INDONESIA
Ikhtisar: Indonesia menerapkan tekanan berkesinambungan untuk mendeteksi, merintangi , dan melemahkan kelompok-kelompok teroris yang beroperasi di dalam batas wilayahnya dan mencegah mereka memiliki tempat perlindungan yang aman. Jamaah Ansharut Daulah (JAD) yang berafiliasi ISIS beserta jaringannya terus menjadikan polisi dan simbol-simbol kekuasaan negara sebagai sasaran. Kemampuan kelompok-kelompok teroris untuk meluncurkan serangan yang menimbulkan korban massal dinilai rendah, namun keinginan untuk melakukan itu masih tetap tinggi. Rencana-rencana yang gagal termasuk upaya oleh kelompok teroris untuk menggunakan bahan radioaktif tingkat rendah untuk membuat bom dan juga merekrut perempuan untuk dijadikan pengebom bunuh diri. Kombatan teroris yang pulang dari luar negeri dan memiliki pelatihan operasional, keterampilan, pengalaman, jaringan, dan akses baru terhadap pendanaan dapat membantu melancarkan serangan yang lebih terencana terhadap personel atau fasilitas pemerintah Indonesia, sasaran terkait dengan negara-negara Barat, dan sasaran-sasaran mudah serta ruang publik. Sekalipun bukan anggota dari Koalisi Global untuk Memerangi ISIS, pemerintah Indonesia dan pemimpin masyarakat sipil Muslim secara tegas dan berulang kali mengutuk ISIS serta secara aktif mendorong “pendekatan lunak” untuk melawan ekstremisme dengan kekerasan sebagai pelengkap dari upaya-upaya kontraterorisme “keras” yang dilakukan penegak hukum.
Insiden Teroris 2017: Sepanjang tahun ini, JAD menjadikan polisi sebagai sasaran, termasuk pada 24 Mei ketika dua pengebom bunuh diri JAD tewas ketika meledakkan bom panci bertekanan di sebuah terminal bus yang ramai di Jakarta Timur. Kejadian ini menewaskan tiga anggota petugas polisi dan melukai tujuh orang masyarakat sipil. Polisi juga menjadi sasaran dari berbagai serangan yang terkait dengan JAD, termasuk insiden penusukan pada 25 Juni di sebuah pos penjagaan polisi di Sumatra Utara yang menewaskan satu petugas kepolisian dan melukai yang lain, serta sebuah insiden penusukan pada 30 Juni di sebuah masjid di Jakarta yang melukai dua anggota polisi.
Legislasi, Penegakan Hukum, dan Keamanan Batas Negara: Sejak 2002, Indonesia berhasil menggunakan pendekatan berbasis hukum yang dipimpin oleh penegak hukum sipil untuk melawan terorisme. Perundang-undangan yang terkait antara lain Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (15/2003), Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme (9/2013), Undang-Undang Darurat 1951, dan KUHP. Amandemen terhadap UU Pemberantasan Terorisme 15/2003, yang diusulkan pertama kali pada Februari 2016, akan memperkuat peraturan yang menindak para kombatan teroris asing, dengan menetapkan serangan, tindakan persiapan, dan dukungan material untuk terorisme di luar batas negara sebagai tindakan kriminal. Pada tahun 2017, lembaga legislatif Indonesia terus membahas perubahan terhadap rancangan amandemen tersebut. Pemerintah Indonesia juga mengesahkan undang-undang yang melarang kelompok-kelompok yang bermaksud merongrong kesatuan nasional Indonesia dan juga melarang kelompok pro khilafah tapi tanpa kekerasan, Hizbut Tahrir Indonesia.
Satuan elit kontraterorisme polisi, Detasemen Khusus 88, memimpin operasi dan investigasi kontraterorisme. Penegak hukum semakin mampu mendeteksi, menghalangi, dan mencegah sebagian besar serangan teroris. Pada 18 Agustus, polisi menangkap kembali Aman Abdurrahman dari JAD, yang sudah akan mendapat pembebasan lebih cepat dari hukuman sembilan tahun, dengan tuduhan terlibat dalam serangan pada 14 Januari 2016 di Jakarta Pusat terhadap sebuah pos polisi dan gerai kopi waralaba Amerika Serikat yang dilakukan dengan senjata ringan dan bom rakitan. Tiga warga negara Indonesia dan seorang dwi-warganegara Aljazair-Kanada tewas, dan paling sedikit 23 lainnya terluka dalam serangan tersebut.
Tingkat penghukuman kasus terorisme tergolong tinggi. Masa hukuman cenderung pendek, dengan beberapa pengecualian. Residivis anggota JAD, Juhanda mendapat hukuman seumur hidup untuk serangan ke sebuah gereja di Kalimantan Timur pada November 2016. Dian Yulia Novi, yang merupakan calon pengebom bunuh diri perempuan pertama di Indonesia, mendapat hukuman tujuh setengah tahun untuk perannya dalam rencana penyerangan Istana Presiden pada bulan Desember 2016. .
Petugas-petugas lembaga pemasyarakatan mengambil langkah-langkah untuk meningkatkan pengelolaan narapidana terorisme dan menerapkan alat penilaian risiko dan klasifikasi narapidana yang baru. Pada 28 Agustus, Indonesia menetapkan penjara Pasir Putih di pulau Nusa Kambangan di Jawa Tengah sebagai penjara khusus untuk narapidana teroris berisiko tinggi.
Keamanan batas negara masih terus menjadi tantangan bagi negara kepulauan yang luas ini. Sistem Informasi Penumpang dan Catatan Nama Penumpang yang canggih tidak sepenuhnya digunakan. Bea cukai terus mengalami kesulitan dalam menetapkan sasaran, analisis, sistem manajemen, dan tingginya perubahan di manajemen tingkat atas. Polisi mempunyai daftar pemantauan dari terduga teroris, namun jalur komunikasi dan koordinasi antar badan pemangku kepentingan tak selalu jelas. Petugas-petugas imigrasi di titik-titik masuk utama pelabuhan memiliki akses terhadap database terpusat biografis dan biometrik yang hanya berlaku domestik. Pada bulan November, Indonesia memulai penyaringan sistematis di tapal batas negara dengan database Dokumen Perjalanan yang Dicuri dan Hilang dan database nominal dari Interpol di tiga bandara utama.
Menanggulangi Pendanaan Terorisme: Indonesia adalah anggota Grup Asia Pasifik untuk Pencucian Uang (APG), sebuah badan regional yang serupa dengan Gugus Tugas Tindakan Finansial (FATF). Unit intelijen keuangan Indonesia, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), adalah anggota dari Egmont Group. Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme no. 9/2013 melarang pencucian uang dan pendanaan teroris serta memberi wewenang untuk membekukan aset teroris sesuai dengan resolusi 1371 Dewan Keamanan PBB, rezim sanksi Dewan Keamanan PBB (DK PBB) terhadap ISIL (Da’esh) dan al-Qa’ida, serta rezim sanksi Afghanistan/Taliban 1988. Pada bulan Februari, Indonesia menerbitkan Peraturan Presiden untuk memperkuat pendekatan berbasis risiko yang didorong FATF untuk membatasi pendanaan terorisme di dalam sektor nirlaba dan amal. APG menjalankan penilaian sejawat Tinjauan Evaluasi Timbal Balik terhadap rezim anti pencucian uang/melawan pendanaan teroris Indonesia (AML/CFT) pada bulan November. Indonesia sudah dikeluarkan dari daftar pemantauan APG berkat kemajuan dalam kerangka kerja AML/CFT pada 2017.
Untuk informasi lebih lanjut tentang pencucian uang dan kejahatan keuangan, lihat Laporan Strategi Pengendalian Narkotika Internasional (INSCR) 2018, Volume II, Pencucian Uang dan Kejahatan Finansial.
Menanggulangi Ekstremisme dengan Kekerasan (CVE): Pemerintah dan para pemuka masyarakat mendorong pelaksanaan Islam yang moderat dan toleran sebagai alternatif terhadap ajaran-ajaran teroris. Mereka juga menekankan ideologi nasional Pancasila (lima prinsip yang membentuk dasar filosofis negara Indonesia).
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mulai merumuskan rencana aksi nasional CVE. Berbagai organisasi masyarakat sipil aktif dalam program CVE, namun koordinasi dengan program-program BNPT masih minim.
Pada tahun 2017, proses reorganisasi nasional di kepolisian dimulai dengan tujuan terbentuknya layanan polisi yang berfokus pada masyarakat yang dapat mengidentifikasi dengan lebih baik tanda-tanda peringatan awal dari radikalisasi menuju kekerasan.
BNPT mengelola program deradikalisasi untuk para narapidana terorisme. Pada bulan Februari, Badan ini membuka pusat deradikalisasi di Sentul, di selatan Jakarta.
Warga Indonesia yang dideportasi dari negara-negara ketiga karena berusaha memasuki Irak dan Suriah diikutsertakan dalam program deradikalisasi selama satu bulan di panti Kementerian Sosial di Jakarta Timur. BNPT memberdayakan mantan-mantan teroris untuk berkampanye di tengah masyarakat dan membantu mendirikan pesantren untuk anak-anak mantan teroris.
Kerja Sama Internasional dan Regional: Indonesia berpartisipasi dalam upaya-upaya kontraterorisme dalam beberapa forum internasional, multilateral, dan regional, termasuk Perserikatan Bangsa-Bangsa, Forum Kontraterorisme Global (GCTF), Perhimpunan Negara-Negara Asia Tenggara (ASEAN), dan Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC). Indonesia tetap aktif dalam Rapat Antarsesi untuk Kontraterorisme dan Kejahatan Transnasional Forum Regional ASEAN serta kelompok kerja Kontraterorisme APEC. Indonesia adalah salah satu ketua bersama dari yang dulunya adalah kelompok kerja Penahanan dan Reintegrasi GCTF sampai September. Mulai September, Indonesia dan Australia menjadi ketua bersama kelompok kerja Melawan Ekstremisme dengan Kekerasan GCTF. Indonesia meresmikan kerja sama kontraterorisme trilateral dengan Malaysia dan Filipina dan bersama-sama menjadi tuan rumah rapat sub-regional dengan Australia di Manado, Sulawesi Utara. Indonesia terus menggunakan Jakarta Center for Law Enforcement Cooperation sebagai pusat pelatihan regional.