INDONESIA (TINGKAT 2)
Pemerintah Indonesia belum sepenuhnya memenuhi standar minimum dalam pemberantasan tindak pidana perdagangan orang, tetapi telah melakukan upaya yang signifikan untuk mewujudkannya. Pemerintah menunjukkan peningkatan upaya secara keseluruhan dibandingkan dengan periode pelaporan sebelumnya, dengan mempertimbangkan dampak pandemi COVID-19, jika ada, terhadap kemampuannya memerangi tindak pidana perdagangan orang; oleh karena itu, Indonesia dinaikkan peringkatnya menjadi Tingkat (Tier) 2. Upaya-upaya ini mencakup peningkatan investigasi, penuntutan, dan penghukuman atas dugaan kejahatan tindak pidana perdagangan orang, termasuk kerja paksa di perkebunan kelapa sawit dan di operasi penipuan siber di luar negeri serta menjamin peningkatan restitusi bagi korban perdagangan orang. Pemerintah juga mengidentifikasi dan memulangkan ratusan korban kerja paksa asal Indonesia dari Kamboja sebagai bagian dari upaya koordinatif multinasional untuk menangani kerja paksa dalam operasi penipuan siber, mengesahkan peraturan pelaksana dari Undang-Undang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (UU PPMI) tahun 2017 untuk memperbaiki kondisi ketenagakerjaan di sektor perikanan, dan menyelesaikan Rencana Aksi Nasional (RAN) 2020-2024. Namun, pemerintah tidak memenuhi standar minimum di beberapa bagian penting. Selama dua tahun berturut-turut, pemerintah tidak melaporkan adanya identifikasi atau investigasi kasus kerja paksa di sektor perikanan, dan pemerintah masih belum sepenuhnya memprioritaskan sumber daya manusia atau pendanaan untuk secara efektif mengawasi sektor yang telah lama dan jelas rentan masalah tindak pidana perdagangan orang. Keterlibatan pejabat pemerintah dalam tindak pidana perdagangan orang masih menjadi masalah yang belum ditangani secara memadai oleh pemerintah. Pemerintah belum memiliki prosedur operasi standar (SOP) nasional untuk mengidentifikasi korban perdagangan orang di semua sektor senantiasa menghambat identifikasi korban secara proaktif, terutama korban laki-laki. Petugas rumah perlindungan milik pemerintah meminta sebagian korban menyerahkan paspor dan memberlakukan pembatasan yang sangat ketat terhadap pergerakan dan kesempatan memperoleh pekerjaan sehingga sebagian besar korban meninggalkan tempat penampungan dan tidak berpartisipasi dalam proses penindakan kasus-kasus untuk menghukum para pelaku tindak pidana perdagangan orang. Pemerintah terus melakukan mediasi administratif terhadap sebagian besar kasus tindak pidana perdagangan orang yang mungkin melibatkan pekerja migran Indonesia, namun hal ini tidak memberikan tanggung jawab pidana atau cukup memberikan efek jera terhadap pelaku kejahatan perdagangan orang. Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU PTPPO) tahun 2007 tidak melarang seluruh bentuk perdagangan orang, karena Undang-Undang tersebut masih mensyaratkan pembuktian kekerasan, penipuan, atau pemaksaan untuk dapat dikategorikan sebagai tindak pidana perdagangan seks anak.
REKOMENDASI YANG DIPRIORITASKAN:
- Meningkatkan upaya yang lebih baik untuk menyelidiki dan mengadili kejahatan perdagangan orang serta menghukum pelaku tindak pidana perdagangan orang, termasuk pejabat pemerintah yang terlibat.
- Mengamandemen UU PTTPO tahun 2007 untuk menghapus persyaratan pembuktian kekerasan, penipuan, atau pemaksaan untuk membenarkan kasus perdagangan seks anak.
- Memberi kebebasan korban yang berada di rumah perlindungan untuk bergerak, menyimpan dokumen perjalanan mereka sendiri, serta bekerja.
- Mengembangkan – dan mensosialisasikan secara luas – penggunaan SOP untuk mengidentifikasi korban secara proaktif dan melatih petugas penegak hukum, pejabat Kementerian Luar Negeri, pejabat Kementerian Kelautan dan Perikanan, dan pejabat Kementerian Ketenagakerjaan.
- Meningkatkan sumber daya dan secara proaktif menawarkan layanan komprehensif kepada semua korban, termasuk laki-laki.
- Meningkatkan upaya yang efektif untuk memantau agen perekrutan tenaga kerja, termasuk di sektor perikanan; menerapkan semua peraturan perundang-undangan tentang ketenagakerjaan; dan melalui Peraturan Pemerintah No. 22 tahun 2022 mengembangkan dan melaksanakan orientasi bagi Anak Buah Kapal (ABK) perikanan Indonesia dan migran yang pembiayaannya ditanggung oleh pemberi kerja.
- Memberikan pelatihan pemberantasan TPPO secara berkala bagi hakim, jaksa, polisi, dan pekerja sosial.
- Meningkatkan sumber daya untuk Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan TPPO (Gugus Tugas PP TPPO) dan meningkatkan koordinasi antar kementerian.
- Memastikan kementerian dan lembaga memenuhi kewajiban mereka untuk mendanai dan melaksanakan kegiatan pemberantasan perdagangan orang yang dimuat dalam RAN 2020-2024.
- Membangun sistem pengumpulan data untuk melacak upaya pemberantasan perdagangan orang di semua tingkat penegakan hukum.
- Meningkatkan kesadaran para pemimpin desa akan tren dan kerentanan terhadap TPPO.
- Menciptakan protokol nasional yang menjelaskan wewenang untuk memperkarakan kasus-kasus perdagangan orang di luar provinsi asal korban.
- Mengidentifikasi pekerja asal Korea Utara yang memperlihatkan tanda-tanda sebagai perdagangan orang dan merujuk mereka ke layanan yang sesuai seperti yang diamanatkan resolusi Dewan Keamanan PBB 2397.
Pemerintah terus meningkatkan upaya-upaya penegakan hukum. UU PTPPO tahun 2007 mengkriminalisasi segala bentuk perdagangan tenaga kerja dan beberapa bentuk perdagangan seks dengan ancaman hukuman 3-15 tahun penjara. Sehubungan dengan kasus perdagangan seks, hukuman dinilai cukup memberatkan dan sepadan dengan hukuman yang ditetapkan untuk kejahatan serius lainnya, seperti pemerkosaan. UU PTPPO tahun 2007 tidak konsisten dengan hukum internasional karena masih mensyaratkan pembuktian kekerasan, penipuan, atau paksaan untuk menghukum kejahatan perdagangan seks anak sehingga tidak semua bentuk perdagangan seks anak dapat dijerat dengan undang-undang ini. Namun, para pejabat peradilan di tingkat nasional dan provinsi terus menegaskan bahwa undang-undang ini secara implisit menetapkan bahwa kekerasan, penipuan, atau paksaan itu tidak disyaratkan untuk memperkarakan kasus perdagangan seks anak, sehingga hal ini tidak menghalangi keberhasilan penuntutan dan pemberian putusan pada kasus-kasus perdagangan seks anak. Namun demikian, pengamat terus mencatat bahwa rendahnya kesadaran pejabat-pejabat penegak hukum dan peradilan daerah akan kejahatan perdagangan orang dan undang-undang yang terkait telah menghambat deteksi kasus dan perkembangan penuntutan. Selama periode pelaporan, pemerintah juga mengadili kejahatan perdagangan orang dengan menggunakan undang-undang lain, termasuk Undang-Undang Perlindungan Anak tahun 2014 dan Undang-undang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia tahun 2017. Pada bulan April 2022, pemerintah mengesahkan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UUTPKS) yang menambah peluang untuk melakukan penuntutan terhadap kejahatan perdagangan seks. UU TPKS menetapkan hukuman serupa dengan yang ditentukan dalam UU PTPPO.
Koordinasi yang tidak efektif antar lembaga dan kurangnya basis data terpusat menghambat upaya penegakan hukum terhadap TPPO dan upaya pengumpulan data yang komprehensif. Dari data yang dilaporkan, Badan Reserse Kriminal Kepolisian Republik Indonesia (Bareskrim Polri) yang bertanggung jawab untuk menginvestigasi kasus-kasus kriminal yang melibatkan antar wilayah yurisdiksi – melaporkan telah menyelidiki 133 kasus perdagangan orang (89 kasus perdagangan pekerja migran, 22 kasus perdagangan seks, dan 22 kasus TPPO lainnya). Sebanyak 46 kasus masih dalam proses investigasi pada akhir periode pelaporan, dibandingkan dengan investigasi 24 kasus TPPO (delapan kasus perdagangan seks dan 16 kasus perdagangan pekerja migran) pada tahun 2021, 38 kasus pada tahun 2020, dan 102 kasus pada tahun 2019. Pemerintah menuntut 223 kasus dan menghukum 217 terdakwa dari 178 kasus berdasarkan UU PTPPO tahun 2007. Jumlah ini meningkat dari 167 kasus yang dituntut dan 178 pelaku perdagangan orang yang dihukum dari 143 kasus pada tahun 2021, tetapi menunjukkan penurunan dari 232 kasus yang dituntut dan 259 pelaku yang dihukum pada tahun 2020. Dalam sebuah kasus, pengadilan menghukum tiga pelaku tindak pidana perdagangan orang berdasarkan UU PTPPO tahun 2007 atas tindakan merekrut sembilan orang Indonesia untuk melakukan kerja paksa dalam operasi penipuan siber di Kamboja. Hakim menjatuhkan hukuman penjara antara tiga hingga empat tahun dan memerintahkan tersangka utama untuk membayar restitusi sebesar 93,4 juta rupiah (6.010 dolar AS) kepada para korban. Hakim menjatuhkan hukuman lima tahun penjara kepada dua terdakwa berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Anak tahun 2014 karena mengeksploitasi tujuh perempuan dewasa dan anak perempuan dalam kejahatan seks komersial di sebuah rumah kos. Jaksa Penuntut Umum diketahui, lebih cenderung ingin menggunakan UU PPMI tahun 2017 untuk menuntut kasus TPPO, karena undang-undang tersebut memiliki ambang batas pembuktian yang lebih rendah.
Pemerintah menuntut dan menghukum pejabat pemerintah atas kejahatan yang berkaitan dengan kasus perdagangan orang yang telah menarik banyak perhatian, namun pemerintah tidak melaporkan telah menuntut atau menghukum pejabat pemerintah yang terlibat berdasarkan undang-undang khusus perdagangan orang. Korupsi dan keterlibatan pejabat dalam tindak pidana perdagangan orang masih menjadi masalah yang menghambat sebagian besar upaya penegakan hukum. LSM dan organisasi internasional melaporkan adanya keterlibatan pejabat dan praktik korupsi di perkebunan kelapa sawit. Organisasi-organisasi tersebut mencatat bahwa beberapa bupati mengoperasikan “penjara” yang berisi orang-orang yang bekerj paksa di perkebunan dan persyaratan dari pemerintah yang cukup ketat bagi organisasi untuk mengunjungi perkebunan kelapa sawit telah menghambat upaya LSM dan organisasi internasional untuk menyelidiki kondisi tenaga kerja. Pengadilan menghukum empat pelaku perdagangan orang berdasarkan UU PTTPO tahun 2007 dan menjatuhkan hukuman penjara antara 24 hingga 36 bulan karena menyiksa empat korban kerja paksa di perkebunan kelapa sawit milik seorang bupati di Sumatera Utara hingga tewas. Aparat penegak hukum menemukan para korban dan 57 orang lainnya di dalam kerangkeng di lokasi kediaman milik bupati, yang selama ini digunakan sebagai fasilitas rehabilitasi narkoba tidak resmi. Beberapa korban tetap berada di bawah perlindungan LPSK, sementara yang lain memilih untuk kembali ke provinsi asal mereka. Komnas HAM melaporkan bahwa mereka berencana untuk melakukan inspeksi ke perkebunan kelapa sawit lainnya, tapi tidak ada informasi lebih lanjut mengenai rencana ini pada akhir periode pelaporan. Meskipun polisi pada awalnya menangkap bupati atas tuduhan pemenjaraan ilegal yang mengakibatkan empat kematian, pihak berwenang tidak mendakwanya dengan tindak pidana perdagangan orang atau kejahatan terkait. Bupati tersebut hanya dihukum atas tindak pidana korupsi dan dijatuhi hukuman sembilan tahun penjara. Pihak berwenang juga memvonis putranya atas tuduhan terkait dengan kematian korban dan menjatuhkan hukuman 19 bulan penjara. Selama periode pelaporan, seorang pembela pemberantasan TPPO menuduh pejabat-pejabat dari Provinsi Nusa Tenggara Timur melakukan penipuan dalam perekrutan, pemalsuan dokumen perjalanan, dan penyelundupan pekerja migran Indonesia ke luar negeri. Pemerintah tidak melaporkan adanya tindakan apapun untuk menanggapi tuduhan ini. Masyarakat sipil menduga sebagian aparat penegak hukum dan politisi mengorganisir penggrebegan tempat-tempat hiburan untuk memaksa meminta uang suap dari pekerja seks komersial dewasa yang kemungkinan di antara mereka merupakan korban-korban perdagangan seks. Pejabat-pejabat korup dilaporkan terus memfasilitasi penerbitan dokumen palsu, menerima suap yang memungkinkan calo mengangkut pekerja migran tanpa dokumen melintasi perbatasan, melindungi tempat-tempat terjadinya perdagangan seks, terlibat dalam intimidasi saksi, dan secara sengaja melemahkan praktik pengawasan agar agen-agen perekrutan ini terhindar dari tanggung jawab.
Dalam kasus-kasus pelanggaran ketenagakerjaan, termasuk dugaan perdaganganburuh , pihak kepolisian dan badan pemerintah untuk menangani pekerja migran BP2M, sering kali mengupayakan mediasi sebagai pengganti penyidikan pidana. BP2MI melaporkan telah menyelesaikan sekitar 32.000 pengaduan buruh migran melalui mediasi sipil selama beberapa tahun terakhir. sepanjang periode yang sama, BP2MI melaporkan telah mengidentifikasi puluhan ribu orang yang diduga menjadi korban perdagangan orang. Selama periode pelaporan, y POLRI melatih para penyidik polisi tentang tindak pidana perdagangan orang. Dengan dukungan pemerintah dalam bentuk barang atau layanan, sebuah organisasi internasional mengadakan pelatihan pemberantasan TPPO bagi para hakim pengadilan negeri dan anggota Gugus Tugas PP TPPO di tingkat nasional dan daerah. Kurangnya mekanisme kerja sama bilateral untuk penyidikan dan penuntutan menghambat upaya penegakan hukum dalam kasus-kasus tindak pidana perdagangan orang lintas negara. Menanggapi hal itu, pemerintah mulai menyusun Nota Kesepahaman (MOU) penegakan hukum dengan Pemerintah Kamboja. Pihak berwenang belum merampungkan MOU tersebut pada akhir periode pelaporan.
Pemerintah menunjukkan upaya perlindungan yang beragam. Pemerintah mengidentifikasi lebih banyak korban tindak pidana perdagangan orang di luar negeri, termasuk mereka yang menjadi korban kerja paksa dalam operasi penipuan siber. Beberapa kementerian utama melaporkan sedikit peningkatan dalam hal identifikasi dan rujukan korban di dalam negeri. Namun, lembaga-lembaga pemerintah terkait lainnya melaporkan penurunan drastis dalam penerimaan dan rujukan perawatan korban pada tahun 2022. Upaya perlindungan yang terlalu ketat menghambat upaya penegakan hukum. Pemerintah tidak memiliki sistem yang komprehensif untuk mengumpulkan data identifikasi korban; oleh karena itu, data yang dilaporkan tidak lengkap dan kemungkinan berupa duplikasi. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menerima rujukan 239 korban dan saksi perdagangan orang pada tahun 2022 LPSK memberikan layanan, termasuk layanan rumah aman, kepada mereka dan 23 korban dan saksi perdagangan orang lain yang diidentifikasi pada periode pelaporan sebelumnya – sedikit meningkat dari total 252 orang yang dirujuk dan dibantu pada tahun 2021. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) menerima 133 rujukan korban tindak pidana perdagangan orang dari polisi, kementerian dan lembaga pemerintah, organisasi internasional, dan LSM – sebuah penurunan substansial dari Kementerian Sosial (Kemensos) yang menerima 1.082 rujukan korban perdagangan orang pada tahun 2021. KPPPA tidak melaporkan berapa banyak dari para korban yang dirujuk untuk mendapatkan perawatan, dibandingkan dengan Kemensos yang merujuk 555 korban ke pusat-pusat rehabilitasi sosial pemerintah dan sisanya ke LSM pada tahun 2021. Sebuah organisasi internasional mengidentifikasi dan membantu 168 korban perdagangan orang, termasuk empat korban perdagangan seks anak dan lima korban kerja paksa anak yang dieksploitasi di dalam negeri; 98 orang Indonesia yang dieksploitasi di luar negeri, terutama perempuan yang menjadi pekerja paksa di Malaysia, Arab Saudi, dan Kamboja; dan 10 orang Myanmar yang menjadi pekerja paksa di bidang penangkapan ikan di Indonesia. Organisasi lain mengidentifikasi 197 orang yang terlibat dalam seks komersial di media sosial dan platform siaran alir langsung, beberapa di antaranya kemungkinan besar adalah korban perdagangan seks. Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) melaporkan statistik kasus-kasus eksploitasi anak yang diidentifikasi, termasuk 150 kasus eksploitasi ekonomi anak, eksploitasi seksual, pornografi, dan kejahatan siber, yang beberapa di antaranya kemungkinan besar terkait TPPO. KPAI melaporkan 17 kasus kepada polisi dan memantau proses penuntutan, perlindungan, dan reintegrasi, namun tidak melaporkan apakah mereka memberikan layanan kepada para korban atau merujuk kasus-kasus tersebut kepada polisi untuk penyelidikan kriminal.
Beberapa lembaga pemerintah, termasuk kepolisian, pusat layanan di tingkat pusat dan daerah, serta perwakilan diplomatik Indonesia, menggunakan SOP yang terpisah untuk identifikasi korban atau rujukan ke layanan secara proaktif. Para pengamat menyatakan keprihatinan mereka bahwa kurangnya SOP nasional dan penempatan perdagangan orang yang berada di bawah lingkup polisi dan lembaga perlindungan di tingkat daerah yang umumnya berfokus pada perempuan dan anak-anak, telah menghambat identifikasi korban secara keseluruhan, khususnya korban laki-laki dan korban yang berasal dari daerah terpencil. Sebagai contoh, pejabat-pejabat pemerintah melaporkan bahwa mereka tidak memiliki SOP yang memadai untuk mengidentifikasi populasi baru pekerja migran Indonesia yang rentan TPPO di Kamboja. Pemerintah tidak melaporkan contoh kasus spesifik tentang pihak berwenang yang menangkap, menahan, mendenda, atau menghukum korban perdagangan orang yang terpaksa melakukan kejahatan karena diperintahkan oleh para pelaku. Namun, kurangnya prosedur identifikasi formal dan pelatihan bagi para petugas yang berada di garis depan memungkinkan pihak berwenang untuk menangkap atau mendeportasi beberapa korban perdagangan manusia yang tidak teridentifikasi.
Secara umum kurangnya perlindungan dan layanan reintegratif yang memadai serta ditambah dengan rendahnya kesadaran di kalangan pemimpin desa dan daerah memperbesar risiko korban terjerat TPPO kembali, terutama bagi ABK perikanan yang dieksploitasi sebagai pekerja paksa di laut. Pemerintah mengoperasikan rumah perlindungan dan pusat layanan bagi para korban kejahatan, termasuk perdagangan orang, tetapi tidak melaporkan berapa banyak korban perdagangan orang yang dirujuk atau dibantu di fasilitas-fasilitas ini pada tahun 2022. Pemerintah mengoordinasikan bantuan untuk korban kekerasan, termasuk korban tindak pidana perdagangan orang, melalui Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A), yang terletak di 34 provinsi dan sekitar 436 kabupaten. Pusat-pusat layanan ini dapat menyediakan perawatan medis jangka pendek, bantuan hukum, dan reintegrasi, tetapi layanannya bervariasi tergantung pada kepemimpinan dan anggaran daerah. LPSK mengoperasikan sejumlah tempat penampungan yang tidak disebutkan jumlahnya bagi para korban dan saksi kejahatan yang menghadapi ancaman atau intimidasi, termasuk korban TPPO. LPSK tidak mengizinkan para penghuni rumah perlindungan untuk bergerak bebas, menahan paspor mereka, dan tidak mengizinkan para penghuni penampungan untuk mencari pekerjaan karena keamanan. Kemensos mengoperasikan 41 tempat penampungan yang dapat membantu korban kejahatan, termasuk korban tindak pidana perdagangan orang. Menurut SOP Kemensos, rumah perlindungan hanya dapat menerima dan melepaskan korban dengan persetujuan dari lembaga pemerintah yang bersangkutan. Pemerintah mengirimkan terapis ke Kamboja untuk membantu korban tindak pidana perdagangan orang dari Indonesia sebelum mereka dipulangkan. Pemerintah tidak memberikan alternatif hukum untuk pemulangan korban asing ke negara-negara dimana kemungkinan mereka akan menghadapi kesulitan atau hukuman.
Polri melaporkan 668 korban (357 perempuan dan 311 laki-laki) dari 133 kasus yang sebagian besar berpartisipasi dalam proses penyidikan, dibandingkan dengan sekitar 81 korban pada tahun 2021. LPSK melaporkan 208 korban berpartisipasi dalam proses penyidikan dan penuntutan. Meskipun terdapat peraturan yang mengizinkan sebagian korban perdagangan perempuan dan anak memberi kesaksian melalui video dan kesaksian yang direkam sebelumnya , beberapa hakim tetap mengharuskan korban hadir untuk memberikan kesaksian secara langsung. Banyak korban tindak pidana perdagangan orang memilih untuk tidak berpartisipasi dalam persidangan karena pihak berwenang mengharuskan mereka untuk tetap tinggal di rumah perlindungan milik pemerintah – di mana mereka tidak memiliki kebebasan bergerak, tidak diperkenankan untuk memegang dokumen perjalanan, tidak diperbolehkan untuk bekerja, dan kurangnya pendanaan tetap untuk biaya makan dan biaya tak terduga. Dalam beberapa kasus, pihak berwenang tidak melacak korban yang dibebaskan dari rumah perlindungan milik Kemensos, termasuk untuk tujuan memberi informasi kepada korban tentang kasus-kasus yang menjerat para pelaku perdagangan orang dan untuk mengumpulkan kesaksian korban. Hal ini mengakibatkan hanya sembilan dari lebih dari 241 korban tindak pidana perdagangan orang yang dipulangkan dari Kamboja yang dilaporkan berpartisipasi dalam persidangan untuk melawan pelaku perdagangan orang.
Hakim dapat memerintahkan pembayaran kompensasi dan restitusi dalam kasus-kasus TPPO. Pasal 50 dari UU PTPPO Tahun 2007 memperbolehkan hakim untuk menjatuhkan hukuman penjara sebagai pengganti restitusi jika pelaku tidak memiliki aset yang mencukupi. Beberapa jaksa penuntut umum melaporkan bahwa perusahaan asing dan pelaku TPPO lainnya dapat menyembunyikan aset mereka, dan banyak hakim memilih untuk menjatuhkan hukuman penjara tambahan. Namun demikian, LPSK mengajukan permohonan restitusi sejumlah Rp5,3 miliar (309.310 dolar) untuk 209 korban TPPO, sebuah peningkatan dari sejumlah 283.073 dolar yang difasilitasi untuk 177 korban di tahun 2021. Namun pengadilan-pengadilan secara keseluruhan hanya mengabulkan Rp1,1 miliar (70.840 dolar), dan terdapat perbedaan antar yurisdiksi terkait seberapa sering pengadilan mengabulkan restitusi. KPPPA menandatangani sebuah Nota Kesepahaman dengan LPSK dan KPAI untuk meningkatkan jumlah permohonan restitusi bagi anak yang menjadi korban kejahatan, termasuk kejahatan perdagangan orang. Pemerintah Indonesia bekerjasama dengan pemerintah asing untuk melatih jaksa penuntut umum dan anggota kepolisian dari berbagai provinsi mengenai pendekatan yang berpusat pada korban dan permohonan restitusi dalam kasus TPPO. Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) juga dapat memerintahkan terdakwa untuk membayar kompensasi, dan banyak korban perdagangan orang, khususnya di bidang penangkapan ikan, mengupayakan bentuk ganti rugi ini dikarenakan prosesnya yang lebih cepat dan peluang yang lebih besar untuk dibayarkan. Namun demikian, Pengadilan Hubungan Industrial tidak selalu memberikan ganti rugi yang mencukupi; misalnya selama periode laporan ini, seorang korban kerja paksa di sektor perikanan mendapatkan ganti rugi yang jumlahnya kurang dari total upahnya yang tidak dibayarkan ditambah delapan bulan yang telah dihabiskannya untuk mengupayakan penyelesaian hukum tanpa bantuan pemerintah. Pemerintah tidak melaporkan apakah Pengadilan Hubungan Industrial telah merujuk kasus yang berpotensi mengandung unsur TPPO ke kepolisian.
Berbagai kementerian dan lembaga, termasuk KPPPA, Kemensos, dan BP2MI, terus menyelenggarakan saluran siaga (hotline) yang dapat menerima panggilan telepon mengenai perdagangan orang. Pada tahun 2022, hotline dan sistem pelaporan pengaduan BP2MI menerima 1.987 laporan dari tenaga kerja Indonesia di luar negeri; lembaga tersebut menetapkan bahwa 60 dari laporan yang diterima tersebut merupakan dugaan kasus TPPO dan 1.269 memiliki indikator TPPO, seperti perekrutan ilegal dan dokumen palsu. Angka ini menunjukkan peningkatan dari 1.702 laporan, dimana 59 merupakan dugaan TPPO, di tahun 2021. BP2MI merujuk kasus-kasus tersebut ke kepolisian, tetapi tidak terdapat laporan apakah Polri telah memulai penyidikan berdasarkan panggilan telepon tersebut. Secara terpisah, BP2MI menemukan 80.000 pekerja migran Indonesia yang bermasalah antara tahun 2020 dan 2022 dan menetapkan bahwa 90 persen dari mereka adalah korban eksploitasi, termasuk perdagangan orang. BP2MI tidak memberikan informasi berapa banyak dari kasus-kasus tersebut yang telah dilaporkannya ke kepolisian untuk diselidiki atau apakah dan bagaimana lembaga tersebut memberi bantuan kepada para korban. Pada tahun 2022, Kementerian Luar Negeri (Kemnlu) menyediakan layanan perlindungan, termasuk penampungan sementara di beberapa perwakilan Indonesia di luar negeri, kepada 1.018 WNI korban perdagangan orang, dimana 507 dari korban tersebut melaporkan secara mandiri melalui portal online Kemnlu. Angka ini merupakan peningkatan besar dari 391 korban TPPO yang dibantu berdasarkan 256 laporan melalui portal tersebut di tahun 2021. Di tahun 2022, Kemnlu mengidentifikasi lebih dari 400 korban dan memulangkan lebih dari 240 WNI korban kerja paksa dari Kamboja, dimana sebagian besar atau semuanya telah dipaksa bekerja dalam kegiatan penipuan secara daring (cyber scam). Pemerintah Indonesia membentuk dua Indonesian Seafarers Corner (ISC) di Taiwan dan Afrika Selatan. Pemerintah juga membentuk dua pusat di Indonesia untuk menerima laporan dari ABK perikanan yang telah dieksploitasi dan memberikan bantuan kepada mereka. Untuk tahun kedua, pemerintah tidak melaporkan apakah pusat-pusat tersebut telah menerima laporan atau telah membantu ABK perikanan melalui mekanisme lainnya. Pemerintah terakhir melaporkan telah memulangkan 589 nelayan Indonesia dari kekerasan atau eksploitasi yang terjadi di 98 kapal penangkap ikan berbendera Republik Rakyat Tiongkok (RRT) di tahun 2020.
Pemerintah terus melakukan upaya untuk mencegah TPPO. Pemerintah telah membentuk sebuah Gugus Tugas PP TPPO yang dikoordinasikan oleh KPPPA dan diketuai oleh Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan. Gugus tugas tersebut menyelenggarakan satu rapat koordinasi nasional dan satu pertemuan tingkat
menteri di tahun 2022. Gugus Tugas PP TPPO telah merampungkan Rencana Aksi Nasional (RAN) Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang 2020-2024 yang mengharuskan setiap kementerian dan lembaga mengalokasikan sumber daya untuk kegiatan pemberantasan perdagangan orang. Pada tahun-tahun sebelumnya, 245 kabupaten/kota dan setiap provinsi kecuali Papua dan Papua Barat telah membentuk Gugus Tugas PP TPPO tingkat daerah, namun tidak semua gugus tugas tersebut masih aktif, dan banyak yang mengalami kesulitan pendanaan, kurangnya koordinasi, dan kurangnya pemahaman mengenai
perdagangan orang. Selama dua tahun, pemerintah tidak melaporkan alokasi anggaran Gugus Tugas PP TPPO. Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) melaksanakan pemeriksaan yang sebelumnya sudah diumumkan terhadap 14.627 perusahaan sektor formal sepanjang tahun 2022, termasuk terhadap 11 perkebunan kelapa sawit. Kemnaker tidak mengidentifikasi adanya pelanggaran pekerja anak dan tidak melaporkan temuan indikator TPPO. Kemnaker tidak memiliki jumlah sumber daya manusia yang memadai untuk mengawasi seluruh perusahaan sektor formal dan tidak memiliki wewenang untuk mengawasi sektor informal. Pada bulan Januari 2023, pekerja Indonesia di sebuah perusahaan pertambangan nikel milik BUMN RRT menggelar aksi demonstrasi untuk memprotes kondisi kerja yang buruk dan dugaan bahwa mereka menerima upah yang lebih rendah dibandingkan dengan para pekerja dari RRT. Dua pekerja dinyatakan tewas dalam demonstrasi tersebut. Pemerintah Indonesia telah mengkritik kondisi kerja perusahaan RRT tersebut namun tidak melaporkan adanya upaya untuk menyelidiki perusahaan tersebut atas dugaan pelanggaran Undang-Undang Ketenagakerjaan atau membantu para pekerja.
UU PPMI tahun 2017 mengamanatkan pemerintah provinsi – alih-alih perusahaan swasta – untuk mengawasi pelatihan kejuruan sebelum keberangkatan dan proses penempatan pekerja migran. Pemerintah tidak melaporkan mengenai upaya pemerintah provinsi untuk melaksanakan mandat tersebut. Walau peraturan pelaksana dari UU PPMI yang diterbitkan tahun 2020 mendefinisikan dan membebaskan pekerja migran Indonesia dari biaya penempatan, termasuk biaya penerbangan, visa, paspor, pelatihan kerja, dan akomodasi, tapi masih banyak pekerja yang melaporkan bahwa mereka harus membayar biaya, termasuk 89 persen ABK perikanan Indonesia menurut survei tahun 2021 – 2022. Pemerintah tidak melaporkan penangguhan atau pencabutan izin perusahaan penempatan pekerja migran atau merujuk perusahaan yang terduga terlibat kasus perdagangan orang ke kepolisian untuk diselidiki. Jumlah ini dibandingkan dengan penanggungan izin oleh Kemenaker terhadap 11 perusahaan perekrutan pekerja di tahun 2021 dan penanggungan lima izin dan pencabutan 111 izin di tahun 2020dengan alasan akomodasi asrama yang membahayakan, pemalsuan dokumen, praktik perekrutan yang memaksa atau menipu, perekrutan pekerja di bawah umur, biaya-biaya tidak resmi, dan pelanggaran terhadap moratorium pengiriman pekerja migran yang diberlakukan pemerintah terhadap beberapa negara. Setelah memastikan bahwa beberapa perusahaan penempatan tidak memiliki izin untuk mengirim tenaga kerja ke luar negeri, pemerintah telah mencegah beberapa penerbangan yang akan membawa lebih dari 600 pekerja migran Indonesia ke Kamboja dan menangkap lima individu yang terlibat dalam perekrutan mereka. Pemerintah masih menerapkan kebijakan dan praktik yang dapat meningkatkan kerentanan pekerja migran terhadap perdagangan orang. Sebuah peraturan pelaksana dari UU PPMI yang diberlakukan di tahun 2020 mengharuskan pekerja migran yang telah menikah untuk mendapatkan izin dari pasangan mereka untuk bekerja di luar negeri. Sebuah kebijakan lainnya melarang penempatan pekerja migran Indonesia di 21 negara Timur Tengah dan Afrika. Pemerintah menahan paspor warga negara Indonesia yang dipulangkan dari situasi perdagangan orang di luar negeri. Walau pemerintah telah menyatakan bahwa kebijakan-kebijakan tersebut melindungi para pekerja yang rentan, namun PBB, berbagai organisasi internasional dan LSM terus memperdebatkan kebijakan-kebijakan tersebut justru meningkatkan kemungkinan para pekerja untuk bermigrasi secara ilegal, sehingga meningkatkan risiko kerentanan mereka terhadap perdagangan orang. Pemerintah telah memiliki MOU dengan sembilan negara di kawasan Asia-Pasifik dan Timur Tengah untuk perekrutan, penempatan, dan perlindungan pekerja migran Indonesia. Pemerintah terus menegosiasikan MOU dengan pemerintah Brunei Darussalam. Pemerintah juga memulai negosiasi ulang MOU bersama antara tujuh kementerian dan lembaga pemerintah yang akan memuat peran khusus Kemnaker dan LPSK.
Pemerintah belum secara efektif menerapkan regulasi-regulasi terkait pekerja sektor perikanan. Sebuah LSM melaporkan adanya indikasi pemaksaan jeratan utang, penipuan, intimidasi, ancaman, perampasan dokumen, penahanan upah, dan kekerasan fisik yang dialami para pekerja di berbagai perusahaan-perusahaan perekrutan. Kelompok-kelompok masyarakat madani mencatat banyak ABK perikanan Indonesia dan migran tidak mengetahui hak dan kewajiban mereka dan tidak disiapkan untuk bekerja karena tidak adanya orientasi dan pelatihan pasca kedatangan yang terstandarisasi yang pembiayaannya ditanggung pemberi kerja. Pemerintah telah mengesahkan Peraturan Pemerintah No. 22 tahun 2022 sebagai peraturan turunan UU PPMI tahun 2017. Peraturan tersebut mengharuskan penyelenggaraan orientasi pra-keberangkatan bagi para pekerja migran Indonesia di sektor perikanan, termasuk informasi mengenai hak-hak tenaga kerja dan keselamatan di laut, tetapi peraturan tersebut tidak menjelaskan apakah pemerintah atau pemberi kerja yang harus mendanai dan menyelenggarakan orientasi tersebut. Pemerintah tetap memberlakukan pelarangan bekerja yang diberlakukan di tahun 2020 terhadap ABK perikanan Indonesia yang bekerja di atas kapal berbendera RRT, kapal yang dioperasikan oleh perusahaan milik pemerintah RRT, dan kapal berbendera Korea Selatan dan Taiwan yang beroperasi di luar Zona Ekonomi Eksklusif negara-negara tersebut. Pemerintah tidak melakukan upaya untuk mengurangi permintaan seks komersial, tetapi pemerintah telah melakukan upaya untuk mengurangi permintaan atas wisata seks anak melalui koordinasi dengan pemerintah negara-negara asing guna mencekal masuknya pelaku yang terindetifikasi terlibat kejahatan seks di bawah umur.
Seperti yang dilaporkan selama lima tahun terakhir, pelaku perdagangan orang mengeksploitasi korban WNI dan WNA di Indonesia serta korban WNI yang berada di luar negeri. Setiap provinsi (38 provinsi) di Indonesia merupakan daerah asal dan tujuan perdagangan orang. Para pelaku TPPO menggunakan agen dan sub-agen perekrutan yang tidak bertanggungjawab, menahan dokumen identitas, dan mengancam dengan kekerasan untuk menahan pekerja migran agar tetap dalam situasi kerja paksa. Pekerja migran Indonesia seringkali dijerat utang oleh agen perekrutan Indonesia dan luar negeri untuk memaksa dan mempertahankan agar tidak meninggalkan pekerjaan mereka. Pelaku perdagangan tenaga kerja mengeksploitasi banyak warga negara Indonesia melalui kekerasaan dan paksaan dengan jerat utang di Asia (khususnya RRT, Korea Selatan, dan Singapura) dan Timur Tengah (khususnya Arab Saudi), terutama pekerjaan rumah tangga, pabrik, konstruksi, manufaktur, dan perkebunan kelapa sawit di Malaysia, serta di kapal-kapal penangkap ikan. Hong Kong, Malaysia, Singapura, dan Timur Tengah menerima banyak pekerja rumah tangga asal Indonesia yang tidak dilindungi undang-undang ketenagakerjaan negara setempat dan sering mengalami berbagi indikator TPPO, termasuk jam kerja yang panjang, ketiadaan kontrak resmi, dan upah yang tidak dibayarkan. Pekerja-pekerja ini banyak berasal dari provinsi Nusa Tenggara Timur. Pemerintah memperkirakan lebih dari 2 juta dari 6-8 juta PMI yang bekerja di luar negeri – sebagian besar adalah perempuan yang bekerja di sektor domestik – tidak memiliki dokumen atau tinggal melebihi batas waktu yang tercantum pada visa sehingga meningkatkan risiko mereka terhadap perdagangan orang. WNI yang ikut serta dalam “Technical Intern Training Program” milik pemerintah Jepang juga rentan terhadap kerja paksa. Di tahun 2022, beberapa laporan perdagangan orang muncul dari para pekerja migran Indonesia yang bekerja sebagai pemetik buah beri di Inggris. Sebagian pekerja berhutang hingga 5.000 poundsterling (6.020 dolar) untuk satu musim kerja dan beberapa dari mereka mendapatkan kurang dari 300 poundsterling (360 dolar) per minggu dikarenakan tidak adanya jaminan jam kerja minimum dan pemotongan besar untuk biaya transportasi, visa, dan pelatihan bahasa. Pada tahun 2022, terjadi peningkatan jumlah pelaporan mengenai pelaku perdagangan orang asing, termasuk warga RRT dan agen Indonesia, yang melakukan penipuan untuk merekrut laki-laki dan perempuan untuk praktik kerja paksa di Myanmar, Kamboja, Laos, Thailand, dan Vietnam. Para pelaku perdagangan orang menggunakan media sosial untuk menjanjikan calon pekerja, yang seringkali berpendidikan menengah dan tinggi, pekerjaan legal di bidang teknologi, tapi ternyata para pelaku menyita paspor mereka pada saat kedatangan, dan mengeksploitasi mereka untuk kerja paksa dalam operasi penipuan daring dibawah tekanan menggunakan jerat utang, ancaman, kekerasan fisik, dan penyekapan ilegal. Di tahun-tahun sebelumnya, terdapat laporan bahwa universitas pencari laba di Taiwan secara agresif merekrut WNI dan kemudian menempatkan mereka ke dalam kondisi kerja yang mengeksploitasi dengan iming-iming peluang meraih pendidikan. Pelaku perdagangan seks merekrut perempuan dewasa dan anak Indonesia ke luar negeri untuk pekerjaan yang seolah-olah resmi dan kemudian dieksploitasi dalam perdagangan seks di luar negeri, terutama di Malaysia, Taiwan, Timur Tengah dan Timor-Leste.
Di dalam wilayah Indonesia, pelaku TPPO mengeksploitasi orang dewasa dan anak di sektor penangkapan ikan, pengolahan ikan, konstruksi, pertambangan, dan manufaktur serta di perkebunan kelapa sawit maupun perkebunan lainnya. Pelaku juga dapat menjerumuskan anak-anak melakukan tindak kriminal terkait perdagangan obat-obatan terlarang. Regulasi pemerintah memberikan pengecualian kepada pemberi kerja di beberapa sektor tertentu – termasuk usaha kecil dan menengah serta manufaktur tekstil – ketentuan upah minimum, sehingga meningkatkan risiko pekerja untuk menerima paksaan dengan jeratan utang. Lebih dari 1,5 juta anak Indonesia berusia 10 hingga 17 tahun bekerja di sektor pertanian, termasuk di perkebunan tembakau, tanpa peralatan pelindung yang dapat menjadi indikator perdagangan tenaga kerja. Beberapa LSM melaporkan bahwa di kota Bima beberapa pembalap kuda profesional menggunakan joki anak yang mungkin melakukan pekerjaan itu karena dipaksa. Praktik perkawinan usia dini mendorong banyak anak dari daerah terpencil dan miskin memiliki peran baru sebagai pencari nafkah utama untuk keluarga yang mendorong tingginya angka migrasi pekerja anak melalui jalur-jalur yang dikenal dengan praktik penipuan perekrutan, jeratan utang, dan indikator tenaga kerja paksa lainnya. Pelaku perdagangan orang memaksa perempuan dan anak perempuan bekerja di sektor domestik. Di tahun 2021, sebuah perusahaan pertambangan nikel yang berafiliasi dengan Prakarsa Sabuk dan Jalan China (BRI) diduga merekrut pekerja asal RRT melalui kontraktor yang berbasis di RRT yang tidak memiliki izin dan menjebak mereka dalam situasi kerja paksa melalui penyitaan paspor, pemotongan dan penahanan upah, pemaksaan lembur, dan kekerasan fisik. Dalam sebuah survei di tahun 2022 terhadap 333 pekerja RRT di Indonesia, hanya 27 persen memiliki izin kerja yang resmi, sedangkan 23 persen dilaporkan tidak dapat meninggalkan tempat kerja mereka dan tujuh pekerja meninggal dunia di tempat kerja tanpa penjelasan. Warga negara Korea Utara yang bekerja di Indonesia kemungkinan bekerja dalam kondisi eksploitatif dan menunjukkan indikator-indikator kerja paksa.
Menurut sebuah organisasi internasional, 30 persen individu yang terjebak di praktik seks komersial di Indonesia adalah anak perempuan korban perdagangan seks . Pelaku perdagangan seks seringkali menggunakan jerat utang atau tawaran pekerjaan di restoran, pabrik, atau sebagai asisten rumah tangga untuk menjebak perempuan dewasa dan anak dengan paksaan dan penipuan ke dalam eksploitasi seks komersial, terutama di Batam dan Jakarta dan di beberapa tempat seperti spa, hotel, bar, dan tempat karaoke. Pelaku perdagangan orang juga mengeksploitasi perempuan dewasa dan anak dalam perdagangan seks di dekat area pertambangan di provinsi Sulawesi Tengah, Maluku, Papua, dan Jambi. Pelaku perdagangan orang semakin sering menggunakan platform daring untuk merekrut korban anak untuk tujuan perdagangan seks dan merekrut laki-laki untuk perdagangan tenaga kerja. Wisata seks anak banyak ditemukan di Kepulauan Riau yang berbatasan dengan Singapura. Bali merupakan tujuan untuk wisatawan seks anak dari Indonesia maupun luar negeri. Pemerintah secara secara tidak langsung menerima praktik keagamaan dimana wisatawan Timur Tengah datang ke Indonesia, khususnya daerah Puncak di Bogor, dan membayar lebih dari 700 dolar untuk “kawin kontrak” yang biasanya bertahan hingga satu minggu agar dapat berhubungan seks di luar pernikahan dengan anak perempuan berusia sekitar sembilan tahun tanpa melanggar hukum Islam.
Warga Indonesia yang rumah atau mata pencahariannya hancur akibat bencana alam, tsekitar empat juta anak yang dianggap “terlantar” oleh pemerintah, dan sekitar 16.000 anak tuna wisma adalah kelompok rentan terhadap praktik perdagangan orang. Kegagalan pemerintah dalam mencegah perusahaan merampas tanah masyarakat adat, terkadang melalui kolusi dengan militer dan kepolisian setempat, turut berkontribusi pada terusirnya masyarakat dan menyebabkan beberapa kelompok etnis minoritas rentan terhadap perdagangan orang. Korupsi yang endemik di kalangan pejabat negara menjadikan industri wisata, perhotelan, dan perekrutan tenaga kerja rentan terhadap perdagangan orang . Stigma sosial yang meluas dan diskriminasi terhadap kelompok LGBTQI+ dan Orang Dengan HIV/AIDS(ODHA) mempersulit akses mereka mendapatkan pekerjaan di sektor formal dan sehingga menciptakan risiko menjadi korban perdagangan orang melalui pencarian kerja di sektor informal secara tidak aman
Pelaku perdagangan orang merekrut ABK perikanan Indonesia dari Jawa, termasuk buruh tani miskin, d dengan iming-iming gaji tinggi dan kondisi kerja yang baik, memberikan dokumen perjalanan ilegal, dan membujuk pekerja menandatangani kontrak yang begitu sulit dilanggar sehingga para ahli menyebutnya sebagai “kontrak perbudakan”. Di perairan Indonesia dan di tempat lainnya, beberapa awak kapal senior memaksa ABK untuk terlibat dalam kegiatan ilegal yang membuat mereka rentan dikriminalisasi. Awak senior kapal penangkap ikan milik dan/atau berbendera RRT, Korea, Vanuatu, Taiwan, Thailand, Malaysia, Italia, dan Filipina yang beroperasi di perairan Indonesia, Thailand, Sri Lanka, Mauritius, dan India menjadikan ABK perikanan Indonesia sebagai tenaga kerja paksa. Sebagian besar ABK perikanan Indonesia bekerja di kapal-kapal armada Perairan Jarak Jauh milik Taiwan dan Korea Selatan, sehingga menghalangi kemampuan mereka untuk melaporkan pelanggaran dan eksploitasi. Agen-agen perekrutan di Myanmar, Indonesia dan Thailand membujuk ABK perikanan dengan janji upah tinggi, namun kemudian memungut biaya, memotong uang jaminan, memberikan mereka dokumen identitas dan izin kerja palsu, dan memaksa mereka menangkap ikan dengan jam kerja panjang di atas kapal yang beroperasi di bawah pengaturan bendera dan kepemilikan yang rumit dan seringkali tidak kembali ke daratan selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun sehingga memungkinkan awak senior untuk mengeksploitasi pekerja dan terbebas hukum. ABK di atas kapal-kapal ini telah melaporkan upah yang rendah atau tidak dibayar dan taktik pemaksaan seperti kontrak yang tidak sesuai, penahanan dokumen, larangan berkomunikasi dan bergerak, kondisi kehidupan dan kerja yang buruk, ancaman kekerasan fisik, dan pelecehan fisik dan seksual yang berat. Berdasarkan sebuah survei terhadap 35 nelayan di kapal berbendera Indonesia, 71 persen melaporkan mereka tidak memegang dokumen identitas mereka dan lebih dari 88 persen melaporkan pemotongan gaji yang tinggi dan upah yang tidak dibayar secara rutin – yang merupakan indikator kerja paksa. Para ABK perikanan Indonesia telah melaporkan sering terjadinya kekerasan fisik, jam kerja yang berdurasi 20 jam sehari, dan kurangnya makanan di atas kapal RRT – sebagai indikator kerja paksa – dan pihak berwenang telah memulangkan ratusan warga Indonesia yang telah tereksploitasi dari kapal-kapal tersebut dan mencatat 12 kematian antara tahun 2019-2020. Beberapa kapal berbendera RRT, Korea, dan Taiwan memaksa pekerja Indonesia untuk tetap berada di kapal dan bekerja hingga kontrak mereka habis sampai perusahaan mendapatkan pekerja pengganti.