Utara, sekalipun tercatat bahwa jumlah pekerja migran yang melanggar larangan dengan menggunakan jasa perekrutan ilegal terus meningkat. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), organisasi internasional lainnya, dan LSM terus memperdebatkan bahwa larangan migrasi akan meningkatkan kemungkinan pekerja untuk bermigrasi secara ilegal dan karenanya akan mempertinggi kerentanan mereka terhadap perdagangan manusia. Pada November 2018, pemerintah menandatangani nota kesepahaman (MOU) dengan Arab Saudi tentang pedoman perekrutan, penempatan, dan perlindungan pekerja migran di Arab Saudi. Di antara ketentuan-ketentuan lainnya, MOU ini menyatakan bahwa pekerja migran tidak seharusnya dibebani dengan biaya penempatan. Pasal 31 dari Undang-Undang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia Tahun 2017 menentukan bahwa pemerintah hanya memperbolehkan seseorang bermigrasi ke negara tujuan yang telah memiliki undang-undang perlindungan tenaga kerja asing, sebuah kesepakatan tertulis dengan pemerintah Indonesia, dan sebuah sistem keamanan sosial atau asuransi untuk melindungi tenaga kerja migran. Kemnaker melaporkan telah mulai meninjau semua MOU yang ditandatanganinya dengan negara-negara lain mengenai perlindungan tenaga kerja migran guna memastikan kepatuhan mereka pada hukum.

KKP dilaporkan terus mengimplementasikan peraturannya mengenai sertifikasi hak asasi manusia di bisnis perikanan, termasuk persyaratan bahwa bisnis perikanan Indonesia harus mematuhi standar hak asasi manusia internasional untuk bisa mendapatkan izin penangkapan ikan. KKP juga terus mengimplementasikan peraturan menteri tahun 2016 mengenai perjanjian kerja dengan mengambil langkah-langkah untuk menstandarisasikan kontrak kerja bagi nelayan-nelayan Indonesia guna mengurangi kewenangan pemilik atau kapten kapal atas kondisi kerja para awaknya. LSM berkomentar bahwa pemerintah tidak mengimplementasikan peraturan tersebut secara efektif. Selama tahun pelaporan, Kemlu melakukan negosiasi dengan pemintah Mauritius, Korea Selatan, dan Taiwan untuk memperluas program percontohannya untuk membantu warga negara Indonesia yang bekerja di kapal penangkap ikan asing melalui pusat-pusat layanan khusus untuk mengumpulkan data dan menyediakan layanan kepada para nelayan yang berada dalam kesulitan; di akhir periode pelaporan, belum ada pusat-pusat layanan yang baru didirikan.

Beberapa kementerian dan lembaga mengoperasikan hotline untuk berbagai masalah, tidak terbatas pada perdagangan manusia. Kemlu mengoperasikan hotline 24 jam bagi warga negara Indonesia di luar negeri dan dua aplikasi telepon genggam  yang menyertakan informasi perjalanan yang aman dan layanan perlindungan. Pada Desember 2018, Kemnaker meluncurkan aplikasi mobile untuk pekerja migran yang memungkinkan mereka terhubung dengan Kemnaker, pekerja migran lainnya, dan keluarga mereka. Aplikasi ini juga membagikan informasi mengenai layanan Kemnaker. Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) juga mengoperasikan hotline 24 jam, nomor faks, dan alamat surel yang berfungsi sebagai pusat pengaduan bagi pekerja migran Indonesia. Pada 2018, sistem pengaduan BNP2TKI menerima 4.678 aduan dari pekerja yang ditempatkan di luar negeri, meningkat dari 4.475 aduan pada 2017. Dari 4.678 aduan tersebut, BNP2TKI melaporkan 36 di antaranya jelas merupakan kasus perdagangan manusia, menurun jika dibandingkan dengan 71 kasus pada 2017, dan 1.852 kasus mengindikasikan adanya perdagangan manusia, menurun jika dibandingkan dengan 2.430 kasus pada 2017. Meski BNP2TKI melaporkan telah menyerahkan kasus-kasus ini ke kepolisian untuk diinvestigasi, pemerintah tidak melaporkan hasilnya.

Pemerintah terus meningkatkan pelatihan pelatih dan kesadaran masyarakat umum tentang TPPO. Pemerintah menerbitkan buku pedoman untuk para orang tua tetapi tidak melaporkan jumlah yang disebarluaskan. Pemerintah juga menciptakan 20 kampanye kesadaran publik dalam bentuk film dokumenter, selebaran, poster, spanduk, papan iklan, dan naskah acara bincang-bincang untuk radio dan televisi yang dapat digunakan dalam kampanye informasi publik namun tidak melaporkan penggunaan maupun berapa banyak anggota masyarakat yang mendapatkan informasi tersebut.  LSM dan pejabat pemerintahan melaporkan kesadaran umum tentang perdagangan manusia telah mengalami peningkatan di pulau dengan penduduk terpadat, Jawa, namun demikian pelaku perdagangan orang mengalihkan sasaran mereka ke provinsi-provinsi yang masih memiliki kesadaran yang rendah. Pemerintah memberikan pelatihan pemberantasan perdagangan manusia bagi anggota militer sebelum diberangkatkan ke luar negeri untuk menjalani misi penjaga perdamaian internasional, dan tidak ada pelaporan mengenai pasukan penjaga perdamaian dari Indonesia yang terlibat dalam pelanggaran yang berkaitan dengan perdagangan manusia. Kemlu meningkatkan jumlah diplomat junior yang mendapat pelatihan tentang TPPO dari 33 orang pada 2017 menjadi 59 pada 2018. Pemerintah telah menutup sejumlah  lokalisasi, namun tidak melakukan upaya untuk mengurangi permintaan akan pekerja seks komersial.

PROFIL PELAKU PERDAGANGAN MANUSIA

Seperti yang dilaporkan selama lima tahun terakhir, pelaku perdagangan orang mengeksploitasi korban dari dalam dan luar negeri di Indonesia, dan pelaku juga mengeksploitasi korban dari Indonesia di luar negeri. Seluruh provinsi (34 provinsi) di Indonesia merupakan daerah asal maupun tujuan perdagangan manusia. Pemerintah memperkirakan ada sebanyak dua juta hingga delapan juta warga negara Indonesia yang bekerja di luar negeri—sebagian besar perempuan—tidak memiliki dokumen atau telah melebihi batas waktu tinggal yang tercantum pada visa mereka, situasi ini meningkatkan kerentanan mereka terhadap perdagangan manusia. Pelaku perdagangan tenaga kerja mengeksploitasi sejumlah besar warga negara Indonesia di Asia dan Timur Tengah dengan memanfaatkan jeratan utang untuk melakukan kekerasan dan pemaksaan, terutama yang bekerja sebagai pekerja rumah tangga, buruh pabrik, pekerja konstruksi dan manufaktur, buruh di  perkebunan kelapa sawit di Malaysia, dan awak  kapal penangkap ikan di seluruh Samudera Hindia dan Pasifik. Singapura, Malaysia, Hong Kong, dan Timur Tengah mempekerjakan banyak pekerja rumah tangga asal Indonesia yang tidak mendapat perlindungan di bawah undang-undang tenaga kerja setempat dan sering mengalami berbagai indikator-indikator perdagangan orang antara lain jam kerja yang sangat panjang, tidak adanya kontrak resmi, dan upah yang tidak dibayarkan. LSM memperkirakan agen dan subagen perekrutan yang tidak bermoral bertanggung jawab atas lebih dari setengah dari kasus perdagangan perempuan Indonesia yang terjadi di luar negeri. Agar dapat bekerja di luar negeri, seringkali pekerja menganggap utang kepada agen perekrutan Indonesia dan luar negeri dimanfaatkan untuk memaksa mereka bekerja. Selain itu, beberapa perusahaan menahan dokumen identitas dan menggunakan ancaman kekerasan untuk menjaga agar pekerja migran terus bekerja secara paksa. Pelaku perdagangan seks mengeksploitasi perempuan dewasa dan gadis remaja Indonesia terutama di Malaysia, Taiwan, dan Timur Tengah.

Di Indonesia, pelaku perdagangan tenaga kerja mengeksploitasi perempuan, laki-laki, dan anak-anak dalam penangkapan ikan, pemrosesan ikan, dan konstruksi; pada perkebunan, termasuk perkebunan kelapa sawit, pertambangan dan manufaktur. Pelaku perdagangan manusia mengeksploitasi perempuan dewasa dan anak-anak dalam perbudakan rumah tangga. Pelaku perdagangan seks sering menggunakan utang atau menawarkan pekerjaan di restoran, pabrik, atau asisten rumah tangga, untuk memaksa dan menipu perempuan dewasa dan gadis remaja, serta mengeksploitasi mereka dalam seks komersial di seluruh Indonesia terutama di Batam dan Jakarta. Pelaku perdagangan manusia juga mengeksploitasi perempuan dewasa dan gadis remaja di daerah pertambangan di Maluku, Papua, dan provinsi Jambi. Semakin banyak pelaku perdagangan manusia yang menggunakan platform daring dan media sosial untuk merekrut korban. Pada 2017, sebuah LSM memperkirakan ada sebanyak 70.000 hingga 80.000 korban perdagangan seks anak di Indonesia. Wisata seks anak banyak ditemukan di Kepulauan Riau yang berbatasan dengan Singapura. Bali adalah tujuan bagi warga negara Indonesia yang bepergian dengan tujuan pariwisata seks anak. Warga negara Indonesia, termasuk anak-anak, yang rumah atau mata pencahariannya hancur akibat bencana alam rentan terhadap perdagangan manusia. Korupsi endemik yang terjadi di kalangan pejabat pemerintah  memfasilitasi praktik-praktik yang berkontribusi pada kerentanan perdagangan anak di industri perjalanan, hotel, dan perekrutan tenaga kerja.

Nelayan Indonesia yang bekerja di kapal penangkapan ikan berbendera Taiwan, Thailand, Malaysia, dan Filipina yang beroperasi di perairan Indonesia, Thailand, Sri Lanka, Mauritius, dan India, melaporkan kapten kapal melakukan pelecehan yang meninggalkan dampak mendalam, kerja paksa, gaji yang tidak dibayar, dan, dalam beberapa kasus, pembunuhan. Banyak agen perekrutan di Myanmar, Indonesia, dan Thailand mempekerjakan nelayan, memberi mereka identitas dan dokumen izin kerja palsu, dan memaksa mereka untuk menangkap ikan dalam waktu lama di laut dengan gaji rendah atau tidak dibayarkan dan juga mengalami penganiayaan fisikyang kejam. Kapten dan awak kapal melarang nelayan-nelayan tersebut untuk meninggalkan kapal mereka dan melaporkan penganiayaan itu dengan ancaman akan membeberkan identitas palsu mereka kepada pihak berwenang atau dengan menahan mereka di penjara sementara selama berada di darat. Setiap tahun, terdapat lebih dari 7.000 nelayan Indonesia yang masuk  dan keluar dari kapal-kapal asing yang berlabuh di Cape Town, Afrika Selatan, dan dilaporkan mengalami kondisi kerja yang buruk, terutama di kapal-kapal yang dimiliki oleh warga Taiwan, Korea, dan Jepang.