Indonesia (Tingkat 2)
Pemerintah Indonesia tidak sepenuhnya memenuhi standar minimum pemberantasan tindak pidana perdagangan orang (TPPO), tetapi sedang melakukan upaya signifikan untuk mewujudkannya. Pemerintah menunjukkan peningkatan upaya secara keseluruhan dibandingkan periode pelaporan sebelumnya; oleh karena itu Indonesia tetap berada pada Tingkat 2. Upaya-upaya tersebut antara lain memberikan layanan perlindungan kepada lebih banyak korban melalui Kementerian Sosial; mengidentifikasi, menerima, dan membantu lebih banyak korban eksploitasi di luar negeri dibanding tahun sebelumnya; memulihkan hak upah pekerja Indonesia yang menuntut imbalan atas pekerjaan yang tidak dibayar di luar negeri; terus menciptakan dan menyebarluaskan materi kampanye peningkatan kesadaran; dan memberlakukan sejumlah peraturan pelaksana Undang-Undang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (UU PPMI) yang disahkan pada 2017. Namun, pemerintah Indonesia belum memenuhi standar minimum beberapa bidang utama. Angka penuntutan dan putusan mengalami penurunan dalam dua tahun berturut-turut, dan pengadilan terkadang berhenti memproses kasus perdata dan pidana terkait perdagangan orang tanpa penangguhan resmi, putusan, atau justifikasi hukum. Keterlibatan pejabat dalam kejahatan perdagangan orang tetap menjadi perhatian, dan seperti pada tahun sebelumnya, walau pemerintah melaporkan investigasi-investigasi yang sedang berlangsung, pemerintah tidak melaporkan penuntutan atau putusan terhadap pejabat yang diduga terlibat dalam TPPO. Ketiadaan prosedur identifikasi yang kuat dan sistematis senantiasa menghambat identifikasi korban secara keseluruhan —terutama korban laki-laki. Koordinasi antara Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan TPPO (Gugus Tugas PP TPPO) tingkat nasional dan mitranya di tingkat provinsi dan kabupaten/kota kurang memadai dalam menerjemahkan kebijakan pemerintah pusat yang dituangkan ke dalam pelaksanaannya secara nasional. Pemerintah mengurangi anggaran perlindungan korban dan alokasi anggaran untuk kantor penanganan TPPO yang menjadi bagian Gugus Tugas PP TPPO menurun dalam empat tahun terakhir. Pemerintah belum memberlakukan sejumlah peraturan pelaksana pokok dari UU PPMI sehingga menghambat efektivitasnya. Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang tahun 2007 tidak konsisten dengan hukum internasional karena masih memuat syarat penggunaan kekuatan, penipuan, atau paksaan untuk membenarkan terjadinya kejahatan perdagangan seks anak.
REKOMENDASI YANG DIPRIORITASKAN:
Meningkatkan upaya yang lebih baik untuk menyelidiki, menuntut, dan memberi putusan bagi pelaku perdagangan orang di bawah UU PTPPO tahun 2007, termasuk keterlibatan pejabat yang dengan sengaja mengabaikan, memfasilitasi, atau ikut serta dalam kejahatan perdagangan manusia. • Mengubah UU PTPPO tahun 2007 agar menghilangkan ketentuan yang mensyaratkan penggunaan kekerasan, penipuan, atau paksaan untuk membenarkan terjadinya perdagangan seks anak. • Mengembangkan, merampungkan, menyebarluaskan, dan melatih semua pejabat terkait, termasuk pejabat bidang penegakan hukum, hubungan luar negeri, kelautan, dan ketenagakerjaan tentang prosedur operasi standar (SOP) yang komprehensif guna mengidentifikasi korban secara proaktif. • Menyelesaikan peraturan pelaksana untuk menegakkan UU PPMI tahun 2017, termasuk ketentuan yang melarang biaya perekrutan yang wajib dibayar oleh pekerja. • Meningkatkan sumber daya dan secara proaktif memberikan layanan rehabilitasi kepada semua korban, termasuk korban laki-laki. • Memberikan kebebasan bergerak bagi korban yang berada di rumah perlindungan milik pemerintah. • Meningkatkan upaya yang efektif untuk memantau agen perekrutan tenaga kerja dan mengambil tindakan terhadap badan-badan yang melakukan tindakan ilegal dan berperan serta dalam praktik kerja paksa kepada pekerja migran, termasuk membebankan biaya penempatan, praktik perekrutan yang menipu, pengalihan kontrak, dan pemalsuan dokumen. • Melembagakan dan secara berkala memberikan pelatihan pemberantasan perdagangan orang untuk para hakim, jaksa, polisi, dan pekerja sosial. • Mengembangkan dan menerapkan orientasi dan pelatihan wajib kepada masing-masing pekerja migran dan anak buah kapal (ABK) perikanan Indonesia sebelum keberangkatan dan sesudah kedatangan untuk menyampaikan informasi hak-hak pekerja dan keselamatan bekerja di laut, dan menjamin bahwa biaya orientasi dan pelatihan ditanggung oleh pemberi kerja. • Meningkatkan sumber daya Gugus Tugas PP TPPO dan meningkatkan koordinasinya dengan kementerian-kementerian terkait. • Memperkuat koordinasi antara Kementerian Sosial dan Dinas Sosial di tingkat provinsi untuk meningkatkan penerapan prosedur perlindungan korban. • Membangun sistem pengumpulan data untuk memantau upaya pemberantasan TPPO di semua tingkat penegakan hukum. • Menghapus larangan migrasi yang berlaku saat ini guna mendorong migrasi melalui jalur-jalur yang aman dan resmi. • Memberikan pelatihan kepada staf rumah sakit dan penyedia layanan kesehatan lainnya tentang ketentuan yang menjamin layanan kesehatan bagi korban perdagangan manusia yang didanai pemerintah. • Mengambil langkah-langkah untuk meningkatkan kesadaran pemimpin desa setempat akan tren dan kerentanan TPPO. • Menciptakan protokol nasional yang menjelaskan wewenang dalam memperkarakan kasus perdagangan orang di luar provinsi asal korban.
PENUNTUTAN
Upaya pemerintah mengurangi dalam penegakan hukum mengalami penurunan. UU PTPPO tahun 2007 mengkriminalisasi segala bentuk kejahatan perdagangan tenaga kerja dan beberapa bentuk perdagangan seks dewasa dengan jerat hukuman 3-15 tahun penjara. Sehubungan dengan kasus perdagangan seks dewasa, hukuman tersebut dinilai cukup berat dan sepadan dengan hukuman yang ditetapkan untuk pidana berat lainnya, seperti kasus perkosaan. Berbeda dengan hukum internasional, undang-undang ini mensyaratkan penggunaan kekerasan, penipuan, atau paksaan untuk menghukum kejahatan perdagangan seks anak sehingga tidak semua bentuk perdagangan seks anak dapat dijerat secara hukum. Namun, petugas pengadilan di tingkat nasional dan provinsi terus menegaskan bahwa undang-undang ini secara implisit menetapkan tidak disyaratkannya kekerasan, penipuan, atau paksaan untuk menyatakan perdagangan seks anak sehingga hal ini tidak menjadi penghalang dalam keberhasilan memperkarakan dan menjatuhkan hukuman dalam kasus perdagangan seks anak.
Kementerian Dalam Negeri menerbitkan peraturan menteri pada April 2018 yang mengamanatkan pemerintah daerah memuat pemberantasan TPPO dalam prioritas kebijakan mereka, namun, pemerintah pusat tidak memiliki mekanisme untuk memberlakukan mandat ini dan tidak cukup memberi pengaruh kepada seluruh pemerintah provinsi untuk secara konsisten mengalokasikan dana pemberantasan TPPO ataupun untuk mengimplementasikan kebijakan nasional. Sebagai akibatnya, koordinasi antar lembaga pemerintah dan pengumpulan data tetap menjadi tantangan dan beberapa kepolisian di provinsi melaporkan bahwa anggaran mereka tidak memungkinkan untuk melakukan penyelidikan lintas provinsi maupun internasional. Untuk mengatasi kendala anggaran pemberantasan TPPO pada tahun 2019, Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) merealokasi dana dari direktorat yang menangani pidanan lain guna mendukung penyelidikan pemberantasan perdagangan manusia. Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung) dilaporkan tidak memperhitungkan penganggaran untuk kasus TPPO. Para pejabat juga melaporkan bahwa koordinasi yang tidak efektif menghambat kemampuan pemerintah dalam menyidik, menuntut, dan menghukum para pelaku perdagangan orang, terutama ketika kasus-kasus tersebut melibatkan sejumlah wilayah yurisdiksi. Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) membentuk 13 satuan tugas TPPO tingkat provinsi tetapi tidak melaporkan hasil penyidikan dari satuan tugas tersebut.
Unit TPPO POLRI tidak memiliki mekanisme untuk melacak investigasi di semua tingkat pemerintahan, sehingga mempersulit mereka untuk menentukan tren dan jumlah investigasi dan kasus yang terselesaikan. Pada tahun 2019, Polri melaporkan telah menangkap 132 terduga pelaku perdagangan seks. Polri menyidik 102 kasus, lebih tinggi dibandingkan dengan 95 kasus pada 2018 dan lebih rendah dari tahun 2017 dengan 123 kasus. Penyidikan ini termasuk 52 kasus pekerja migran dan 50 kasus “aktifitas seks komersial” yang mungkin termasuk kejahatan lain di luar definisi perdagangan orang. Polisi menyelesaikan dan menyerahkan 26 hasil penyidikan ini kepada Kejagung pada tahun 2019. Salah satu LSM mencatat bahwa, ketiadaan anggaran khusus untuk pemberantasan TPPO, mengharuskan beberapa satuan kepolisian untuk melakukan investigasi kasus perdagangan orang dengan sistem penggantian pengeluaran (reimbursement). Cara ini membuat penyidik menanggung sendiri biaya terkait penyidikan yang kemungkinan dapat menimbulkan keengganan untuk melakukan investigasi dan menjadi sarana untuk korupsi. Satuan Tugas (Satgas) Pemberantasan Penangkapan Ikan Secara Ilegal Indonesia mengajukan tuntutan TPPO terhadap agen perekrutan atas dugaan kerja paksa, tetapi kasus ini tidak dilanjutkan; salah satu LSM menyatakan penghentian ini akibat pembubaran Satgas tersebut pada tahun 2019. Mahkamah Agung menerapkan mekanisme pencatatan yang komprehensif untuk data pengadilan secara nasional. Mahkamah Agung melaporkan sebanyak 226 penuntutan dan 204 putusan. Jumlah ini terus menurun dibandingkan dengan 316 penuntutan dan 279 putusan pada 2018 dan 407 penuntutan dan 331 putusan pada 2017. Seperti tahun-tahun sebelumnya, pemerintah tidak melaporkan data hukuman secara komprehensif.
Keterlibatan pejabat tetap menjadi perhatian. Pejabat-pejabat yang korup dilaporkan terus memfasilitasi penerbitan dokumen palsu, menerima suap yang memungkinkan calo mengangkut migran tanpa dokumen untuk melintasi perbatasan, melindungi tempat-tempat terjadinya perdagangan seks, terlibat dalam intimidasi saksi, dan sengaja memberikan pengawasan yang lemah terhadap agen-agen perekrutan agar terhindar dari tanggung jawab.
Praktik suap dan pemerasan memengaruhi proses penuntutan, putusan, dan hukuman dalam kasus perdata dan pidana, termasuk kasus TPPO. Organisasi-organisasi bantuan hukum melaporkan bahwa penanganan kasus seringkali berjalan sangat lamban kecuali jika ada uang suap dan dalam beberapa kasus jaksa penuntut meminta imbalan dari para terdakwa untuk memberikan tuntutan yang lebih ringan atau membatalkan tuntutan. Organisasi masyarakat sipil menduga sejumlah oknum polisi menolak menangkap pelaku TPPO yang memiliki relasi dengan anggota masyarakat yang berpengaruh, termasuk hubungan keluarga atau ikatan pribadi dengan agen perekrutan. Seperti pada tahun-tahun sebelumnya, walaupun pemerintah Indonesia melaporkan penangkapan dan investigasi yang sedang berlangsung, pemerintah tidak melaporkan penuntutan atau putusan terhadap pejabat yang diduga terlibat kasus perdagangan orang.
Meskipun sejumlah pejabat menerima pelatihan pemberantasan TPPO dari pemerintah Indonesia, organisasi internasional, dan pemerintah asing; pemerintah tidak memberikan pelatihan yang komprehensif kepadasemuaotoritas peradilan dan penegak hukum. Pengamat mencatat rendahnya kesadaran akan TPPO dan peraturan-peraturan yang terakait di kalangan para penegak hukum dan otoritas peradilan daerah menghambat pengungkapan kasus dan kemajuan penuntutan. Akibatnya, pemerintah biasanya menuntut terduga pelaku perdagangan orang berdasarkan UU PPMI, yang jerat hukumannya tidak terlalu berat. Narahubung masyarakat madani melaporkan sejumlah tuntutan perdata dan pidana kasus TPPO dihentikan secara informal sebelum pembacaan putusan. Mahkamah Agung memuat TPPO di dalam kurikulum pelatihan tahunan untuk para hakim, namun pelatihan ini hanya mengakomodasi 20 hingga 30 hakim per tahun. Selama tahun 2019, Gugus Tugas PP TPPO tingkat nasional mengadakan dua acara pelatihan penanganan kasus-kasus TPPO. Pelatihan pertama dilaksanakan pada April 2019 di Provinsi Jawa Timur dengan peserta 26 hakim, 26 jaksa penuntut, dan 25 pejabat kepolisian; pelatihan kedua diselenggarakan pada Juni 2019 di Provinsi Riau dengan peserta 26 hakim, 26 jaksa penuntut, dan 26 pejabat kepolisian (dibandingkan dengan dua pelatihan yang dilaksanakan pada tahun 2018 untuk 90 hakim dan sejumlah polisi, jaksa penuntut, hakim, dan staf Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) dari 10 provinsi). Pemerintah Indonesia terus bekerja sama dengan organisasi internasional dan pemerintah asing untuk memberikan pelatihan tambahan. Pada tahun 2019, pemerintah bekerja sama dengan organisasi internasional dalam proyek tahun jamak yang didanai oleh pemerintah asing dalam membuat basis data perdagangan manusia tingkat nasional.
PERLINDUNGAN
Pemerintah Indonesia memberikan upaya-upaya perlindungan yang kurang memadai. Pemerintah tidak mengumpulkan data komprehensif mengenai jumlah korban yang teridentifikasi. Lembaga-lembaga pemerintah yang berbeda terkadang melaporkan statistik mereka sendiri yang menyebabkan keseluruhan data tidak dapat dibandingkan dengan data yang dilaporkan pada periode-periode sebelumnya dan adanya kemungkinan penghitungan ganda jumlah korban karena mereka memiliki kontak dengan berbagai lembaga pemerintah. Meskipun Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) menggunakan prosedur identifikasi korban guna membantu warga negara Indonesia di luar negeri, tetapi pemerintah tidak memiliki SOP untuk mengidentifikasi korban secara proaktif atau merujuk mereka ke layanan rehabilitasi. Pengamat mencatat bahwa penegakan hukum tidak menggunakan SOP, terutama di tingkat kota dan kabupaten. Pengamat menyatakan keprihatinan bahwa ketiadaan SOP dan infrastruktur pemberantasanTPPO milik pemerintah, di bawah lingkup satuan kepolisian dan Lembaga-lembaga perlindungan tingkat daerah yang fokus utamanya adalah perempuan dan anak-anak, telah menghambat identifikasi korban secara keseluruhan, khususnya korban dari daerah perdesaan dan korban laki-laki. Selain itu, upaya pemerintah yang kurang memadai dalam menyaring kelompok-kelompok rentan sebagai indikator TPPO, termasuk selama penggerebekan untuk menangkap para pelaku seks komersial dan untuk memerangi penangkapan ikan ilegal, dapat mengakibatkan hukuman atau deportasi terhadap korban perdagangan orang yang tak teridentifikasi. Polisi terkadang bersikap tidak responsif ketika para korban berusaha melaporkan keadaan TPPO yang mereka alami. Pada tahun 2018, Pemerintah bekerja sama dengan sebuah organisasi internasional dalam mengembangkan prosedur identifikasi korban, tetapi tidak merampungkan prosedur tersebut selama periode pelaporan untuk tahun kedua. Setelah mengidentifikasi calon korban, kepolisian tingkat provinsi seringkali meminta bantuan LSM yang menyediakan layanan bantuan alih-alih melaporkan kasusnya kepada pejabat dinas sosial tingkat provinsi.
Pemerintah mengoordinasikan layanan rehabilitasi yang diutamakan untuk korban kekerasan, termasuk korban TPPO, melalui Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) daerah. P2TP2A tersebar di 34 provinsi dan sekitar 436 kabupaten/kota. Pusat-pusat pelayanan ini dikelola dan didanai oleh pemerintah provinsi atau kabupaten. Jenis layanan yang diberikan antara lain: penampungan jangka pendek, perawatan medis, konseling, layanan penghubung keluarga, dan sejumlah pelatihan keterampilan kejuruan; namun, dalam praktiknya, layanan yan diberikan berviarisi sesuai dengan kepemimpinan dan pendanaan daerah. Beberapa fasilitas P2TP2A hanya buka selama 6 jam sehari alih-alih 24 jam yang disyaratkan, dan perempuan yang tinggal di daerah pedesaan atau kabupaten tanpa P2TP2A kesulitan menerima layanan pendukung. Para pejabat mengakui bahwa Kementerian Sosial (Kemensos) belum secara memadai mesosialisasikan undang-undang yang disahkan pada tahun 2014 untuk menjelaskan peran dan tanggung jawab dinas-dinas sosial tingkat provinsi mengenai perlindungan korban. Hal ini mengakibatkan kurangnya koordinasi pada layanan korban di tingkat daerah. LSM terus memainkan peran penting dalam melengkapi dan mengisi kesenjangan layanan pemerintah, termasuk untuk korban laki-laki yang harus diarahkan oleh pemerintah daerah ke LSM untuk ditampung. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) memiliki saluran siaga dan aplikasi telepon seluler sebagai sarana informasi bagi semua korban kejahatan tentang tata cara menyampaikan pengaduan dan berbagai layanan perlindungan pemerintah yang tersedia, namun, pemerintah tidak memberikan statistik tentang pemanfaatan mekanisme ini.
Korban TPPO hanya diperkenankan masuk dan keluar rumah perlindungan milik pemerintah setelah mendapat persetujuan dari lembaga pemerintah terkait korban tidak memiliki kebebasan bergerak setelah pemerintah menempatkannya di rumah perlindungan. Kemensos mendanai dan mengelola dua Rumah Perlindungan Trauma Center (RPTC) di Jakarta dan Kepulauan Riau yang menyediakan penampungan jangka pendek bagi korban kekerasan laki-laki dan perempuan, termasuk korban perdagangan orang. RPTC di Kepulauan Riau hanya melayani Warga Negara Indonesia (WNI) yang mengalami masalah di Malaysia; pada tahun 2019, rumah perlindungan ini membantu pemulangan 7.175 warga Indonesia dari Malaysia tetapi tidak melaporkan berapa banyak di antara mereka yang menjadi korban perdagangan manusia (2.755 warga Indonesia dipulangkan pada 2018 tanpa disertai data status korban). Kemensos melaporkan RPTC Jakarta melayani 761 korban TPPO pada tahun 2019. Sebagai perbandingan, rumah perlindungan ini melayani 490 korban pada 2018 dan 1.291 korban pada 2017, tetapi tidak melaporkan jenis TPPO atau usia atau jenis kelamin korban. Kemensos juga mendanai dan mengelola rumah perlindungan bagi perempuan korban kekerasan seksual (RPSW); tetapi pemerintah tidak melaporkan jumlah korban perdagangan orang yang ditampung di RPSW pada tahun 2019 dibandingkan dengan 38 korban yang ditampung pada 2018. Dinas sosial tingkat provinsi mendanai dan mengoperasikan rumah-rumah perlindungan lokal yang tersedia bagi para korban perdagangan orang; pada akhir periode pelaporan, pemerintah menyatakan memiliki 27 RPTC di seluruh Indonesia yang berarti naik dari 21 pada tahun 2018. Kemensos dilaporkan tidak mendanai transportasi semua korban yang transit di Jakarta dalam perjalanan menuju penampungan di lokasi lain di Indonesia, malah sebaliknya mengandalkan LSM untuk menanggung sebagian biaya terkait transportasi. Pengamat mencatat bahwa Kemensos tidak cukup berkoordinasi dengan mitra-mitra di ibukota provinsi dalam memulangkan dan merehabilitasi korban. Narahubung masyarakat madani melaporkan kurangnya perlindungan untuk laki-laki korban kerja paksa di industri perikanan, sebagian adalah akibat dari buruknya koordinasi dan kurangnya penjelasan mengenaiperan dan tanggung jawab infrastruktur pemberantasan TPPO yang tersebar antara satu lembaga dengan lembaga lain di Indonesia.
Pemerintah menampung anak-anak korban kejahatan di Rumah Perlindungan Sosial Anak (RPSA) yang didanai oleh Kemensos, pemerintah provinsi atau kabupaten/kota, dan beberapa diantaranya bermitra dengan LSM setempat. Jumlah RPSA anak menurun dari 18 pada tahun 2018 menjadi 14 pada 2019 Pemerintah tidak melaporkan berapa banyak korban perdagangan anak yang ditampung pada tahun 2019. Pada 2018 RPSA menampung 11 anak. Pemerintah memisahkan data perlindungan korban menggunakan kategorisasi di luar definisi standar TPPO. Sebagai contoh, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) melaporkan telah mengidentifikasi “40 kasus TPPO anak, 43 kasus eksploitasi seksual komersial anak, dan 57 kasus perdagangan seks anak”. Sebagai perbandingan, KPAI melaporkan 11 kasus TPPO yang melibatkan anak-anak dan 65 kasus “prostitusi anak” pada 2018. Laporan dari LSM dan pemerintah pada tahun-tahun sebelumnya memperkirakan terdapat ribuan anak yang menjadi korban perdagangan seks.
Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) masih memberlakukan peraturan yang disahkan pada tahun 2018 tentang perlindungan WNI di luar negeri, termasuk korban TPPO. Peraturan ini menekankan deteksi dini melalui pemetaan risiko dan keharusan untuk segera menanggapi pengaduan atau laporan pelanggaran. Beberapa konsulat Indonesia di luar negeri mengidentifikasi dan merujuk para korban TPPO asal Indonesia untuk mendapat layanan. Kemenlu melaporkan telah mengidentifikasi 259 kasus perdagangan orang pada tahun 2019 (tercatat164 kasus pada 2018, 340 kasus pada 2017, dan 478 kasus pada 2016). Jumlah ini termasuk 228 pekerja rumah tangga dan 31 yang bidang pekerjaannya tidak dilaporkan. Kemenlu melaporkan telah merujuk 94 korban ke rumah-rumah perlindungan milik Kemensos (95 orang pada 2018), tetapi Kemenlu tidak melaporkan tindakannya terhadap 165 korban lainnya. Kemenlu juga melaporkan telah memulihkan hak upah yang terutang kepada pekerja migran senilai kurang lebih 14 juta dolar (tidak dilaporkan pada 2018). Pemerintah menampung Warga Negara Asing korban perdagangan orang yang teridentifikasi di Indonesia di RPTC Jakarta atau di salah satu dari 13 fasilitas Rumah Detensi Imigrasi sebagai fasilitas untuk mengamankan migran ilegal dan menampung migran gelap, pengungsi, dan pencari suaka. Pemerintah mengizinkan organisasi internasional memberikan layanan konseling dan layanan hukum di beberapa tempat penampungan. Pemerintah tidak memberikan alternatif hukum bagi korban berkewarganegaraan asing yang dipindahkan ke negara-negara dimana mereka mungkin akan menghadapi kesulitan atau masalah hukum.
Polisi meminta para korban tinggal di penampungan milik pemerintah hingga penyidikan selesai, tetapi terbatasnya anggaran pemerintah menyebabkan sebagian besar korban hanya dapat tinggal di rumah perlindungan selama rata-rata dua minggu. . Perempuan dan anak-anak dilaporkan tinggal lebih lama, walaupun pemerintah tidak memberikan data tentang rata-rata lama tinggal atau kemana para korban pergi setelah dilepaskan oleh pihak berwenang. Setelah melepaskan korban dari perawatan, pemerintah tidak melacak korban tersebut, termasuk untuk tujuan mengumpulkan kesaksian guna menuntut pelaku perdagangan orang; pemerintah mengandalkan organisasi internasional untuk tetap berkomunikasi dengan korban dan, jika perlu, memberikan bantuan lanjutan. Secara umum kurangnya perawatan rehabilitasi dan reintegrasi yang memadai serta ditambah rendahnya kesadaran di kalangan kepala desa dan para pemuka di daerah, memperbesar risiko menjadi korban TPPO kembali, terutama para nelayan yang kembali ke komunitas mereka setelah mengalami praktik kerja paksa di laut.
Sistem perawatan kesehatan milik pemerintah secara universal melayani sejumlah kebutuhan medis para korban WNI; namun sistem ini mensyaratkan dokumen identitas yang tidak dimiliki oleh banyak pekerja migran Indonesia yang pulang dari luar negeri setelah mengalami eksploitasi. Kementerian Kesehatan (Kemenkes) bertanggung jawab membiayai perawatan kesehatan para korban, yang wajib disediakan oleh rumah sakit milik Polri secara gratis. Pada tahun 2019, Kemenkes tidak melaporkan apakah mereka melatih petugas rumah sakit untuk memberikan layanan kesehatan bagi korban perdagangan orang dan kekerasan jika dibandingkan dengan adanya pelatihan untuk personel rumah sakit di enam provinsi pada tahun 2018.
Pada tahun 2017, Mahkamah Agung menerbitkan pedoman agar para hakim melindungi korban perempuan selama proses hukum dengan mempertimbangkan trauma psikologis dan mengizinkan kesaksian melalui video.Pemerintah tidak melaporkan apakah Mahkamah Agung secara konsisten menawarkan perlindungan tersebut bagi perempuan korban perdagangan orang selama proses persidangan. Pemerintah melanjutkan penerapan peraturan yang mengizinkan LPSK untuk memuat pembayaran restitusi sebagai bagian dari hukuman terhadap pelaku sebelum atau sesudah putusan kasus TPPO ataupun kejahatan lainnya. Pemerintah Indonesia mengalokasikan anggaran sebesar 56 miliar rupiah untuk LPSK pada tahun 2020 yang merupakan penurunan anggaran yang signifikan dibanding tahun fiskal 2019 sebesar 76.16 miliar rupiah. Pada tahun 2019, LPSK menyediakan berbagai layanan perlindungan kepada 318 korban, keluarga korban, dan saksi yang terdiri dari 106 laki-laki dewasa, 156 perempuan dewasa, 4 anak laki-laki dan 52 anak perempuan. Pemerintah tidak melaporkan berapa banyak dari jumlah tersebut yang menjadi korban perdagangan oranag. LPSK melaporkan 70 korban pada 2018, 64 korban pada 2017, dan 105 korban pada 2016. Dari jumlah korban tersebut, para pejabat LPSK memfasilitasi pembayaran restitusi sebesar 2.923.715.475 rupiah untuk 44 korban, tetapi pengadilan hanya menyetujui 6 kasus dengan jumlah sekitar 1.178.807.025 rupiah(18 kasus pada 2018). LPSK tidak melaporkan hasil atau status dari kasus lainnya. Hukum Indonesia mengizinkan terpidana kasus perdagangan orang menjalani hukuman penjara tambahan sebagai pengganti pembayaran restitusi yang mengakibatkan, seperti yang dicatat rekan dari organisasi masyarakat madani, sebagian besar korban yang memenangkan restitusi di persidangan biasanya hanya menerima, jika ada, dalam jumlah sedikit. Upaya meminta ganti rugi dan keadilan makin dipersulit dengan beberapa agen perekrutan yang mengusik, mengintimidasi, atau mengajukan tuntutanhukum atas pencemaran nama baik terhadap korban yang berusaha melaporkan kasus TPPO. Banyak korban berasal dari desa terpencil dan tidak memiliki dana yang cukup untuk melakukan perjalanan ke daerah perkotaan atau menetap di sana selama masa persidangan yang cukup panjang.
PENCEGAHAN
Pemerintah Indonesia tetap berupaya dalam melakukan pencegahan terhadap perdagangan orang. Gugus Tugas PP TPPO yang dikoordinasi oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) telah membentuk 32 gugus tugas tingkat provinsi, sementara provinsi Papua dan Papua Barat belum memiliki gugus tugas. Pemerintah secara signifikan meningkatkan jumlah gugus tugas tingkat kota dan kabupaten dari 194 pada periode pelaporan sebelumnya menjadi 242. Gugus tugas daerah ini dipimpin oleh P2TP2A atau dinas sosial setempat. Alokasi anggaran pemerintah untuk kantor yang menangani TPPO di Kemen PPPA mengalami penurunan dari 20,1 miliar rupiah pada 2018 menjadi 17,3 miliar rupiah pada 2019 dan selanjutnya menjadi 6,5 miliar rupiah pada 2020. Pengamat terus mencatat bahwa anggaran yang tidak mencukupi dan kurangnya koordinasi internal dan antara gugus tugas tingkat daerah dan nasional seringkali menghambat upaya pemberantasan perdagangan orang. Kemen PPPA dan Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan belum menyelesaikan Rencana Aksi Nasional 2020-2024 pada akhir periode pelaporan.
Pada tahun 2017, pemerintah menerbitkan UU PPMI yang menguraikan prosedur dalam mengatur dan mengawasi perekrutan tenaga kerja. Undang-undang ini mengamanatkan pemerintah provinsi —alih-alih perusahaan swasta— mengawasi penyediaan pelatihan kejuruan bagi pekerja sebelum keberangkatan dan penempatan. Pasal 30 undang-undang ini menyatakan bahwa pekerja migran Indonesia “tidak dapat dibebani biaya penempatan”, sedangkan Pasal 72 melarang perekrut atau pemberi kerja membebankan biaya penempatan kepada pekerja selain yang semula mereka bayarkan. Undang-undang ini juga mengamanatkan penunjukan sebuah badan yang berwenang menerbitkan izin agen perekrutan. Namun UU PPMI tidak menjelaskan tentang biaya penempatan dan pemerintah belum mengesahkan semua peraturan pelaksana yang disyaratkan undang-undang sebelum batas waktu dua tahun selesai. Oleh karena itu, pemerintah belum dapat sepenuhnya menerapkan ketentuan-ketentuan dari UU PPMI selama periode pelaporan. Sebelum UU tahun 2017 diterbitkan, agen perekrutan membebankan biaya kepada pekerja migran berdasarkan profesi dan tujuan yang mereka pilih. Banyak agen yang masih melanjutkan praktik ini akibat kurangnya peraturan pelaksana yang mendukung penerapan UU PPMI. Para pengamat melaporkan bahwa pemerintah tidak efektif dalam melindungi pekerja migran untuk tidak dikenakan biaya yang melebihi biaya perekrutan yang ditetapkan pemerintah. Lemahnya penegakan hukum dalam hal ini menyebabkan banyak pekerja migran yang masih mengirimkan gaji tahun pertama mereka kepada perekrut atau pemberi kerja sebagai pelunasan biaya awal perekrutan dan penempatan. Pelaku perdagangan orang memanfaatkan utang ini untuk memaksa korban tetap tinggal dan bekerja . Walaupun pemerintah secara substansial meningkatkan anggaran pengawasan ketenagakerjaan menjadi 233 miliar rupiah dibandingkan tahun 2018, pengawas ketenagakerjaan tidak melakukan identifikasi terhadap korban kerja paksa. Kompensasi yang rendah bagi pengawas dan terbatasnya kapasitas di kalangan pejabat tingkat provinsi dan daerah dilaporkan menghambat pengawasan yang efektif di sektor formal.
Meskipun UU PPMI menyatakan bahwa Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) berwenang mencabut izin agen perekrutan yang ditemukan melanggar salah satu peraturan tersebut, undang-undang ini tidak menjelaskan penggunaan sub-agen tidak resmi yang sering membebankan biaya jasa untuk menghubungkan pekerja migran dengan agen perekrutan . Sebagian besar agen-agen perekrutan ABK perikanan di negara ini tidak memiliki izin sehingga pemerintah tidak memiliki alasan untuk menyangkal praktik-praktik penjeratan utang yang masih berlangsung di kalangan pekerja migran di sektor kelautan. Pada tahun 2019, Kemnaker menghentikan sementara ijin 5 agen perekrutan, jumlah yang lebih rendah dibandingkan 18 agen pada 2018, karena praktik dan kontrak perekrutan yang memaksa atau menipu, pemalsuan dokumen, perekrutan di bawah umur, biaya ilegal, dan pelanggaran lainnya. Berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, Kemnaker tidak menemukan agen yang memenuhi kriteria pencabutan izin karena melakukan pelanggaran. Pada tahun 2017 dan 2018, Kemnaker mencabut lisensi satu agen perekrutan. Pengamat mencatat bahwa agen-agen perekrutan yang ditemukan melanggar peraturan ketenagakerjaan jarang benar-benar menghentikan kegiatannya, bahkan perusahaan-perusahaan tersebut melanjutkan usahanya tanpa tuntutan hukum.
Merujuk pada lemahnya jaminan perlindungan yang memadai bagi pekerja migran Indonesia di luar negeri, pemerintah tetap melarang penempatan tenaga kerja di 21 negara Timur Tengah dan Afrika Utara, meskipun tercatat kenaikan jumlah pekerja migran yang melanggar ketentuan ini dengan memanfaatkan jasa agen perekrut ilegal. PBB, organisasi internasional lainnya, dan LSM terus memperdebatkan bahwa larangan bekerjadi luar negeri akan meningkatkan kemungkinan pekerja bermigrasi secara ilegal sehingga menambah risiko kerentanan mereka terhadap TPPO. Mengingat masalah kebebasan bergerak yang dapat memperburuk penyimpangan migrasi melalui jalur-jalur yang tidak aman, , pemerintah akan menyita paspor para WNI yang sudah dipulangkan atas bantuan pemerintah, jika mereka kedapatan melanggar ketentuan penempatan di negara-negara yang terlarang. Pemerintah memiliki nota kesepahaman (MOU) dengan Arab Saudi yang ditandatangani pada tahun 2018 tentang pedoman perekrutan, penempatan, dan perlindungan pekerja migran di negara tersebut. Di antara ketentuan-ketentuan lainnya, MOU ini menyatakan bahwa pekerja migran tidak seharusnya dibebani dengan biaya penempatan. Pasal 31 UU PPMI tahun 2017 memperbolehkan seseorang bermigrasi ke negara tujuan yang telah memiliki undang-undang perlindungan tenaga kerja asing, kesepakatan tertulis dengan pemerintah negara tujuan, dan sistem jaminan sosial atau asuransi untuk melindungi pekerja migran. Kemnaker melaporkan telah mulai meninjau semua MOU yang ditandatanganinya dengan negara-negara lain mengenai perlindungan tenaga kerja migran untuk memastikan kepatuhan mereka pada hukum dan untuk mencegah TPPO, tetapi tanpa adanya skema pemantauan yang baik serta keberadaan undang-undang dan peraturan ketenagakerjaan yang tidak konsisten di negara-negara penerima, pelanggaran dalam berbagai bidang akan terus terjadi, termasuk kasus kerja paksa.
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dilaporkan terus mengimplementasikan regulasinya mengenai sertifikasi hak asasi manusia (HAM) di sektor perikanan, termasuk persyaratan yang mengharuskan bisnis perikanan Indonesia mematuhi standar HAM internasional untuk mendapatkan izin penangkapan ikan. LSM berkomentar bahwa pemerintah tidak secara efektif menerapkan peraturan-peraturan ini. Menggarisbawahi klaim LSM mengenai kurangnya pengawasan, data pemerintah pusat sepertinya tidak secara drastis melaporkan jumlah warga negara Indonesia yang bekerja di industri perikanan global jika dibandingkan dengan catatan manual yang dikelola oleh pemerintah negara tujuan utama. Kelompok-kelompok masyarakat madani mencatat banyak ABK perikanan Indonesia yang bekerja di Indonesia dan luar negeri tidak memiliki pengetahuan mengenai hak dan tanggung jawab mereka serta tidak dipersiapkan untuk bekerja karena tidak adanya orientasi dan pelatihan sebelum keberangkatan dan sesudah kedatangan yang tterstandardisasi dan ditanggung oleh pemberi kerja. Selama tahun pelaporan, Kemenlu melanjutkan perundingan dengan pemerintah Mauritius, Korea Selatan, dan Taiwan untuk memperluas program percontohannya agar dapat membantu WNI yang bekerja di kapal penangkap ikan asing melalui pusat-pusat layanan yang didedikasikan untuk pengumpulan data dan pemberian layanan bagi ABK perikanan yang mengalami kesulitan. Setelahdua periode pelaporan, belum ada pusat-pusat layanan baru yang didirikan.
Beberapa kementerian dan lembaga memiliki nomor hotline untuk menanggapi berbagai masalah, tidak terbatas pada TPPO. Kemenlu mengoperasikan nomor saluran siaga 24 jam bagi WNI di luar negeri dan dua aplikasi telepon seluler berisi informasi mengenai perjalanan yang aman dan layanan perlindungan yang tersedia. Pada tahun 2018, Kemnaker meluncurkan aplikasi telepon seluler untuk pekerja migran yang memungkinkan mereka terhubung dengan Kemnaker, pekerja migran lain, dan keluarga mereka. Aplikasi ini juga berbagi informasi tentang layanan Kemnaker. Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) juga mengoperasikan dua saluran siaga 24 jam, nomor faks, dan alamat surel yang berfungsi sebagai pusat pengaduan bagi pekerja migran Indonesia. Pada tahun 2019, sistem pengaduan BNP2TKI menerima 9.377 aduan dari pekerja yang ditempatkan di luar negeri, meningkat dari 4.678 aduan pada 2018 dan 4.475 pengaduan pada 2017. Dari 9.377 pengaduan, BNP2TKI melaporkan 54 diantaranya jelas kasus perdagangan orang, naik dibandingkan 36 kasus pada 2018 dan 71 kasus pada 2017, dan 2.937 kasus terindikasi perdagangan manusia, naik dibandingkan 1.852 kasus pada 2018 dan 2.430 kasus pada 2017. Walaupun BNP2TKI dilaporkan telah melaporkan kasus-kasus ini ke pihak berwajib untuk diselidiki, pemerintah tidak melaporkan hasilnya.
Pemerintah terus meningkatkan pelatihanyang ditujukan bagi para calon pelatih dan acara-acara kampanye kesadaran masyarkat mengenai TPPO, termasuk dengan melaksanakan kegiatan-kegiatan peningkatan kesadaran di kalangan pejabat tingkat desa. Pemerintah provinsi menerbitkan buku panduan untuk pekerja migran berisi informasi hak-hak pekerja dan sarana remediasi, tetapi tidak melaporkan jumlah yang telah disebarluaskan. Pemerintah terus membuat film dokumenter, selebaran, poster, spanduk, papan iklan, dan naskahacara bincang-bincang radio dan televisi yang dapat digunakan dalam kampanye informasi publik, tetapi tidak melaporkan informasi tentang penggunaan atau pendistribusiannya kepada publik. Pemerintah memberikan pelatihan pemberantasan perdagangan orang bagi anggota militer sebelum mereka ditempatkan di luar negeri untuk menjalani misi penjaga perdamaian internasional, dan tidak ada pelaporan mengenai pasukan penjaga perdamaian asal Indonesia yang terlibat dalam pelanggaran terkait perdagangan manusia. Kemenlu meningkatkan jumlah diplomat junior yang menerima pelatihan TPPO menjadi setidaknya 100 orang, naik dibandingkan 59 orang pada 2018 dan 33 orang pada 2017. Meskipun jumlah pelatihan ini meningkat, beberapa aktivis buruh yang mencoba melaporkan pelanggaran kerja paksa atas pekerja migran Indonesia di luar negeri mengamati perilaku tidak responsif atau obstruktif dari beberapa petugas konsuler dan pejabat ketenagakerjaan Indonesia. Pemerintah telah menutup beberapa tempat lokalisasi di beberapa kabupaten, tetapi tidak berupaya mengurangi permintaan atas pekerja seks komersial.
PROFIL PERDAGANGAN ORANG
Seperti yang dilaporkan selama 5 tahun terakhir, pelaku perdagangan orang mengeksploitasi korban domestik dan asing yang berada di Indonesia. Pelaku juga mengeksploitasi korban asal Indonesia di luar negeri. Setiap provinsi (34 provinsi) di Indonesia merupakan daerah asal dan tujuan perdagangan orang. Pemerintah memperkirakan setidaknya dua juta dari 6-8 juta WNI yang bekerja di luar negeri —sebagian besar adalah perempuan— tidak memiliki dokumen atau telah melebihi batas waktu tinggal yang tercantum pada visa mereka. Situasi ini menambah kerentanan mereka terhadap perdagangan manusia. Jumlah sebenarnya dari pekerja Indonesia yang tidak memiliki dokumen kemungkinan jauh lebih tinggi. Menurut salah satu organisasi internasional, jumlah perempuan korban perdagangan seks anak yang menjadi pelaku seks komersial di Indonesiamencapai 30 persen. Peraturan pemerintah memungkinkan pengusaha di sektor-sektor tertentu, termasuk usaha kecil dan menengah dan industri padat karya seperti manufaktur tekstil, terbebas dari persyaratan membayar upah minimum sehingga menambah kerentanan pekerja di sektor-sektor tersebut untuk terjerat utang. Pelakuperdagangan orang mengeksploitasi banyak warga negara Indonesia yang bekerja di Asia dan Timur Tengah melalui kekerasan dan paksaan berbasis utang-piutang, terutama para pekerja rumah tangga, pabrik, konstruksi, manufaktur, dan perkebunan kelapa sawit di Malaysia serta pekerja di kapal penangkap ikan di seluruh Samudra Hindia dan Pasifik. Singapura, Malaysia, Hong Kong. Negara-negara Timur Tengah menampung banyak pekerja rumah tangga asal Indonesia yang tidak dilindungi undang-undang ketenagakerjaan setempat dan sering mengalami berbagai indikator TPPO, termasuk jam kerja yang panjang, ketiadaan kontrak resmi, dan upah yang tidak dibayarkan. Banyak dari pekerja ini berasal dari Nusa Tenggara Timur. LSM memperkirakan agen dan sub-agen perekrutan yang tidak bermoral ini bertanggung jawab atas lebih dari setengah kasus perdagangan manusia yang menimpa perempuan Indonesia di luar negeri. Pekerja yang ingin bekerja di luar negeri biasanya dijerat utang oleh agen perekrutan asal Indonesia dan asing yang memanfaatkan kondisi ini untuk memaksa dan menahan mereka agar tidak meninggalkan pekerjaannya. Selain itu, beberapa perusahaan menahan dokumen identitas dan menggunakan ancaman kekerasan agar para pekerja migran terus berada dalam situasi kerja paksa. Pelaku perdagangan seks mengeksploitasi perempuan dewasa dan remaja asal Indonesia, terutama di Malaysia, Taiwan, dan Timur Tengah. Sejumlah universitas pencari profit di Taiwan secara agresif mulai merekrut warga negara Indonesia dan kemudian menempatkan mereka dalam kondisi ketenagakerjaan yang mengeksploitasi dengan dalih peluang pendidikan. Para siswa yang menjadi korban biasanya tidak mengetahui komponen pekerjaan mereka sebelum kedatangannya dan dilaporkan mengalami pengalihan kontrak, jam kerja di luar batas normal, dan kondisi kehidupan tidak layak yang bertentangan dengan perjanjian awal mereka.
Di Indonesia, pelaku perdagangan tenaga kerja mengeksploitasi perempuan, laki-laki, dan anak-anak dalam bidang penangkapan ikan, pengolahan ikan, konstruksi, perkebunan kelapa sawit dan perkebunan lainnya, serta pertambangan dan manufaktur. Pelaku perdagangan orang mengeksploitasi perempuan dewasa dan remaja untuk kerja paksa di sektor jasa rumah tangga. . Pelaku perdagangan manusia dapat menjerumuskan anak-anak dalam tindak kriminal terkait produksi, penjualan, dan pengangkutan obat-obatan terlarang. Praktik pernikahan dini mendorong banyak anak di bawah umur —terutama masyarakat pedesaan yang miskin— untuk bekerja sebagai pencari nafkah utama bagi rumah tangga mereka, mendorongtingginya insiden migrasi pekerja anak melalui jalur-jalur terkenal dengan praktik perekrutan yang menipu, jeratan utang, dan indikator kerja paksa lainnya. Pelaku perdagangan seks sering memanfaatkan utang atau tawaran pekerjaan di restoran, pabrik, atau sebagai asisten rumah tangga untuk memaksa dan menipu perempuan dewasa dan gadis remaja agar terjebak dalam eksploitasi seks komersial di seluruh Indonesia, terutama di Batam dan Jakarta. Pelaku perdagangan orang juga mengeksploitasi perempuan dewasa dan gadis remaja dalam perdagangan seks di dekat area pertambangan di provinsi Maluku, Papua, dan Jambi. Pelaku perdagangan manusia semakin gencar menggunakan platform media daring dan sosial untuk merekrut korban. Pada tahun 2017, sebuah LSM memperkirakan 70.000 hingga 80.000 korban perdagangan seks anak di Indonesia. Wisata seks anak banyak ditemukan di Kepulauan Riau yang berbatasan dengan Singapura. Bali adalah tujuan bagi warga Indonesia yang berpergian untuk tujuan wisata seks anak. Warga Indonesia, termasuk anak-anak, yang rumahnya atau mata pencahariannya hancur akibat bencana alam tahun 2019 menjadi rentan terhadap praktik perdagangan orang. Hal yang sama juga berlaku bagi empat juta anak yang dianggap “terlantar” oleh pemerintah dan sekitar 16.000 anak tunawisma yang diperkirakan tinggal di lingkungan perkotaan. Kegagalan pemerintah dalam mencegah perusahaan memasuki wilayah tanah masyarakat adat, yang terkadang berkolusi dengan pihak militer dan kepolisian setempat, turut berkontribusi pada terusirnya masyarakat dari tanah mereka yang juga membuat sebagian kelompok etnis minoritas rentan terhadap perdagangan manusia. Korupsi endemik di kalangan pejabat pemerintah telah memfasilitasi praktik-praktik yang berkontribusi pada kerentanan perdagangan orang di industri jasa perjalanan, hotel, dan perekrutan tenaga kerja. Stigma sosial yang berkembang dan diskriminasi terhadap anggota komunitas LGBTI dan penderita HIV/AIDS di Indonesia lebih menyulitkan mereka memperoleh perkerjaan di sektor formal. Kondisi ini menjadikan mereka jauh lebih rentan perdagangan orang karena memilih jalur yang tidak aman untuk mendapatkan pekerjaan di sektor informal.
Awak senior di kapal berbendera dan/atau milik China, Korea Selatan, Vanuatu, Taiwan, Thailand, Malaysia, dan Filipina yang beroperasi di perairan Indonesia, Thailand, Sri Lanka, Mauritius, dan India menjadikan ABK perikanan Indonesia sebagai pekerja paksa. Puluhan agen perekrutan di Myanmar, Indonesia, dan Thailand mengiming-imingi ABK dengan upah yang tinggi, membebankan biaya dan pemangkasan gaji sebagai imbalan pembuatan identitas dan dokumen izin kerja palsu, lalu menempatkan mereka di kapal yang dalam operasionalnya berbendera banyak negara dan kepemilikan yang kompleks untuk menangkap ikan di perairan dengan jam kerja yang panjang. Sebagian ABK tidak menyadari bahwa agen yang merekrut mereka terus menahan atau memotong upah mereka selama bertahun-tahun. Para ABK yang bekerja pada kapal-kapal tersebut melaporkan bahwa mereka menerima upah rendah atau tidak dibayar dan mengalami taktik yang memaksa mereka terus bekerja seperti ketidaksesuaian kontrak, penahanan dokumen, pelarangan komunikasi, kondisi hidup dan kerja yang tidak layak, ancaman kekerasan fisik, dan penganiayaan fisik dan seksual yang berat. Kapten dan awak kapal melarang para ABK meninggalkan kapal dan melaporkan pelanggaran ini dengan ancaman pengungkapan identitas palsu mereka kepada pihak berwenang, mencekal mereka dari pekerjaan tangkap ikan di masa mendatang, atau seperti tahun-tahun sebelumnya menahan mereka di penjara sementara yang berada di darat. Sebagian ABK tetap berada di laut selama berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun tanpa menepi ke daratan karena harus berlayar jauh demi memenuhi persediaan ikan yang makin menipis. Kondisi ini semakin membuat mereka tidak terdeteksi dan melanggengkan tindakan penganiayaan oleh awak senior kapal yang tidak tersentuh hukum. Sebagian besar ABK perikanan Indonesia yang bekerja di kapal-kapal armada Perairan Jarak Jauh DistantWater Fleet (DWF)/ milik Taiwan dengan tingkat kerentanan yang tinggi; banyak dari mereka juga bekerja di kapal-kapal armada penangkap ikan perairan jarak jauh milik Korea Selatan. Setiap tahun, lebih dari 7.000 nelayan Indonesia yang masuk dan keluar kapal-kapal asing di pelabuhan Cape Town, Afrika Selatan, dilaporkan menghadapi kondisi kerja yang buruk, terutama di kapal-kapal milik warga Taiwan, Korea, dan Jepang. Para pelaku perdagangan orang juga menjadikan anak-anak buah kapal dari negara-negara Asia lainnya sebagai pekerja paksa di atas kapal penangkap ikan di perairan Indonesia. Menurut sebuah studi baru-baru ini, kapal-kapal ini memperkerjakan hampir setengah dari jumlah ABK yang diberangkatkan oleh pelaku perdagangan manusia dari Kamboja, Thailand, dan Vietnam. Di perairan Indonesia dan perairan lain, beberapa awak kapal senior memaksa ABK melakukan tindakan penangkapan ikan ilegal, perburuan gelap, penyelundupan, dan masuk secara ilegal ke wilayah nasional. Hal ini membuat mereka rentan dikriminalisasi. Perusahaan yang beroperasi di bawah naungan Technical Intern Training Program (Program Pelatihan Magang Teknis) milik pemerintah Jepang telah menjadikan warga negara Indonesia sebagai pekerja paksa di bidang pengolahan makanan, manufaktur, konstruksi, dan perikanan.