INDONESIA: Tingkat 2
Pemerintahan Indonesia belum sepenuhnya memenuhi standar minimum pemberantasan tindak pidana perdagangan orang (TPPO) namun sedang melakukan upaya yang signifikan untuk memenuhinya. Secara keseluruhan, pemerintah menunjukkan peningkatan upaya dibandingkan dengan periode pelaporan sebelumnya, mengingat adanya dampak dari pandemi COVID-19 terhadap kapasitas penanganan TPPO, oleh karena itu Indonesia tetap berada di Tingkat 2. Upaya-upaya tersebut termasuk menginvestigasi, mengusut, dan memidanakan agen perekrutan yang memfasilitasi tenaga kerja paksa Indonesia di kapal ikan berbendera China, menetapkan peraturan pelaksana Undang-Undang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (UU PPMI) yang disahkan pada 2017 yang melarang pemberi kerja untuk membebankan biaya penempatan ke pekerja migran, dan menangguhkan lebih banyak agen perekrutan terkait praktik-praktik perdagangan orang. Selain itu, pemerintah terus melanjutkan upaya untuk memulangkan korban-korban TPPO Indonesia yang dieksploitasi di luar negeri dan memulihkan upah yang semestinya dibayar pemberi kerja. Namun, pemerintah belum memenuhi standar minimum dalam beberapa bidang utama. Angka penyidikan mengalami penurunan selama empat tahun berturut-turut dan angka penuntutan serta putusan juga menurun dalam tiga tahun berturut-turut. Keterlibatan pejabat dalam tindak pidana perdagangan orang tetap menjadi perhatian, meski pemerintah telah memutuskan dua pejabat pemerintah bersalah atas tindak pidana perdagangan anak berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Anak selama periode pelaporan. Selama lima tahun berturut-turut, pemerintah mengurangi alokasi anggaran untuk kantor koordinasi penanganan TPPO yang menjadi bagian dari Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan TPPO (Gugus Tugas PP TPPO). Meskipun sejumlah individu yang terlibat kasus tenaga kerja paksa di sektor perikanan dan pekerja migran Indonesia di luar negeri telah ditindak, namun pemerintah tidak memprioritaskan penempatan pegawai atau anggaran untuk secara efektif mengawasi sektor-sektor yang telah lama memiliki persoalan perdagangan manusia. Pemerintah mengupayakan pemulihan hak sipil dan administratif sebagai ganti penindakan tindak kejahatan. Kekurangan prosedur identifikasi korban yang kuat dan sistematis senantiasa menghambat identifikasi korban secara menyeluruh—terutama untuk korban laki-laki. Koordinasi antara Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan TPPO (Gugus Tugas PP TPPO) tingkat nasional dan mitranya di tingkat daerah kurang memadai dalam mengejawantahkan kebijakan pemerintah pusat yang akan diimplementasikan di seluruh Indonesia. Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU PTTPO) tahun 2007 tidak konsisten dengan hukum internasional karena masih memuat syarat penggunaan kekerasan, penipuan, atau paksaan untuk membenarkan terjadinya kejahatan perdagangan seks anak.
REKOMENDASI YANG DIPRIORITASKAN:
Meningkatkan upaya yang lebih baik untuk menginvestigasi, menuntut, dan memberi putusan bagi pelaku TPPO berdasarkan UU PTPPO tahun 2007, termasuk keterlibatan pejabat-pejabat yang sengaja mengabaikan, memfasilitasi, atau ikut serta dalam kejahatan perdagangan orang. • Mengubah UU PTPPO tahun 2007 agar menghilangkan ketentuan yang mensyaratkan penggunaan kekerasan, penipuan, atau paksaan untuk membenarkan terjadinya perdagangan seks anak. • Mengembangkan, menyelesaikan, menyebarluaskan, dan melatih semua pejabat terkait, termasuk pejabat penegak hukum, dan para staf kementrian luar negeri, kelautan, dan ketenagakerjaan tentang standar operasional prosedur (SOP) yang komprehensif guna mengidentifikasi korban secara proaktif. • Menyelesaikan peraturan pelaksana agar UU PPMI tahun 2017 dapat diberlakukan. • Meningkatkan sumber daya dan secara proaktif memberikan layanan yang komprehensif kepada semua korban, termasuk korban laki-laki. • Memberikan kebebasan bergerak bagi korban yang berada di rumah perlindungan milik pemerintah. • Menambah upaya yang efektif untuk mengawasi agen-agen perekrutan tenaga kerja, termasuk agen di sektor perikanan, dan mengambil tindakan terhadap badan-badan yang terbukti melakukan tindakan ilegal dan berkontribusi pada praktik kerja paksa kepada pekerja migran, termasuk membebankan biaya penempatan, praktik-praktik rekrutmen yang menipu, pengalihan kontrak, dan pemalsuan dokumen. • Melembagakan dan secara teratur memberikan pelatihan pemberantasan TPPO untuk para hakim, jaksa, polisi, dan pekerja sosial. • Mengembangkan dan melaksanakan orientasi dan pelatihan wajib bagi anak buah kapal (ABK) perikanan Indonesia dan ABK migran sebelum keberangkatan dan setelah kedatangan dengan tujuan memberikan informasi mengenai hak-hak pekerja dan keselamatan kerja di laut, serta memastikan bahwa biaya orientasi dan pelatihan ditanggung oleh pemberi kerja. • Meningkatkan sumber daya Gugus Tugas PP TPPO dan meningkatkan koordinasi dengan kementerian-kementerian terkait. • Memperkuat koordinasi antara Kementerian Sosial dan dinas sosial di tingkat provinsi untuk memperbaiki pelaksanaan prosedur perlindungan korban. • Menyelesaikan dan mengimplementasi Rencana Aksi Nasional pemberantasan perdagangan manusia. • Membangun sistem pengumpulan data untuk menelusuri upaya-upaya pemberantasan TPPO di semua tingkat penegakan hukum. • Menghapus larangan-larangan migrasi yang berlaku saat ini untuk mendorong migrasi melalui jalur-jalur yang aman dan legal. • Mengambil langkah-langkah untuk meningkatkan kesadaran pemimpin desa setempat akan tren dan kerentanan TPPO. • Menciptakan protokol nasional yang menjelaskan wewenang memperkarakan kasus-kasus perdagangan orang di luar provinsi asal para korban.
PENUNTUTAN
Upaya pemerintah dalam penegakan hukum mengalami penurunan. UU PTPPO tahun 2007 menjerat semua bentuk perdagangan tenaga kerja dan beberapa bentuk perdagangan seks dengan ancaman hukuman 3-15 tahun penjara. Sehubungan dengan kasus perdagangan seks, hukuman tersebut dinilai cukup memberatkan dan sepadan dengan hukuman yang ditetapkan untuk tindak pidana berat lainnya seperti kasus pemerkosaan. UU PTTPO tahun 2007 tidak konsisten dengan hukum internasional karena masih mensyaratkan penggunaan kekerasan, penipuan, atau paksaan untuk menghukum kejahatan perdagangan seks anak sehingga tidak semua bentuk perdagangan seks anak dapat dijerat dengan undang-undang ini. Namun, jajaran pejabat pengadilan di tingkat nasional dan provinsi terus menegaskan bahwa undang-undang ini secara implisit menetapkan tidak disyaratkannya penggunaan kekerasan, penipuan, dan pemaksaan untuk memperkarakan kasus perdagangan seks anak, sehingga hal ini tidak menghalangi keberhasilan penuntutan dan pemberian putusan kasus-kasus perdagangan seks anak.
Kementerian Dalam Negeri menerbitkan peraturan menteri pada April 2018 yang memberi mandat pada pemerintah daerah untuk memuat pemberantasan TPPO pada prioritas kebijakan mereka, namun pemerintah pusat tidak memiliki mekanisme untuk memberlakukan mandat ini dan tidak cukup memberi pengaruh kepada seluruh pemerintahan provinsi untuk secara konsisten mengalokasikan anggaran untuk pemberantasan TPPO atau untuk mengimplementasikan kebijakan nasional. Sebagai konsekuensinya, koordinasi antar lembaga pemerintah dan pengumpulan data tetap menjadi tantangan, dan sejumlah kepolisian daerah di provinsi melaporkan bahwa anggaran mereka tidak memungkinkan untuk melakukan penyidikan lintas provinsi maupun internasional. Para pejabat juga mencatat bahwa koordinasi yang tidak efektif menghambat kemampuan pemerintah untuk menginvestigasi, menuntut, dan memidanakan pelaku perdagangan orang serta mengumpulkan data yang komprehensif terkait upaya-upaya tersebut, terutama ketika kasus-kasus tersebut melibatkan beberapa wilayah yurisdiksi. Penyidikan dan penuntutan kasus-kasus perdagangan orang melibatkan lembaga penegakan hukum yang berbeda-beda berdasarkan lokasi kejadian perkara: pada tingkat provinsi, kepolisian daerah menginvestigasi kasus-kasus TPPO dan merujuknya ke kejaksaan tinggi di provinsi tersebut; di tingkat kota dan kabupaten, kepolisian resor menginvestigasi kasus-kasus TPPO dan merujuknya ke kejaksaan negeri; dan di lain tempat, Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) yang menginvestigasi kasus-kasus TPPO dan Kejaksaan Agung (Kejagung) yang melakukan penuntutan. Selama periode pelaporan, Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri di Jakarta yang bertanggung jawab untuk menyelidiki kasus yang meliputi beberapa wilayah yurisdiksi di Indonesia menerima anggaran sebesar 373 juta rupiah (26.590 dolar AS) yang ditujukan untuk kegiatan pemberantasan TPPO. Kepolisian daerah tidak menerima anggaran yang dikhususkan untuk pemberantasan kasus perdagangan orang. Kepolisian daerah membiayai penyidikan kasus TPPO dengan anggaran dari direktorat tindak pidana umum di kepolisian tersebut.
Unit TPPO Polri tidak memiliki mekanisme untuk melacak penyidikan di semua tingkat pemerintahan, sehingga sulit untuk menentukan tren penegakkan hukum dan jumlah total dari kasus-kasus yang diselidiki dan diselesaikan. Walaupun demikian, lembaga penegakan hukum negara melaporkan upaya penegakan hukum yang jauh lebih rendah dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, sebagian dikarenakan oleh masalah pandemi dan batasan-batasan lain yang menghambat kemampuan mereka untuk menyelidiki kasus-kasus kejahatan. Pada tahun 2020, Polri melaporkan penangkapan 42 terduga pelaku perdagangan tenaga kerja atau perdagangan seks, turun dari 132 penangkapan pada periode pelaporan sebelumnya. Kepolisian menginvestigasi 38 kasus kerja paksa atau perdagangan seks yang jauh menurundibandingkan 102 penyidikan pada periode pelaporan sebelumnya serta terjadi penurunan berkelanjutan dari 95 penyidikan pada tahun 2018 dan 123 penyidikan pada tahun 2017. Kepolisian telah menyelesaikan dan menyerahkan 8 berkas penyidikan ini kepada Kejaksaan Agung pada tahun 2020 yang mengalami penurunan dari 26 berkas pada tahun 2019. Mekanisme pencatatan komprehensif yang diterapkan oleh Mahkamah Agung untuk data pengadilan nasional melaporkan 232 penuntutan kasus perdagangan orang (naik dari 226 penuntutan) dan 202 putusan dari 259 terdakwa, sebuah peningkatan dari 108 terdakwa pada tahun 2019 (secara keseluruhan merupakan penurunan berkelanjutan dari 204 putusan pada 2019, 279 putusan pada 2018, dan 331 putusan pada 2017). Seperti pada tahun-tahun sebelumnya, pemerintah tidak melaporkan data hukuman secara komprehensif. Menurut liputan media mengenai kasus dugaan perdagangan orang, para jaksa meununtut sebagian kasus TPPO berdasarkan Undang-Undang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia dan Undang-Undang Perlindungan Anak.
Selama periode pelaporan, seperti yang tercantum pada data statistik yang disebutkan sebelumnya, Polri menginvestigasi warga negara China dan Indonesia terkait kasus kerja paksa ABK perikanan Indonesia yang bekerja di kapal ikan berbendera China. Polri menangkap dan menuntut setidaknya 16 perekrut kerja asal Indonesia dengan UU PTPPO dan UU PPMI untuk berbagai kejahatan terkait perdagangan manusia. Pengadilan menjatuhkan hukuman penjara antara 1 sampai 4,5 tahun terhadap 6 terdakwa serta memerintahkan mereka membayar restitusi. Investigasi atau persidangan terhadap 10 tersangka lainnya masih berjalan saat periode pelaporan selesai. Selain itu, Polri telah menangkap dan menguntut 2 orang berkebangsaan China yang merupakan pimpinan awak kapal. Persidangan salah satu tersangka yang diduga telah menyiksa ABK perikanan Indonesia masih tertunda. Pengadilan membebaskan tersangka kedua dari tuduhan penyerangan dan perdagangan manusia, namun jaksa mengajukan banding pada penutupan periode pelaporan. Polri terus menyelidiki ABK lain dari sejumlah kapal berbendera China terkait praktik kerja paksa, perbudakan, serta penyiksaan terhadap lebih dari 150 nelayan Indonesia dan kematian setidaknya 2 ABK.
Keterlibatan pejabat pemerintah dalam kasus perdagangan orang tetap menjadi perhatian penting terlepas dari beberapa penangkapan, penyelidikan, dan penuntutan sejumlah pejabat pemerintah untuk kejahatan terkait perdagangan manusia atau korupsi. Selama periode pelaporan, pemerintah menjatuhkan hukuman terhadap dua pejabat pemerintah atas kasus perdagangan orang yang dilakukan pada tahun 2019, kedua pejabat tersebut telah dipidana berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Anak dimana salah satu dari mereka menerima hukuman penjara selama 6 tahun dan 3 bulan beserta denda, sedangkan satu pejabat lainnya menerima hukuman penjara selama 12 tahun. Pada tahun 2019, otoritas Singapura menduga bahwa seorang pejabat ketenagakerjaan Indonesia telah menerima suap dari perusahaan asuransi pekerja migran untuk mengizinkan perusahaan-perusahaan mempekerjakan pekerja migran Indonesia secara ilegal. Meski Polri menyatakan bahwa mereka sedang menyelidiki kasus tersebut, pejabat tersebut dilaporkan masih bekerja untuk pemerintah selama periode pelaporan.Pada Januari 2019, kepolisian daerah menangkap seorang anggota dewan legislatif yang diduga mengirim seorang pekerja migran ke Jakarta di mana ia dipaksa bekerja untuk beberapa majikan tanpa dibayar.
Masyarakat madani menduga sebagian pejabat penegak hukum dan politisi mengorganisir penggerebekan terhadap beberapa tempat hiburan untuk memeras uang dari pekerja seks komersial dewasa yang mungkin di antara mereka merupakan korban-korban perdagangan seks. Pejabat-pejabat korup dilaporkan terus memfasilitasi penerbitan dokumen palsu, menerima suap yang mengizinkan calo mengangkut para pekerja migran tanpa dokumen untuk melintasi perbatasan, melindungi tempat-tempat terjadinya perdagangan seks, terlibat dalam intimidasi saksi, dan dengan sengaja melemahkan pengawasan agar agen-agen perekrutan terhindar dari tanggung jawab. Praktik suap dan pemerasan mempengaruhi proses penuntutan, putusan, dan hukuman pada kasus-kasus perdata dan pidana, termasuk kasus TPPO. Lembaga-lembaga bantuan hukum melaporkan bahwa penanganan kasus-kasus sering kali berjalan sangat lamban kecuali jika ada uang suap dan beberapa jaksa meminta imbalan dari para terdakwa untuk memberikan tuntutan yang lebih ringan atau pencabutan tuntutan. Anggota masyarakat madani menduga sebagian polisi menolak untuk menangkap pelaku TPPO yang memiliki relasi dengan anggota masyarakat yang berpengaruh, termasuk yang memiliki hubungan keluarga atau ikatan pribadi dengan agen perekrutan.
Meskipun sejumlah pejabat menerima pelatihan pemberantasan TPPO dari pemerintah Indonesia, organisasi internasional, serta pemerintah asing, pihak yang berwenang tidak memberikan pelatihan tentang TPPO yang komprehensif ke seluruh otoritas peradilan dan penegak hukum. Pengamat mencatat rendahnya kesadaran penegak hukum dan otoritas peradilan daerah terhadap TPPO dan peraturan-peraturan yang terkait menghambat pengungkapan kasus dan kemajuan penuntutan. Akibatnya, pihak berwenang sering kali menuntut terduga pelaku perdagangan orang berdasarkan UU PPMI yang jerat hukumannya tidak terlalu memberatkan. Narahubung dari masyarakat madani melaporkan sejumlah tuntutan perdata and pidana kasus TPPO dihentikan secara tidak resmi sebelum pembacaan putusan. Mahkamah Agung memuat TPPO di dalam kurikulum pelatihan tahunan untuk para hakim, namun kurikulum tersebut hanya dapat mengakomodasi 20 sampai 30 hakim per tahun. Selama periode pelaporan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) menyelenggarakan empat pelatihan tatap muka untuk penegak hukum mengenai cara menyelidiki kasus perdagangan manusia menggunakan pendekatan yang berpusat pada korban. Dikarenakan pandemi, pemerintah membatasi jumlah peserta pada tiap pelatihan. Gugus Tugas PP TPPO tidak menyelenggarakan pelatihan TPPO selama periode pelaporan, dibandingkan dengan dua pelatihan yang diselenggarakan pada tahun 2019 dengan jumlah peserta mencapai 175 pejabat.
PROTEKSI
Pemerintah Indonesia memberikan upaya-upaya perlindungan yang kurang memadai. Pejabat-pejabat yang berwenang tidak mengumpulkan data komprehensif mengenai jumlah korban yang teridentifikasi. Lembaga-lembaga pemerintah yang berbeda terkadang melaporkan statistik mereka sendiri yang menyebabkan data keseluruhan tidak dapat dibandingkan dengan data yang dilaporkan pada periode-periode sebelumnya, dan terdapat kemungkinan terjadinya penghitungan ganda jumlah korban karena mereka terhubung dengan berbagai lembaga pemerintah. Kementerian Luar Negeri (Kemlu) menggunakan prosedur identifikasi korban untuk membantu warga negara Indonesia yang berada di luar negeri, namun pemerintah tidak memiliki SOP yang komprehensif atau sistematis untuk secara proaktif mengidentifikasi korban atau merujuk korban ke layanan-layanan rehabilitasi. Pengamat mencatat bahwa upaya penegakan hukum juga tidak menggunakan SOP, terutama di tingkat kabupaten dan kota. Pengamat mengutarakan keprihatinan bahwa kurangnya SOP dan infrastruktur TPPO milik pemerintah yang berada di bawah lingkup unit kepolisian dan lembaga-lembaga perlindungan tingkat daerah yang berfokus pada perempuan dan anak-anak, telah menghambat identifikasi korban secara keseluruhan, khususnya korban yang berasal dari daerah terpencil dan korban berjenis kelamin laki-laki. Selain itu, upaya pemerintah yang kurang memadai dalam menyaring kelompok-kelompok rentan sebagai indikator TPPO dapat mengakibatkan terjadinya hukuman atau deportasi korban-korban perdagangan orang yang tak teridentifikasi. Kepolisian terkadang tidak responsif ketika korban mencoba untuk melaporkan situasi TPPO yang mereka alami. Setelah mengidentifikasi orang yang berpotensi menjadi korban, kepolisian daerah terkadang meminta bantuan LSM penyedia layanan alih-alih merujuk kasusnya kepada pejabat dinas sosial tingkat provinsi.
Pemerintah mengutamakan koordinasi layanan untuk korban kekerasan, termasuk korban TPPO, melalui Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A). P2TP2A tersebar di 34 provinsi dan sekitar 436 kabupaten/kota. Pusat-pusat pelayanan ini dikelola dan didanai oleh pemerintah provinsi atau kabupaten/kota. Jenis layanan yang tersedia antara lain penampungan jangka pendek, perawatan medis, konseling, layanan penghubung keluarga, dan sejumlah pelatihan keterampilan kejuruan; akan tetapi pada praktiknya, layanan yang tersedia berbeda-beda berdasarkan kepemimpinan dan pendanan daerah. Beberapa fasilitas P2TP2A tidak buka 24 jam seperti yang diperintahkan. Perempuan-perempuan yang tinggal di desa atau kabupaten/kota terpencil tanpa P2TP2A kesulitan menerima layanan bantuan. Pejabat-pejabat daerah mengakui Kementerian Sosial Republik Indonesia (Kemensos) belum sepenuhnya menyebarluaskan informasi mengenai perundang-undangan yang disahkan tahun 2014 untuk menjelaskan peran dan tanggung jawab dinas-dinas sosial tingkat provinsi mengenai perlindungan korban. Hal ini mengakibatkan kurangnya koordinasi layanan-layanan korban di tingkat daerah. LSM terus memainkan peran penting dalam melengkapi dan mengisi kesenjangan pada layanan-layanan pemerintah—termasuk untuk korban laki-laki yang terkadang harus dirujuk oleh pemerintah setempat ke LSM yang menyediakan penampungan. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) memiliki saluran siaga dan aplikasi seluler sebagai sarana informasi bagi semua korban kejahatan tentang tata cara menyampaikan pengaduan dan berbagai layanan perlindungan pemerintah yang tersedia, namun, pemerintah tidak memberikan statistik tentang pemanfaatan mekanisme ini. LPSK mengoperasikan enam fasilitas penampungan untuk korban dan saksi tindak kejahatan yang menghadapi ancaman atau intimidasi. Korban hanya dapat memasuki dan meninggalkan enam penampungan tersebut atas persetujuan lembaga pemerintah terkait. Korban tidak memiliki kebebasan bergerak setelah ditempatkan dalam suatu penampungan dan tidak dapat mencari pekerjaan.
Kemensos dan dinas sosial provinsi mendanai dan mengelola 28 Rumah Perlindungan Trauma Center (RPTC) untuk menampung korban perdagangan orang, jumlah yang sama seperti pada periode pelaporan sebelumnya. Rumah-rumah perlindungan tersebut telah membantu 8.702 korban selama periode pelaporan, namun pemerintah tidak melaporkan berapa banyak di antara mereka yang menjadi korban perdagangan manusia. Pengamat mencatat bahwa Kemensos tidak cukup berkoordinasi dengan mitra-mitra di ibukota provinsi untuk memulangkan dan merehabilitasi para korban. Kemensos juga mendanai dan mengelola perlindungan untuk perempuan-perempuan yang mengalami kekerasan seksual. Rumah perlindungan tersebut telah membantu 135 orang perempuan selama periode pelaporan, di mana sebagian dari mereka merupakan korban perdagangan orang. Jumlah ini merupakan kenaikan dari tidak adanya data korban terbantu yang dilaporkan pada tahun 2019 dan 38 orang korban terbantu pada tahun 2018. Kemensos telah mengalokasikan 2,2 miliar rupiah (156.830 dollar AS) untuk mendanai rumah-rumah perlindungan selama periode pelaporan. Pemerintah tidak melaporkan pembiayaan Kemensos untuk rumah-rumah perlindungan pada tahun-tahun sebelumnya namun mencatat adanya penurunan karena Kemensos mengalihkan sebagian anggaran untuk penanganan COVID-19. Pemerintah melarang penempatan ABK Indonesia di kapal-kapal ikan berbendera negara tertentu di mana mereka mungkin dieksploitasi dan korban-korban, sebagian besar laki-laki, yang telah dipulangkan ditempatkan di penampungan milik pemerintah. Namun, seorang narahubung masyarakat madani mencatat bahwa tindakan pemerintah lebih lanjut diperlukan untuk dapat sepenuhnya melindungi ABK Indonesia yang bekerja di kapal-kapal berbendera asing.
Pemerintah menempatkan korban anak pada rumah perlindungan anak-anak yang didanai oleh Kemensos dan pemerintah provinsi atau kabupaten/kota, dan dalam beberapa kasus, pemerintah bermitra dengan LSM setempat. Rumah perlindungan anak tetap berjumlah 14. Pemerintah tidak melaporkan berapa banyak korban perdagangan anak yang ditampung pada tahun 2020 atau 2019, dibandingkan dengan 11 anak yang ditampung pada tahun 2018. Pemerintah memilah data perlindungan korban menggunakan kategorisasi di luar definisi standar TPPO. Komisi Perlindungan Anak Indonesia tidak melaporkan apakah mereka mengidentifikasi kasus perdagangan anak selama periode pelaporan, dibandingkan dengan laporan “40 kasus perdagangan anak, 43 kasus eksploitasi seks komersial anak, dan 57 kasus seks komersial anak” pada tahun 2019. Laporan-laporan dari LSM dan pemerintah pada tahun-tahun sebelumnya memperkirakan terdapat ribuan anak yang menjadi korban perdagangan seks anak. Pemerintah menampung warga negara asing korban perdagangan orang yang teridentifikasi di Indonesia di trauma center milik Kemensos. Pemerintah mengizinkan organisasi internasional untuk menyediakan layanan konseling dan layanan hukum di beberapa tempat penampungan. Pemerintah tidak menyediakan alternatif hukum korban-korban berkewarganegaraan asing yang dipindahkan ke negara-negara di mana mereka mungkin akan menghadapi kesulitan atau masalah hukum.
Kemlu tetap terus mengidentifikasi dan melindungi korban-korban perdagangan manusia asal Indonesia yang dieksploitasi di luar negeri. Kemlu memiliki portal daring dan aplikasi seluler yang tersedia melalui kedutaan untuk semua individu yang ingin melaporkan eksploitasi dan mengakses layanan-layanan yang ada. Beberapa bagian konsular di perwakilan Indonesia di luar negeri memiliki atase tenaga kerja yang mengidentifikasi dan merujuk korban-korban perdagangan manusia asal Indonesia untuk mendapatkan penanganan, termasuk ke penampungan-penampungan yang dikelola Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI). Pemerintah mengalokasikan 43 miliar rupiah (3,07 juta dollar) kepada Kemlu untuk mendanai pemulangan, pemeliharaan penampungan Indonesia di luar negeri, pengadaan bantuan hukum, serta pelatihan untuk para pejabat. Kemlu menerima 383 pengaduan kasus pekerja migran pada tahun 2020 (259 pada 2019, 164 pada 2018, 340 pada 2017, dan 478 pada 2016), 290 di antaranya terkait dengan masalah ketenagakerjaan. Kemlu tidak mengindikasikan berapa korban dari 383 kasus tersebut yang dirujuk ke rumah-rumah perlindungan milik Kemensos (94 korban dirujuk pada 2019 dan 95 korban dirujuk pada 2018). Kemlu telah memulihkan kurang lebih 140 miliar rupiah (9,98 juta dollar) hak upah yang belum dibayarkan ke pekerja imigran (kurang lebih 14 juta dollar pada tahun 2018). Kemlu telah memulangkan setidaknya 104 warga negara Indonesia korban kerja paksa dari Suriah serta menyediakan tempat penampungan selama dua bulan di negara tersebut sebelum dipulangkan. Pemulangan ini dapat dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, Kemlu setiap tahunnya memulangkan sampai 200 warga Indonesia korban kerja paksa dari Suriah. Selain itu, kedutaan Indonesia di Riyadh, Arab Saudi, memulangkan 32 warga negara Indonesia dalam kurun waktu satu bulan pada tahun 2020 yang sebagian besar di antaranya merupakan korban perdagangan manusia. Kemlu juga memulangkan 589 ABK perikanan Indonesia yang mengeluhkan kondisi kerja di 98 kapal ikan berbendera China pada tahun 2020 (tidak ada laporan pada tahun 2019). Pemerintah mengadvokasi para pekerja untuk menerima upah yang seharusnya dibayar oleh kapal-kapal ikan berbendera asing, termasuk kapal-kapal berbendera China.
Kepolisian meminta para korban untuk tinggal di penampungan milik pemerintah sampai proses penyelidikan selesai, namun terbatasnya anggaran pemerintah mengakibatkan sebagian besar korban hanya dapat tinggal di trauma center selama rata-rata dua minggu. Korban perempuan dan anak-anak dilaporkan tinggal lebih lama, walaupun pemerintah tidak memberikan data rata-rata durasi tinggal atau ke mana korban pergi setelah dilepaskan oleh pihak berwenang. Setelah melepas korban dari perawatan, pemerintah tidak melacak korban , termasuk untuk tujuan mengumpulkan kesaksian guna menuntut pelaku perdagangan orang. Pemerintah mengandalkan organisasi internasional untuk tetap berkomunikasi dengan para korban dan memberikan bantuan lebih lanjut jika diperlukan. Secara umum kurangnya layanan reintegrasi dan rehabilitasi yang memadai serta ditambah dengan rendahnya kesadaran di kalangan kepala desa dan pemimpin daerah memperbesar risiko korban untuk terjerat TPPO kembali, terutama para ABK perikanan yang kembali ke komunitas mereka setelah mengalami praktik kerja paksa di laut. Sistem kesehatan pemerintah secara umum melayani sebagian kebutuhan medis korban TPPO asal Indonesia,tetapi sistem tersebut mensyaratkan dokumen identitas yang tidak dimiliki banyak pekerja migran Indonesia yang baru kembali setelah mengalami eksploitasi di luar negeri. Kementerian Kesehatan (Kemenkes) bertanggung jawab untuk membiayai perawatan kesehatan para korban, di mana rumah sakit milik Polri diwajibkan untuk melayani mereka secara cuma-cuma. Kemenkes tidak melaporkan apakah mereka melatih petugas rumah sakit untuk memberikan layanan kesehatan pada para korban perdagangan manusia dan kekerasan pada tahun 2020 atau 2019 jika dibandingkan dengan pelatihan untuk personel rumah sakit di enam provinsi pada tahun 2018.
Pada tahun 2017, Mahkamah Agung menerbitkan pedoman agar para hakim melindungi korban-korban perempuan selama proses hukum dengan mempertimbangkan trauma psikologis dan mengizinkan memberikan kesaksian melalui video. Namun, pemerintah tidak melaporkan apakah Mahkamah Agung secara konsisten memberikan perlindungan tersebut kepada perempuan korban perdagangan orang selama proses persidangan. Pemerintah melanjutkan implementasi peraturan yang mengizinkan LPSK untuk memuat restitusi sebagai bagian dari hukuman terhadap pelaku baik sebelum atau setelah putusan kasus TPPO dan tindak pidana lainnya. Pemerintah Indonesian mengalokasikan anggaran sebesar 79 miliar rupiah (5,63 juta dollar) untuk LPSK pada tahun 2021 yang merupakan kenaikan dari anggaran 56 miliar rupiah (3,99 juta dollar) yang dialokasikan pada tahun 2020. Pada tahun 2020, LPSK menyediakan berbagai layanan perlindungan kepada 314 korban, anggota keluarga korban, dan saksi, tetapi tidak melaporkan berapa banyak yang menjadi korban perdagangan orang. Para pejabat LPSK memfasilitasi permohonan restitusi 194 orang korban dan saksi TPPO sebesar 4,96 miliar rupiah (353.580 dollar) (permohonan restitusi 215.000 dollar untuk untuk 44 korban pada tahun 2019), namun pengadilan hanya menyetujui 1,26 miliar rupiah (89.820 dollar) (sekitar 87.000 dollar pada tahun 2019). Selanjutnya, hampir setengah dari restitusi yang disetujui pengadilan—598 juta rupiah (42.630 dollar)—tidak pernah dibayarkan karena hukum Indonesia mengizinkan terpidana kasus perdagangan orang untuk menjalani hukum penjara tambahan sebagai ganti pembayaran restitusi. LPSK tidak melaporkan hasil atau status kasus-kasus yang masin tersisa. Upaya permohonan ganti rugi dan keadilan makin dipersulit oleh beberapa agen perekrutan yang mengusik, mengintimidasi, atau mengajukan tuntutan hukum atas pencemaran nama baik terhadap korban-korban yang mencoba melaporkan kasus mereka. Banyak korban yang berasal dari daerah terpencil dan tidak memiliki dana untuk melakukan perjalanan ke perkotaan atau tetap tinggal di sana selama masa persidangan yang cukup panjang. Tidak terdapat laporan kejadian-kejadian di mana pemerintah menangkap, menahan, mengenakan denda, atau bahkan menghukum korban perdagangan orang yang dipaksa melakukan kejahatan oleh pelaku TPPO. Namun, pekerja seks komersial dewasa di provinsi Aceh dapat didakwa karena menentang moral dan kesusilaan serta dapat dijatuhi hukuman cambuk di depan umum berdasarkan hukum syariah yang berlaku.
PENCEGAHAN
Pemerintah tetap melakukan upaya-upaya pencegahan TPPO. Pemerintah memiliki Gugus Tugas PP TPPO yang dikoordinasi oleh Kemen PPPA dan diketuai oleh Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan yang memimpin 21 kementerian untuk melakukan upaya pemberantasan TPPO . Gugus Tugas PP TPPO bertemu beberapa kali selama periode pelaporan dan melanjutkan pembahasan rancangan rencana aksi nasional pemberantasan TPPO tahun 2020-2024 yang belum terselesaikan. Gugus Tugas PP TPPO telah membentuk 32 gugus tugas tingkat provinsi, kecuali provinsi Papua dan Papua Barat, dan 251 gugus tugas tingkat kabupaten/kota — meningkat dari 32 provinsi dan 242 kabupaten/kota pada periode pelaporan sebelumnya. Pengamat terus mencatat anggaran dan koordinasi Gugus Tugas PP TPPO yang belum memadai secara internal maupun antar gugus tugas tingkat daerah dan nasional. Sejumlah gugus tugas tingkat provinsi dan anggota-anggotanya masih kurang paham mengenai TPPO serta kurang memiliki panduan yang memadai untuk memandu pekerjaan mereka, dan kurang koordinasi. Ditambah lagi, tidak ada informasi yang jelas berapa banyak gugus tugas yang aktif atau sering melakukan pertemuan selama periode pelaporan. Pemerintah melakukan pengurangan alokasi anggaran ke kantor penanganan TPPO di Kemen PPPA. Walaupun sebagian pengurangan merupakan akibat dari pandemi, alokasi anggaran ini sudah mengalami penurunan selama empat tahun berturut-turut—dari 20,1 miliar rupiah (1.34 juta dollar) pada tahun 2018 menjadi 17,3 miliar rupiah (1,23 juta dollar) pada tahun 2019, 6,5 miliar rupiah (463.360 dollar) pada tahun 2020, dan terus menurun menjadi 4,26 miliar rupiah (303.680 dollar) pada tahun 2021.
UU PPMItahun 2017 mengenai Perlindungan Pekerja Migran Indonesia memandatkan pemerintah provinsi – alih-alih perusahaan swasta – untuk mengawasi pemberian pelatihan kejuruan bagi para pekerja migran sebelum keberangkatan dan mengawasi penempatan para pekerja. Pasal 30 menyatakan bahwa pekerja migran Indonesia “tidak dapat dibebani biaya penempatan” dan Pasal 72 melarang perekrut atau pemberi kerja untuk membebankan biaya penempatan kepada pekerja migran selain yang sudah mereka bayarkan. UU PPMI juga memandatkan penunjukan sebuah badan yang berwenang untuk menerbitkan izin agen perekrutan. Selama periode pelaporan, pemerintah mengesahkan peraturan pelaksana yang mendefinisikan dan membebaskan pekerja migran Indonesia dari biaya penempatan. Sementara pemerintah mulai mengimplementasikan peraturan tersebut, pekerja migran tetap melaporkan adanya biaya penempatan ilegal. Selain itu, salah satu peraturan pelaksana yang diterbitkan tahun 2020 mensyaratkan pekerja migran yang telah menikah untuk memperoleh izin dari pasangan mereka agar bisa bekerja di luar negeri. Persyaratan tersebut menambah kemungkinan perempuan-perempuan pekerja migran untuk bermigrasi melalui jalur tidak resmi yang akan menambah kerentanan mereka terhadap perdagangan manusia. Sebelum UU PPMI tahun 2017 diterbitkan, agen perekrutan membebankan biaya pada pekerja migran berdasarkan profesi dan tujuan yang mereka pilih. Pengamat melaporkan bahwa pemerintah tidak secara efektif melindungi pekerja migran dari beban melebihi biaya rekrutmen yang ditetapkan oleh pemerintah. Masih banyak pekerja migran yang mengirimkan gaji tahun pertama mereka ke perekrut atau pemberi kerja untuk melunasi biaya awal perekrutan dan penempatan yang dimanfaatkan oleh pelaku perdagangan orang untuk memaksa korban untuk tetap tinggal dan bekerja. Pada tahun 2020, Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) menangguhkan sementara izin 5 agen perekrutan atau Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (P3MI) —jumlah yang sama seperti tahun 2019 menurun dibandingkan 18 izin pada tahun 2018. Kemnaker mencabut izin 111 agen perekrutan—kenaikan yang cukup tinggi dibandingkan tak adanya pencabutan izin pada tahun 2019 dan pencabutan satu izin pada tahun 2018 dan 2017. Alasan-alasan penangguhan dan pencabutan izin ini antara lain akomodasi asrama yang sempit atau membahayakan, pemalsuan dokumen, praktik perekrutan dan penandatanganan kontrak yang bersifat memaksa atau menipu, perekrutan di bawah umur, biaya-biaya ilegal, dan pengiriman pekerja sektor domestik ke negara-negara Timur Tengah yang masih dalam pemberlakuan moratorium. Pemerintah tidak melaporkan apakah 116 perusahaan-perusahaan perekrutan tersebut telah dirujuk ke kepolisian untuk penyidikan terkait TPPO. UU PPMI tahun 2017 menyatakan bahwa Kemnaker memiliki wewenang untuk mencabut izin agen perekrutan jika ditemukan melanggar peraturan, namun aturan tersebut tidak membahas penggunaan sub-agen tidak berizin yang secara berkala membebankan biaya jasa untuk menghubungkan dengan agen perekrutan.
Pemerintah tetap melarang penempatan pekerja migran di 21 negara Timur Tengah dan Afrika Utara, meskipun tercatat kenaikan jumlah pekerja migran yang melanggar ketentuan ini dengan memanfaatkan jasa agen perekrutan ilegal. PBB, organisasi-organisasi internasional lainnya, serta LSM terus memperdebatkan bahwa larangan bermigrasi akan meningkatkan kemungkinan pekerja melakukan migrasi secara ilegal serta menambah risiko kerentanan mereka terhadap perdagangan manusia. Mengingat masalah kebebasan bergerak yang dapat memperburuk pelanggaran migrasi melalui jalur-jalur yang tidak aman, pemerintah menyita paspor warga negara yang dipulangkan dengan bantuan pemerintah, jika kedapatan mereka melanggar ketentuan penempatan di negara-negara yang dilarang. Pemerintah tetap mempertahankan nota kesepahaman (MOU) dengan sembilan negara di wilayah Asia Pasifik dan Timur Tengah tentang perekrutan, penempatan, dan perlindungan pekerja migran Indonesia. Pemerintah juga terus menegosiasikan pembaruan MOU dengan Pemerintah Brunei Darussalam dan Malaysia. Dalam MOU antara Indonesia dan Arab Saudi, kedua negara setuju bahwa pekerja migran seharusnya tidak dibebankan biaya penempatan. Pasal 31 UU PPMI tahun 2017 menyatakan pemerintah hanya memperbolehkan seseorang untuk bermigrasi ke negara tujuan yang memiliki undang-undang mengenai perlindungan tenaga kerja asing, kesepakatan tertulis dengan pemerintah negara tujuan, dan sistem jaminan sosial atau asuransi untuk melindungi pekerja migran. Kemnaker tidak melaporkan adanya pembaruan atas inisiatif peninjauan kembali nota-nota kesepahaman bilateral terkait perlindungan pekerja migran yang telah berjalan mengenai untuk memastikan kepatuhan negara-negara tersebut. Namun, tanpa adanya skema pengawasan yang baik dan perundang-undangan serta peraturan ketenagakerjaan yang tidak konsisten di negara-negara tujuan, maka pelanggaran-pelanggaran, termasuk praktik kerja paksa, akan terus terjadi.
Pemerintah tidak secara efektif menerapkan regulasi-regulasi yang ada di sektor perikanan, sehingga praktik kerja paksa tetap terjadi. Menggarisbawahi klaim LSM mengenai pengawasan yang tidak memadai, data pemerintah pusat sepertinya tidak melaporkan jumlah sebenarnya warga negara Indonesia yang bekerja di industri perikanan global jika dibandingkan dengan catatan manual yang dikelola oleh otoritas negara-negara tujuan utama. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dan Kemlu berusaha mengurangi konflik peran dan tanggung jawab terkait pengawasan praktik perekrutan dan praktik kerja di sektor perikanan. Pada prinsipnya, KKP akan menentukan kelayakan ABK dan kapal ikan yang diperbolehkan mempekerjakan ABK Indonesia, Kementerian Perhubungan akan megesahkan kontrak kerja, dan Kemnaker akan mengawasi koordinasi antar kementerian. Selama dua tahun, peraturan pelaksana yang diperlukan untuk memperkuat peran-peran dan tanggung jawab ini (sehubungan dengan Undang-Undang No.18/2017 untuk melindungi ABK perikanan) belum ditandatangani oleh Presiden, sehingga menghambat upaya-upaya koordinasi. Kelompok-kelompok masyarakat madani mencatat bahwa banyak warga Indonesia dan ABK perikanan migran yang tidak mengetahui hak dan tanggung jawab mereka serta tidak dipersiapkan untuk bekerja dikarenakan tidak adanya orientasi dan pelatihan terstandarisasi yang ditanggung oleh pemberi kerja sebelum keberangkatan dan setelah kedatangan. Selama periode pelaporan, setelah laporan-laporan media mengenai kerja paksa warga Indonesia di kapal-kapal ikan berbendera China bermunculan, pemerintah memberlakukan larangan ABK perikanan Indonesia untuk bekerja di kapal-kapal berbendera China, kapal-kapal yang dioperasikan oleh perusahaan-perusahaan China, serta kapal-kapal berbendera Korea Selatan dan Taiwan yang beroperasi di luar Zona Ekonomi Eksklusif. Namun salah satu LSM menyayangkan bahwa larangan ini tidak akan menghentikan praktik kerja paksa pada kapal-kapal serupa karena larangan tersebut tidak mempertimbangkan perekrutan ilegal pekerja yang cukup banyak terjadi, dan suatu perusahaan dapat dengan mudah mengganti bendera atau kepemilikan kapal untuk menghindari larangan tersebut. Secara internal, pemerintah telah mendirikan dua Fishers Center pada tahun 2020 untuk menangani pengaduan-pengaduan dari ABK perikanan. Kedua Fishers Center telah menerima 36 aduan mengenai pelanggaran ketenagakerjaan selama periode pelaporan, baik dari ABK perikanan Indonesia maupun asing.
Pengawas ketenagakerjaan memiliki otoritas untuk memeriksa dan memberikan sanksi untuk pelanggaran terhadap pekerja anak disektor formal. Kemnaker melakukan lebih dari 10.000 pengawsan selama periode pelaporan, termasuk pengawasan lebih dari 580 tenaga kerja anak, namun Kemnaker tidak menemukan pelanggaran tenaga kerja anak. Upah yang rendah untuk para pengawas dan terbatasnya kapasitas pejabat berwenang tingkat provinsi dan daerah dilaporkan menghambat pengawasan yang efektif. Sebagai tambahan, pejabat berwenang Kemnaker mengakui kemungkinan pelanggaran-pelanggaran tersebut terjadi, termasuk praktik kerja paksa anak, namun ketidakmampuan pengawas untuk mengakses sektor informal menghambat upaya-upaya identifikasi. Untuk mengurangi kerentanan pekerja anak dan praktik kerja paksa, pemerintah mengirim 94 orang guru ke perkebunan kelapa sawit di Malaysia untuk mendidik anak-anak para pekerja migran Indonesia yang bekerja di perkebunan kelapa sawit tersebut. Beberapa kementerian dan lembaga, termasuk Kemen PPPA, Kemensos, dan Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) mengoperasikan saluran siaga untuk berbagai macam masalah, termasuk dan tidak terbatas pada TPPO. Pada tahun 2020, sistem penanganan aduan BP2MI menerima 1.812 pengaduan dari pekerja-pekerja yang ditempatkan di luar negeri. Jumlah ini menurun drastis dibandingkan 9.377 pengaduan pada tahun 2019 dan 4.678 pada tahun 2018. Dari keluhan-keluhan tersebut, BP2MI melaporkan 89 di antaranya berkaitan dengan kasusTPPO (54 pada tahun 2019 dan 36 pada 2018) dan 1.363 kasus terindikasi TPPO (2.937 pada tahun 2019 dan 1.852 pada 2018). Walaupun BP2MI dilaporkan telah merujuk kasus-kasus ini kepada kepolisian untuk diselidiki, pemerintah tidak melaporkan hasilnya. Selama periode pelaporan, BP2MI bermitra dengan organisasi-organisasi keagamaan untuk membentuk Satuan Tugas Pemberantasan Sindikat Ilegal Pengiriman Pekerja Migran Indonesia yang bertujuan untuk menghentikan perekrutan tenaga kerja tidak resmi. Satuan tugas tersebut mengidentifikasi 200 desa di enam provinsi sebagai asal utama dari pekerja migran non-prosedural atau pekerja yang pergi ke luar negeri di luar prosedur formal dari pemerintah, dan mulai menguraikan rencana kerjasama.
Pemerintah terus menggelar acara-acara untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap perdagangan manusia, termasuk mengadakan kegiatan-kegiatan peningkatan kesadaran yang menyoroti prosedur migrasi yang legal untuk tujuan bekerja dan hak-hak pekerja migran. Kedutaan Besar Republik Indonesia di Kuwait meluncurkan buku saku untuk para migran yang menjelaskan kebijakan pekerja migran di Kuwait, termasuk hak untuk menyimpan visa dan kontrak kerja serta hak untuk mendapatkan informasi mengenai gaji, jam kerja, dan persyaratan kerja lembur. Dikarenakan pandemi, Kemlu tidak mengadakan pelatihan TPPO untuk diplomat junior (100 diplomat junior menerima pelatihan pada tahun 2019 dan 59 diplomat pada 2018). Pemerintah tidak melakukan upaya untuk mengurangi permintaan seks komersial. Pemerintah telah berupaya untuk mengurangi permintaan wisata seks anak dengan menangkap dua warga negara asing yang terlibat dalam tindakan seks komersial dengan anak-anak dan berkoordinasi dengan pemerintahan asing untuk melarang masuk pelaku-pelaku kejahatan seksual.
PROFIL PERDAGANGAN ORANG
Seperti yang dilaporkan selama lima tahun terakhir, pelaku perdagangan orang mengeksploitasi korban-korban domestik dan asing yang berada di Indonesia serta korban-korban asal Indonesia yang berada di luar negeri. Setiap provinsi (34 provinsi) di Indonesia merupakan daerah asal dan tujuan perdagangan manusia. Pemerintah memperkirakan terdapat lebih dari 2 dari 6-8 juta warga negara Indonesia yang bekerja di luar negeri—sebagian besar perempuan yang bekerja di sektor domestik— tidak memiliki dokumen atau telah melebihi batas waktu tinggal yang tercantum pada visa mereka yang meningkatkan risiko mereka terhadap perdagangan orang. Jumlah sebenarnya dari pekerja migran Indonesia yang tidak memiliki dokumen kemungkinan jauh lebih tinggi. Selama periode pelaporan, hampir 200.000 pekerja migran Indonesia yang memiliki dokumen pulang ke Indonesia dikarenakan pandemi. Pelaku perdagangan tenaga kerja mengeksploitasi banyak warga Indonesia melalui kekerasan dan paksaan berbasis utang di Asia (terutama di China, Korea Selatan, dan Singapura) dan Timur Tengah (terutama Arab Saudi), khususnya pekerja rumah tangga, pabrik, konstruksi, manufaktur, perkebunan kelapa sawit di Malaysia, dan pada kapal-kapal penangkap ikan di seluruh Samudra Hindia dan Pasifik. Perempuan-perempuan asal Indonesia dieksploitasi kerja paksa di Suriah. Hong Kong, Malaysia, Singapura, dan Timur Tengah menerima banyak pekerja rumah tangga asal Indonesia yang tidak dilindungi oleh undang-undang ketenagakerjaan setempat dan sering mengalami berbagai indikator TPPO, termasuk jam kerja yang panjang, ketiadaan kontrak resmi, dan upah yang tak dibayarkan. Banyak dari pekerja-pekerja ini berasal dari Nusa Tenggara Timur. LSM memperkirakan agen dan sub-agen perekrutan tenaga kerja yang tidak bermoral ini bertanggung jawab atas lebih dari setengah kasus perdagangan manusia yang menimpa perempuan Indonesia di luar negeri. Pekerja yang ingin bermigrasi ke luar negeri sering kali dijerat utang oleh agen perekrutan Indonesia dan luar negeri yang dimanfaatkan untuk memaksa dan menahan mereka agar tidak meninggalkan pekerjaan mereka. Selain itu, beberapa perusahaan menahan dokumen identitas dan menggunakan ancaman kekerasan agar para migran tetap dalam situasi kerja paksa. Pelaku perdagangan seks mengeksploitasi perempuan dewasa dan perempuan muda Indonesia terutama di Malaysia, Taiwan, dan Timur Tengah. Sejumlah universitas perncari profit di Taiwan secara agresif merekrut orang Indonesia dan kemudian menempatkan mereka pada kondisi kerja eksploitatif dengan kedok peluang meraih pendidikan. Pelajar-pelajar tersebut sering kali tidak mengetahui komponen pekerjaan mereka sebelum kedatangan dan dilaporkan mengalami pengalihan kontrak, jam kerja yang tidak wajar, serta kondisi kehidupan yang tidak layak dan yang tidak sesuai dengan perjanjian awal. Agen perekrutan penipu telah mengirim setidaknya 100 warga Indonesia ke Taiwan dengan kedok beasiswa universitas. Setelah kedatangan, para pelajar akan dipaksa untuk bekerja di perusahaan pengecoran besi untuk membayar “pinjaman” yang dikatakan untuk membayar biaya pendidikan mereka.
Di Indonesia, pelaku perdagangan tenaga kerja mengeksploitasi perempuan, laki-laki, dan anak-anak di bidang penangkapan ikan, pengolahan ikan, konstruksi, perkebunan kelapa sawit dan perkebunan lainnya, pertambangan, dan manufaktur. Pelaku perdagangan orang mengeksploitasi perempuan dewasa dan muda untuk kerja paksa di sektor domestik. Pelaku juga dapat menjerumuskan anak-anak untuk melakukan tindak kejahatan terkait produksi, penjualan, dan pengangkutan obat-obatan terlarang. Regulasi pemerintah mengizinkan pemberi kerja di sektor-sektor tertentu, termasuk usaha kecil dan menengah serta industri padat karya seperti manufaktur tekstil, terbebas dari persyaratan upah minimum. Hal ini meningkatkan risiko pekerja yang bekerja di sektor-sektor tersebut untuk menerima paksaan berbasis jeratan utang. Lebih dari 1,5 juta anak-anak Indonesia antara usia 10 dan 17 tahun bekerja di bidang pertanian, termasuk perkebunan tembakau, tanpa alat yang dapat melindungi mereka dari sinar matahari dan bahan kimia. Bekerja tanpa alat perlindungan yang memadai dapat menjadi indikator kerja paksa. Beberapa LSM melaporkan bahwa di kota Bima yang berada di pulau Sumbawa terdapat beberapa pembalap kuda profesional yang memanfaatkan joki anak yang mungkin melakukan pekerjaan itu karena dipaksa. Praktik pernikahan dini mendorong banyak anak—terutama di daerah terpencil yang miskin—untuk bekerja sebagai tulang punggung rumah tangga mereka yang memicu tingginya angka migrasi tenaga kerja anak melalui jalur-jalur yang terkenal dengan praktik perekrutan yang menipu, jeratan utang, dan indikator kerja paksa lainnya. Setidaknya ada satu kasus, seorang warga Indonesia membujuk seorang perempuan untuk menikah dengan pria asal China melalui program “pengantin pesanan” di mana perempuan tersebut dipaksa untuk bekerja 14 jam per hari di toko dan perkebunan milik “suami” barunya.
Menurut sebuah organisasi internasional, korban perdagangan seks anak berjenis kelamin perempuan mencapai 30 persen. Pelaku perdagangan seks sering memanfaatkan jerat utang atau tawaran untuk bekerja di restoran, pabrik, atau sebagai asisten rumah tangga untuk memaksa dan menipu perempuan dewasa dan muda agar terjebak ke dalam eksploitasi seks komersial di seluruh Indonesia, terutama di Batam dan Jakarta. Pelaku perdagangan seks menggunakan spa, hotel, bar, tempat karaoke, dan bisnis-bisnis lainnya untuk memfasilitasi perdagangan seks. Pelaku perdagangan seks juga mengeksploitasi perempuan dewasa dan muda dalam perdagangan seks di dekat lokasi pertambangan di provinsi Maluku, Papua, dan Jambi. Pelaku perdagangan orang semakin banyak menggunakan platform daring dan media sosial untuk merekrut korban. Pada tahun 2017, sebuah LSM memperkirakan terdapat 70.000 sampai 80.000 korban perdagangan seks anak di Indonesia. Wisata seks anak banyak ditemukan di Kepulauan Riau yang berbatasan dengan Singapura. Bali merupakan tujuan bagi warga Indonesia dan turis asing untuk wisata seks anak. Wisatawan Timur Tengah biasanya datang ke Indonesia, khususnya ke kawasan Puncak di Bogor, dan rela membayar lebih dari 700 dollar untuk “kawin kontrak” yang biasanya berdurasi satu minggu dan memungkinkan mereka untuk melakukan seks di luar nikah tanpa melanggar hukum Islam. Perempuan-perempuan muda berusia 9 tahun dan perempuan dewasa yang “dinikahi” oleh para turis tersebut merupakan korban perdagangan seks. Meski ini berhubungan dengan keagamaan, pemerintah secara tidak langsung menerima praktik ini. Perempuan-perempuan Indonesia direkrut di luar negeri untuk pekerjaan yang seakan-akan legal dan kemudian dieksploitasi dalam perdagangan seks di luar negeri, termasuk di Timor-Leste.
Warga Indonesia, termasuk anak-anak, yang rumah atau mata pencahariannya dihancurkan oleh bencana alam pada tahun 2020 menjadi rentan praktik perdagangan orang. Hal ini juga berlaku bagi empat juta anak yang dianggap “terlantar” oleh pemerintah dan sekitar 16.000 anak tunawisma yang diperkirakan tinggal di daerah perkotaan. Kegagalan pemerintah untuk mencegah perusahaan-perusahaan merambah tanah masyarakat adat yang kadang juga berkolusi dengan militer dan polisi setempat, turut berkontribusi pada terusirnya masyarakat dari tanah mereka dan membuat sebagian kelompok etnis minoritas rentan terhadap perdagangan manusia. Korupsi endemik di kalangan pejabat pemerintah memfasilitasi praktik-praktik yang berkontribusi pada kerentanan perdagangan orang di industri perjalanan, perhotelan, dan perekrutan tenaga kerja. Stigma dan diskriminasi sosial yang berkembang terhadap anggota komunitas LGBTQI+ dan pengidap HIV/AIDS di Indonesia telah mempersulit akses mereka untuk mendapatkan pekerjaan di sektor formal. Kondisi ini menjadikan mereka rentan terhadap perdagangan orang karena terpaksa memilih pekerjaan di sektor informal yang tidak menjamin keselamatan mereka. Selama periode pelaporan, hampir 350 pengungsi Rohingya meninggalkan penampungan pengungsi di Indonesia menuju Malaysia menggunakan perahu yang difasilitasi oleh penyelundup orang.
Awak kapal senior di kapal penangkap ikan berbendera China, Korea, Vanuatu, Taiwan, Thailand, Malaysia, Italia, dan Filipina dan/atau memiliki kapal ikan yang beroperasi di perairan Indonesia, Thailand, Sri Lanka, Mauritius, dan India menjadikan ABK perikanan Indonesia sebagai tenaga kerja paksa. Selama periode pelaporan, beberapa korban kerja paksa Indonesia di atas kapal-kapal penangkap ikan berbendera China mengirimkan permohonan bantuan melalui media sosial dan menceritakan eksploitasi berkelanjutan seperti kekerasan fisik dan penolakan awak-awak kapal untuk memberi makan pekerja sampai mereka menyelesaikan giliran kerja harian mereka selama 20 jam. Pihak berwenang mengamankan pembebasan 157 ABK perikanan asal Indonesia dari kapal-kapal tersebut yang diduga kuat melakukan praktik kerja paksa dan mengkonfirmasi bahwa 12 pekerja Indonesia telah meninggal di kapal-kapal tersebut sepanjang November 2019 dan Agustus 2020. Beberapa korban perdagangan manusia melaporkan bahwa kapal-kapal berbendera China tersebut pada awalnya merekrut mereka dengan kedok pekerjaan bergaji tinggi di kapal-kapal berbendera Korea. Para pelaku menyasar petani-petani miskin di Pulau Jawa untuk dipekerjakan secara paksa sebagai ABK perikanan dan mengiming-imingi mereka dengan gaji tinggi dan kondisi kerja yang baik, menyediakan dokumen perjalanan yang tidak sah, dan memaksa buruh menandatangani kontrak yang sangat sulit untuk dilanggar yang disebut para ahli sebagai “kontrak perbudakan”. Beberapa kapal berbendera China, Korea, dan Taiwan memaksa pekerja Indonesia untuk tetap berada dan bekerja di kapal setelah kontrak mereka berakhir sampai perusahaan mendapatkan pekerja pengganti. Beberapa pelaku perdagangan manusia berjanji untuk mengirimkan gaji langsung ke keluarga para pekerja, tetapi setelah beberapa bulan di laut para pekerja menyadari bahwa gaji mereka belum dibayarkan oleh pelaku.
Banyak agen perekrutan di Burma, Indonesia, dan Thailand membujuk para ABK perikanan dengan janji upah tinggi, memungut biaya dan jaminan yang tinggi untuk menyiapkan identitas dan dokumen izin kerja palsu, lalu kemudian mengirim mereka untuk menangkap ikan di perairan selama berjam-jam di kapal-kapal yang beroperasi dengan pengaturan bendera multinasional dan kepemilikan yang kompleks. Beberapa ABK tidak menyadari bahwa agen perekrutan mereka terus menahan atau menarik dana dari gaji mereka selama bertahun-tahun. ABK yang berlayar di kapal-kapal ini melaporkan gaji rendah atau tidak dibayarkan serta taktik pemaksaan seperti kontrak yang tidak sesuai, penahanan dokumen, komunikasi yang dibatasi, kondisi hidup dan kerja yang buruk, ancaman kekerasan fisik, dan pelecehan fisik dan seksual yang berat. Kapten kapal dan awak-awaknya melarang para nelayan meninggalkan kapal dan melaporkan penganiayaan yang mereka alami dengan ancaman pengungkapan identitas palsu mereka kepada pihak berwenang, mencekal para ABK dari pekerjaan penangkapan ikan di masa datang, dan pada tahun-tahun sebelumnya memasukkan mereka ke penjara sementara yang berada di darat. Sejumlah awak harus melaut selama berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun tanpa kembali ke daratan karena terpaksa berlayar lebih jauh demi memenuhi persediaan ikan yang semakin menipis yang membuat mereka makin tidak terdeteksi dan melanggengkan tindakan penganiayaan oleh awak kapal senior yang tidak tersentuh hukum. Sebagian besar ABK perikanan Indonesia bekerja di kapal-kapal armada Perairan Jarak Jauh milik Taiwan yang kondisinya berbahaya dan banyak juga bekerja di kapal-kapal armada perairan jauh Korea Selatan. Setiap tahun, lebih dari 7.000 nelayan Indonesia masuk dan keluar dari kapal-kapal asing di pelabuhan Cape Town, Afrika Selatan, dan dilaporkan menghadapi kondisi kerja yang sangat buruk, terutama di kapal-kapal yang dimiliki oleh warga negara Taiwan, Korea Selatan, dan Jepang. Para pelaku perdagangan orang juga menjadikan ABK perikanan dari negara-negara Asia lainnya sebagai pekerja paksa di atas kapal penangkap ikan.
Menurut suatu studi baru-baru ini, kapal-kapal ini mempekarjakan hampir setengah dari jumlah ABK migran yang diberangkatkan oleh pelaku perdagangan orang dari Kamboja, Thailand, dan Vietnam. Di perairan Indonesia dan di perairan lainnya, beberapa awak kapal senior memaksa nelayan untuk melakukan penangkapan ikan ilegal, perburuan ilegal, penyelundupan, dan masuk secara ilegal ke wilayah nasional suatu negara, sehingga mereka rentan terhadap kriminalisasi. Perusahaan-perusahaan yang beroperasi di bawah naungan “Program Pelatihan Magang Teknis” pemerintah Jepang telah menjadikan warga negara Indonesia sebagai tenaga kerja paksa di sektor pengolahan makanan, manufaktur, konstruksi, dan penangkapan ikan.